09 Desember 2017

Perempuan Penunggu Daun Jatuh

Ilustrasi dari: cerpen.co.id

Hari itu matahari bersinar sangat ganas, membuat kulit lebam para pekerja buruh, pemulung dan tukang becak. Sementara langit siang terus menunjukan keperkasaannya. Awan putih menari-nari, membuat matahari menyapu kota dagang.
Jalanan kota yang biasanya terlihat ramai, kini sepi, tak banyak yang lalu-lalang. Hanya tukang becak yang bertahan, menunggui penumpang di sudut-sudut trotoar. Sementara para pekerja kantoran, PNS kantor Walikota terlihat berhamburan keluar. Ada yang dari kedai kopi, ada pula yang dari restoran mewah. Rasanya, jam kerja mereka telah tiba. Sejenak kulirik jam tanganku. Saat itu, waktu menunjukan pukul 14.00.
Dari kejauhan, terlihat banyak pohon-pohon diterpa angin sepoi-sepoi yang berhembus perlahan, menggoyangkan ranting-ranting kecil. Waktu terasa bergulir begitu cepat, hingga menyulap awan putih menjadi gelap. Langit yang tadinya perkasa, kini tunduk pada awan kelabu yang siap mengeluarkan semburat air hujan.
Di tanah kota dagang, orang bebas mencari penghidupan. Bukan lantaran disebut kota dagang lalu semua telah menjadi pedagang. Banyak orang bekerja menjadi penyapu di jalan, perawat taman, pemulung, tukang becak dan penjual kripik diperempatan lampu merah. Ai, bukankah manusia-manusia seperti ini sering dianggap tidak bernasib baik. Mereka bahkan tak bisa menyentuh pelataran kedai kopi atau memasuki restoran mewah seperti para PNS Walikota itu.
Puh-puh-puh, kehidupan memang demikian rumit dan keras. Orang susah kian makin terhimpit oleh kemelaratan. Dan orang-orang pintar berlaga sok pahlawan, sumber solusi penyelesian masalah. Maka, tak salah seringkali sebagian dari mereka ada yang berdagang politik.
***
Dahulu, sepanjang jalan kota dagang banyak berdiri berderetan toko-toko biasa. Kini, pemandangan itu telah berubah dengan berbagai tampilan yang lebih modern. Toko-toko baru mulai dibangun, hotel bintang lima menjulang mengungguli langit, mall dengan tren globalisasi berdiri tegak. Bukan saja itu. Rumah-rumah megah bak istana pun berdiri berjejeran. Disini kini semua tersedia, termasuk rumah-rumah mesum pun ada.
Ah, rasanya saya lupa, kini kita tengah berada dalam zaman kemajuan; zaman dimana orang-orang pintar berkelakar, menguasai panggung politik lalu menjual janji-janji. Kemiskinan digemahkan dibanyak tempat untuk dientaskan. Rumah-rumah tak layak, akan diganti dengan rumah baru yang dianggap layak. Pekerjaan akan banyak disediakan.
Entah apa yang dicapai sekarang! Tak semua orang merasakannya. Yang tersentuh dengan kemajuan dan kemewahan, hanya mereka yang dekat dengan para penguasa politik. Sungguh, mereka lebih beruntung, bernasib baik, daripada para buruh dan pemulung itu.
Apakah kamu juga termasuk golongan maju yang demikian? Maka sedikitlah bersyukur pada tuhanmu. Sebab pada jaman ini, jika tak ikut dengan kemajuan, engkau akan terseret, menjadi karpet kusut yang terinjak-injak bertemankan banyak debu.
***
Pencarianku pada kehidupan, membawaku pada hal-hal yang jauh dari rasionalitas, berjarak dengan kenyataan. Bagaimana mungkin tanah dagang, tanah yang diberkahi keunggulan masih berselimutkan banyak penderitaan. Seorang pengemis duduk berpanas-panasan demi mendapat segepok koin, perempuan pemulung dan dua anaknya yang mencari sampah demi untuk mencari sesuap nasi. Aku telah melaluinya, berkeliling dan bertanya dibanyak tempat, dengan orang yang punya rupa-rupa muka dan pekerjaan. Mereka sama; penuh derita dan kemiskinan.
Kemana lagi aku hendak melihat dan bertanya? Apakah rumput yang bergoyang, dapat menyahut sambutanku? Rasanya tidak. Pun ia tak akan peduli. Tetapi, kini di sampingku ada seorang perempuan paruh baya, duduk termangu, menunggui jualannya. Rasanya aku seperti melihat keksosongan dalam dirinya. Pandanganku terus terpaku pada sosoknya yang mungil dan diam dalam kehampaan. Pembeli hari itu sangat sepi. Maka ia sekali-sekali bergegas pergi, memunguti daun jatuh yang diterpa angin dan hujan.
Sepanjang hari itu aku perhatikan, ia terus melakukan hal yang sama; duduk menunggui jualannya yang sepi pembeli, lalu bergegas pergi memunguti daun-daun yang jatuh. Daun-daun itu ia kumpulkan pada satu tempat dan setelah bersih ia kembali lagi menunggui jualannya. Dan ia lakukan terus menerus. Sampai waktunya pulang kerumahnya.
Bukankah ini sesuatu yang absuriditas! Sebab angin terus berhembus yang lalu menyebabkan daun-daun itu jatuh. Tetapi apalah artinya buat perempuan paruh baya itu. Ia hanya pekerja di taman. Maka sudah tugasnyalah membersihkan taman, agar pengunjung merasa senang dan tentram dengan adanya kebersihan.
“Inilah pekerjaan saya, kata perempuan paruh baya itu, datang menghampiri. Saya merawat taman kota ini supaya terus bersih. Sudah hampir dua puluh tahun, saya bekerja disini.”
Kata-kata itu ia lontarkan padaku, lantaran aku terus mengawasinya. Mungkin ia melihatku seperti terheran-heran karena usianya telah tua.
 “Saya sudah tua, umurku 54 tahun. Tapi alhamdulillah masih bisa kerja disini. Biasanya saya masuk kerja menyapu pagi sampai siang, setelah itu pulang. Karena di rumah sudah selesai pekerjaan, sore saya kembali lagi sambil berjualan.”
Saya menghentikan aktivitas membacaku sejenak, lalu melayani pembicaraan perempuan paruh baya itu. Sejak dari tadi saya ingin menyapanya. Namun, kemauan itu terhenti saat melihatnya sedang sibuk memunguti daun jati putih dan ketapang yang berjatuhan ketanah.
“Ibu bekerja sendirian disini” tanyaku, sambil mengambil kertas untuk membatasi buku bacaanku.
“Kalau pagi, tidak. Kami ada teman-teman. Sore saya kembali ke sini. Tapi bukan untuk menyapu. Saya gunakan waktu ini mencari sedikit rejeki saja.” Katanya.
Matanya sudah terlihat layu. Sepertinya hari ini ia kurang istrahat. Jalannya agak pincang, tidak normal lagi. Hidupnya seperti menanggung beban berat. Entah apa.
“Ibu sepertinya perlu istrahat. Terlalu kecapean kerja. Apa rumah Ibu jauh dari sini?” tanyaku.
“Tidak terlalu cukup jauh, di Jalan Wayong II Dalam. Biasa saya jalan kaki. Pulang pun demikian.” Kata perempuan paruh baya itu, sambil menuju ke tempat jualannya.
Aku mencoba mengikuti perempuan itu, menuju ke tempat jualannya. Dari dagangannya, ia sedikit berjualan minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Aku membeli sebotol air mineral, sambil menanyakan tentang pekerjaan dan keluarganya.
Ibu itu bernama Narsih. Dulu, suaminya bekerja sebagai buruh mobil truk pengangkut sampah, pada dinas kebersihan kota. Narsih dan suaminya dalam kantor dinas yag sama. Saat itu, mereka bukan pegawai honor, tapi hanya sekedar buruh yang di upah setiap bulan. Sewaktu-waktu mereka bisa diganti jika sudah tak mampu mengerjakan pekerjaannya.
“Berapa Ibu Narsih digaji tiap bulannya” tanyaku, sambil membantu menaruh jualannya di dalam kardus.
“Awalnya kami digaji tiga ratus ribu, lalu naik lima ratus ribu. Saat ini saya hanya mendapat upah tujuh ratus lima pulu ribu saja.” katanya.
Ibu Narsih terlihat semangat saat mengumpulkan jualannya. Ia masih terlihat kuat. Saat hendak pulang, aku meminta Ibu Narsih untuk mengantarnya sampai di rumahnya. Ada senyum yang mengembang disana. Ia merasa bersyukur dan berterima kasih padaku.
“Terima kasih ya nak, sudah membantu saya” katanya. Saya pun mengangguk, lalu kami pulang menujuh rumahnya.
Rumah Ibu Narsih terlihat biasa. Sangat sederhana. Rumahnya masih berpapankan kayu yang sebagian terlihat sudah lapuk, berbubuk. Atapnya masih memakai daun rumbia, yang didatangkan dari wilayah lain. Rumah itu diapit beberapa rumah mewah dan disekelilingnya berjejeran banyak perumahan.
Saat hendak masuk ke rumahnya yang reot itu, aku langsung diperhadapkan dengan berbagai bingkai foto anak-anaknya. Jiwaku tergoncang, merasa sangat sulit dipercaya. Hatiku merasa terharu dan tersentuh. Bagaimana mungkin, dengan pekerjaan seperti ini dapat menyekolahkan anak-anaknya? Ketangkasan dan kegigihan Ibu Narsih dan suaminya dalam menghadapi hidup, membuahkan hasil yang tidak sia-sia. Anak-anaknya semua telah bekerja dan berpendidikan tinggi.
“Ini semua anak Ibu?” tanyaku, sambil memperhatikan foto yang berseragam tentara. Di samping foto itu, terlihat foto wisuda anaknya yang kuliah di perguruan tinggi ternama di Jawa, foto perempuan perawat dan foto yang sekolah di pelayaran.
“Ia, itu semua anak saya. Kalau tentara tugas di Merauke. Perempuan sudah jadi PNS di sini. Itu yang kuliah di Jawa sekarang masih lanjut Doktornya. Yang pelayaran kerjanya di Kalimantan.” Katanya, sambil menghidangkan teh hangat diatas meja.
Dalam suaranya tersimpul kekuatan dan kesabaran, bahwa nasib hidup adalah penggarisan dari yang maha mencipta. Tugas manusia adalah menjalankan hidup. Ibu Narsih percaya bahwa terang hanyalah salah satu jalan. Juga ia percaya bahwa kompas hanyalah salah satu petunjuk.
Dalam hidup yang penuh dengan kemelaratan itu, Ibu Narsih dan suaminya mencoba berjalan dalam kegelapan, tanpa kompas. Ia merasa bersyukur saat melihat orang-orang disekitarnya sukses dan berlimpahan kemewahan. Keadaan itu mereka jadikan semangat untuk bekerja agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan.
“Ya, begitulah kami jalani kehidupan”, kata suaminya bernama Amin. Keterbatasan hidup harus menjadikan kita agar tetap kuat. Pendidikan hak semua orang. Bukan saja untuk para orang-orang kaya. Kalau kami tidak sekolah, itu tidak boleh terjadi dengan anak-anak kami” katanya, sambil menghisap rokok pusakanya.
Malam itu aku ikut terseret merasakan sentuhan batin yang begitu mendalam. Derita hidup yang mereka alami menjadi sejerah perjalanannya dalam mengarungi kehidupan. Kini anak-anaknya telah sukses dan berpendidikan. Mereka tak mengharapkan banyak dari anak-anaknya.
“Tanggungjawab telah selesai” kata Ibu Narsih. Biarkan mereka menjalani kehidupan sendiri. Juga saya dan suami harus menjalani kehidupan sendiri dan terus bekerja. Menjadi tua, bukan berarti berhenti untuk bekerja” katanya.
Ah, orang tua yang baik, seperti malaikat yang tak mengharapkan pamrih dari keringatnya yang bercucuran selama hidupnya. Dibalik pekerjaannya yang terlihat rendahan, menyapu di jalan dan membersihkan taman kota, ia menyimpan ketulusan dan keikhlasan. Ibu Narsih dan suaminya, pak Amin, pernah dipanggil anak-anaknya untuk tinggal bersama, tetapi mereka menolak dengan alasan tak bisa meninggalkan rumah yang mereka diami selama ini.
Usia tua tak menghentikan kata pekerjaan buat mereka. Saat ini kegiatan rutin suaminya hanya mengolah lahan, dengan menanam berbagai sayuran. Sementara Ibu Narsih tetap bekerja menyapu di jalan dan di taman kota. Sepanjang usia, mereka telah melalui jalan yang tak mudah, penuh dengan kerikil dan cobaan.
Rasanya aku telah mengambil butir-butir pelajaran, berguru pada dua insan manusia yang tegar dalam mengarungi hidup. Ini adalah nutrisi untuk kehidupanku dan kehidupan kita semua. Kita bebas berguru. Pada siapapun. Termasuk pada perempuan penunggu daun jatuh itu.

                                                                                 
                                                                                  L. Halaidin
                                                                                  Kendari, 10-12-2017

0 komentar:

Posting Komentar