16 Agustus 2016

Ayo Merdeka, Sekali Lagi Merdeka!

ilustrasi

Beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi rumah salah seorang sahabat. Dari jauh saya melihat ada beberapa bendera merah putih yang dikibarkan dengan menggunakan bambu dan kayu-kayu. Wajar saja jika bendera bertebaran karena kita tengah memperingati hari proklamasi kemerdekaan tepatnya tanggal 17 Agustus. Setiap sekali setahun kita memperingati hari kemerdekaan ini, menghormati dan mengingat para pahlawan kita yang gugur dalam memperjuangkan Indonesia dari penjajah kolonialisme dan imperialis.
Saya kemudian mengatakan kepada sahabat itu; saya bilang, ternyata bendera disini banyak sekali! Lalu sahabat itu langsung menangkap cepat kata-kata saya itu; iya, ini kan 17 Agustus, hari proklamasi kemerdekaan, kita harus memperingatinya. Kita harus merayakannya, kita harus bangga dan itu pertanda kita punya nasionalisme.
Mendengar jawaban sahabat itu saya terdiam sejenak. Iya juga ya. Tapi apakah logis jika kita memasang bendera, merayakan dan memperingati yang kemudian membumbuhi tanda bahwa kita punya nasionalisme!. Saya memang tidak memasang bendera karena tak ada kamar, dan tempat tinggal. Tapi jangan menganggap bahwa saya tidak nasionalis. Saya hidup dengan melalangbuana, dari kamar teman ke kamar teman, dari rumah sahabat ke rumah sahabat lainnya. Masa saya harus memasang bendera di jalanan sana lantaran saya, punya nasionalisme yang tinggi. Tetangga rumah sahabat saya pun tidak memasang bendera. Boro-boro katanya memasang bendera, bendera kan hanya bagian dari nasionalisme simbolik belaka. Saya punya nasionalisme, tapi bukan dalam artian dengan hanya memasang bendera.
Saya kemudian mengajukan pernyataan ke sahabat itu; jika kamu ingin mengetahui nasionalisme seseorang, tidak bisa hanya dengan mengibarkan bendera didepan pagar rumah. Itu absurd Bung. Kamu ingin mengetahui nasionalisme saya! Nasionalisme saya itu ada dihati dan pikiran saya sendiri, bukan ditunjukan dengan sesuatu yang simbolik semata. Itu namanya nasionalisme pagaran. Apa penting orang seperti kita yang tidak punya kekuasaan dan uang punya nasionalisme. Kita mau apa! Suda seberapa sering kita melihat tanah-tanah rakyat kecil dirampok dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Kita memperjuangkan mereka, tapi akan sampai dimana! Sementara mereka dilindungi oleh negara dengan produk hukumnya. Kita sering dibuat meringis kesakitan karena tak bisa berbuat apa-apa.
Banyak yang mengatakan dirinya nasionalisme, tapi dalam tindakannya justru tidak menunjukan demikian. Proyek diakumulasi untuk kepentingan keluarga, kelompok, kerabat dan mitra bisnis di partai. Tidak percaya! Lihatlah partai-partai, politisinya sering berkoar-koar tentang nasionalisme mementingkan kepentingan dalam negeri, tetapi ikut kongkalingkong berebut proyek, untuk memperkaya diri dan ujung-ujungnya korupsi dan jeruji besi.
***
Perdebatan tentang nasionalisme memang selalu menarik perhatian berbagai kalangan baik cendekiawan, intelaktual, akademisi, dan para politisi. Jika kita tidak pro dengan kebijakan nasional untuk kepentingan dalam negeri, kita akan dianggap lliberal, kapitalis dan mungkin juga dianggap pro Barat. Sebaliknya jika pro, maka kita dianggap nasionalis, pendukung kepentingan dalam negeri. Namun, melihat kelakuan para politisi dan pemimpin kita beberapa tahun terakhir ini. selalu diperhadapkan dengan berbagai paradoksal tentang hal ini. Kepentingan dalam negeri, tapi masyarakat kita tak makmur-makmur, bangsa kita tak besar- besar (hanya wilayahnya yang besar). Pertanyaannya, kepentingan dalam negeri yang seperti apa yang dikedepankan? Jangan-jangan kepentingan itu hanya untuk para elit pengusaha dalam negeri, partai politik dan oknum-oknum tertentu yang selalu mengumbar nasionalisme.
Lalu ada lagi pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran, kalau nasionalisme, lalu nasionalisme yang seperti apa? Para bandit juga punya nasionalisme yaitu nasionalisme untuk kepentingan bisnis, memperkaya keluarga dan kolega, kelompok dan juga partai politik di dalam negeri. Bukan untuk kepentingan Barat kan, tapi kepentingan dalam negeri. Lalu buat siapakah kepentingan dalam negeri itu! Buat wong cilik, boro-boro. Masyarakat kecil kita makan saja susah. Kita punya kekayaan alam yang begitu besar, namun dimanakah hasil kekayaan alam semua itu dialirkan!
***
Tulisan ini bukan bentuk propaganda atau doktrinisasi agar sebagian wilayah Indonesia memerdekakan diri. Ini tentunya sangat sulit, karena ada doktrin yang suda melekat dalam darah daging elit dan tokoh politik kita sendiri yaitu NKRI. Tulisan ini hanya bentuk refleksi karena bertepan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini. Kemerdekaan yang terlepas dari belenggu penjajahan kolonialis dan imperialisme. Bung Karno bilang; bahwa kemerdekaan saat itu adalah jembatan emas. Ia, bentuk kemerdekaan saat itu hanya ingin terlepas dari belenggu penjajah, bukan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Dari kemerdekaan itulah, saat ini kita membutuhkan kemerdekaan lagi dalam arti yang sesungguhnya. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari ketidakadilan, merdeka dari ketakutan dan merdeka dari bandit-bandit yang terus mengekang dan mengangkangi demokrasi.
Dalam buku M Alfan Alfian Bandit-Bandit Segala Bidang (2016) kita dapat menemukan pencerahan mengapa bangsa ini tidak bangkit-bangkit. Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa ada tujuh jerat yang membuat bangsa kita sekarang ini belum bangkit-bangkit; pertama, jeratan korupsi, kedua, pragmatisme-kekuasaan dan jalan pintas, ketiga, ketergantungan, keempat, konsumerisme, kelima, feodalisme, keenam, primordialisme dan ketujuh, simbolis-mitologis. Semua ini tentunya akan bermuara pada ketidakmerdekaannya masayarakat kecil kita diakar rumput yang  terus terkungkung pada kemiskinan dan kemelaratan.
Dalam tulisan lain M Alfan Alfian mengutip pendapat Ignatius Wibowo yang mengulas tentang fenomena bandit demokrasi. Dalam buku Ignatius Wibowo itu tentang Negara dan Bandit Demokrasi (2011) ia meminjam tesis Mancur Olson dalam Power and Prosperty (2000). Ada dua jenis bandit yang menyebabkan kemiskinan dan tak kunjung datangnya kemakmuran dalam suatu negara yaitu adanya  roving bandit atau bandit yang mengembara dan stationary bandit atau bandit yang menetap. Satu lagi ditambahkan oleh M Alfan Alfian sendiri yaitu in between bandit atau bandit yang setengah menetap setengah mengembara.
Masih menurut M Alfan Alfian bahwa demokrasi kita bisa kolaps oleh tingkah laku para bandit seperti ini. Ia mencatat pendapat Ignatius Wibowo bahwa roving bandit lebih buas dari pada stationary bandit, meskipun sama-sama berpikiran menjarah, merampas kekayaan negara, roving bandit lebih leluasa, atraktif dalam mengerahkan aji mumpung bahwa mumpung masih berkuasa, ia akan menjarah dengan sepuasnya. Sementara stationary bandit ia menjarah secara pelan-pelan tetapi daya rusaknya tidak kalah mengerikan. Sementara between in bandit ia lebih luwes dalam berpraktik.
Tiga bandit diatas adalah bandit-bandit disegala bidang (meminjam sitilah M Alfan Alfian) yang mebuat masarakat kecil bangsa ini dimiskinkan. Sistem dikangkangi sehingga tidak terjadi perbaikan, politik disandera demi kepentingan kelompok. Hak hidup mereka secara layak dirampas meskipun dalam sistem demokrasi seperti hari ini. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah seperti sinyalemen Hobsbawm bahwa perbanditan akan selalu ada dan berkembang, dengan menjarah dan terus menjarah.
Pada akhirnya kita tidak bisa terus terlelap dalam tidur pulas kita sebagai bangsa. Mental bangsa harus terus diperbaiki dari berbagai penjuru. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh presiden Jokowi pada penyampaian sidang MPR kemarin bahwa negara kita bisa menjadi negara yang besar dan maju jika kita bisa keluar dari zona nyaman. Namun kita tidak hanya perlu inovasi namun juga paradigma berpikir yang lalu menghilangkan mental pelancung anak-anak bangsa.
Kita perlu bangun dari keterlelapan kita (meminjam istilah Nurcholish Madjid) “terowongan gelap sejarah”. Demokrasi harus menjadi sistem yang dapat bermuara pada kemakmuran masyarakat kecil dan bukan sebaliknya dikangkangi atau dijadikan sandra untuk mengakumulasi kekayaan. Demokrasi perut (meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif dalam buku M Alfan Alfian) perlu dihilangkan karena menjadi politisi bukan sekedar hanya untuk mencari pekerjaan tetapi dengan melayani rakyat. Sehingga dengan demikian kemerdekaan yang sesungguhnya dapat terwujud dan dinikmati oleh masyarakat kecil dibangsa ini.
Ayo merdeka, sekali lagi merdeka!

                                                                                    Kendari, 17 Agustus 2016
                                                                                    Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar