ilustrasi |
Beberapa
hari yang lalu, saya mengunjungi rumah salah seorang sahabat. Dari jauh saya
melihat ada beberapa bendera merah putih yang dikibarkan dengan menggunakan
bambu dan kayu-kayu. Wajar saja jika bendera bertebaran karena kita tengah
memperingati hari proklamasi kemerdekaan tepatnya tanggal 17 Agustus. Setiap
sekali setahun kita memperingati hari kemerdekaan ini, menghormati dan
mengingat para pahlawan kita yang gugur dalam memperjuangkan Indonesia dari
penjajah kolonialisme dan imperialis.
Saya
kemudian mengatakan kepada sahabat itu; saya bilang, ternyata bendera disini banyak
sekali! Lalu sahabat itu langsung menangkap cepat kata-kata saya itu; iya, ini kan 17
Agustus, hari proklamasi kemerdekaan, kita harus memperingatinya. Kita harus
merayakannya, kita harus bangga dan itu pertanda kita punya nasionalisme.
Mendengar
jawaban sahabat itu saya terdiam sejenak. Iya juga ya. Tapi apakah logis jika
kita memasang bendera, merayakan dan memperingati yang kemudian membumbuhi
tanda bahwa kita punya nasionalisme!. Saya memang tidak memasang bendera karena
tak ada kamar, dan tempat tinggal. Tapi jangan menganggap bahwa saya tidak
nasionalis. Saya hidup dengan melalangbuana, dari kamar teman ke kamar teman,
dari rumah sahabat ke rumah sahabat lainnya. Masa saya harus memasang bendera
di jalanan sana lantaran saya, punya nasionalisme yang tinggi. Tetangga rumah
sahabat saya pun tidak memasang bendera. Boro-boro katanya memasang bendera, bendera
kan hanya bagian dari nasionalisme simbolik belaka. Saya punya nasionalisme,
tapi bukan dalam artian dengan hanya memasang bendera.
Saya
kemudian mengajukan pernyataan ke sahabat itu; jika kamu ingin mengetahui
nasionalisme seseorang, tidak bisa hanya dengan mengibarkan bendera
didepan pagar rumah. Itu absurd Bung. Kamu ingin mengetahui nasionalisme saya!
Nasionalisme saya itu ada dihati dan pikiran saya sendiri, bukan ditunjukan
dengan sesuatu yang simbolik semata. Itu namanya nasionalisme pagaran. Apa
penting orang seperti kita yang tidak punya kekuasaan dan uang punya
nasionalisme. Kita mau apa! Suda seberapa sering kita melihat tanah-tanah
rakyat kecil dirampok dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Kita memperjuangkan
mereka, tapi akan sampai dimana! Sementara mereka dilindungi oleh negara dengan
produk hukumnya. Kita sering dibuat meringis kesakitan karena tak bisa berbuat
apa-apa.
Banyak
yang mengatakan dirinya nasionalisme, tapi dalam tindakannya justru tidak
menunjukan demikian. Proyek diakumulasi untuk kepentingan keluarga, kelompok,
kerabat dan mitra bisnis di partai. Tidak percaya! Lihatlah partai-partai,
politisinya sering berkoar-koar tentang nasionalisme mementingkan kepentingan
dalam negeri, tetapi ikut kongkalingkong berebut proyek, untuk memperkaya diri
dan ujung-ujungnya korupsi dan jeruji besi.
***
Perdebatan
tentang nasionalisme memang selalu menarik perhatian berbagai kalangan baik
cendekiawan, intelaktual, akademisi, dan para politisi. Jika kita tidak pro
dengan kebijakan nasional untuk kepentingan dalam negeri, kita akan dianggap
lliberal, kapitalis dan mungkin juga dianggap pro Barat. Sebaliknya jika pro,
maka kita dianggap nasionalis, pendukung kepentingan dalam negeri. Namun, melihat
kelakuan para politisi dan pemimpin kita beberapa tahun terakhir ini. selalu
diperhadapkan dengan berbagai paradoksal tentang hal ini. Kepentingan dalam
negeri, tapi masyarakat kita tak makmur-makmur, bangsa kita tak besar- besar
(hanya wilayahnya yang besar). Pertanyaannya, kepentingan dalam negeri yang
seperti apa yang dikedepankan? Jangan-jangan kepentingan itu hanya untuk para
elit pengusaha dalam negeri, partai politik dan oknum-oknum tertentu yang
selalu mengumbar nasionalisme.
Lalu
ada lagi pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran, kalau nasionalisme, lalu
nasionalisme yang seperti apa? Para bandit juga punya nasionalisme yaitu
nasionalisme untuk kepentingan bisnis, memperkaya keluarga dan kolega, kelompok
dan juga partai politik di dalam negeri. Bukan untuk kepentingan Barat kan,
tapi kepentingan dalam negeri. Lalu buat siapakah kepentingan dalam negeri itu!
Buat wong cilik, boro-boro. Masyarakat kecil kita makan saja susah. Kita punya
kekayaan alam yang begitu besar, namun dimanakah hasil kekayaan alam semua itu
dialirkan!
