27 Agustus 2016

Belajar Dari Kasus Nur Alam

Nur Alam yang saat ini ditersangkakan oleh KPK

NUR ALAM JADI TERSANGKA. Inilah berita beberapa hari ini. Menjadi berita hangat, mungkin boleh dibilang kontroversial di republik medsos. Awal berita yang paling kontroversial mulai dari naiknya harga rokok yang merupakan berita hoax, yang banyak dipelintir oleh para penguasa yang kemudian dijadikan sebagai putusan/kebijakan, sampai dengan pemberian tersangka oleh KPK orang nomor satu di Sultra, Gubernur Nur Alam.
Saat ini khususnya di Kendari memang ada berita kontroversial, yang banyak diperdebatkan oleh para penghuni republik medsos. Apa itu! Penggeledahan ruang kerja Gubernur Nur Alam di kantor Guberur, rumah pribadinya di jalan Wua-Wua, rumahnya yang megah di Jakarta dan kantor dinas ESDM Provinsi Sultra. Semua ikut diperikasa terkait kasus Nur Alam itu.
Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga dilakukan penggeledahan? Yang jelas dibalik tugas-tugas berat mereka sebagai pemimpin, dibalik niat baik mereka sebagai pemimpin, tetap saja ada masaalah dalam sebuah kekuasaan, maksud saya dengan kebijakan yang dibuatnya. Banyak “penyetan” yang kemudian ikut membisiki kuping, pada akhirnya membengkokan niat lurus dengan membuat kebijakan yang salah kaprah. Maksud saya, ada kebijakan pragmatis-transaksional, dengan mengeluarkan kebijakan untuk memperkaya diri sendiri, untuk kolega, relasi bisnis atau mungkin ada niatan untuk memburu rente. Untuk itulah mungkin KPK melakukan penggeledahan.
Kasus yang menimpa orang nomor satu di Sulawesi Tenggara ini memang masuk pada kasus yang besar. Saya tidak ingin menilai nominal seberapa besar yang menjadi kerugian negara, yang dihitung-hitung secara kuantitatif dimana kebanyakan orang menilai. Ini suda menjadi tugas mulia KPK dengan PPATK untuk menghitungnya. Namun dengan itu, penilaian saya hanya pada seberapa banyak orang-orang yang terjerat dalam kasus ini.
Mengapa demikian! Karena Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang mempunyai lumbung tambang (bukan lumbung padi ya), yang mungkin juga suda masuk kategori besar di Indonesia. Dalam kasus Nur Alam ada beberapa orang yang disebut-sebut terlibat seperti Bupati Buton dan Bombana dan juga beberapa orang yang lain. Sejumlah nama pun akan ikut diperiksa oleh KPK, termasuk akhir-akhir ini muncul nama wakil Rektor III bidang akademik Universitas Halu Oleo.
Ada banyak perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara yang terdiri dari pertambangan nikel, emas, aspal dan batu bara seperti PT. Adaro Energi, PT. Aneka Tambang, PT. Wijaya Kusuma (Wika), PT. Inamco Varia Jasa, PT. Anugrah Harisma Barakah (AHB) dan masih banyak lagi.
Banyaknya perusahaan-perusahaan itu tentu, membuat elit-elit di daerah ikut campur yang hanya sekedar memburu rente. Mereka bisa saja politisi-pengusaha, akademisi-pengusaha atau mungkin juga penguasa-pengusaha. Campur tangan elit-elit inilah yang kemudian mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin atau penguasa di daerah. Yang menjadi masaalah, kebijakan yang tidak memuarakannya untuk memakmurkan daerah, tetapi kebijakan yang mempengaruhi yang lalu mengakumulasi kekayaan bersama para elit, lalu membuat daerah terkungkung dengan kemiskinannya.
***
Jangan pernah membayangkan daerah Sulawesi Tenggara itu maju, meskipun tambangnya cukup kaya, banyak. Jika anda pemuja dan pemuji data statistik maka silahkan anda bersorak-sorai, mempunyai kebanggaan yang tiada tara bahwa kita ternyata masuk daerah yang maju atau berpotensi maju, pertumbuhan ekonomi tinggi. Atau mungkin anda ikut merayakannya dengan pesta pora, meletuskan kembang api terbesar seperti yang dilakukan oleh Nur Alam pada tahun baru yang lalu.
Namun coba kita merenungkan nasib masyarakat kita yang jauh dari Ibu Kota Sultra, atau di dekat kota Kendari, tanyakanlah indeks kebahagiaan mereka, tanyakanlah kepuasan mereka, berselancarlah di seluruh pelosok daerah Sulawesi Tenggara. Maka jangan heran jika anda melihatnya dengan “nyingir” mengeluarkan kata “kasian daerah ini” ternyata orang-orangnya masih miskin.
“Kondisinya memang timpang” begitulah konklusi jika saya berdiskusi dengan para pakar atau akademisi di Kendari. Maksudnya pembangunan kita itu tidak merata, tidak menetes ke masyarakat bawah. Perkembangan ekonomi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah yang selalu dibanggakan itu ternyata berjalan “di atas bara api”. Kebanggan dengan pertumbuhan ekonomi kita itu “tumbuh diatas penderitaan orang lain”. Yang tersentuh kebijakan itu kelas menengah-atas, bukan kelas menengah-bawah atau kelas bawah.
Untuk itulah perlu suatu paradigma baru dalam membangun daerah. Politik transaksional perlu dihilangkan. Jika susah kita perlu mencobanya secara perlahan-lahan. Pemilu juga perlu diperbaiki, partai politik juga begitu. Jangan sampai kita masih memelihara paradigma lama, bahwa pemilu dianggap hanya sekedar untuk mendapatkan penguasa. Partai politik juga seperti itu, jangan sampai memberi dukungan terhadap calon hanya sekedar untuk menang-menangan saja. Partai politik adalah mercusuar perubahan, maka dari itu dalam menentukan calon harus jeli, disaring sebaik mungkin agar memperoleh kandidat seorang petarung (bukan bertinju), yang mepunyai politik gagasan, berpolitik dengan argumen.
Namun jika tidak, maka siap-siaplah kita menyaksikan kebijakan pragmatis-transaksional, yang akan mempuruk daerah. Tapi tunggu dulu, bicara politik itu tidak melulu bicara kebijakan kecuali sebaliknya.
Jika kita bicara kebijakan, memang mau tidak mau kita akan berbicara politik. Jika kita berbicara tentang politik, jangan disalahtafsirkan dulu karena makna politik itu banyak macamnya: dari politik sebagai seni kemungkinan merebut dan mempertahankan kekuasaan sebagai upaya untuk menanamkan kebaikan, juga politik sebagai ilmu. Kata Aristoteles ini tentu berkaitan dengan kebijakan publik.
Jika kita membaca buku Machiavelli dalam II Principe kita akan menemukan sebuah pengibaratan tentang seorang penguasa dengan kekuasaannya. Dalam buku M Alfan Alfian (Bandit-Bandit Segala Bidang) dia menulis seperti ini: karena seorang raja terpaksa mengetahui cara bertindak seperti binatang, ia meniru rubah dan singa: karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap, dan rubah dapat membela diri terhadap srigala. Karena orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa untuk menakuti srigala.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa seorang politisi penguasa yang hanya bersikap seperti singa adalah bodoh. Sehingga seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji karena dengan demikian ia hanya merugikan diri sendiri, dan karena alasan yang mengikat tidak ada lagi.
Lain Machiavelli, lain seorang filosof Immanuel Kant yang menyebut adanya dua binatang dalam tiap diri politikus yaitu ular yang ada di dada kiri dan burung merpati di dada kanan. Ular menyimbolkan kelicikan, tetapi jahat. Ular itu sangat lincah, bisa bergerak kekiri dan kekanan semua bisa diembat. Sedangkan burung merpati menyimbolkan ketulusan dan kejernihan hati nurani.
Politisi dalam pengibaratan seperti Immanuel Kant ini selalu bimbang: mau licik seperti ular atau tulus seperti merpati. Namun politisi bisa berbadan ular berkepala merpati atau bisa berkepala merpati berbadan ular.
Tetapi, tentunya saya tidak mengibaratkan Nur Alam seperti seorang politisi dalam pengibaratan dua binatang diatas. Gubernur Nur Alam adalah pemimpin yang mempunyai hati nurani, bukan sosok seperti ular seperti yang diibaratkan oleh Immanuel Kant atau singa seperti yang di contohkan oleh Machiavelli. Ia seorang penguasa yang mempunyai tugas berat untuk memakmurkan masyarakatnya.
Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan pemimpin kita, Gubernur Nur Alam yang hari ini sedang ditersangkakan oleh KPK. Jika memang terbukti, maka ini bagian dari pelajaran kita sebagai generasi saat ini. Nur Alam hanya akan menjadi masa lalu.

                                                                                     Kendari, 27 Agustus 2016
                                                                                     La Ode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar