Ilustrasi dari: cerpen.co.id |
Hari itu matahari bersinar sangat ganas, membuat kulit lebam para pekerja buruh, pemulung dan tukang becak. Sementara langit siang terus menunjukan keperkasaannya. Awan putih menari-nari, membuat matahari menyapu kota dagang.
Jalanan
kota yang biasanya terlihat ramai, kini sepi, tak banyak yang lalu-lalang.
Hanya tukang becak yang bertahan, menunggui penumpang di sudut-sudut trotoar. Sementara
para pekerja kantoran, PNS kantor Walikota terlihat berhamburan keluar. Ada
yang dari kedai kopi, ada pula yang dari restoran mewah. Rasanya, jam kerja
mereka telah tiba. Sejenak kulirik jam tanganku. Saat itu, waktu menunjukan
pukul 14.00.
Dari
kejauhan, terlihat banyak pohon-pohon diterpa angin sepoi-sepoi yang berhembus
perlahan, menggoyangkan ranting-ranting kecil. Waktu terasa bergulir begitu
cepat, hingga menyulap awan putih menjadi gelap. Langit yang tadinya perkasa,
kini tunduk pada awan kelabu yang siap mengeluarkan semburat air hujan.
Di
tanah kota dagang, orang bebas mencari penghidupan. Bukan lantaran disebut kota
dagang lalu semua telah menjadi pedagang. Banyak orang bekerja menjadi penyapu di
jalan, perawat taman, pemulung, tukang becak dan penjual kripik diperempatan
lampu merah. Ai, bukankah manusia-manusia seperti ini sering dianggap tidak
bernasib baik. Mereka bahkan tak bisa menyentuh pelataran kedai kopi atau
memasuki restoran mewah seperti para PNS Walikota itu.
Puh-puh-puh,
kehidupan memang demikian rumit dan keras. Orang susah kian makin terhimpit
oleh kemelaratan. Dan orang-orang pintar berlaga sok pahlawan, sumber solusi
penyelesian masalah. Maka, tak salah seringkali sebagian dari mereka ada yang berdagang
politik.
***
Dahulu,
sepanjang jalan kota dagang banyak berdiri berderetan toko-toko biasa. Kini,
pemandangan itu telah berubah dengan berbagai tampilan yang lebih modern. Toko-toko
baru mulai dibangun, hotel bintang lima menjulang mengungguli langit, mall dengan
tren globalisasi berdiri tegak. Bukan saja itu. Rumah-rumah megah bak istana pun
berdiri berjejeran. Disini kini semua tersedia, termasuk rumah-rumah mesum pun
ada.
Ah,
rasanya saya lupa, kini kita tengah berada dalam zaman kemajuan; zaman dimana
orang-orang pintar berkelakar, menguasai panggung politik lalu menjual
janji-janji. Kemiskinan digemahkan dibanyak tempat untuk dientaskan. Rumah-rumah
tak layak, akan diganti dengan rumah baru yang dianggap layak. Pekerjaan akan
banyak disediakan.
Entah
apa yang dicapai sekarang! Tak semua orang merasakannya. Yang tersentuh dengan
kemajuan dan kemewahan, hanya mereka yang dekat dengan para penguasa politik. Sungguh,
mereka lebih beruntung, bernasib baik, daripada para buruh dan pemulung itu.
Apakah
kamu juga termasuk golongan maju yang demikian? Maka sedikitlah bersyukur pada
tuhanmu. Sebab pada jaman ini, jika tak ikut dengan kemajuan, engkau akan
terseret, menjadi karpet kusut yang terinjak-injak bertemankan banyak debu.
***
Pencarianku
pada kehidupan, membawaku pada hal-hal yang jauh dari rasionalitas, berjarak
dengan kenyataan. Bagaimana mungkin tanah dagang, tanah yang diberkahi
keunggulan masih berselimutkan banyak penderitaan. Seorang pengemis duduk
berpanas-panasan demi mendapat segepok koin, perempuan pemulung dan dua anaknya
yang mencari sampah demi untuk mencari sesuap nasi. Aku telah melaluinya,
berkeliling dan bertanya dibanyak tempat, dengan orang yang punya rupa-rupa muka
dan pekerjaan. Mereka sama; penuh derita dan kemiskinan.
Kemana
lagi aku hendak melihat dan bertanya? Apakah rumput yang bergoyang, dapat
menyahut sambutanku? Rasanya tidak. Pun ia tak akan peduli. Tetapi, kini di sampingku
ada seorang perempuan paruh baya, duduk termangu, menunggui jualannya. Rasanya
aku seperti melihat keksosongan dalam dirinya. Pandanganku terus terpaku pada
sosoknya yang mungil dan diam dalam kehampaan. Pembeli hari itu sangat sepi.
Maka ia sekali-sekali bergegas pergi, memunguti daun jatuh yang diterpa angin
dan hujan.
Sepanjang
hari itu aku perhatikan, ia terus melakukan hal yang sama; duduk menunggui
jualannya yang sepi pembeli, lalu bergegas pergi memunguti daun-daun yang
jatuh. Daun-daun itu ia kumpulkan pada satu tempat dan setelah bersih ia
kembali lagi menunggui jualannya. Dan ia lakukan terus menerus. Sampai waktunya
pulang kerumahnya.
Bukankah
ini sesuatu yang absuriditas! Sebab angin terus berhembus yang lalu menyebabkan
daun-daun itu jatuh. Tetapi apalah artinya buat perempuan paruh baya itu. Ia
hanya pekerja di taman. Maka sudah tugasnyalah membersihkan taman, agar
pengunjung merasa senang dan tentram dengan adanya kebersihan.
“Inilah
pekerjaan saya, kata perempuan paruh baya itu, datang menghampiri. Saya merawat
taman kota ini supaya terus bersih. Sudah hampir dua puluh tahun, saya bekerja
disini.”
Kata-kata
itu ia lontarkan padaku, lantaran aku terus mengawasinya. Mungkin ia melihatku seperti
terheran-heran karena usianya telah tua.
“Saya sudah tua, umurku 54 tahun. Tapi alhamdulillah
masih bisa kerja disini. Biasanya saya masuk kerja menyapu pagi sampai siang,
setelah itu pulang. Karena di rumah sudah selesai pekerjaan, sore saya kembali lagi
sambil berjualan.”
Saya
menghentikan aktivitas membacaku sejenak, lalu melayani pembicaraan perempuan
paruh baya itu. Sejak dari tadi saya ingin menyapanya. Namun, kemauan itu terhenti
saat melihatnya sedang sibuk memunguti daun jati putih dan ketapang yang
berjatuhan ketanah.
“Ibu
bekerja sendirian disini” tanyaku, sambil mengambil kertas untuk membatasi buku
bacaanku.
“Kalau
pagi, tidak. Kami ada teman-teman. Sore saya kembali ke sini. Tapi bukan untuk
menyapu. Saya gunakan waktu ini mencari sedikit rejeki saja.” Katanya.
Matanya
sudah terlihat layu. Sepertinya hari ini ia kurang istrahat. Jalannya agak
pincang, tidak normal lagi. Hidupnya seperti menanggung beban berat. Entah apa.
“Ibu
sepertinya perlu istrahat. Terlalu kecapean kerja. Apa rumah Ibu jauh dari
sini?” tanyaku.
“Tidak
terlalu cukup jauh, di Jalan Wayong II Dalam. Biasa saya jalan kaki. Pulang pun
demikian.” Kata perempuan paruh baya itu, sambil menuju ke tempat jualannya.
Aku
mencoba mengikuti perempuan itu, menuju ke tempat jualannya. Dari dagangannya,
ia sedikit berjualan minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Aku membeli sebotol
air mineral, sambil menanyakan tentang pekerjaan dan keluarganya.
Ibu itu
bernama Narsih. Dulu, suaminya bekerja sebagai buruh mobil truk pengangkut
sampah, pada dinas kebersihan kota. Narsih dan suaminya dalam kantor dinas yag
sama. Saat itu, mereka bukan pegawai honor, tapi hanya sekedar buruh yang di
upah setiap bulan. Sewaktu-waktu mereka bisa diganti jika sudah tak mampu
mengerjakan pekerjaannya.
“Berapa
Ibu Narsih digaji tiap bulannya” tanyaku, sambil membantu menaruh jualannya di
dalam kardus.
“Awalnya
kami digaji tiga ratus ribu, lalu naik lima ratus ribu. Saat ini saya hanya
mendapat upah tujuh ratus lima pulu ribu saja.” katanya.
Ibu
Narsih terlihat semangat saat mengumpulkan jualannya. Ia masih terlihat kuat.
Saat hendak pulang, aku meminta Ibu Narsih untuk mengantarnya sampai di
rumahnya. Ada senyum yang mengembang disana. Ia merasa bersyukur dan berterima
kasih padaku.
“Terima
kasih ya nak, sudah membantu saya” katanya. Saya pun mengangguk, lalu kami
pulang menujuh rumahnya.
Rumah
Ibu Narsih terlihat biasa. Sangat sederhana. Rumahnya masih berpapankan kayu
yang sebagian terlihat sudah lapuk, berbubuk. Atapnya masih memakai daun rumbia,
yang didatangkan dari wilayah lain. Rumah itu diapit beberapa rumah mewah dan
disekelilingnya berjejeran banyak perumahan.
Saat
hendak masuk ke rumahnya yang reot itu, aku langsung diperhadapkan dengan
berbagai bingkai foto anak-anaknya. Jiwaku tergoncang, merasa sangat sulit
dipercaya. Hatiku merasa terharu dan tersentuh. Bagaimana mungkin, dengan
pekerjaan seperti ini dapat menyekolahkan anak-anaknya? Ketangkasan dan
kegigihan Ibu Narsih dan suaminya dalam menghadapi hidup, membuahkan hasil yang
tidak sia-sia. Anak-anaknya semua telah bekerja dan berpendidikan tinggi.
“Ini
semua anak Ibu?” tanyaku, sambil memperhatikan foto yang berseragam tentara. Di
samping foto itu, terlihat foto wisuda anaknya yang kuliah di perguruan tinggi
ternama di Jawa, foto perempuan perawat dan foto yang sekolah di pelayaran.
“Ia,
itu semua anak saya. Kalau tentara tugas di Merauke. Perempuan sudah jadi PNS
di sini. Itu yang kuliah di Jawa sekarang masih lanjut Doktornya. Yang pelayaran
kerjanya di Kalimantan.” Katanya, sambil menghidangkan teh hangat diatas meja.
Dalam
suaranya tersimpul kekuatan dan kesabaran, bahwa nasib hidup adalah penggarisan
dari yang maha mencipta. Tugas manusia adalah menjalankan hidup. Ibu Narsih
percaya bahwa terang hanyalah salah satu jalan. Juga ia percaya bahwa kompas
hanyalah salah satu petunjuk.
Dalam
hidup yang penuh dengan kemelaratan itu, Ibu Narsih dan suaminya mencoba
berjalan dalam kegelapan, tanpa kompas. Ia merasa bersyukur saat melihat
orang-orang disekitarnya sukses dan berlimpahan kemewahan. Keadaan itu mereka
jadikan semangat untuk bekerja agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan.
“Ya,
begitulah kami jalani kehidupan”, kata suaminya bernama Amin. Keterbatasan
hidup harus menjadikan kita agar tetap kuat. Pendidikan hak semua orang. Bukan
saja untuk para orang-orang kaya. Kalau kami tidak sekolah, itu tidak boleh
terjadi dengan anak-anak kami” katanya, sambil menghisap rokok pusakanya.
Malam
itu aku ikut terseret merasakan sentuhan batin yang begitu mendalam. Derita
hidup yang mereka alami menjadi sejerah perjalanannya dalam mengarungi
kehidupan. Kini anak-anaknya telah sukses dan berpendidikan. Mereka tak mengharapkan
banyak dari anak-anaknya.
“Tanggungjawab
telah selesai” kata Ibu Narsih. Biarkan mereka menjalani kehidupan sendiri. Juga
saya dan suami harus menjalani kehidupan sendiri dan terus bekerja. Menjadi
tua, bukan berarti berhenti untuk bekerja” katanya.
Ah,
orang tua yang baik, seperti malaikat yang tak mengharapkan pamrih dari
keringatnya yang bercucuran selama hidupnya. Dibalik pekerjaannya yang terlihat
rendahan, menyapu di jalan dan membersihkan taman kota, ia menyimpan ketulusan
dan keikhlasan. Ibu Narsih dan suaminya, pak Amin, pernah dipanggil
anak-anaknya untuk tinggal bersama, tetapi mereka menolak dengan alasan tak
bisa meninggalkan rumah yang mereka diami selama ini.
Usia
tua tak menghentikan kata pekerjaan buat mereka. Saat ini kegiatan rutin
suaminya hanya mengolah lahan, dengan menanam berbagai sayuran. Sementara Ibu
Narsih tetap bekerja menyapu di jalan dan di taman kota. Sepanjang usia, mereka
telah melalui jalan yang tak mudah, penuh dengan kerikil dan cobaan.
Rasanya
aku telah mengambil butir-butir pelajaran, berguru pada dua insan manusia yang
tegar dalam mengarungi hidup. Ini adalah nutrisi untuk kehidupanku dan
kehidupan kita semua. Kita bebas berguru. Pada siapapun. Termasuk pada
perempuan penunggu daun jatuh itu.
L. Halaidin
Kendari, 10-12-2017
0 komentar:
Posting Komentar