***
Tulisan
ini bukan bentuk propaganda atau doktrinisasi agar sebagian wilayah Indonesia
memerdekakan diri. Ini tentunya sangat sulit, karena ada doktrin yang suda
melekat dalam darah daging elit dan tokoh politik kita sendiri yaitu NKRI. Tulisan
ini hanya bentuk refleksi karena bertepan dengan hari kemerdekaan bangsa
Indonesia tahun ini. Kemerdekaan yang terlepas dari belenggu penjajahan
kolonialis dan imperialisme. Bung Karno bilang; bahwa kemerdekaan saat itu adalah
jembatan emas. Ia, bentuk kemerdekaan saat itu hanya ingin terlepas dari
belenggu penjajah, bukan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Dari
kemerdekaan itulah, saat ini kita membutuhkan kemerdekaan lagi dalam arti yang
sesungguhnya. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari ketidakadilan, merdeka dari
ketakutan dan merdeka dari bandit-bandit yang terus mengekang dan mengangkangi
demokrasi.
Dalam
buku M Alfan Alfian Bandit-Bandit Segala
Bidang (2016) kita dapat menemukan pencerahan mengapa bangsa ini tidak
bangkit-bangkit. Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa ada tujuh jerat yang
membuat bangsa kita sekarang ini belum bangkit-bangkit; pertama, jeratan korupsi, kedua,
pragmatisme-kekuasaan dan jalan pintas, ketiga,
ketergantungan, keempat, konsumerisme,
kelima, feodalisme, keenam, primordialisme dan ketujuh, simbolis-mitologis. Semua ini
tentunya akan bermuara pada ketidakmerdekaannya masayarakat kecil kita diakar
rumput yang terus terkungkung pada
kemiskinan dan kemelaratan.
Dalam
tulisan lain M Alfan Alfian mengutip pendapat Ignatius Wibowo yang mengulas
tentang fenomena bandit demokrasi. Dalam buku Ignatius Wibowo itu tentang Negara dan Bandit Demokrasi (2011) ia
meminjam tesis Mancur Olson dalam Power
and Prosperty (2000). Ada dua jenis bandit yang menyebabkan kemiskinan dan
tak kunjung datangnya kemakmuran dalam suatu negara yaitu adanya roving
bandit atau bandit yang mengembara dan stationary
bandit atau bandit yang menetap. Satu lagi ditambahkan oleh M Alfan Alfian
sendiri yaitu in between bandit atau
bandit yang setengah menetap setengah mengembara.
Masih
menurut M Alfan Alfian bahwa demokrasi kita bisa kolaps oleh tingkah laku para
bandit seperti ini. Ia mencatat pendapat Ignatius Wibowo bahwa roving bandit lebih buas dari pada stationary bandit, meskipun sama-sama
berpikiran menjarah, merampas kekayaan negara, roving bandit lebih leluasa, atraktif dalam mengerahkan aji
mumpung bahwa mumpung masih berkuasa, ia akan menjarah dengan sepuasnya. Sementara
stationary bandit ia menjarah secara
pelan-pelan tetapi daya rusaknya tidak kalah mengerikan. Sementara between in bandit ia lebih luwes dalam
berpraktik.
Tiga
bandit diatas adalah bandit-bandit disegala bidang (meminjam sitilah M Alfan
Alfian) yang mebuat masarakat kecil bangsa ini dimiskinkan. Sistem dikangkangi
sehingga tidak terjadi perbaikan, politik disandera demi kepentingan kelompok. Hak
hidup mereka secara layak dirampas meskipun dalam sistem demokrasi seperti hari
ini. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah seperti sinyalemen Hobsbawm bahwa
perbanditan akan selalu ada dan berkembang, dengan menjarah dan terus menjarah.
Pada
akhirnya kita tidak bisa terus terlelap dalam tidur pulas kita sebagai bangsa. Mental
bangsa harus terus diperbaiki dari berbagai penjuru. Saya sepakat dengan apa
yang dikatakan oleh presiden Jokowi pada penyampaian sidang MPR kemarin bahwa negara
kita bisa menjadi negara yang besar dan maju jika kita bisa keluar dari zona
nyaman. Namun kita tidak hanya perlu inovasi namun juga paradigma berpikir yang
lalu menghilangkan mental pelancung anak-anak bangsa.
Kita
perlu bangun dari keterlelapan kita (meminjam istilah Nurcholish Madjid) “terowongan
gelap sejarah”. Demokrasi harus menjadi sistem yang dapat bermuara pada
kemakmuran masyarakat kecil dan bukan sebaliknya dikangkangi atau dijadikan sandra
untuk mengakumulasi kekayaan. Demokrasi perut (meminjam istilah Ahmad Syafii
Maarif dalam buku M Alfan Alfian) perlu dihilangkan karena menjadi politisi
bukan sekedar hanya untuk mencari pekerjaan tetapi dengan melayani rakyat. Sehingga
dengan demikian kemerdekaan yang sesungguhnya dapat terwujud dan dinikmati oleh
masyarakat kecil dibangsa ini.
Ayo
merdeka, sekali lagi merdeka!
Kendari, 17 Agustus 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar