Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

09 Desember 2017

Perempuan Penunggu Daun Jatuh

Ilustrasi dari: cerpen.co.id

Hari itu matahari bersinar sangat ganas, membuat kulit lebam para pekerja buruh, pemulung dan tukang becak. Sementara langit siang terus menunjukan keperkasaannya. Awan putih menari-nari, membuat matahari menyapu kota dagang.
Jalanan kota yang biasanya terlihat ramai, kini sepi, tak banyak yang lalu-lalang. Hanya tukang becak yang bertahan, menunggui penumpang di sudut-sudut trotoar. Sementara para pekerja kantoran, PNS kantor Walikota terlihat berhamburan keluar. Ada yang dari kedai kopi, ada pula yang dari restoran mewah. Rasanya, jam kerja mereka telah tiba. Sejenak kulirik jam tanganku. Saat itu, waktu menunjukan pukul 14.00.
Dari kejauhan, terlihat banyak pohon-pohon diterpa angin sepoi-sepoi yang berhembus perlahan, menggoyangkan ranting-ranting kecil. Waktu terasa bergulir begitu cepat, hingga menyulap awan putih menjadi gelap. Langit yang tadinya perkasa, kini tunduk pada awan kelabu yang siap mengeluarkan semburat air hujan.
Di tanah kota dagang, orang bebas mencari penghidupan. Bukan lantaran disebut kota dagang lalu semua telah menjadi pedagang. Banyak orang bekerja menjadi penyapu di jalan, perawat taman, pemulung, tukang becak dan penjual kripik diperempatan lampu merah. Ai, bukankah manusia-manusia seperti ini sering dianggap tidak bernasib baik. Mereka bahkan tak bisa menyentuh pelataran kedai kopi atau memasuki restoran mewah seperti para PNS Walikota itu.
Puh-puh-puh, kehidupan memang demikian rumit dan keras. Orang susah kian makin terhimpit oleh kemelaratan. Dan orang-orang pintar berlaga sok pahlawan, sumber solusi penyelesian masalah. Maka, tak salah seringkali sebagian dari mereka ada yang berdagang politik.
***
Dahulu, sepanjang jalan kota dagang banyak berdiri berderetan toko-toko biasa. Kini, pemandangan itu telah berubah dengan berbagai tampilan yang lebih modern. Toko-toko baru mulai dibangun, hotel bintang lima menjulang mengungguli langit, mall dengan tren globalisasi berdiri tegak. Bukan saja itu. Rumah-rumah megah bak istana pun berdiri berjejeran. Disini kini semua tersedia, termasuk rumah-rumah mesum pun ada.
Ah, rasanya saya lupa, kini kita tengah berada dalam zaman kemajuan; zaman dimana orang-orang pintar berkelakar, menguasai panggung politik lalu menjual janji-janji. Kemiskinan digemahkan dibanyak tempat untuk dientaskan. Rumah-rumah tak layak, akan diganti dengan rumah baru yang dianggap layak. Pekerjaan akan banyak disediakan.
Entah apa yang dicapai sekarang! Tak semua orang merasakannya. Yang tersentuh dengan kemajuan dan kemewahan, hanya mereka yang dekat dengan para penguasa politik. Sungguh, mereka lebih beruntung, bernasib baik, daripada para buruh dan pemulung itu.
Apakah kamu juga termasuk golongan maju yang demikian? Maka sedikitlah bersyukur pada tuhanmu. Sebab pada jaman ini, jika tak ikut dengan kemajuan, engkau akan terseret, menjadi karpet kusut yang terinjak-injak bertemankan banyak debu.
***
Pencarianku pada kehidupan, membawaku pada hal-hal yang jauh dari rasionalitas, berjarak dengan kenyataan. Bagaimana mungkin tanah dagang, tanah yang diberkahi keunggulan masih berselimutkan banyak penderitaan. Seorang pengemis duduk berpanas-panasan demi mendapat segepok koin, perempuan pemulung dan dua anaknya yang mencari sampah demi untuk mencari sesuap nasi. Aku telah melaluinya, berkeliling dan bertanya dibanyak tempat, dengan orang yang punya rupa-rupa muka dan pekerjaan. Mereka sama; penuh derita dan kemiskinan.
Kemana lagi aku hendak melihat dan bertanya? Apakah rumput yang bergoyang, dapat menyahut sambutanku? Rasanya tidak. Pun ia tak akan peduli. Tetapi, kini di sampingku ada seorang perempuan paruh baya, duduk termangu, menunggui jualannya. Rasanya aku seperti melihat keksosongan dalam dirinya. Pandanganku terus terpaku pada sosoknya yang mungil dan diam dalam kehampaan. Pembeli hari itu sangat sepi. Maka ia sekali-sekali bergegas pergi, memunguti daun jatuh yang diterpa angin dan hujan.
Sepanjang hari itu aku perhatikan, ia terus melakukan hal yang sama; duduk menunggui jualannya yang sepi pembeli, lalu bergegas pergi memunguti daun-daun yang jatuh. Daun-daun itu ia kumpulkan pada satu tempat dan setelah bersih ia kembali lagi menunggui jualannya. Dan ia lakukan terus menerus. Sampai waktunya pulang kerumahnya.
Bukankah ini sesuatu yang absuriditas! Sebab angin terus berhembus yang lalu menyebabkan daun-daun itu jatuh. Tetapi apalah artinya buat perempuan paruh baya itu. Ia hanya pekerja di taman. Maka sudah tugasnyalah membersihkan taman, agar pengunjung merasa senang dan tentram dengan adanya kebersihan.
“Inilah pekerjaan saya, kata perempuan paruh baya itu, datang menghampiri. Saya merawat taman kota ini supaya terus bersih. Sudah hampir dua puluh tahun, saya bekerja disini.”
Kata-kata itu ia lontarkan padaku, lantaran aku terus mengawasinya. Mungkin ia melihatku seperti terheran-heran karena usianya telah tua.
 “Saya sudah tua, umurku 54 tahun. Tapi alhamdulillah masih bisa kerja disini. Biasanya saya masuk kerja menyapu pagi sampai siang, setelah itu pulang. Karena di rumah sudah selesai pekerjaan, sore saya kembali lagi sambil berjualan.”
Saya menghentikan aktivitas membacaku sejenak, lalu melayani pembicaraan perempuan paruh baya itu. Sejak dari tadi saya ingin menyapanya. Namun, kemauan itu terhenti saat melihatnya sedang sibuk memunguti daun jati putih dan ketapang yang berjatuhan ketanah.
“Ibu bekerja sendirian disini” tanyaku, sambil mengambil kertas untuk membatasi buku bacaanku.
“Kalau pagi, tidak. Kami ada teman-teman. Sore saya kembali ke sini. Tapi bukan untuk menyapu. Saya gunakan waktu ini mencari sedikit rejeki saja.” Katanya.
Matanya sudah terlihat layu. Sepertinya hari ini ia kurang istrahat. Jalannya agak pincang, tidak normal lagi. Hidupnya seperti menanggung beban berat. Entah apa.
“Ibu sepertinya perlu istrahat. Terlalu kecapean kerja. Apa rumah Ibu jauh dari sini?” tanyaku.
“Tidak terlalu cukup jauh, di Jalan Wayong II Dalam. Biasa saya jalan kaki. Pulang pun demikian.” Kata perempuan paruh baya itu, sambil menuju ke tempat jualannya.
Aku mencoba mengikuti perempuan itu, menuju ke tempat jualannya. Dari dagangannya, ia sedikit berjualan minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Aku membeli sebotol air mineral, sambil menanyakan tentang pekerjaan dan keluarganya.
Ibu itu bernama Narsih. Dulu, suaminya bekerja sebagai buruh mobil truk pengangkut sampah, pada dinas kebersihan kota. Narsih dan suaminya dalam kantor dinas yag sama. Saat itu, mereka bukan pegawai honor, tapi hanya sekedar buruh yang di upah setiap bulan. Sewaktu-waktu mereka bisa diganti jika sudah tak mampu mengerjakan pekerjaannya.
“Berapa Ibu Narsih digaji tiap bulannya” tanyaku, sambil membantu menaruh jualannya di dalam kardus.
“Awalnya kami digaji tiga ratus ribu, lalu naik lima ratus ribu. Saat ini saya hanya mendapat upah tujuh ratus lima pulu ribu saja.” katanya.
Ibu Narsih terlihat semangat saat mengumpulkan jualannya. Ia masih terlihat kuat. Saat hendak pulang, aku meminta Ibu Narsih untuk mengantarnya sampai di rumahnya. Ada senyum yang mengembang disana. Ia merasa bersyukur dan berterima kasih padaku.
“Terima kasih ya nak, sudah membantu saya” katanya. Saya pun mengangguk, lalu kami pulang menujuh rumahnya.
Rumah Ibu Narsih terlihat biasa. Sangat sederhana. Rumahnya masih berpapankan kayu yang sebagian terlihat sudah lapuk, berbubuk. Atapnya masih memakai daun rumbia, yang didatangkan dari wilayah lain. Rumah itu diapit beberapa rumah mewah dan disekelilingnya berjejeran banyak perumahan.
Saat hendak masuk ke rumahnya yang reot itu, aku langsung diperhadapkan dengan berbagai bingkai foto anak-anaknya. Jiwaku tergoncang, merasa sangat sulit dipercaya. Hatiku merasa terharu dan tersentuh. Bagaimana mungkin, dengan pekerjaan seperti ini dapat menyekolahkan anak-anaknya? Ketangkasan dan kegigihan Ibu Narsih dan suaminya dalam menghadapi hidup, membuahkan hasil yang tidak sia-sia. Anak-anaknya semua telah bekerja dan berpendidikan tinggi.
“Ini semua anak Ibu?” tanyaku, sambil memperhatikan foto yang berseragam tentara. Di samping foto itu, terlihat foto wisuda anaknya yang kuliah di perguruan tinggi ternama di Jawa, foto perempuan perawat dan foto yang sekolah di pelayaran.
“Ia, itu semua anak saya. Kalau tentara tugas di Merauke. Perempuan sudah jadi PNS di sini. Itu yang kuliah di Jawa sekarang masih lanjut Doktornya. Yang pelayaran kerjanya di Kalimantan.” Katanya, sambil menghidangkan teh hangat diatas meja.
Dalam suaranya tersimpul kekuatan dan kesabaran, bahwa nasib hidup adalah penggarisan dari yang maha mencipta. Tugas manusia adalah menjalankan hidup. Ibu Narsih percaya bahwa terang hanyalah salah satu jalan. Juga ia percaya bahwa kompas hanyalah salah satu petunjuk.
Dalam hidup yang penuh dengan kemelaratan itu, Ibu Narsih dan suaminya mencoba berjalan dalam kegelapan, tanpa kompas. Ia merasa bersyukur saat melihat orang-orang disekitarnya sukses dan berlimpahan kemewahan. Keadaan itu mereka jadikan semangat untuk bekerja agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan.
“Ya, begitulah kami jalani kehidupan”, kata suaminya bernama Amin. Keterbatasan hidup harus menjadikan kita agar tetap kuat. Pendidikan hak semua orang. Bukan saja untuk para orang-orang kaya. Kalau kami tidak sekolah, itu tidak boleh terjadi dengan anak-anak kami” katanya, sambil menghisap rokok pusakanya.
Malam itu aku ikut terseret merasakan sentuhan batin yang begitu mendalam. Derita hidup yang mereka alami menjadi sejerah perjalanannya dalam mengarungi kehidupan. Kini anak-anaknya telah sukses dan berpendidikan. Mereka tak mengharapkan banyak dari anak-anaknya.
“Tanggungjawab telah selesai” kata Ibu Narsih. Biarkan mereka menjalani kehidupan sendiri. Juga saya dan suami harus menjalani kehidupan sendiri dan terus bekerja. Menjadi tua, bukan berarti berhenti untuk bekerja” katanya.
Ah, orang tua yang baik, seperti malaikat yang tak mengharapkan pamrih dari keringatnya yang bercucuran selama hidupnya. Dibalik pekerjaannya yang terlihat rendahan, menyapu di jalan dan membersihkan taman kota, ia menyimpan ketulusan dan keikhlasan. Ibu Narsih dan suaminya, pak Amin, pernah dipanggil anak-anaknya untuk tinggal bersama, tetapi mereka menolak dengan alasan tak bisa meninggalkan rumah yang mereka diami selama ini.
Usia tua tak menghentikan kata pekerjaan buat mereka. Saat ini kegiatan rutin suaminya hanya mengolah lahan, dengan menanam berbagai sayuran. Sementara Ibu Narsih tetap bekerja menyapu di jalan dan di taman kota. Sepanjang usia, mereka telah melalui jalan yang tak mudah, penuh dengan kerikil dan cobaan.
Rasanya aku telah mengambil butir-butir pelajaran, berguru pada dua insan manusia yang tegar dalam mengarungi hidup. Ini adalah nutrisi untuk kehidupanku dan kehidupan kita semua. Kita bebas berguru. Pada siapapun. Termasuk pada perempuan penunggu daun jatuh itu.

                                                                                 
                                                                                  L. Halaidin
                                                                                  Kendari, 10-12-2017

03 Desember 2017

Lima Alasan, Sosok Perempuan Yang Aku Sukai

Sumber Gambar: Pixabay

Cinta itu ibarat pentas panggung, yang lakonnya dimainkan antara dua pasang manusia, laki dan perempuan, berkomunikasi dalam sebuah narasi tentang mimpi-mimpi, cita dan harapan. Ada yang menginginkan orang baik, namun pada kenyataannya dianggap jahat, hanya nafsu belaka. Ada manusia yang kuat, tetapi tak dapat menjaga pasangannya. Ada manusia yang tampan, cantik, ada pula manusia yang dianggap ‘biasa aja’. Ada yang cerdas, pintar tetapi ada juga yang tidak....(Oon). Dan terakhir, ada hitam dan ada pula yang berkulit putih.
Kita manusia disodorkan dengan banyak opsi, berbagai macam aneka pilihan. Perempuan menginginkan ketampanan, kesetiaan dan kemapanan dari laki-laki. Sementara laki-laki memilih kecerdasan, kecantikan, kesalehan dan juga kesetiaan pada pihak perempuan. Pada intinya, dua-duanya sama; menginginkan suatu kesempurnaan cinta (aahh....kaya film di tv Net saja).
Tetapi dapatkah kita mengejar lalu menggenggam kesempurnaan itu! Atau jangan-jangan kesempurnaan itu, tidak ada sama sekali.
Namun jika berbicara mengenai perempuan, memang tak terlepas dengan penuh kerumitan. Laki-laki membutuhkan perempuan yang dinilainya cocok, mulai dari hobi hingga prilaku. Hal ini membutuhkan proses pencarian atau bahasa kerennya, suatu investigasi (macam kasus saja), yang lalu kemudian kita dapat memilikinya. Ada peran mencari, mendekati lalu membuat kita menelusuri apa yang menjadi hobi, kebiasaan atau hal-hal yang disukainya. Dari situ, penemuan hanya akan punya dua kesimpulan; bersama atau menjauh.
***
Sebagai manusia yang ketampanannya serupa Rangga dalam film ADDC (jangan iri, ya...haha), tentu tak sembarang berkawan dengan perempuan. Setelah melalui banyak pengamatan dan pelajaran akan hidup, kita patut memiliki alasan, perempuan seperti apa yang layak menjadi kekasih atau pendamping hidup kedepan. Berikut beberapa alasan untuk mencintai perempuan:
Pertama, Perempuan pembaca buku. Sebagai seorang pembaca dan pengkoleksi buku bacaan, mencari perempuan pecinta buku merupakan pilihan yang tepat dan keren. Dengan hobi yang sama, kita dapat mendiskusikan berbagai macam buku; mulai dari novel, syair, puisi dan buku-buku lainnya. Kita juga dapat mendiskusikan tentang persoalan ekonomi dan politik, sosial maupun budaya. Dalam keseharian, saya membayangkan, hidup yang dipenuhi dengan banyak buku koleksi, menjelajahi berbagai macam pemikiran dari Timur hingga pemikir Barat. Bahkan kita bersama akan terlibat didalamnya, penuh dengan gejolak dan romantisme.
Bukankah itu, kehidupan yang indah! Dikelilingi dengan banyak buku, bagi saya adalah bentuk kesempurnaan hidup. Kita akan bersapa dengan kata, banyak pemikir lalu bergumul didalamnya. Setiap membuka lembar perlembar, kita akan disuguhi dengan bau wangi khas buku, yang baru keluar dari percetakannya. Aromanya memikat, yang membuat hidup kita berada dalam surga-surga perpustakaan yang tersimpan banyak pemikir dunia.
Maka, mencari perempuan pendamping hidup juga harus butuh kejelian. Bukankah kita selalu mendambakan pasangan yang punya kecerdasan dan berikutnya romantis! Saya mendambahkan sebuah kehidupan yang siap menjelajah, yang memenuhi otak-otak banyak pemikir, sambil beriringan melintasi anak-anak sungai lalu menuju ke samudra pengetahuan.
Sungguh, ini sebuah kehidupan yang sangat menggairahkan.
Kedua, Perempuan yang tidak menuntut. Kehidupan yang modernis, bukan saja identik dengan berkembangnya industri teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi juga identik dengan kehidupan manusia yang bersarang dalam hidup konsumerisme. Sifat konsumeris ini, juga penyebab dari adanya korupsi yang mewabah di negeri yang kaya ini.
Jika banyak tuntutan dari pihak perempuan, laki-laki mencari jalan alternatif untuk mencari bahkan mencuri kemewahan hidup. Yang dilakukannya, bisa dengan melawan hukum, memanfaatkan kekuasaan, yang tidak sesuai aturan dimana harta itu didapatkan. Atau ikut kongkalingkong mengamankan proyek untuk mendapatkan fee besar.
Perempuan yang tidak menuntut merupakan harapan banyak dari kaum laki-laki. Bagaimana tidak, perempuan seperti itu bisa mengartikan kesederhanaan hidup. Segala pekerjaan yang kita geluti hanyalah titipan, bukan untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan yang tak tentu adanya.
Saya sangat mendambakan hidup dengan perempuan yang tidak menuntut ini dan itu. Perempuan seperti itu, sama sekali tak memprioritaskan harta kepada laki-laki, harus mempunyai kekayaan dan kemewahan yang melimpa. Dalam diri, saya akan menemukan sebuah arti hidup, bahwa dunia bukan saja tentang pencarian kekayaan dan kemewahan tetapi bagaimana agar kita bisa meneteskan setiap embun ke ladang-ladang yang lalu mengairi sumber kehidupan pada orang banyak.
Tugas kita adalah sebuah karya, yang lalu menginspirasi banyak orang di dunia. Dan biarkan saya bekerja─bekerja untuk keabadian. Itu bisa kulalui bersama perempuan yang tidak menuntut.
Ketiga, Perempuan yang suka membuatkan kopi. Ini memang sederhana, tapi dengan secangkir kopi, perhatian ini membuat hati saya jatuh berkeping-keping. Kopi itu punya daya tarik, yang bisa melelehkan rasa. Aroma baunya yang mengepul, membuatku dapat menyerahkan diri pada seseorang. Rasa kopi, dapat menggairahkan kehidupan, menghilangkan rasa ego yang lalu menghantarkan kita pada dunia yang luas. Kita bercengrama, sambil bercerita tentang dunia, kemana kita akan membawa cita, mimpi dan harapan itu.
Tidak percaya. Coba buatlah kopi bersama pasangan anda dan silahkan dibuktikan. Kecuali, pasangan anda memang tak banyak membaca, maka cerita itu tak akan mengalir.
Sebagai pecinta buku dan kopi, saya selalu mendambakan saat saya sedang sibuk bekerja, membaca, menulis atau merampungkan sebuah penelitian, seseorang dapat menyediakan kopi. Saya duduk diruang meja kerja, lalu kekasih datang menyuguhkan sebuah kopi yang sangat begitu nikmat.
Bukankah ini, kehidupan yang selalu didambakan banyak manusia! Tak perlu mencari kedai kopi diluar, sebab buatan orang yang kita cintai, lebih mantap dari buatan siapa pun.
Apakah anda menginginkannya? Maka carilah perempuan yang punya perhatian, meskipun hanya sekadar membuatkan kopi untukmu.
Keempat, Perempuan yang apa adanya. Selama di Kendari, saya mengenal banyak perempuan-perempuan cantik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Saat menjadi mahasiswa, saya juga dikelilingi wanita-wanita cantik, bukan karena kekayaan dan kecerdasan, tetapi karena selalu memegang absen. Mereka yang terlambat datang menghampiri, lalu meminta dihadirkan setelah itu pergi. Ia akan kembali esoknya, jika terlambat lagi, melakukan hal yang sama (haha...saya betul-betul dimanfaatkan).
Bicara mengenai perempuan, memang tak pernah ada selesai-selesainya. Apalagi jika kita mengacu pada data, bahwa perempuan menjadi populasi terbanyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini akan membuat laki-laki kewalahan, memilih satu diantara jutaan perempuan.
Namun, ada saja mana perempuan yang harus didekati dan dijauhi. Perempuan yang perlu dijauhi adalah perempuan yang memaksakan diri menjadi sesuatu. Ia tidak bisa tetapi memaksakan bisa. Ia terlihat ingin menonjol, dihargai lalu menerapkan banyak aturan. Kadang lantaran suda sekolah S2, ia ingin terlihat seperti paling tahu, paling tua. Perempuan seperti itu tak pernah bisa dibedakan antara tegas, pintar atau jangan-jangan pelit.
Dalam hidup, saya hanya menginginkan perempuan yang apa adanya, mulai dari penampilan hingga kecerdasan. Saya merasa ngeri melihat perempuan-perempuan yang memaksakan diri, yang bukan ada pada diri mereka sendiri. Kadang saya juga melihat perempuan seperti itu tak punya etika yang baik. Sementara perempuan yang apa adanya, ia sama sekali tidak melebih-lebihkan diri, tampil dan cerdas apa adanya.
Namun, apa pun itu, saya selalu menempatkan mereka untuk selalu dihargai. Toh, mereka juga manusia ciptaan Tuhan.
Kelima, Perempuan yang suka bertani. Saya pernah berkunjung di salah satu rumah dosenku, di belakang kampus pasca sarjana Universitas Halu Oleo. Saat itu, sebagai mahasiswa yang masih gelisa, saya selalu meminta nasehat bagaimana menghadapi masa depan yang kian sulit. Sambil merawat tanamannya, ia mengatakan, “Sudah. Semua kehidupan harus dihadapi Din, sesulit apa pun itu. Apakah kamu akan menyerah? Hidup itu selalu berproses, maka berproseslah dengan baik.”
Saya mendengar kalimat itu sebagai pedang, yang langsung menebas rasa pesimis saya pada kehidupan. Dosen saya yang satu itu, bukan saja rajin menyemangati mahasiswa-mahasiswa dari kampung seperti saya, ternyata ia juga rajin merawat kebun bunga dan tanaman-tanaman tani lainnya. Sontak, perhatian saya langsung tertujuh pada tanaman-tanaman itu. Lalu, pembicaraan kami hanya terfokus pada aktivitasnya, setelah melalui kesibukan mengajar.
Ide menanam dan merawat bunga itu, ternyata awalnya dari istrinya. Mereka lalu memanfaatkan lahan dibelakang rumah yang berukuran kecil sebagai tempat menyimpan bunga dan tanaman. Yang saya lihat seperti Marisa, Nangka, Lemon dan berbagai tanaman lainnya. Yang menarik, semua ditanam di dalam pot bunga, sehingga tanaman itu tidak membesar atau meninggi, namun sudah menghasilkan buah.
Aktivitas seperti ini memang selalu menarik perhatianku. Rasanya menarik, selain mempunyai kesibukan lain, hidup bisa diluangkan dengan aktivitas merawat tanaman untuk bertani kecil-kecilan.
Bagiku, memiliki pasangan yang sama-sama suka merawat tanaman, bisa menjadi sesuatu yang keren. Perempuan yang suka dengan tanaman, biasanya dikenal dengan kelembutan dan rasa kasih sayang. Jika perempuan pandai merawat tanaman maka ia sudah tentu pandai merawat cinta.
Bukankah demikian! Jika tidak percaya, mari kita sama-sama buktikan. Cari perempuan yang suka bertani, merawat bunga dan tanaman berbuah lainnya.
***
Inilah alasan, kepada sosok perempuan seperti apa saya harus menyukai. Tulisan ini, merupakan jawaban dari pertanyaan teman-teman. Kata seorang sahabat, “Ijazah sarjana sudah ada, kapan memiliki surat nikah.” Pertanyaan ini sempat membuatku diam seribu bahasa.
Tapi, aahh....Entahlah. Kita masing-masing punya pandangan yang berbeda, bagaimana menilai perempuan atau sosok perempuan seperti apa yang pas bersama kita.
Bukankah kita menginginkan sebuah bahtera keluarga yang paling bahagia di dunia! Jika ia, maka anda harus menentukannya.

                                                                                   L. Halaidin
                                                                                   Kendari, 3-12-2017

19 November 2017

Untuk Sjahrir, Kita dan Nasion

Buku: Mengenang Sjahrir
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, mungkin engkau akan tertawa sarkasme, mengejek, melihat bagaimana manusia-manusia saat ini dalam bernasion dan bernegara. Manusia-manusia itu, kini tidak lagi memenuhi jalan pikiranmu, membangun nasion yang berkesejahteraan, bahkan mengabaikan pendidikan politik sebagaimana yang engkau ajarkan. Mereka bertindak seperti palu godam, yang bisa merobohkan kekuatan maha dahsyat sekalipun, termasuk kekuasaan rakyat sebagai konstituennya.
Bung Sjahrir. Jalan politik yang ditempuh, bukan lagi seperti yang engkau titahkan pada manusia baru setelah kemerdekaan yakni berpolitik dengan jujur, bersih, berani, kerakyatan, berdemokrasi dan berkeadilan. Banyak manusia-manusia yang kini sudah tua itu, berpolitik dengan cara-cara tidak sehat, kotor, untuk hanya sekadar memburuh nafsu kuasanya dengan menghalalkan segala cara.
Mereka seperti Yudas dalam perkataan, tetapi seperti Qurais dalam perbuatan. Tindakan mereka, mencerminkan tenggelamnya pemahaman akan bernasion dan bernegara, rusaknya moral dan mental para politisi, lalu generasi muda memikul tanggung jawab berat sebagai negara terkorup. Bukankah lebih baik, generasi tua-tua itu, dibuang saja ke keranjang sampah! Mereka sama sekali tak berguna lagi.
Bung Sjahrir pemikir besar. Pemikiranmu dalam kanca perpolitikan tanah air, memang perlu dilanjutkan. Engkau menorehkan suatu perjuangan politik yang ikhlas, berani, bermoral serta berpolitik dengan wawasan. Jika saat itu revolusi dikobarkan melawan penjajah kolonialis atau sebuah negara fasisme, kini diperhadapkan dengan perang melawan pembodohan, nafsu keserakahan terhadap harta benda dan mental-mental politisi dan pejabat korup.
Seperti yang telah engkau titahkan dalam buku kecilmu Perjuangan Kita, bahwa revolusi nasional saat itu hanyalah fase dan sarana untuk kemerdekaan yang paling esensial yakni sebuah revolusi sosial dan  mental. Inilah perjuangan sesungguhnya saat ini yang harus digariskan pada generasi muda. Bahwa kekuasaan hanyalah jabatan dan itu merupakan amanah yang harus diperjuangkan dan diwujudkan untuk kepentingan rakyat semata.
Bung Sjahrir. Seharusnya manusia Indonesia harus berguru pada pemikiran, gagasan dan ide serta kepribadianmu. Engkaulah manusia yang tidak mementingkan kekuasaan pribadi, kelompok, merebut kendali kekuasaan lalu memimpin pucuk pimpinan negara. Engkau hanya menyusuri jalan kerakyatan, memperjuangkan kemerdekaan dan didasarkan pada prinsip demokrasi. Jiwa dan segala pikiranmu engkau berikan kepada nasion, demi sebuah negara yang berdaulat, berkesejahteraan sebagaimana yang engkau fahami dalam ideologi sosialis-demokrat (Sosdem), berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Bung Sjahrir. Dalam kuburanmu engkau akan merenungi, bagaimana mungkin cita-cita yang engkau torehkan untuk nasion dan negaramu, berubah menjadi demikian hancur, terpecah menjadi kepingan-kepingan “kebrutalan politik”. Manusia-manusia saat ini yang berpolitik, baik dari partai yang berideologi Islam, Nasionalis maupun Demokrat, berubah menjadi  srigala liar yang buas, serakah terhadap harta, suka menindas dan memeras, menginjak-injak hak asasi manusia, yang lalu kemudian membelokan perilaku mereka seperti kolonial penjajah. Rakyat yang selalu engkau dambakan itu, kini dijajah kembali oleh hawa nafsu sesama warga negara.
Andai engkau masih hidup, mungkin perlu menulis kembali dengan model baru sebuah buku kecil atau pamflet sebagai alat perbaikan nasion, Perjuangan Kita dan Renungan Indonesia, sesuai dengan situasi atau kondisi saat ini. Cita-cita dan harapan yang engkau pikir dan susun dalam pembuangan itu, Revolusi Sosial dan Mental, bukan dijadikan mercusuar untuk membangun nasion. Pemikiran itu, seakan terserak dalam kubangan, ditutupi oleh lumpur-lumpur yang kotor. Hingga kini, mereka lupa dan tak pernah melanjutkannya kembali.
Pejabat kita saat ini, semakin menunjukan superioritas kekuasaannya, berbuat seenak perutnya sendiri, membuat kebijakan yang mengangkangi kepentingan petani, buruh dan nelayan. Dibatok kepala mereka, hanya menginginkan kekayaan, kekuasaan dan keamanan. Para pejabat kita bukan lagi berpihak pada rakyat kecil, tetapi kepada para pemodal; dari investor perkebunan sampai pertambangan.
Bung Sjahrir. Dari buku yang ditulis kawan-kawanmu aku mengetahui, bahwa engkau tidak mencintai politik. Bagaimana mungkin engkau terlibat dalam lumpur yang kotor itu! Dari lembar per lembar aku membuka, ternyata keterlibatanmu bukan atas dasar nafsu akan kekuasaan, tetapi ditopang atas rasa kewajiban sebagai anak nasion yang sama-sama terjajah. Naluri dan nuranimu bergejolak, lalu engkau memilih melibatkan diri demi sebuah nasion, ingin melihat sebuah negara yang merdeka, masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan kolonialis penjajah.
Buku, Biodata Sosial Sjahrir
Bung Sjahrir. Apakah Bung saat itu berpikir, bahwa manusia-manusia baru akan bekerja dan berpolitik sebagaimana yang engkau perjuangkan yakni atas rasa kewajiban untuk mengangkat kemiskinan dan kebodohan rakyat? Jika itu yang terpikirkan, maka harapan itu melenceng cukup jauh. Negeri kita saat ini sudah sangat membingungkan. Rakyat dibuat tidak mengerti dengan prilaku dan sikap para pejabat itu.
Para politikus yang duduk disenayan hobi membuat onar, gaduh, membuat pernyataan yang sesat, saling mencaci-maki dan suka lapor-melapor. Tak banyak Undang-Undang yang mereka kerjakan selama tiga tahun ini. Diskusi mereka, hanya seputar bagaimana mengamankan sebuah proyek yang ber-fee besar, lalu mendirikan perusahaan fiktif untuk menampung anggaran dan dibagi-bagi sesama mereka dan pengusaha. Pembicaraan tentang bagaimana membangun kemaslahatan umat dikesampingkan, sebagaimana yang dimaknai dalam arti politik.
Para menteri yang duduk di istana lebih parah lagi, membuat kebijakan yang tumpang-tindih (tidak sejalan), yang lalu mengabaikan nasib petani, buruh dan nelayan kecil. Lahan banyak dicaplok pihak perkebunan dan pertambangan karena keberpihakan mereka pada pemodal, rakyat menjerit karena berbagai subsidi dicabut, terutama subsidi listrik.
Pemerintah membangun infrastruktur jalan; jembatan dan tol tapi hanya terfokus dari daerah perkotaan Jawa, Jakarta, Sumatra, sedangkan Indonesia Timur terabaikan. Utang negara meningkat karena pembangunan infrastruktur tersebut, lalu petani, buruh dan nelayan ikut menanggung beban yang bahkan jalan mereka masih berbatuan, berkerikil dan memakai jembatan kayu yang lapuk.
Lalu, ada pertanyaan yang menghinggapi dibenak pemikiran kita. Untuk siapa jalan-jalan-jalan itu dibangun? Apakah petani, buruh dan nelayan bangsa kita melewati jalan-jalan yang mulus dan semegah itu? Pemerintah melayani siapa? Investor ataukah petani!
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, aku seperti melihat kegelisahan dalam dirimu, bagaimana melihat gerak nasion saat ini. Apakah sesuai dengan yang diharapkan saat semasa revolusi? Jika engkau masih hidup, berada dalam ibu pertiwi nusantara, mungkin engkau akan melakukan seperti yang kalian kerjakan bersama Sastra, mengunjungi masyarakat dipelosok desa lalu memenuhi pikiran akan ke kecewaan. Mengapa demikian? Karena nasion kita, yang dipenuhi manusia-manusia baru itu tak banyak yang berubah, masih diselimuti oleh kabut antara melayani rakyat, pihak feodalis dan kapitalis.
Bung Sjahrir. Gerak nasion ini tak pernah luput dari campur tanganmu, pemikiran dan gagasanmu yang dingin. Engkau turut membangun nasion dan negara bersama Soekarno, Hatta, Tan Malaka, M. Natsir, H. Agus Salim berserta sahabat-sahabat, menjadi negara merdeka yang berhak menentukan nasib sendiri. Perjalanan itu engkau lalui cukup panjang, bahkan bisa melewati berbagai rintangan dari penjarah, pembuangan atau menjadi tahanan politik dan ancaman pembunuhan.
Tapi inilah bentuk kecintaanmu terhadap nasion dan segala nasibnya yang sungguh memprihatinkan rakyat banyak. Jabatan sebagai Perdana Menteri bukan engkau jadikan untuk mencari nafkah dan menghimpun kekuatan untuk menguasai pucuk pimpinan negara, tetapi sebagai panggilan perjuangan kemerdekaan dan kerakyatan. Engkau juga pernah turun sebagai Perdana Menteri, setelah partaimu sendiri menolak hasil-hasil politik yang telah dicapai.
Namun, disinilah bagi banyak pihak, bahwa engkau adalah guru bangsa, yang pertama kali memberikan pendidikan politik bagi nasion. Bagi partaimu sendiri, engkau dianggap gagal, yang lalu dengan lapangdada engkau menerima konsekuensi harus turun jabatan. Engkau juga tak pernah menaruh dendam, melihat atau membicarakan sisi-sisi negatif dari lawan-lawanmu. Para politikus kita, manusia-manusia baru saat ini, sudah saatnya berguru dengan pemikiran dan kepribadianmu.
Bung Sjahrir. Kepahitan jalan revolusi sebelum kemerdekaan yang engkau rintangi, ternyata mendapat tantangan besar setelah kemerdekaan. Malah ini lebih tragis dan memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggerak dan pejuang api revolusi, malah menelan anak-anaknya sendiri. Soekarno melakukan suatu tindakan fatal, memerintahkan penangkapan terhadapmu, atas fitnah, tuduhan yang tidak terbukti, yang lalu membawa pada kematianmu.
Engkau jatuh sakit ditempat tahanan, lalu dibawah berobat di Zurich, Swiss dan meninggal disana. Apakah generasi muda saat ini akan melupakan sejarah ini? Tidak. Kami akan selalu mengenang jasa-jasamu, pemikiranmu untuk nasion ini. Kepahitan jalan yang engkau lalui, biarlah menjadi pupuk generasi muda, bahwa negara ini tidak dilahirkan dengan segala kemudahan, tetapi lahir karena banyak kesulitan dan kesusahan.
Kumpulan karanganmu dalam buku Pikiran dan Perjuangan, Renungan Indonesia dan Peruanagan Kita, perlu dihidupkan kembali, sebagai landasan generasi muda untuk memajukan demokrasi dan kerakyatan. Terutama anak generasi muda perlu menggemahkan kembali Revolusi Sosial dan Mental. Ini penting, karena karangan itu dasar pemikirannya mengenai persamaan, keadilan, kemakmuran yang adil dan merata untuk rakyat, menghindari prilaku yang suka menindas serta meniadakan nafsu, baik terhadap harta kekayaan, kekuasaan dan kenyamanan.
Bung Sjahrir. Engkaulah manusia yang utuh, manusia yang berpikir besar, maka segala yang mengenai cita-cita perjuanganmu perlu kami teruskan kembali. Biarkan semua menjadi wadah dan kompas untuk mengarahkan kemana sebuah kapal besar ini berlayar. Bung, tenanglah disana, bersama Bapak Nasion yang lain.
Sjahrir adalah kita. Sjahrir untuk kita dan nasion.

                                                                                 Kendari, 20 November 2017
                                                                                 Laode Halaidin

10 November 2017

Cerita Dibalik Riset: Kena Sweeping, Sama Polwan Cantik

Sumber gambar: media.iyaa.com

Begini. Ketakutan terbesar dalam hidupku itu, bukan persoalan masuk neraka, karena siksaannya begitu sadis, apalagi melihat pocong atau hantu disiang hari. Tetapi sebagai orang lapangan, yang pekerjaannya keliling, putar-putar kota, mencari pihak-pihak yang ingin diwawancarai, ketakutan saya muncul saat hendak memikirkan sweeping, lalu ditilang polisi. Ini sangat mengerikan, sambil mengutuki para polisi, karena kendaraan atau STNK akan ditahan atau disita oleh polisi.
“Sial. Hari ini saya akan berhadapan lagi dengan polisi. Saya akan ditilang.”
Pilihannya; lari dari masalah atau berhadapan langsung, mempertanggung jawabkan diri yang tak punya SIM.
Kejadiannya kemarin sekitar pukul tiga sore, saat hendak pulang dari riset. Sudah beberapa hari saya menunda riset karena adanya operasi zebra. Kendaraan roda duaku yang butut pinjaman, mempunyai STNK, mati pajak dan saya tak mempunyai SIM.
Saya memulai riset nanti hari Selasa tanggal 7, empat hari yang lalu. Selama dua hari, saya aman dan tidak bertemu dengan operasi zebra kepolisian. Selama dua hari itu, riset kukerjakan dengan maraton agar cepat selesai. Ehh.....malah tidak selesai dan saya harus melanjutkan pada hari esoknya, tanggal 9 November.
Ditanggal 9 itu, pagi-pagi saya bertemu seorang cewek lalu meminta antar di daerah Konda, Konawe Selatan. Kamar temannya terkunci dan bingung akan hendak kemana. Lalu dengan respon cepat, saya langsung tancap motor menuju tempat yang akan ditujuhnya.
“Maklum, ini kesempatan untuk memikat cewek seksi dan harum. Sudah lama saya tak mendekati lagi perempuan-perempuan yang bekerja pada saat malam, yang berbibir merah itu.” Hehehe....
Tapi, jangan berpikiran negatif dulu. Bukan itu yang menjadi targetku. Saya hanya hendak memburu informasi, terkait dengan liku-liku kehidupannya. Ini tentu akan menamba wawasan dan inspirasi tentang kehidupan, betapa banyak orang-orang yang menggantungkan hidupnya, yang menurut orang lain itu pekerjaan kotor tapi baginya itulah cara mempertahankan kehidupannya.
***
Setelah menyelesaikan riset, kelaparan ternyata memburu dan lambungku tak sabar meminta makanan. Saya mendengarkan suaranya, yang sudah begitu murka lantaran kekosongan makanan dari pagi hingga menjelang sore. Lalu, saya memeriksa kantung.
“Sial. Uang tinggal 9 ribu rupiah. Makanan apa yang hendak kubeli? Teringat dengan ATM, tapi apa boleh buat sudah lama tak punya saldo, kering”
Disaat seperti itu, seorang teman menelpon untuk mentraktir saya makan. Persoalan ditraktir, jangan bilang, dengan cepat saya akan meluncur. Ini rezeki, ada tangan-tangan tuhan yang tidak kentara, yang ikut membantu disaat kita kesusahan. Jika saya punya sayap, saya akan terbang saja, lalu hinggap dimeja makan dan melahapnya. Ahh....kaya cicak dengan nyamuk saja.
Tidak jauh dari perjalanan, ada operasi zebra yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Saya melihat beberapa antrian kendaraan yang diperiksa oleh dua orang Polwan cantik dan beberapa teman polisinya. Kemudian dengan orang-orang yang ditilang itu, kami memberhentikan kendaraan.
“Silahkan parkir disini motornya Pak” kata Polwan cantik itu.
“Baik Bu” kataku, seperti seorang murid yang sedang mematuhi perintah Ibu gurunya untuk mengerjakan soal Matematika yang sulit itu dipapan tulis.
Segera saya memakirkan motor, lalu membuka helem. Ia sejenak menatapku agak lama.
“Kamu.......”, kata Polwan itu. Nadanya agak panjang, seolah sebelumnya ia telah mengenalku. Atau mungkin ia ingin mengatakan mirip dengan mantannya. Atau juga, dia terlena dengan ketampananku.
Yang terjadi mengejutkan, Polwan itu pergi, bukan memeriksa surat-surat kendaraanku, malah pergi memeriksa kendaraan roda dua lain, yang mengantri dibelakangku untuk diperiksa. Setelah selesai memeriksa kendaraan yang lain, Polwan itu kemudian datang lagi.
Kali ini bukan dia yang mengajukan pertanyaan, tapi saya sendiri.
“Mengapa saya tidak diperiksa. Tolong diproses secepatnya, saya buru-buru ingin menyetor hasil risetku dikampus” kataku dengan tegas tapi dengan cara halus.
Saya memang ingin menyetorkan hasil risetku ditanggal 9 itu, agar anggarannya cepat cair. Sudah mau dua bulan dana itu tidak keluar, hingga membuat kantong kering dan tak bisa membeli buku bacaan baru.
Polwan itu terdiam, ia tersenyum lalu mengatakan.
“Yang ada apa” kata Polwan itu. Ia hendak menanyakan yang ada surat-surat kendaraanku.
“Saya hanya punya STNK tanpa ada SIM” kataku.
Polwan yang satunya kemudian datang menghampiri. Kini yang saya hadapi dua Polwan cantik yang begitu anggun, langsing dan harum. Pikirku, jika berhadapan Polwan secantik ini, saya mau bekali-kali untuk ditilang. Saya bisa saja memutar pembicaraan bukan persoalan surat-surat kendaraan, tetapi tentang bagaimana merawat kehidupan dengan cinta agar terus mekar. Saya juga bisa membicarakan tentang dirinya dan dunia yang luas.
Berlagak seperti wartawan untuk menginterview, bertanya sambil bercerita. Bukankah perempuan cantik selalu tertarik jika membahas tentang cinta dan kehidupan!
Saya tidak melihat mereka sedang berunding. Dengan tenang, saya hendak membuka tas, mengambil STNK motor. Belum sempat saya keluarkan, Polwan dengan nama Bripka D, langsung mengatakan.
“Ia, kamu jalan saja. Silahkan melanjutkan perjalananya” kata Polwan itu.
Saya kemudian mencoba mengkonfirmasi ulang.
“Saya dibiarkan jalan” kataku terheran-heran.
Polwan itu kemudian menyahut dan menyilahkan untuk saya pergi.
“Iya, hati-hati” kata Polwan itu.
Sebelum saya membunyikan mesin motorku, Polwan itu datang lagi, sambil mengatakan sesuatu yang lain lagi.
“Tadi itu gara-gara kamu, sehingga ada orang yang melanggar meloloskan diri”
“gara-gara saya. Maksudnya?” Saya bertanya dengan terheran-heran. Apa hubungannya denganku dengan orang yang melarikan diri itu. Saya benar-benar dibuat tidak mengerti.
Saat saya meminta penjelasan, Polwan cantik itu malah memilih pergi memeriksa kendaraan lain. Saya melihat ia pergi dengan tersenyum lalu menghampiri teman-teman polisi lainnya.
Pikirku, mungkin dia ingin bermain-main denganku. Saat saya meninggalkan tempat yang keramat itu, dipikiranku selalu melintas, mengapa Polwan cantik itu tidak langsung memeriksa surat-surat kendaraanku! Ia juga, seperti menyapa, bukan bertanya, mana SIM dan STNK-mu, tapi kamu...ia seperti menyapa orang yang dikenalnya.
Pikirku, apakah saya mirip mantannya atau apakah dia terlena dengan ketampananku! Hehehe....
Didalam benak, saya masih bertanya-tanya. Siapakah Polwan itu? Apa yang membuatnya begitu halus lalu menyilakan saya untuk pergi. Apakah ia mendengar perut saya kelaparan atau melihat kantong saya yang kering!
Ahhh.....saya tak tau. Rasa-rasanya, saya ingin ditilang seribu kali lagi. Tapi bukan Polwan lain, tapi atas nama Polwan Bripka D.
Apa kalian juga mau disweeping sama Polwan cantik!

                                                                               L. Halaidin
                                                                               Kendari, 10 November 2017

24 Oktober 2017

DPR dan Kompleks Fourier

Sumber gambar: wartanasional.com

BERITA terkait DPR membentuk pansus hak angket yang dialamatkan pada lembaga anti-rasuah KPK beberapa bulan lalu, berhembus dengan kencang dilini
sosial media. Serangan yang bertubi-tubi, baik yang dihadapi oleh KPK maupun DPR, mengambarkan banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap pansus tersebut. Saling serang, mencaci dan menghujat, seolah tak pernah terhenti―sangat menguras tenaga dan semangat anak bangsa. Setelah selesai Pilpres, dilanjutkan dengan Pilkada DKI, lalu kini pansus hak angket. Selanjutnya, entah apa lagi.
Sejak pengetukan palu di DPR dalam sidang paripurna, banyak pihak yang menilai, pembentukan pansus hak angket KPK sangat bermasalah. KPK dinilai bukan lembaga eksekutif, sehingga pengguliran hak angket dianggap salah alamat. Bahkan baru-baru ini, komentar Mahfud MD, bisa membuat kuping panas anggota pansus DPR. “Karena ini politik kita harus memahaminya secara politik. Bagi saya ia biarin saja diperpanjang, besok diperpanjang lagi. Toh nanti produknya juga bisa disikapi secara politik bahwa itu tidak ada gunanya, itu sampah saja” kata Prof. Mahfud MD saat menilai perpanjangan pansus hak angket KPK (Kompas.com).
Namun DPR tetap bergeming dan mengklaim punya kewenangan untuk membentuk pansus hak angket kepada KPK. Undang-undang menurut anggota pansus hak angket, telah memberi mereka kewenangan sesuai dengan UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Tetapi bagi Mahfud MD, langka yang diambil oleh anggota pansus DPR dalam mengangket KPK telah menabrak hukum yang ada alias cacat hukum.
Menurut Mahfud MD, ada tiga alasan mengapa pansus hak angket dianggap cacat hukum. Pertama, subjek pansus seharusnya pemerintah, bukan lembaga KPK. Kedua, objek yang keliru, karena pansus dibentuk atas dasar pengakuan Miryam S Haryani. Ketiga, prosedurnya diduga salah karena tidak ada persetujuan dari semua fraksi. Lain halnya dengan pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra. Yusril menilai, langka DPR membentuk hak angket kepada KPK sudah tepat. “DPR dapat melakukan hak angket terhadap KPK karena KPK dibentuk dengan Undang-undang” kata Yusril (Katadata.co.id).
Pengguliran pansus hak angket terhadap KPK berawal saat Miryam S Haryani dalam proses penyidikan menyebut beberapa anggota DPR yang ikut menikmati bagi-bagi duit megaproyek E-KTP senilai 5,9 triliun. Kerugian negara ditaksir 2,3 triliun yang diduga ikut dinikmati beberapa anggota DPR. Seolah mereka tak terima nama-nama mereka disebut, lalu sebagian anggota DPR dianggap melakukan perlawanan dengan mengangket KPK. Mereka mencoba mengintervensi agar KPK membuka rekaman pemeriksaan politikus partai Hanura, Miryam S Haryani. Namun, sebagai lembaga Non-pemerintah yang independen, KPK tetap menolak karena itu masuk ranah pro justitia.
Kita masyarakat, dibuat bertanya-tanya, apakah pansus hak angket yang ditujuhkan pada KPK bukanlah bentuk pelemahan? Bagi banyak pihak, pansus hak angket dinilai bagian dari pelemahan lembaga anti-rasuah, KPK. Suara para anggota DPR yang menentang KPK selalu bergemuruh, “bubarkan saja KPK” kata mereka.
Kelakuan para anggota DPR yang terhormat itu terlihat jelas saat sebagian anggotanya, ramai-ramai menyerang KPK lewat hak angket, yang dianggap membela teman-teman sejawat, “teman bela teman” sesama anggota DPR. Itu juga terlihat saat anggota pansus hak angket mengunjungi lapas Sukamiskin, meminta informasi kepada para koruptor terkait dengan langka KPK selama ini. DPR dinilai, sengaja melakukan itu untuk mencari-cari kesalahan yang dilakukan KPK.
Apa yang dilakukan sebagian anggota DPR dalam mengangket KPK bertentangan dengan yang diharapkan publik. Masyarakat jelas-jelas dengan tegas menolak hak angket tersebut, karena dianggap melemahkan bukan menguatkan. DPR sebagai wakil rakyat, seharusnya bekerja sesuai tugas dan wewenangnya; menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat bukan sebaliknya. Selain itu, DPR juga harus menguatkan lembaga KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Namun, apakah mungkin dilakukan, mengingat banyak anggota DPR selama ini menjadi pasien KPK! Kepercayaan publik sudah tercoreng pada anggota DPR, karena banyak para politikus disenayan yang tertangkap korupsi. Hasil survey yang dirilis Global Corruption Barometer (GCB) 2017 yang diterbitkan Transparency International Indonesia (TII), menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Ada sekitar 54 persen menilai, lembaga DPR yang mewakili rakyat disenayan dianggap sebagai lembaga terkorup dimata publik.
Polemik pansus hak angket yang digulirkan DPR kepada KPK sangat menguras tenaga dan pikiran anak bangsa untuk saling menghujat, yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kehidupan rakyat. Belum selesai pansus, polemik baru muncul lagi―terkait dengan pembentukan densus tipikor yang  dianggap terburu-buru. Untuk apa dibentuk densus tipikor, selama kinerja KPK dalam memberantas korupsi masih dipercaya publik. Apakah ini bukan bentuk pembunuhan baru, kepada lembaga anti-rasuah tersebut!
Pembentukan densus tipikor diwacanakan saat “ribut-ribut” DPR dengan KPK, terkait dengan pansus hak angket. Sebagian anggota DPR Komisi III mempertanyakan peran Polri dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, KPK selama ini dinilai anggota pansus hak angket sebagai lembaga yang banyak melakukan pelanggaran dalam proses penyidikan, penyalahgunaan wewenang, hingga praktik korupsi. Dari hal itu, beberapa anggota DPR terlihat ngotot agar densus tipikor segera dibentuk. Mereka seperti ingin menyingkirkan peran KPK secara pelan-pelan dalam membasmi koruptor.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menduga, pembentukan densus tipikor hanyalah bagian dari skenario DPR untuk melemahkan KPK, lalu pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk membubarkan KPK (Kompas.com). Ludwig Von Mises pernah menulis dalam bukunya, Liberalism: In the Classical Tradition; katanya, biasanya kalau orang-orang Perancis biasa berbicara tentang “membunuh dengan ejekan.”
Memang kelihatannya, kita sedang menyaksikan sebuah parodi pertunjukan, bagaimana agar KPK itu dibunuh, ‘dibubarkan dengan cara halus’. Mereka terlihat gagap, seolah tak terima, lalu dilingkupi oleh rasa kecemasan, karena KPK telah banyak melakukan OTT pada para pejabat di negeri ini. Para anggota DPR itu terlihat frustasi, bahkan dengan mulut berbusa mengatakan, KPK telah gagal memberantas korupsi karena masifnya penangkapan koruptor. Apakah itu bisa dikatakan gagal? Atau para DPR yang terhormat itu yang gagal paham!
Kompleks Fourier
Apa itu kompleks Fourier?
Kompleks Fourier pertama kali diperkenalkan oleh Ludwig Von Mises, pemikir liberalisme dalam bukunya berjudul Liberalism: In the Classical Tradition. Fourier diambil dari nama seorang pemikir sosialis Perancis bernama Francois Marie Charles Fourier.
Charle Fourier (1772-1837) merupakan filsuf Perancis dan pemikir sosialis yang berpengaruh dan dikenal paling utopis. Wikipedia mencatat, sebagian pandangan sosial dan moralnya, dianggap radikal pada masanya dan menjadi arus utama pemikiran dalam masyarakat modern. Ia dikenal sebagai pemikir sosialisme utopis―dimana semua pandangan dan pemikirannya bersifat angan-angan dan terlalu naif. Idealisme pemikiran sosialisme utopianya dianggap terlalu tinggi, dan secara teoritis-praktis tidak bisa direalisasikan atau bisa tapi selalu layu sebelum berkembang.
Fourier adalah orang yang paling getol menolak semua tentang revolusi industri. Ia mencoba membuat berbagai pendapat fantastis tentang dunia yang ideal diimpikan selama hidupnya. Dalam pemikirannya, ia mencoba menganjurkan agar berdirinya unit-unit produksi “falansteires” yang mengedepankan semangat kebersamaan baik kepemilikan kapital, mengupayakan kebutuhan sendiri dan kepemilikan alat-alat produksi secara bersama-sama. Namun, bagi pemikir liberalisme pandangan-pandangan itu hanya menghayalkan bentuk suatu komunitas ideal―sebuah pandangan yang berada dalam angan-angan yang sulit untuk diwujudkan.
Dalam konteks Ludwig, pandangan-pandangan pemikiran yang dibangun oleh para pemikir sosialisme didasari atas oposisi terhadap liberalisme. Bagi Ludwig, oposisi yang dibangun itu tidak lahir dari nalar, tetapi dari sikap mental patologis―dari kebencian dan kondisi neurasthenia. Neurasthenia adalah istilah psiko-patologis yang digunakan George Miller 1869, yang mengambarkan kondisi yang ditandai oleh kelelahan, kecemasan, sakit kepala, neuralgia (sakit saraf dan depresi) sebagai bagian dari kompleks Fourier.
DPR Yang Neurotik
Kegencaran sebagian anggota DPR menggulirkan pansus hak angket pada KPK terlihat sebagai upaya pelemahan bukan penguatan. Pansus tersebut sebagai bentuk upaya perlawanan, setelah Miryam S Haryani menyebut nama-nama mereka. Ada ketakutan dan kecemasan yang dialami anggota DPR. Wacana penguatan yang mereka lontarkan sering tidak masuk akal atau berkelainan dengan apa yang mereka lakukan. Yang terlihat justru ketidaksukaan terhadap lembaga KPK, lalu membangun oposisi dengan mendesak Polri untuk membentuk densus anti-korupsi.
Opini yang dibangun oleh DPR untuk menguatkan lembaga KPK selama ini hanyalah, meminjam Ludwig, sebuah perlindungan dibawah “kebohongan yang menyelamatkan.” Pandangan mereka terlihat tidak lahir dari nalar tapi lebih kepada adanya sikap mental patologis dan kebencian terhadap peran lembaga KPK. Kadang yang mereka tawarkan tidak rasional dan relaistis. Mereka seperti terlihat sedang dilanda kecemasan, ketakutan, terserang neurotik (sakit saraf dan depresi) alias terkena kompleks Fourier.
Ludwig menggambarkan dengan jelas bagaimana perilaku kehidupan seseorang yang terserang neurotik. Ludwig menulis, para penderita neurotik tidak dapat menghadapi kenyataan hidup, yang terlalu liar, kasar dan dangkal. Berbeda dengan orang sehat, orang yang terserang neurotik, tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan hidup terlepas dari apa pun agar hidup mereka menjadi tertahankan. Mereka selalu berlindung di balik delusi, dimana menurut Freud; delusi merupakan sesuatu kehidupan yang didambakan, semacam hiburan yang memiliki ciri-ciri penolakan terhadap serangan logika dan realitas.
Tidak jauh berbeda, apa yang di alami sebagian anggota DPR dengan apa yang digambarkan oleh Ludwig. Disaat lembaga KPK dengan masif menangkap para penculik uang negara, DPR seolah tidak menerima kenyataan itu, yang lalu diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa langkah KPK dapat menganggu kehidupan mereka. Mereka selalu berlindung dibalik delusi, apa yang dilakukan KPK adalah ancaman dan serangan. Yang mereka inginkan selama ini, sebuah kehidupan di negeri Cockaigne; negeri dongeng pada abad pertengahan, tempat yang penuh dengan segala macam kemewahan, dimana kenyamanan dan kesenangan selalu tersedia.
Dalam kehidupan para penderita neurotik yang berlindung dibawah“kebohongan yang menyelamatkan” itu tidak pernah melihat atau mengintropeksi diri tentang kegagalannya, apa yang telah mereka kerjakan, tetapi mendakwai seseorang tentang keberhasilan atau menawarkan kesuksesan dimasa depan. Dalam kasus DPR, mereka tak pernah melihat, bagaimana pekerjaan mereka selama ini; sudah berapa Undang-undang yang mereka buat, bagaimana pengawasan mereka, apakah janji mereka sudah dipenuhi pada masa kampanye atau tidak.
Yang terlihat menyerang lembaga lain, memberikan keyakinan tentang perbaikan KPK dimasa depan. Dan bagi DPR, penangkapan masif para koruptor yang dilakukan KPK bukan keberhasilan, tetapi bentuk dari kegagalan dari pemberantasan korupsi. Bagi orang-orang yang terhormat itu, seharusnya yang terjadi, para maling uang negara lebih sedikit, bukan malah tambah banyak. 
Hal ini tentu bertentangan dengan logika, sama sekali tidak rasional dan realistis. Apakah KPK yang perlu disalahkan atau seharusnya sistem pemilu kita yang perlu dibenahi! Mengapa bukan partai yang harus mendapat perbaikan, karena selama ini kader-kadernya banyak yang korup. Mengapa bukan moral mereka yang harus didakwahi, karena apa yang mereka perbuat merugikan para petani, buruh dan para nelayan! Mereka miskin bukan karena malas, tetapi akibat perbuatan korup para pejabat negara.
Sangat sulit memang, untuk mengobati orang-orang yang terserang neurotik. Berbeda halnya dengan orang-orang yang terserang oleh rasa tidak suka dengan lembaga KPK, tentu ini bisa diatasi dengan argumen rasional. Tidak sulit untuk menjelaskan pada orang yang terserang rasa kebencian, bahwa yang mereka lakukan seharusnya bukan menyerang atau memperburuk lembaga lain, tetapi memperbaiki lembaga diri sendiri. Sementara untuk mengobati penyakit neurotik, harus lahir dari kesadaran lembaga, bukan mencari kambing hitam, tetapi harus memahami hukum dan dasar kerjasama yang ada.
Dan pada akhirnya memang, semua akibat ulah manusia yang selalu terobsesi dengan kuasa. Kekuasaan DPR untuk melakukan pansus hak angket, tidak bisa di intervensi meskipun itu harus menabrak hukum. Itu kuasa mereka. Itu wewenang mereka.
Tapi, dengan kekuasaan yang tak terkontrol itu, justru akan mengarah pada kejahatan yang masif─yang akan menimbulkan kesengsaraan bagi banyak pihak. Mengutip Jacob Burckhard “ bahwa kekuasaan adalah kejahatan itu sendiri, tidak penting siapa yang menggunakannya.” Demokrasi yang dipercaya memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan dengan mudah akan terdorong ke arah ekes berlebihan. Inilah yang dikhawatirkan.
Kedepan, kita akan melihat, bagaimana jika densus tipikor akan terbentuk. Apakah ini akan terjadi pergesekan dalam hal pemberantasan korupsi, yang lalu akan melemahkan peran KPK bahkan membubarkannya? Entahlah. Semoga lembaga lain tidak terserang penyakit aneh, yang lalu menyerang dan membunuh KPK dengan cara pelan-pelan.

                                                                                Laode Halaidin
                                                                                Kendari, 14 Oktober 2017