Diriku di puncak Katulamende Buton Selatan |
BICARA
kegagalan, hal ini banyak orang-orang yang mengalaminya. Penyebab kegagalan
mereka karena adanya berbagai faktor, misalnya kepandaian yang tidak dimiliki,
dukungan finansial dan lain sebagainya. Kegagalan-kegagalan itu bukan saja
membuat kehidupan suram dan putus asa, tetapi melihat dunia seolah-olah bukan
lagi sebuah tempat yang mempunyai banyak makna dan rasional. Namun dengan
demikian, manusia gagal tidak langsung berhenti begitu saja tetapi terus
melakukan berbagai macam eksperimen, mencari pengalaman dan banyak belajar
banyak hal dikehidupan ini.
Saya
teringat tentang kisah Michael Faraday yang cukup fenomenal dikalangan para
ilmuwan kala itu. Michael Faraday sang penemu generator ini tak banyak memiliki
kepandaian dan juga dukungan finansial. Ia hidup miskin dibelantara kehidupan
yang banyak dihuni orang-orang pandai, bangsawan dan borjuis. Ia hanya tamatan
Sekolah Dasar (SD) yang kemudian bekerja sebagai tukang jilid buku. Karena
kebaikan sang Profesor Humphrey Davy yang kemudian menjadi mentornya dikemudian
hari, Faraday dipekerjakan sebagai asisten dilaboratoriumnya.
Dikehidupannya
menjadi asisten kian menjadi terhimpit. Kali ini bukan karena kemiskinannya
tetapi ia seringkali diejek sebagai sarjana idiot karena tak pandai matematika.
Ketika melanjutkan penelitian Oersted tentang hubungan listrik dan magnet,
penemuannya menjadi kontroversial karena Prof. Humphrey Davy menuduh Faraday
mencuri idenya. Disinilah perseteruan terjadi, apakah Faraday betul mencuri ide
Prof. Davy atau tidak.
Ditengah
pekerjaanya sebagai tukang jilid buku dan juga asisten, ia banyak meringkas dan
mencoba menganalisis buku-buku yang ia jilid. Ia banyak belajar dan menemani
mentornya kelaboratorium. Disinlah keberuntungan Michael Faraday terjadi ketika
persiapan yang luar biasa tekun bertemu dengan kesempatan semesta mendukung
(Mestakung). Michael Faraday yang belajar secara otodidak banyak memanfaatkan
kesempatan itu, ketika mentornya banyak menemui kegagalan dalam eksperimennya.
Ketika
mentornya meninggal, Faraday kemudian mencoba mengembangkan eksperimen itu yang
lalu menemui keberhasilan. Ia kemudian menjadi ilmuwan dan dengan hukum
Faradaynya, baterai, generator kemudian tercipta. Dan itu artinya tercipta
jugalah alat-alat telekomunikasi dan internet.
***
Kisah
ini bisa dibaca di buku karya Prof. Yohanes Surya bersama dengan Ellen Conny
dan Sylvia Lim yang berjudul TOFI;
Perburuan Bintang Sirius (Bagian 2). Saat membaca buku ini terutama tentang
“Debat Faraday” saya membayangkan
diriku saat ini yang tengah menjadi manusia gagal. Tentu bukan gagal dalam
sebuah eksperimen untuk menjadi ilmuwan, tetapi gagal dalam sebuah pekerjaan
untuk menuju ke ilmu pengetahuan itu. Gagal menjadi jurnalis di salah satu
media Koran di Kendari dan gagal menjadi asisten. Dan pada akhirnya saya gagal
untuk mengumpulkan finansial dan gagal untuk memahami metode-metode penelitian
dalam ilmu ekonomi.
Dari
sini saya sama seperti yang dialami oleh Faraday dalam hal, tidak memiliki
kepandaian dan hidup miskin, tidak punya finansial untuk mendukung pendidikanku
kedepannya. Namun Faraday adalah Faraday yang hidup di zamannya. Dan saya tidak
bisa menjadi Faraday yang jenius itu, yang banyak belajar secara otodidak.
Dengan
demikian, saya hanya mempelajari semangat belajarnya, dengan membuka
lembar-perlembar buku-buku. Meskipun itu saya tau, tidak ada mimpi atau harapan
untuk menjadi seorang ilmuwan. Karena saya yakin setiap orang seperti penulis,
ilmuwan, cendekiawan atau pakar-pakar dilahirkan oleh zamannya masing-masing.
Dan saya lahir dengan zaman yang berbeda dan kian berubah yang telah
mengesampingkan intelektual dan banyak memuja kapitalisme. Bahkan ada juga
orang-orang intelektual-kapitalis.
Manusia
yang gagal seperti saya memang menyakitkan dan melihat dunia seakan tidak adil.
Namun mencari keadilan di bawah matahari adalah sesuatu yang sangat mustahil.
Keadilan dan juga kebenaran adanya hanyalah dilangit. Dengan semua itu, saya
hanya belajar dari pengalaman-pengalaman ini. Saya cukup belajar dari
kegagalan-kegagalan ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Benyamin Franklin
bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik, sekaligus guru yang paling keras.
Namun apapun itu, saya hanya perlu kuat dan banyak belajar tentang banyak hal untuk
menjalani kehidupan ini.
Stalin
pernah mengatakan “Rubalah hidumu, jika tidak ingin dikalah dengan hidup”. Mungkin
pantas saya menuliskan hal dibawah ini:
Tidak ada setiap manusia yang lahir
langsung berdiri tegak. Ia perlu jatuh, kemudian bangkit, jatuh lagi dan bangkit,
lalu menegakan dirinya dengan menancapkan akarnya di bumi kehidupan. Seperti
itulah juga adanya kehidupan manusia.
Tulisan
ini bagian dari refleksi kegagalan-kegagalanku beberapa bulan yang lalu. Gagal
menjadi Jurnalis dan asisten peneliti. Maaf, tulisan ini hanyalah uneg-uneg dan
saya tidak bermaksud untuk meminta dikasihani.
Salam
dari saya, La Ode Halaidin.
Kendari, 8 Agustus 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar