Tugu Persatuan. Foto: Laode Halaidin |
Etnik-etnik
mayoritas dan minoritas tersebut biasanya terkonsentrasi pada titik-titik
tertentu di 64 kelurahan. Namun untuk
sekarang ini, baik etnik mayoritas dan minoritas mereka sudah tersebar di
sepuluh kecamatan dan di 64 kelurahan yang ada.
Pada sisi yang
lain, dulu sebelum kemerdekaan, Kendari merupakan kota yang tidak populer. Hal
ini seperti yang diungkapkan dalam buku Sofyan Sjaf, Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari, bahwa sebelum
Indonesia merdeka hingga penghujung kekuasaan Orde Lama, Kendari bukanlah kota
yang dikenal di daratan pulau Sulawesi. Saat itu yang dikenal hanyalah di pusat
kerajaan-kerajaan tradisional seperti Konawe (dengan kerajaan Konawe), Muna
(dengan kerajaan Muna), dan Buton (dengan kerajaan Buton).
Ada yang menarik,
ketika kita mencoba menelusuri mengapa Kendari menjadi ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara. Banyak yang beranggapan bahwa penetapan ibu kota Sulawesi
Tenggara di Kendari terjadi karena adanya dominasi kelompok etnik tertentu.
Pembentukan daerah administrasi itu, seperti yang tertulis dalam penelitian
Sofyan Sjaf, sarat dengan identitas etnik. Ada symbolic power yang digunakan oleh kelompok etnik tertentu untuk
mengonstruksi pembentukan daerah administrasi.
Hal ini bisa
dibuktikan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan atau sudah menjadi
bagian dari NKRI. Saat itu, Sulawesi Tenggara hanyalah daerah Kabupaten yang
dibawah pemerintahan Sulawesi Selatan. Daerah kekuasaannya terdiri dari afdeling Buton dan Laiwoi dengan ibu
kotanya Baubau. Buton berada di Kepulauan Buton sementara Laiwoi berada di
daratan Sulawesi Tenggara.
Lalu, apa yang
terjadi ketika penempatan ibu kota Kabupaten Sulawesi Tenggara ditempatkan di
pulau Buton tepatnya di Kota Baubau? Yang terjadi adalah timbulnya berbagai
polemik antardaerah yang kemudian menuntut dan mempertanyakan eksistensi
kedaulatan kerajaannya masing-masing. Misalnya Muna, yang menuntut (eksistensi
kedaulatan kerajaan Muna), Moronene (eksistensi kedaulatan kerajaan Moronene),
dan Tolaki (eksistensi kedaulatan kerajaan Konawe, Laiwoi dan Mekongga).
Tuntutan akan
eksistensi kedaulatan kerajaan tersebut sebagai akibat dari kekecewaan dari
etnik-etnik tertentu. Etnik-etnik itu lalu mencoba untuk melakukan perlawanan
serta mendeklarasikan untuk membentuk Kabupaten baru, Sulawesi Timur. Yang
menyetujui adanya pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur ini seperti kerajaan
Konawe, Laiwoi dan Mekongga (Poleang Bugis, Poleang Moronene, Rumbia) dan
kerajaan Muna.
Tetapi, hal itu
tidak terwujud karena Kolaka menarik diri lalu menginginkan untuk membentuk
Kabupaten baru diluar Sulawesi Timur. Menurut Tamburaka et. al. 2004, hal ini
dikarenakan sikap Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur di
Kendari telah mengeluarkan pernyataan pada suatu rapat tanpa mengundang
perwakilan dari Kolaka (Sjaf, 2014).
Namun pada tahun
1964, tepatnya pada tanggal 27 April Sulawesi Tenggara kemudian terbentuk
sebagai Daerah Otonom Tingkat I, dimana ibu kotanya ditempatkan di daerah
Kendari yang berada didaratan Sulawesi Tenggara. Ada salah satu alasan, mengapa
Kendari ditempatkan sebagai ibu kota provinsi. Kendari pada saat itu sudah
dikenal sebagai kota dagang yang sangat strategis.
Lalu kita
bertanya-tanya, mengapa bukan di pulau Buton tepatnya di Kota Baubau? Ada
alasan politis, yang kemudian secara perlahan-lahan berusaha menggeser Baubau
sebagai ibu kota Provinsi. Alasan itu dibangun dengan adanya doxa tentang
konstruksi kejayaan atas kerajaan-kerajaan tradisional masa lalu.
Menurut catatan
Tamburaka et. al (2004), ada enam
kerajaan tradisional yang ada di Sulawesi Tenggara, seperti Moronene, Konawe, Mekongga, Muna, Buton dan
Laiwoi. Kerajaan-kerajaan ini terpisah-pisah antara kepulauan dan daratan serta
terbagi beberapa etnik. Kerajaan Moronene berada di pulau Kabaena (etnik
Moronene), kerajaan Konawe, Mekongga dan Laiwoi berada di daratan Sulawesi
Tenggara (etnik Tolaki), kerajaan Muna berada di pulau Muna (etnik Muna) dan
kerajaan Buton berada di pulau Buton (etnik Buton).
Dengan konstruksi
atas kerajaan-kerajaan tradisional ini, maka bagi Tamburaka, etnik Tolaki
memiliki kekuasaan simbolik karena memiliki tiga kerajaan tradisional yang kuat
di daratan Sulawesi Tenggara yaitu Konawe, Mekongga dan Laiwoi
Tokoh Pemersatu. Foto Laode Halaidin |
Atas dominasi
etnik-etnik tersebut, kemudian kota Baubau disingkirkan sebagai ibu Kota
Sulawesi Tenggara. Meskipun Baubau saat itu dianggap tempat persinggahan dan
lalu lalangnya para pedagang, bukan berarti Baubau akan menjadi ibu kota
Provinsi. Ada etnik mayoritas disana. Ibarat pengambilan voting yang didasarkan
pada suara terbanyak, maka yang menjadi pemenang itu sudah pasti suara
mayoritas.
Dengan
penonjolan-penonjolan identitas etnik ini, kemudian berpengaruh terhadap
dinamika perebutan kekuasaan pada aras Pilgub Sulawesi Tenggara dan Pilwali
kota Kendari.
Politik Identitas Etnik
Dalam perebutan kekuasaan politik lokal di
Kendari, juga tidak terlepas dengan doxa atas kejayaan kerajaan-kerajaan
tradisional dimasa lalu. Kita dapat melihat
dalam perebutan kekuasaan pada aras di Pilwali kota Kendari dari tahun 2007
hinggah 2012.
Kekuasaan simbolik, sengaja terus dibangun untuk
mempertahankan legitimasi dan kekuasaan politik yang ada. Politik identitas
etnik menjadi senjata pamungkas sang aktor, yang lalu berusaha mengikis
etnik-etnik lainnya. Jadi, kekuasaan identitas etnik sama dengan dominasi atas
etnik tertentu. Inilah wajah Kendari.
Tetapi, bukan hal yang mustahil, jika politik
identitas etnik banyak menimbulkan kecurigaan, ketimpangan dan adanya
ketidakadilan ditengah masyarakat. Politik yang dibangun dengan identitas etnik
(meskipun mustahil untuk dihilangkan di Kendari), tergerus dalam pusaran ego
individuaitas etnik, yang kemudian hanya menempatkan etniknya pada
jabatan-jabatan penting.
Sama halnya dalam hal alokasi dana pembangunan,
misalnya pendidikan dan pekerjaan umum. Suda menjadi jelas, bahwa hanya daerah
yang menjadi basis etniknya, eks tim
sukses dan kerabat dekatnya yang mendapatkan penganggaran paling banyak.
Menurut catatan dalam penelitian Sofyan Sjaf,
setelah pilkada di Kendari yang dimenangkan Asrun-Musaddar Mappasomba (berasal
dari etnik Tolaki dan Bugis Makassar) penempatan pejabat penting pemerintahan
di kota Kendari sangat terkesan bias
etnik.
Dari 126 aktor yang menjabat dari tingkat
kelurahan, eksekutif dan legislatif etnik Tolaki terkesan mendominasi jabatan
penting. Dari 64 kelurahan, Tolaki memiliki 27 lurah, Muna 18 dan Bugis 16
lurah. Sedangkan dari 22 jabatan kepala dinas/kepala badan, etnik Tolaki memiliki
12 orang Kadis/kepala badan, etnik Bugis 7 orang dan Muna hanya 1 orang.
Sementara itu, untuk jabatan Camat, dari 10
kecamatan, etnik Tolaki memiliki 5 Camat, Bugis 3 Camat dan Muna hanya 1 Camat. Sedangkan untuk
legislatif, Etnik Tolaki memiliki 14 anggota DPRD yang salah satunya menjadi
ketua, Bugis 9 orang, Muna 5 orang dan Buton hanya 1 orang.
Jadi, dari jabatan-jabatan itu ada keterkesanan
mendominasi dan terdominasi, berdasarkan etnik mayoritas dan minoritas di
daratan Sulawesi Tenggara. Ini sangat tampak dari tingkat penguasa (Walikota)
yang berasal dari etnik Tolaki lalu mempengaruhi penempatan jabatan dari Lurah,
Camat dan para Kepala Dinas yang juga didominasi oleh etnik Tolaki. Sementara
itu, untuk Buton adalah etnik yang terdominasi di kota Kendari, yang disusul
Muna dan etnik-etnik lainnya.
Selain dominasi jabatan, yang menjadi perhatian
kita atas politik identitas etnik ini adalah adanya ketimpangan etnisitas. Atas
praktik-praktik dominasi oleh etnik-etnik tertentu, kesejahteraan tidak pernah
menetes ke bawah, dalam hal ini pada rakyat kecil.
Yang sejahtera justru oleh elit-elit atau aktor
yang mempunyai relasi, satu etnik, kerabat, eks
tim sukses dan keluarga dari penguasa. Pangkuan kekuasaan dan jabatan penting
suda berada pada mereka yang dominan mayoritas etnik. Maka tak salah jika
kesejahteraan suda menjadi komoditas aktor.
Inilah wajah Kendari, wajah yang unik namun suram
dalam hal kekuasaan dan kesejahteraan. Mereka yang berkuasa adalah mereka yang
dominan atas etnik yang lalu menggeser etnik-etnik minoritas.
Mereka yang sejahtera adalah mereka yang
mempunyai kedekatan dan berafiliasi dengan penguasa. Kadis, Camat, Lurah dan
proyek-proyek pembangunan diakumulasi oleh mereka yang dominan etnik. Lalu,
buat apa kita memperhitungkan kualitas jika kuantitas etnik diutamakan disini!
Wajah Kendari yang terpampang berbagai etnik,
seharusnya dirawat dan disamakan derajatnya. Etnik bukan simbolis belaka, tapi
keberagaman yang mesti dijaga. Beribu etnik bukan berarti beribu kepentingan, tapi
satu kepentingan yaitu kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
La Ode Halaidin
Kendari, 3 Februari 2017
La Ode Halaidin
Kendari, 3 Februari 2017
0 komentar:
Posting Komentar