05 Maret 2017

Membaca Novel Tan Malaka

Buku Novel Tan: Karangan Hendri Teja. Sumber ; Dok. Pribadi
Membaca novel Tan, sama seperti menyuruput kopi di pagi hari. Bahasanya renyah, mengalir dan tidak bisa berhenti jika tidak sampai pada ujungnya. Kopi juga seperti itu, ada renya-renyanya, mengalir dengan lancar jika diseruput dan tak bisa berhenti jika tak sampai pada dasar-dasar cangkirnya, yang tinggal menyisakan ampasnya.
Buku ini, bukan cerita heroik yang dialami oleh Tan Malaka. Buku ini adalah buku yang menceritakan tentang perjuangan, perjalanan, perburuan, buah pikiran dan keterhempasan Tan Malaka di sebuah negeri yang terjajah. Negeri terjajah itu, negeri yang selama ini menjadi tempat tumpah darah Tuan Tan Malaka sendiri, yaitu Hindia.
Selama sekian tahun negeri Hindia dijajah, yang kemudian diperas untuk keuntungan Nederland, membuat Tan Malaka resah. Ia tak tenang melihat negerinya dijadikan sapi perah berpuluh-puluh tahun. Matahari yang menyengat, panas menembusi kulit para buruh petani kopi, teh serta buruh-buruh kereta api dan buruh kapal ternyata untuk kekayaan negeri Nederland yang sempit itu, bukan untuk rakyat negerinya.
Kenyataan ini, sangat membakar jiwa Tan Malaka sendiri. Baginya, untuk melepaskan sebuah negeri yang terjajah, masyarakat Hindia harus diberi kepintaran. Mereka harus mendapatkan pengetahuan tentang negerinya. Anak-anak negeri harus didik, agar terlepas dari jerat nista yang dialaminya.
Lewat kesadaran itu, lalu Tan mulai mengajar, menjadi guru. Negeri ini butuh seseorang untuk mencerdaskan anak-anak bangsanya agar lagi tidak menjadi babu ditanah air sendiri. Saat ia mulai mengajar, ia melihat kenyataan dilapangan, para buruh dipukuli dengan rotan. Hal ini kemudian merubah nuraninya untuk memperjuangkan kaum-kaum buruh dengan pergerakan.
Perjuangan lewat pergerakan membawanya terus menyelam bersama kritiknya. Ia menulis tentang penderitaan rakyat Hindia dibawah kerja rodi pemerintah Nederland. Negerinya yang kaya akan rempah-rempah tak memberikan setetes keringanan untuk beban hidup yang dialami rakyat Hindia.
Mereka masih tercekik oleh kemiskinan. Kelaparan, terus menganggu siang dan malam, yang menyebabkan banyak rakyat yang meninggal, penyakit terus menggempur dan kurus kering tinggal kulit berlapis tulang. Kekayaan akan negeri, ternyata hanya memakan ulu hati masyarakat miskin, bukan memberikan penghidupan yang baik buat mereka.
Lalu, sampai kapankah penderitaan itu akan berakhir?
***
Tan adalah seorang pemikir sosialis. Ia juga sangat dekat dengan ajaran agama Islam sewaktu berada di Nagari Lumuik Suliki, Minangkabau. Di Minangkabau ia banyak belajar agama, bersama dengan ayah dan kakek-kakeknya. Sehinnga, Tan tidak bisa jauh dari ajaran agama yang suda melekat dalam darah dagingnya selama ini. Baginya, Islam dan sosialis sewaktu penjajahan Nederland isi pemikirannya tidak jauh berbeda. Sama-sama ingin melepaskan rakyat Hindia dari penjajahan, merdeka dari penindasan, kerja rodi dan buruh-buruh upah murah.
Dalam pergerakan, ia berusaha menyatukan dua kekuatan besar itu, Pan Islamisme yang berbasiskan Syarikat Islam (SI) dan Partai  Komunis Hindia (PKH) yang berbasikan orang-orang sosialis. Namun, ide-ide ini banyak ditentang oleh sahabat-sahabatnya, lalu dikhianati.
Baginya, untuk mengakhiri penderitaan di Hindia ia perlu sebuah organisasi. Dengan itu, ia memobilisasi para buruh untuk mendirikan sebuah organisasi. Perkumpulan-perkumpulan para buruh didirikan, yang kemudian disatukan dalam organisasi tersebut. Ia bersama buruh memulai perlawanan, melakukan pembangkangan dan pemogokan disana-sini.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka itu sangat ditakuti oleh pemerintah Nederland, Gubernur Jenderal. Apalagi ia hendak menyatukan dua kekuatan massa Islam dan PKH. Baginya Tan sendiri, Pan Islamisme dan PKH punya cita-cita dan tujuan yang sama, membebaskan rakyat dari rantai-rantai penindasan pemerintahan Nederland, menginginkan kemerdekaan negeri Hindia tanpa ada lagi kerja rodi dan perbudakan lainnya.
Namun apalah daya, diperjalanannya dalam sebuah pergerakan itu, ia banyak ditentang yang kemudian dikhiantai oleh sahabat-sahabat seperjuangannya. Ia dijebak dan dipenjara bertahun-tahun, yang membuat jiwanya tersiksa dalam penjara dekil. Setelah keluar bukannya malah bebas, sebebas burung elang, malah kembali menjadi buronan. Ia membuatnya berlari dan terus berlari.
***
Seorang Tan bukanlah seorang islamisme, ia juga bukan seorang komunis. Tan adalah keduanya, menyatukan dua pemikiran itu demi sebuah negeri yang terjajah. Hasratnya yang begitu menggebuh-nggebuh untuk sebuah cita-cita kemerdekaan Hindia, membuatnya terus berontah. Ia mengatakan, didepan Tuhan saya seorang Islam, tapi didepan masyarakat/rakyat saya seorang sosialis.
Itula Tan Malaka. Hidupnya telah ia berikan untuk negeri ini. Ancaman kematian tak membuatnya takut dan mundur sedikitpun. Dalam perjalanan hidupnya, ia terhempas dan dihempaskan oleh kekuasaan. Sebelum Indonesia merdeka, ia dihempaskan oleh kekuasaan Nederland. Sementara itu, sesudah Indonesia merdeka ia dihempaskan oleh kekuasaan anak negeri sendiri.
Tan, aku masih ingat kata-katamu, bahwa dari dalam kubur suaramu akan lebih keras daripada diatas bumi. Apakah hari ini sudah mulai lebih keras? Belum Tan, belum. Tapi saat ini engkau sudah mulai diperbincangkan. Pemikiranmu dalam buku-buku sudah mulai bermunculan, diperbincangkan dan didiskusikan.
Sosokmu bukan akan menjadi pemimpin Indonesia saat itu dan saat ini. Sosokmu dipersiapkan untuk memimpin Indonesia kedepan, untuk manusia-manusia baru.


                                                                                 La Ode Halaidin
                                                                                 Kendari, 6 Maret 2017

0 komentar:

Posting Komentar