Nur Alam yang saat ini ditersangkakan oleh KPK |
NUR ALAM JADI TERSANGKA. Inilah
berita beberapa hari ini. Menjadi berita hangat, mungkin boleh dibilang
kontroversial di republik medsos. Awal berita yang paling kontroversial mulai
dari naiknya harga rokok yang merupakan berita hoax, yang banyak dipelintir oleh
para penguasa yang kemudian dijadikan sebagai putusan/kebijakan, sampai dengan
pemberian tersangka oleh KPK orang nomor satu di Sultra, Gubernur Nur Alam.
Saat ini khususnya di Kendari memang
ada berita kontroversial, yang banyak diperdebatkan oleh para penghuni republik
medsos. Apa itu! Penggeledahan ruang kerja Gubernur Nur Alam di kantor Guberur,
rumah pribadinya di jalan Wua-Wua, rumahnya yang megah di Jakarta dan kantor
dinas ESDM Provinsi Sultra. Semua ikut diperikasa terkait kasus Nur Alam itu.
Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga
dilakukan penggeledahan? Yang jelas dibalik tugas-tugas berat mereka sebagai
pemimpin, dibalik niat baik mereka sebagai pemimpin, tetap saja ada masaalah
dalam sebuah kekuasaan, maksud saya dengan kebijakan yang dibuatnya. Banyak “penyetan”
yang kemudian ikut membisiki kuping, pada akhirnya membengkokan niat lurus
dengan membuat kebijakan yang salah kaprah. Maksud saya, ada kebijakan
pragmatis-transaksional, dengan mengeluarkan kebijakan untuk memperkaya diri sendiri,
untuk kolega, relasi bisnis atau mungkin ada niatan untuk memburu rente. Untuk
itulah mungkin KPK melakukan penggeledahan.
Kasus yang menimpa orang nomor satu
di Sulawesi Tenggara ini memang masuk pada kasus yang besar. Saya tidak ingin
menilai nominal seberapa besar yang menjadi kerugian negara, yang
dihitung-hitung secara kuantitatif dimana kebanyakan orang menilai. Ini suda
menjadi tugas mulia KPK dengan PPATK untuk menghitungnya. Namun dengan itu,
penilaian saya hanya pada seberapa banyak orang-orang yang terjerat dalam kasus
ini.
Mengapa demikian! Karena Sulawesi
Tenggara merupakan daerah yang mempunyai lumbung tambang (bukan lumbung padi
ya), yang mungkin juga suda masuk kategori besar di Indonesia. Dalam kasus Nur
Alam ada beberapa orang yang disebut-sebut terlibat seperti Bupati Buton dan
Bombana dan juga beberapa orang yang lain. Sejumlah nama pun akan ikut diperiksa
oleh KPK, termasuk akhir-akhir ini muncul nama wakil Rektor III bidang akademik Universitas
Halu Oleo.
Ada banyak perusahaan tambang di
Sulawesi Tenggara yang terdiri dari pertambangan nikel, emas, aspal dan batu
bara seperti PT. Adaro Energi, PT. Aneka Tambang, PT. Wijaya Kusuma (Wika), PT.
Inamco Varia Jasa, PT. Anugrah Harisma Barakah (AHB) dan masih banyak lagi.
Banyaknya perusahaan-perusahaan itu
tentu, membuat elit-elit di daerah ikut campur yang hanya sekedar memburu
rente. Mereka bisa saja politisi-pengusaha, akademisi-pengusaha atau mungkin
juga penguasa-pengusaha. Campur tangan elit-elit inilah yang kemudian
mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin atau penguasa di daerah. Yang menjadi
masaalah, kebijakan yang tidak memuarakannya untuk memakmurkan daerah, tetapi
kebijakan yang mempengaruhi yang lalu mengakumulasi kekayaan bersama para elit,
lalu membuat daerah terkungkung dengan kemiskinannya.
***
Jangan pernah membayangkan daerah
Sulawesi Tenggara itu maju, meskipun tambangnya cukup kaya, banyak. Jika anda
pemuja dan pemuji data statistik maka silahkan anda bersorak-sorai, mempunyai
kebanggaan yang tiada tara bahwa kita ternyata masuk daerah yang maju atau
berpotensi maju, pertumbuhan ekonomi tinggi. Atau mungkin anda ikut
merayakannya dengan pesta pora, meletuskan kembang api terbesar seperti yang
dilakukan oleh Nur Alam pada tahun baru yang lalu.
Namun coba kita merenungkan nasib
masyarakat kita yang jauh dari Ibu Kota Sultra, atau di dekat kota Kendari, tanyakanlah
indeks kebahagiaan mereka, tanyakanlah kepuasan mereka, berselancarlah di
seluruh pelosok daerah Sulawesi Tenggara. Maka jangan heran jika anda melihatnya
dengan “nyingir” mengeluarkan kata “kasian daerah ini” ternyata orang-orangnya
masih miskin.
“Kondisinya memang timpang”
begitulah konklusi jika saya berdiskusi dengan para pakar atau akademisi di
Kendari. Maksudnya pembangunan kita itu tidak merata, tidak menetes ke
masyarakat bawah. Perkembangan ekonomi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah
daerah yang selalu dibanggakan itu ternyata berjalan “di atas bara api”.
Kebanggan dengan pertumbuhan ekonomi kita itu “tumbuh diatas penderitaan orang
lain”. Yang tersentuh kebijakan itu kelas menengah-atas, bukan kelas menengah-bawah
atau kelas bawah.
Untuk itulah perlu suatu paradigma
baru dalam membangun daerah. Politik transaksional perlu dihilangkan. Jika susah
kita perlu mencobanya secara perlahan-lahan. Pemilu juga perlu diperbaiki,
partai politik juga begitu. Jangan sampai kita masih memelihara paradigma lama,
bahwa pemilu dianggap hanya sekedar untuk mendapatkan penguasa. Partai politik
juga seperti itu, jangan sampai memberi dukungan terhadap calon hanya sekedar
untuk menang-menangan saja. Partai politik adalah mercusuar perubahan, maka
dari itu dalam menentukan calon harus jeli, disaring sebaik mungkin agar
memperoleh kandidat seorang petarung (bukan bertinju), yang mepunyai politik
gagasan, berpolitik dengan argumen.
Namun jika tidak, maka siap-siaplah
kita menyaksikan kebijakan pragmatis-transaksional, yang akan mempuruk daerah. Tapi
tunggu dulu, bicara politik itu tidak melulu bicara kebijakan kecuali
sebaliknya.
Jika kita bicara kebijakan, memang mau
tidak mau kita akan berbicara politik. Jika kita berbicara tentang politik,
jangan disalahtafsirkan dulu karena makna politik itu banyak macamnya: dari
politik sebagai seni kemungkinan merebut dan mempertahankan kekuasaan sebagai
upaya untuk menanamkan kebaikan, juga politik sebagai ilmu. Kata Aristoteles
ini tentu berkaitan dengan kebijakan publik.
Jika kita membaca buku Machiavelli
dalam II Principe kita akan menemukan
sebuah pengibaratan tentang seorang penguasa dengan kekuasaannya. Dalam buku M Alfan Alfian (Bandit-Bandit Segala Bidang) dia menulis
seperti ini: karena seorang raja terpaksa mengetahui cara bertindak seperti
binatang, ia meniru rubah dan singa: karena singa tidak dapat membela diri
sendiri terhadap perangkap, dan rubah dapat membela diri terhadap srigala.
Karena orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap,
dan seperti singa untuk menakuti srigala.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
seorang politisi penguasa yang hanya bersikap seperti singa adalah bodoh.
Sehingga seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji karena
dengan demikian ia hanya merugikan diri sendiri, dan karena alasan yang
mengikat tidak ada lagi.
Lain Machiavelli, lain seorang
filosof Immanuel Kant yang menyebut adanya dua binatang dalam tiap diri
politikus yaitu ular yang ada di dada kiri dan burung merpati di dada kanan.
Ular menyimbolkan kelicikan, tetapi jahat. Ular itu sangat lincah, bisa
bergerak kekiri dan kekanan semua bisa diembat. Sedangkan burung merpati
menyimbolkan ketulusan dan kejernihan hati nurani.
Politisi dalam pengibaratan seperti
Immanuel Kant ini selalu bimbang: mau licik seperti ular atau tulus seperti
merpati. Namun politisi bisa berbadan ular berkepala merpati atau bisa berkepala
merpati berbadan ular.
Tetapi, tentunya saya tidak
mengibaratkan Nur Alam seperti seorang politisi dalam pengibaratan dua binatang
diatas. Gubernur Nur Alam adalah pemimpin yang mempunyai hati nurani, bukan
sosok seperti ular seperti yang diibaratkan oleh Immanuel Kant atau singa
seperti yang di contohkan oleh Machiavelli. Ia seorang penguasa yang mempunyai
tugas berat untuk memakmurkan masyarakatnya.
Semoga saja tidak terjadi apa-apa
dengan pemimpin kita, Gubernur Nur Alam yang hari ini sedang ditersangkakan
oleh KPK. Jika memang terbukti, maka ini bagian dari pelajaran kita sebagai
generasi saat ini. Nur Alam hanya akan menjadi masa lalu.
Kendari,
27 Agustus 2016
La
Ode Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar