19 November 2017

Untuk Sjahrir, Kita dan Nasion

Buku: Mengenang Sjahrir
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, mungkin engkau akan tertawa sarkasme, mengejek, melihat bagaimana manusia-manusia saat ini dalam bernasion dan bernegara. Manusia-manusia itu, kini tidak lagi memenuhi jalan pikiranmu, membangun nasion yang berkesejahteraan, bahkan mengabaikan pendidikan politik sebagaimana yang engkau ajarkan. Mereka bertindak seperti palu godam, yang bisa merobohkan kekuatan maha dahsyat sekalipun, termasuk kekuasaan rakyat sebagai konstituennya.
Bung Sjahrir. Jalan politik yang ditempuh, bukan lagi seperti yang engkau titahkan pada manusia baru setelah kemerdekaan yakni berpolitik dengan jujur, bersih, berani, kerakyatan, berdemokrasi dan berkeadilan. Banyak manusia-manusia yang kini sudah tua itu, berpolitik dengan cara-cara tidak sehat, kotor, untuk hanya sekadar memburuh nafsu kuasanya dengan menghalalkan segala cara.
Mereka seperti Yudas dalam perkataan, tetapi seperti Qurais dalam perbuatan. Tindakan mereka, mencerminkan tenggelamnya pemahaman akan bernasion dan bernegara, rusaknya moral dan mental para politisi, lalu generasi muda memikul tanggung jawab berat sebagai negara terkorup. Bukankah lebih baik, generasi tua-tua itu, dibuang saja ke keranjang sampah! Mereka sama sekali tak berguna lagi.
Bung Sjahrir pemikir besar. Pemikiranmu dalam kanca perpolitikan tanah air, memang perlu dilanjutkan. Engkau menorehkan suatu perjuangan politik yang ikhlas, berani, bermoral serta berpolitik dengan wawasan. Jika saat itu revolusi dikobarkan melawan penjajah kolonialis atau sebuah negara fasisme, kini diperhadapkan dengan perang melawan pembodohan, nafsu keserakahan terhadap harta benda dan mental-mental politisi dan pejabat korup.
Seperti yang telah engkau titahkan dalam buku kecilmu Perjuangan Kita, bahwa revolusi nasional saat itu hanyalah fase dan sarana untuk kemerdekaan yang paling esensial yakni sebuah revolusi sosial dan  mental. Inilah perjuangan sesungguhnya saat ini yang harus digariskan pada generasi muda. Bahwa kekuasaan hanyalah jabatan dan itu merupakan amanah yang harus diperjuangkan dan diwujudkan untuk kepentingan rakyat semata.
Bung Sjahrir. Seharusnya manusia Indonesia harus berguru pada pemikiran, gagasan dan ide serta kepribadianmu. Engkaulah manusia yang tidak mementingkan kekuasaan pribadi, kelompok, merebut kendali kekuasaan lalu memimpin pucuk pimpinan negara. Engkau hanya menyusuri jalan kerakyatan, memperjuangkan kemerdekaan dan didasarkan pada prinsip demokrasi. Jiwa dan segala pikiranmu engkau berikan kepada nasion, demi sebuah negara yang berdaulat, berkesejahteraan sebagaimana yang engkau fahami dalam ideologi sosialis-demokrat (Sosdem), berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Bung Sjahrir. Dalam kuburanmu engkau akan merenungi, bagaimana mungkin cita-cita yang engkau torehkan untuk nasion dan negaramu, berubah menjadi demikian hancur, terpecah menjadi kepingan-kepingan “kebrutalan politik”. Manusia-manusia saat ini yang berpolitik, baik dari partai yang berideologi Islam, Nasionalis maupun Demokrat, berubah menjadi  srigala liar yang buas, serakah terhadap harta, suka menindas dan memeras, menginjak-injak hak asasi manusia, yang lalu kemudian membelokan perilaku mereka seperti kolonial penjajah. Rakyat yang selalu engkau dambakan itu, kini dijajah kembali oleh hawa nafsu sesama warga negara.
Andai engkau masih hidup, mungkin perlu menulis kembali dengan model baru sebuah buku kecil atau pamflet sebagai alat perbaikan nasion, Perjuangan Kita dan Renungan Indonesia, sesuai dengan situasi atau kondisi saat ini. Cita-cita dan harapan yang engkau pikir dan susun dalam pembuangan itu, Revolusi Sosial dan Mental, bukan dijadikan mercusuar untuk membangun nasion. Pemikiran itu, seakan terserak dalam kubangan, ditutupi oleh lumpur-lumpur yang kotor. Hingga kini, mereka lupa dan tak pernah melanjutkannya kembali.
Pejabat kita saat ini, semakin menunjukan superioritas kekuasaannya, berbuat seenak perutnya sendiri, membuat kebijakan yang mengangkangi kepentingan petani, buruh dan nelayan. Dibatok kepala mereka, hanya menginginkan kekayaan, kekuasaan dan keamanan. Para pejabat kita bukan lagi berpihak pada rakyat kecil, tetapi kepada para pemodal; dari investor perkebunan sampai pertambangan.
Bung Sjahrir. Dari buku yang ditulis kawan-kawanmu aku mengetahui, bahwa engkau tidak mencintai politik. Bagaimana mungkin engkau terlibat dalam lumpur yang kotor itu! Dari lembar per lembar aku membuka, ternyata keterlibatanmu bukan atas dasar nafsu akan kekuasaan, tetapi ditopang atas rasa kewajiban sebagai anak nasion yang sama-sama terjajah. Naluri dan nuranimu bergejolak, lalu engkau memilih melibatkan diri demi sebuah nasion, ingin melihat sebuah negara yang merdeka, masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan kolonialis penjajah.
Buku, Biodata Sosial Sjahrir
Bung Sjahrir. Apakah Bung saat itu berpikir, bahwa manusia-manusia baru akan bekerja dan berpolitik sebagaimana yang engkau perjuangkan yakni atas rasa kewajiban untuk mengangkat kemiskinan dan kebodohan rakyat? Jika itu yang terpikirkan, maka harapan itu melenceng cukup jauh. Negeri kita saat ini sudah sangat membingungkan. Rakyat dibuat tidak mengerti dengan prilaku dan sikap para pejabat itu.
Para politikus yang duduk disenayan hobi membuat onar, gaduh, membuat pernyataan yang sesat, saling mencaci-maki dan suka lapor-melapor. Tak banyak Undang-Undang yang mereka kerjakan selama tiga tahun ini. Diskusi mereka, hanya seputar bagaimana mengamankan sebuah proyek yang ber-fee besar, lalu mendirikan perusahaan fiktif untuk menampung anggaran dan dibagi-bagi sesama mereka dan pengusaha. Pembicaraan tentang bagaimana membangun kemaslahatan umat dikesampingkan, sebagaimana yang dimaknai dalam arti politik.
Para menteri yang duduk di istana lebih parah lagi, membuat kebijakan yang tumpang-tindih (tidak sejalan), yang lalu mengabaikan nasib petani, buruh dan nelayan kecil. Lahan banyak dicaplok pihak perkebunan dan pertambangan karena keberpihakan mereka pada pemodal, rakyat menjerit karena berbagai subsidi dicabut, terutama subsidi listrik.
Pemerintah membangun infrastruktur jalan; jembatan dan tol tapi hanya terfokus dari daerah perkotaan Jawa, Jakarta, Sumatra, sedangkan Indonesia Timur terabaikan. Utang negara meningkat karena pembangunan infrastruktur tersebut, lalu petani, buruh dan nelayan ikut menanggung beban yang bahkan jalan mereka masih berbatuan, berkerikil dan memakai jembatan kayu yang lapuk.
Lalu, ada pertanyaan yang menghinggapi dibenak pemikiran kita. Untuk siapa jalan-jalan-jalan itu dibangun? Apakah petani, buruh dan nelayan bangsa kita melewati jalan-jalan yang mulus dan semegah itu? Pemerintah melayani siapa? Investor ataukah petani!
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, aku seperti melihat kegelisahan dalam dirimu, bagaimana melihat gerak nasion saat ini. Apakah sesuai dengan yang diharapkan saat semasa revolusi? Jika engkau masih hidup, berada dalam ibu pertiwi nusantara, mungkin engkau akan melakukan seperti yang kalian kerjakan bersama Sastra, mengunjungi masyarakat dipelosok desa lalu memenuhi pikiran akan ke kecewaan. Mengapa demikian? Karena nasion kita, yang dipenuhi manusia-manusia baru itu tak banyak yang berubah, masih diselimuti oleh kabut antara melayani rakyat, pihak feodalis dan kapitalis.
Bung Sjahrir. Gerak nasion ini tak pernah luput dari campur tanganmu, pemikiran dan gagasanmu yang dingin. Engkau turut membangun nasion dan negara bersama Soekarno, Hatta, Tan Malaka, M. Natsir, H. Agus Salim berserta sahabat-sahabat, menjadi negara merdeka yang berhak menentukan nasib sendiri. Perjalanan itu engkau lalui cukup panjang, bahkan bisa melewati berbagai rintangan dari penjarah, pembuangan atau menjadi tahanan politik dan ancaman pembunuhan.
Tapi inilah bentuk kecintaanmu terhadap nasion dan segala nasibnya yang sungguh memprihatinkan rakyat banyak. Jabatan sebagai Perdana Menteri bukan engkau jadikan untuk mencari nafkah dan menghimpun kekuatan untuk menguasai pucuk pimpinan negara, tetapi sebagai panggilan perjuangan kemerdekaan dan kerakyatan. Engkau juga pernah turun sebagai Perdana Menteri, setelah partaimu sendiri menolak hasil-hasil politik yang telah dicapai.
Namun, disinilah bagi banyak pihak, bahwa engkau adalah guru bangsa, yang pertama kali memberikan pendidikan politik bagi nasion. Bagi partaimu sendiri, engkau dianggap gagal, yang lalu dengan lapangdada engkau menerima konsekuensi harus turun jabatan. Engkau juga tak pernah menaruh dendam, melihat atau membicarakan sisi-sisi negatif dari lawan-lawanmu. Para politikus kita, manusia-manusia baru saat ini, sudah saatnya berguru dengan pemikiran dan kepribadianmu.
Bung Sjahrir. Kepahitan jalan revolusi sebelum kemerdekaan yang engkau rintangi, ternyata mendapat tantangan besar setelah kemerdekaan. Malah ini lebih tragis dan memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggerak dan pejuang api revolusi, malah menelan anak-anaknya sendiri. Soekarno melakukan suatu tindakan fatal, memerintahkan penangkapan terhadapmu, atas fitnah, tuduhan yang tidak terbukti, yang lalu membawa pada kematianmu.
Engkau jatuh sakit ditempat tahanan, lalu dibawah berobat di Zurich, Swiss dan meninggal disana. Apakah generasi muda saat ini akan melupakan sejarah ini? Tidak. Kami akan selalu mengenang jasa-jasamu, pemikiranmu untuk nasion ini. Kepahitan jalan yang engkau lalui, biarlah menjadi pupuk generasi muda, bahwa negara ini tidak dilahirkan dengan segala kemudahan, tetapi lahir karena banyak kesulitan dan kesusahan.
Kumpulan karanganmu dalam buku Pikiran dan Perjuangan, Renungan Indonesia dan Peruanagan Kita, perlu dihidupkan kembali, sebagai landasan generasi muda untuk memajukan demokrasi dan kerakyatan. Terutama anak generasi muda perlu menggemahkan kembali Revolusi Sosial dan Mental. Ini penting, karena karangan itu dasar pemikirannya mengenai persamaan, keadilan, kemakmuran yang adil dan merata untuk rakyat, menghindari prilaku yang suka menindas serta meniadakan nafsu, baik terhadap harta kekayaan, kekuasaan dan kenyamanan.
Bung Sjahrir. Engkaulah manusia yang utuh, manusia yang berpikir besar, maka segala yang mengenai cita-cita perjuanganmu perlu kami teruskan kembali. Biarkan semua menjadi wadah dan kompas untuk mengarahkan kemana sebuah kapal besar ini berlayar. Bung, tenanglah disana, bersama Bapak Nasion yang lain.
Sjahrir adalah kita. Sjahrir untuk kita dan nasion.

                                                                                 Kendari, 20 November 2017
                                                                                 Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar