Buku Novel Tan: Karangan Hendri Teja. Sumber ; Dok. Pribadi |
Membaca
novel Tan, sama seperti menyuruput kopi di pagi hari. Bahasanya renyah,
mengalir dan tidak bisa berhenti jika tidak sampai pada ujungnya. Kopi juga
seperti itu, ada renya-renyanya, mengalir dengan lancar jika diseruput dan tak
bisa berhenti jika tak sampai pada dasar-dasar cangkirnya, yang tinggal menyisakan
ampasnya.
Buku
ini, bukan cerita heroik yang dialami oleh Tan Malaka. Buku ini adalah buku
yang menceritakan tentang perjuangan, perjalanan, perburuan, buah pikiran dan
keterhempasan Tan Malaka di sebuah negeri yang terjajah. Negeri terjajah itu,
negeri yang selama ini menjadi tempat tumpah darah Tuan Tan Malaka sendiri,
yaitu Hindia.
Selama
sekian tahun negeri Hindia dijajah, yang kemudian diperas untuk keuntungan
Nederland, membuat Tan Malaka resah. Ia tak tenang melihat negerinya dijadikan
sapi perah berpuluh-puluh tahun. Matahari yang menyengat, panas menembusi kulit
para buruh petani kopi, teh serta buruh-buruh kereta api dan buruh kapal
ternyata untuk kekayaan negeri Nederland yang sempit itu, bukan untuk rakyat
negerinya.
Kenyataan
ini, sangat membakar jiwa Tan Malaka sendiri. Baginya, untuk melepaskan sebuah
negeri yang terjajah, masyarakat Hindia harus diberi kepintaran. Mereka harus
mendapatkan pengetahuan tentang negerinya. Anak-anak negeri harus didik, agar
terlepas dari jerat nista yang dialaminya.
Lewat
kesadaran itu, lalu Tan mulai mengajar, menjadi guru. Negeri ini butuh seseorang
untuk mencerdaskan anak-anak bangsanya agar lagi tidak menjadi babu ditanah air
sendiri. Saat ia mulai mengajar, ia melihat kenyataan dilapangan, para buruh
dipukuli dengan rotan. Hal ini kemudian merubah nuraninya untuk memperjuangkan
kaum-kaum buruh dengan pergerakan.
Perjuangan
lewat pergerakan membawanya terus menyelam bersama kritiknya. Ia menulis
tentang penderitaan rakyat Hindia dibawah kerja rodi pemerintah Nederland.
Negerinya yang kaya akan rempah-rempah tak memberikan setetes keringanan untuk
beban hidup yang dialami rakyat Hindia.
Mereka
masih tercekik oleh kemiskinan. Kelaparan, terus menganggu siang dan malam,
yang menyebabkan banyak rakyat yang meninggal, penyakit terus menggempur dan
kurus kering tinggal kulit berlapis tulang. Kekayaan akan negeri, ternyata
hanya memakan ulu hati masyarakat miskin, bukan memberikan penghidupan yang
baik buat mereka.
Lalu,
sampai kapankah penderitaan itu akan berakhir?
***
Tan
adalah seorang pemikir sosialis. Ia juga sangat dekat dengan ajaran agama Islam
sewaktu berada di Nagari Lumuik Suliki, Minangkabau. Di Minangkabau ia banyak
belajar agama, bersama dengan ayah dan kakek-kakeknya. Sehinnga, Tan tidak bisa
jauh dari ajaran agama yang suda melekat dalam darah dagingnya selama ini.
Baginya, Islam dan sosialis sewaktu penjajahan Nederland isi pemikirannya tidak
jauh berbeda. Sama-sama ingin melepaskan rakyat Hindia dari penjajahan, merdeka
dari penindasan, kerja rodi dan buruh-buruh upah murah.
Dalam
pergerakan, ia berusaha menyatukan dua kekuatan besar itu, Pan Islamisme yang
berbasiskan Syarikat Islam (SI) dan Partai
Komunis Hindia (PKH) yang berbasikan orang-orang sosialis. Namun,
ide-ide ini banyak ditentang oleh sahabat-sahabatnya, lalu dikhianati.
Baginya,
untuk mengakhiri penderitaan di Hindia ia perlu sebuah organisasi. Dengan itu,
ia memobilisasi para buruh untuk mendirikan sebuah organisasi.
Perkumpulan-perkumpulan para buruh didirikan, yang kemudian disatukan dalam
organisasi tersebut. Ia bersama buruh memulai perlawanan, melakukan pembangkangan
dan pemogokan disana-sini.
Pemikiran-pemikiran
Tan Malaka itu sangat ditakuti oleh pemerintah Nederland, Gubernur Jenderal.
Apalagi ia hendak menyatukan dua kekuatan massa Islam dan PKH. Baginya Tan
sendiri, Pan Islamisme dan PKH punya cita-cita dan tujuan yang sama,
membebaskan rakyat dari rantai-rantai penindasan pemerintahan Nederland,
menginginkan kemerdekaan negeri Hindia tanpa ada lagi kerja rodi dan perbudakan
lainnya.
Namun
apalah daya, diperjalanannya dalam sebuah pergerakan itu, ia banyak ditentang
yang kemudian dikhiantai oleh sahabat-sahabat seperjuangannya. Ia dijebak dan
dipenjara bertahun-tahun, yang membuat jiwanya tersiksa dalam penjara dekil.
Setelah keluar bukannya malah bebas, sebebas burung elang, malah kembali menjadi
buronan. Ia membuatnya berlari dan terus berlari.
***
Seorang
Tan bukanlah seorang islamisme, ia juga bukan seorang komunis. Tan adalah
keduanya, menyatukan dua pemikiran itu demi sebuah negeri yang terjajah.
Hasratnya yang begitu menggebuh-nggebuh untuk sebuah cita-cita kemerdekaan
Hindia, membuatnya terus berontah. Ia mengatakan, didepan Tuhan saya seorang
Islam, tapi didepan masyarakat/rakyat saya seorang sosialis.
Itula
Tan Malaka. Hidupnya telah ia berikan untuk negeri ini. Ancaman kematian tak membuatnya
takut dan mundur sedikitpun. Dalam perjalanan hidupnya, ia terhempas dan dihempaskan
oleh kekuasaan. Sebelum Indonesia merdeka, ia dihempaskan oleh kekuasaan
Nederland. Sementara itu, sesudah Indonesia merdeka ia dihempaskan oleh
kekuasaan anak negeri sendiri.
Tan,
aku masih ingat kata-katamu, bahwa dari dalam kubur suaramu akan lebih keras
daripada diatas bumi. Apakah hari ini sudah mulai lebih keras? Belum Tan,
belum. Tapi saat ini engkau sudah mulai diperbincangkan. Pemikiranmu dalam
buku-buku sudah mulai bermunculan, diperbincangkan dan didiskusikan.
Sosokmu
bukan akan menjadi pemimpin Indonesia saat itu dan saat ini. Sosokmu
dipersiapkan untuk memimpin Indonesia kedepan, untuk manusia-manusia baru.
La Ode Halaidin
Kendari, 6 Maret 2017
La Ode Halaidin
Kendari, 6 Maret 2017
0 komentar:
Posting Komentar