08 Agustus 2016

Aku Yang Tengah Menjadi Manusia Gagal

Diriku di puncak Katulamende Buton Selatan

BICARA kegagalan, hal ini banyak orang-orang yang mengalaminya. Penyebab kegagalan mereka karena adanya berbagai faktor, misalnya kepandaian yang tidak dimiliki, dukungan finansial dan lain sebagainya. Kegagalan-kegagalan itu bukan saja membuat kehidupan suram dan putus asa, tetapi melihat dunia seolah-olah bukan lagi sebuah tempat yang mempunyai banyak makna dan rasional. Namun dengan demikian, manusia gagal tidak langsung berhenti begitu saja tetapi terus melakukan berbagai macam eksperimen, mencari pengalaman dan banyak belajar banyak hal dikehidupan ini.
Saya teringat tentang kisah Michael Faraday yang cukup fenomenal dikalangan para ilmuwan kala itu. Michael Faraday sang penemu generator ini tak banyak memiliki kepandaian dan juga dukungan finansial. Ia hidup miskin dibelantara kehidupan yang banyak dihuni orang-orang pandai, bangsawan dan borjuis. Ia hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) yang kemudian bekerja sebagai tukang jilid buku. Karena kebaikan sang Profesor Humphrey Davy yang kemudian menjadi mentornya dikemudian hari, Faraday dipekerjakan sebagai asisten dilaboratoriumnya.
Dikehidupannya menjadi asisten kian menjadi terhimpit. Kali ini bukan karena kemiskinannya tetapi ia seringkali diejek sebagai sarjana idiot karena tak pandai matematika. Ketika melanjutkan penelitian Oersted tentang hubungan listrik dan magnet, penemuannya menjadi kontroversial karena Prof. Humphrey Davy menuduh Faraday mencuri idenya. Disinilah perseteruan terjadi, apakah Faraday betul mencuri ide Prof. Davy atau tidak.
Ditengah pekerjaanya sebagai tukang jilid buku dan juga asisten, ia banyak meringkas dan mencoba menganalisis buku-buku yang ia jilid. Ia banyak belajar dan menemani mentornya kelaboratorium. Disinlah keberuntungan Michael Faraday terjadi ketika persiapan yang luar biasa tekun bertemu dengan kesempatan semesta mendukung (Mestakung). Michael Faraday yang belajar secara otodidak banyak memanfaatkan kesempatan itu, ketika mentornya banyak menemui kegagalan dalam eksperimennya.
Ketika mentornya meninggal, Faraday kemudian mencoba mengembangkan eksperimen itu yang lalu menemui keberhasilan. Ia kemudian menjadi ilmuwan dan dengan hukum Faradaynya, baterai, generator kemudian tercipta. Dan itu artinya tercipta jugalah alat-alat telekomunikasi dan internet.
***
Kisah ini bisa dibaca di buku karya Prof. Yohanes Surya bersama dengan Ellen Conny dan Sylvia Lim yang berjudul TOFI; Perburuan Bintang Sirius (Bagian 2). Saat membaca buku ini terutama tentang “Debat Faraday” saya membayangkan diriku saat ini yang tengah menjadi manusia gagal. Tentu bukan gagal dalam sebuah eksperimen untuk menjadi ilmuwan, tetapi gagal dalam sebuah pekerjaan untuk menuju ke ilmu pengetahuan itu. Gagal menjadi jurnalis di salah satu media Koran di Kendari dan gagal menjadi asisten. Dan pada akhirnya saya gagal untuk mengumpulkan finansial dan gagal untuk memahami metode-metode penelitian dalam ilmu ekonomi.
Dari sini saya sama seperti yang dialami oleh Faraday dalam hal, tidak memiliki kepandaian dan hidup miskin, tidak punya finansial untuk mendukung pendidikanku kedepannya. Namun Faraday adalah Faraday yang hidup di zamannya. Dan saya tidak bisa menjadi Faraday yang jenius itu, yang banyak belajar secara otodidak.
Dengan demikian, saya hanya mempelajari semangat belajarnya, dengan membuka lembar-perlembar buku-buku. Meskipun itu saya tau, tidak ada mimpi atau harapan untuk menjadi seorang ilmuwan. Karena saya yakin setiap orang seperti penulis, ilmuwan, cendekiawan atau pakar-pakar dilahirkan oleh zamannya masing-masing. Dan saya lahir dengan zaman yang berbeda dan kian berubah yang telah mengesampingkan intelektual dan banyak memuja kapitalisme. Bahkan ada juga orang-orang intelektual-kapitalis.
Manusia yang gagal seperti saya memang menyakitkan dan melihat dunia seakan tidak adil. Namun mencari keadilan di bawah matahari adalah sesuatu yang sangat mustahil. Keadilan dan juga kebenaran adanya hanyalah dilangit. Dengan semua itu, saya hanya belajar dari pengalaman-pengalaman ini. Saya cukup belajar dari kegagalan-kegagalan ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Benyamin Franklin bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik, sekaligus guru yang paling keras. Namun apapun itu, saya hanya perlu kuat dan banyak belajar tentang banyak hal untuk menjalani kehidupan ini.
Stalin pernah mengatakan “Rubalah hidumu, jika tidak ingin dikalah dengan hidup”. Mungkin pantas saya menuliskan hal dibawah ini:
Tidak ada setiap manusia yang lahir langsung berdiri tegak. Ia perlu jatuh, kemudian bangkit, jatuh lagi dan bangkit, lalu menegakan dirinya dengan menancapkan akarnya di bumi kehidupan. Seperti itulah juga adanya kehidupan manusia.
Tulisan ini bagian dari refleksi kegagalan-kegagalanku beberapa bulan yang lalu. Gagal menjadi Jurnalis dan asisten peneliti. Maaf, tulisan ini hanyalah uneg-uneg dan saya tidak bermaksud untuk meminta dikasihani.
Salam dari saya, La Ode Halaidin.
                                                                                   Kendari, 8 Agustus 2016
                                                                                   Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar