Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

25 Juli 2016

Tak Bisakah Membangun Tanpa Menebang?

Ilustrasi dari: versesovuniverse.blogspot.com

JUDUL ini seringkali mengusik saya beberapa hari ini, melihat kondisi apa yang sedang terjadi di Kota Kendari, terutama yang berada di Jln. HEA Mokodompit Kampus Baru. Saya melihat dan membayangkan ada sesuatu yang lain ketika melihat jalanan itu dari jauh. Perubahannya begitu mencolok didepan mata, terang, panas dan jalanannya terasa luas serta berdebu. Sekilas meneropong ternyata begitu tampak, ada batang-batang pohon besar disana yang berbaringan. Kira-kira ditumbangkan sekitar dua atau tiga hari yang lalu.
Saya melihat keadaan yang kacau-balau tersebut pada saat kembali di Kendari, dari kampung halaman saya di Muna. Ketika itu saya menaiki mobil angkot hendak menuju ke Kampus Baru. Di sepanjang perjalanan, saya melihat batang-batang pohon yang berbaringan dengan akar yang tercabut disana-sini. Pikirku, ohh…. mungkin ada pelebaran jalan lagi disini! Tidak jauh dari itu saya melihat skapator Cat. Ternyata mobil inilah yang menghancurkan, mencabut akar-akar dan memotong-motong batang pohon tersebut, yang usianya sekitar kurang lebih 30 tahunan itu.
***
Di Jalan HEA. Mokodompit Kampus Baru akan dibuatkan jalan dua jalur, maka pohon-pohon yang dianggap menganggu dihancurkan habis-habisan. Namun sebelumnya sekitar beberapa bulan yang lalu, pelebaran jalan dengan mengorbankan pohon-pohon yang rindang juga terjadi di jalan Wua-Wua. Ada beberapa pohon yang saya lihat ditebang, dipotong-potong dan berbaringan disana-sini. Hal itu dilakukan karena diperkirakan suda terlalu banyaknya penduduk, kendaraan terasa suda sesak dan kelas menengah suda mulai makin tumbuh. Orang kaya pun bertebaran dimana-mana dengan kendaraannya, bagai daun gugur yang jatuh dari pohon-pohon yang berbaring itu. Bayangkan saja, pohon yang ditanam, dipelihara suda berpuluh-puluh tahun, dihancurkan dalam waktu sekejap, hanya beberapa jam saja.
Mengutip apa yang dikatakan salah satu arsitek legendaris Bandung, dalam tulisan Dewi Lestari ‘Satu Orang Satu Pohon’ yang diterbitkan Pikiran Rakyat, ia mengatakan, lebih baik memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah daerah. Kita selalu berhaluan pemikiran dengan mereka. Menyamakan presepsi untuk kemudian tidak ada yang dikorbankan, itu sesuatu hal yang sangat tidak mungkin. Mereka jalan sendiri dengan kekuasaannya. Seorang perencana daerah dan pemerintah sama-sama menekankan pemikiran, bahwa kemajuan dapat dilihat jika ada pembangunan di sana. Ia, itu saja. Cuman itu, yang ada ditempurung otak mereka.
Sepertinya saya tidak terlalu menyetujui pemikiran ini. Membangun tetapi selalu ada saja yang menjadi korban. Pertanyaannya, tak bisakah jika membangun tanpa menebang! Rasa-rasanya sangat sulit bagi pemerintah daerah dan seorang perencana untuk melakukan demikian. Maka pohon-pohon harus menjadi korban demi pembangunan itu. Lalu, untuk apa pohon itu dulu ditanam dan dibesarkan! Bukankan sebuah pohon, berhak untuk hidup lalu memberikan sebuah suplai oksigen dalam kehidupan manusia. Bukankan hidup kita akan lebih layak dan sehat jika dijalanan sana terdapat pohon-pohon yang rindang, yang dapat memberikan kesejukan!
Namun jika kita menoleh kebelakang, rupanya kita selalu tidak mempunyai perencanaan yang matang dalam penataan dan pembangunan kota. Pemerintah daerah dan seorang perencana sama-sama menekankan pemikiran pragmatis mereka, yang hanya seolah menjalankan program beserta kebijakannya. Seharusnya pemerintahan daerah dan perencana yang sebelum-sebelumnya dapat memprediksi bahwa sepuluh atau dua puluh tahun kedepan, daerah akan tengah berkembang. Sehingga dengan itu, kemudian dapat diperkirakan akan ada pelebaran jalan dikemudian hari. Dengan hal tersebut tentunya, pohon-pohon dapat ditanam pada tempat yang aman dengan perkiraan bahwa sepuluh atau dua puluh tahun kedepan pohon-pohon itu tidak dapat ditebang. Sehingga kemudian tidak menjadi korban, seperti yang terjadi hari ini. Seharusnya itu yang mereka lakukan. Bukan hanya atas dasar proyek semata, untuk mengisi kantong-kantong kosong mereka.
Kita juga tentunya masyarakat terkadang selalu mendambakan pembangunan, agar terkesan bahwa daerah kita tengah maju. Kita selalu memimpikan daerah yang metropolit, maka membangun gedung hotel pencakar langit, pusat perbelanjaan mall, lippo dan trade centre merupakan suatu keharusan dan sangat wajar. Namun sadarkah kita bahwa dibalik pembangunan itu, seringkali ada korban-korban yang harus menanggungnya. Pohon-pohon yang rindang, pedagang kaki lima yang semakin tergeser, gedung tua yang mungkin bersejarah dan lain sebagainya, dianggap sebagai konsekuensi paradoks dari pembangunan . Bukankah ini hal yang aneh! Atas nama pembangunan, maka apa saja dapat dikorbankan tanpa ada kompensasi. Inilah kekuasaan. Maka tak heran mereka seenaknya saja. Yang penting proyek basah, dan kantong semakin tebal.
Ilustrasi dari: fisiologi-pohon.com
Kendari sangat kekurangan taman hijau yang dapat meneyediakan paru-paru kota yang layak, tetapi seringkali pohon-pohon pelindung disamping jalanan habis ditebang atas nama pembangunan pelebaran jalan. Alasannya hanya itu, demi pembangunan infrastruktur jalan, pelebaran jalan, bangun mall dan lain sebagainya. Hal itu tentunya akibat dari jumlah penduduknya yang tengah membuncah serta kendaraan yang telah membludak. Namun jika kita sesekali menerangkan mata, pembangunan infrastruktur jalan itu, memperlihatkan ketidakberesan. Kadang sepotong-sepotong, sebelah diaspal sebelah tidak, lampu penerang jalan tidak menyala dan yang paling memuakan ketika saya lewat, matahari begitu panas karena tak ada pohon pelindung.
***
Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat telah menjadi kalimat sakti pemerintah daerah, demi ter ACC-nya sebuah proyek-proyek dalam berbagai rupa. Proyek-proyek itu semua terkadang hanya berbentuk kasat mata, ada pelebaran jalan, pengaspalan yang dilapisi berlapis-lapis aspal, ada gedung pasar, ada pembuatan jembatan layang dan lain sebagainya. Seolah semua pertanda keberhasilan. Pertanyaannya, apakah hal ini dapat menyentuh masyarakat kecil dari hulu? Jawabannya, belum tentu.
Anggaran pembangunan seringkali terlalu banyak diserap untuk pembangunan kota, lalu kemudian mengabaikan adanya pembangunan untuk memajukan desa. Sementara masyarakat hulu berteriak dalam kesunyiannya, karena pemerintah daerah tak pernah menjenguk, mengunjungi, mendengarkan dan mengalokasikan anggaran untuk hanya sekedar menyentuh kesejahteraan mereka. Pemerintah daerah selalu berpikir, jika anggaran dapat dialokasikan dengan sebesar-besarnya untuk pembangunan kota, maka uang-uang itu dapat mengalir secara alamiah di desa-desa. Malah yang terjadi bukan demikian, uang-uang itu justru mengalir ke kantong-kantong birokrasi borjuis yang seringkali membisniskan proyek.
Lihat saja jalan-jalan pertanian masyarakat petani kita yang tidak terakses dengan baik karena pengerasan berbatu-batu, rawa-rawa, lumpur, dan masih ber-hutan-hutan. Anggaran perbaikan jalan pertanian mereka tak kunjung tiba. Entah kemana! Sementara pemerintah daerah dengan bangganya membangun jalan untuk menuju istananya. Seolah jalan itu dibuat hanya untuk para kolega bisnisnya, birokrasinya dan relasi-relasi bisnis antar partai. Pemimpin daerah kita agaknya lupa bahwa keberhasilan sebuah kota bukan hanya diukur seberapa banyaknya gedung pertokoan, hotel-hotel, mall-mall, Lippo, supermarket, dan pelebaran jalan yang dibangun, yang hanya bersifat kemakmuran dadakan dan musiman. Melainkan juga harus melihat, apakah dengan hal demikian, kota tersebut dapat menjadi tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya.
Sekali lagi, tak bisakah membangun tanpa menebang! Atau tak bisakah membangun tanpa mengorbankan segala sesuatu yang menyangkut hajat untuk hidup orang banyak! Pembangunan Kota dan desa seperti sebuah paradoks. Kota bergincu infrastruktur, namun kehilangan paru-paru kota sebagai tempat yang sehat. Sedangkan desa infrastruktur jalan berkerikil, berbatu-batu, tetapi mempunyai pohon-pohon yang rindang sebagai paru-paru yang layak ditempati.
Maka dengan itu, apa yang dikatakan Budiman Sudjatmiko dalam buku 2-nya ‘Anak-anak Revolusi’ memang benar bahwa Indonesia memiliki dua wajah yang berpaling ke arah berbeda dan tidak saling menyapa. Yang satu adalah wajah berkelimpahan dan bagus bergincu infrastruktur pembangunan yang seronok; itulah kota-kota besar. Sementara yang satunya lagi adalah wajah keterbatasan dan keterbelakangan infrastruktur dan terabaikan; itulah desa.
Untuk itu, marilah kita memulai kesadaran dari diri sendiri. Saya tau di Jln. HAE Mokodompit Kampus Baru, akan mulai gersang karena baru saja memutuskan hubungan dengan pohon-pohon itu. Namun saya juga meyakini bahwa masyarakat kampus mempunyai kesadaran intelektual yang tinggi. Maka dari itu seperti yang dikatakan oleh penulis buku ‘Intelejensi Embun pagi’ Dewi Lestari, kita bisa memulai itu dengan 'Gerakan Satu Orang Satu Pohon' untuk Kota Kendari. Jika tak ada pekarangan, maka gunakanlah dengan menggunakan pot, ember bekas dan lain sebagainya disamping-samping rumah kita. Jika pemerintah daerah tak lagi memberikan paru-paru kota yang layak, perkayalah oksigen kita dengan menanam sendiri.
                                                                                   Kendari, 26 Juni 2016
                                                                                   Laode Halaidin

Bahagianya Bersama Ponakan

Inilah dua ponakan saya dari kiri kekanan tengah.

17 Juli 2016

Mahalnya Harga Buku

Ilustrasi: Sumber Gambar; samaggi-phala.or.id

MENGAMATI perkembangan di era digital sekarang, sebagian orang kadang suda mengesampingkan untuk membeli buku-buku. Tentunya mereka lebih memilih lewat online atau dalam bentuk e-book. Ini suatu capaian yang luar biasa, karena adanya topangan kecanggihan teknologi yang merupakan bagian dari aplikasi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain, kita suda dikepung yang namanya perpustakaan online. Perpustakaan online ini membuat kita dengan muda dapat mengaksesnya dimana, kapan, dan bagaimanapun. Dengan demikian, tentunya kita sedang berada dalam literatur yang sangat luar biasa canggih.
Namun, apakah membeli buku di tokoh-tokoh buku masih penting! Tentunya masih penting dan sangat perlu. Bagi para penulis dan pekerja intelektual atau peneliti, membeli, membaca dan kemudian menuliskan buku tersebut, merupakan proses untuk kemudian mengikat makna sebagaimana kata Hernowo. Buku merupakan ilmu pengetahuan dan bagian dari sumber inspirasi. Saya sendiri, lebih suka membaca dalm bentuk buku, daripada lewat online dalam bentuk e-book. Namun keduanya tentunya sangat penting.
Memang kehadirannya dirasa terus bergerak cepat. Namun teknologi membuat hidup kita serba praktis, serba instan. Bentuk buku dan bentuk e-book lewat online, kita sadari bahwa keduanya merupakan sama-sama ilmu pengetahuan. Tentu ilmu pengetahuan bukanlah benda mati, ia selalu aktual jika diaktualisasikan. Dan bentuk buku dan e-book yang merupakan karya-karya intelektual adalah benda hidup yang selalu mengajak orang-orang untuk mendiskusikannya, mendialogkannya dan membuat kita berpikir. Namun ruang lingkup keduanya tentu sangat berbeda. Sebagaimana kata M Alfan Alfian yang satu dalam bentuk buku yang membuat kita hidup lebih bermakna, yang satunya lagi lewat online dalam bentuk e-book yang membuat kita hidup lebih praktis, atau saya sebut instan. Dalam hal ini, sejatinya buku lebih bermakna daripada yang praktis atau dalam bentuk e-book, meskipun keduanya sama-sama penting.
Saya teringat dalam buku M Alfan Alfian Bagaimana Saya Menulis. Ia mengutip apa yang diuraikan Ian F McNelly dan Lisa Wolverton dalam bukunya Reinventing Knowledge, From Alexandria to Internet (2008), yang mengatakan bahwa “era reformasi saat ini mengancam untuk membuat pengetahuan penting hanya sesaat, seperti halnya pulsa elektronik yang mengalir lewat kabel serat optiik”. Tentunya kita bukan tidak menyetujui adanya teknologi yang menghadirkan munculnya ilmu pengetahuan lewat online dalam bentuk e-book. Namun kita harus lebih menekankan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya terus hadir, dirawat, dipelihara agar lebih bermakna, dalam hal ini terpraktikan dan teramalkan pada segenap anak bangsa. Tidak harus tergerus oleh budaya populer, dan modernis lalu kemudian terlupakan. Olehnya itu, ilmu pengetahuan perlu hadir dalam bentuk buku-buku dengan perpustakaannya yang indah dan megah. Tapi tak lupa, juga harus hadir dalam bentuk e-book. Ini sangat penting agar tidak termakan dan hangus oleh zaman.
Dengan buku tentu dapat teramalkan dengan baik, dipinjamkan ke sahabat-sahabat, dapat ditemukan diberbagai tokoh-tokoh buku, dibaca banyak orang, dapat dibawah kemana-mana, dan buku akan terus ada, tidak pernah dimakan usia jika dirawat dengan baik. Sementara e-book, kemungkinan hanya banyak dijangkau oleh kelas menengah dan kelas atas di negeri ini. Sementara kelas bawah tak dapat menikmati, memiliki dan membaca, jika tak bisa memiliki Leptop, Notebook, Aipet, Tablet dan HP yang memiliki Android. Karena berbagai macam teknologi ini harganya sangat mahal, bisa jutaan rupiah. Dan buku hanya berharga belasan ribu untuk buku yang mempunyai tebal 100-an halaman, sampai ratusan ribu bagi buku-buku yang tebal, khusus di Jawa, Yogyakarta, dan Jakarta. Namun tak bisa dipungkiri, mungkin saja harga-harga diatas bagi mereka juga sangat mahal.
Lain Jawa, Yogyakarta, Jakarta, juga lain Kendari. Mungkin untuk harga buku di Jawa, Yogyakarta dan Jakarta bagi orang Kendari sangat murah. Karena di daerah Kendari harga buku-bukunya sangatlah mahal. Tokoh buku seperti Gramedia di Kendari harga buku-bukunya terpatok sampai hampir 200 Ribu rupiah dengan tebal sekitar 300-400 halaman. Sedangkan untuk buku dengan tebal 100-200 halaman biasanya harganya dipatok dari harga 90 Ribu rupiah sampai 60 Ribu rupiah. Untuk ukuran orang-orang Kendari tentu harga diatas sangatlah mahal, apalagi untuk ukuran anak-anak mahasiswa dan mahasiswinya. Mungkin karena faktor jarak yang sangat jauh, karena buku-buku kebanyakan diproduksi di Jawa, Yogyakarta atau Jakarta, yang kemudian disuplai ke Timur sehingga harganya sangat mahal. Sehingga tak heran jika, pusat intelektualisme lebih condong Indonesia Barat daripada Indonesia Timur.
Contoh kecil tentang mahalnya buku diatas, buku mengenai Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton; Sumbangan Kabanti Ajonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia, karya Ali Rosidin yang harganya 180 Ribu rupiah. Kemarin saya cukup terkaget melihatnya di Gramedia, karena harganya begitu mahal. Memang ilmu itu mahal, namun seharusnya tidak dijadikan barang mewah. Dalam artian sesuatu yang sulit dibeli atau dijangkau rakyat. Apalagi buku tersebut tentang Buton, dimana Kota Kendari terdapat banyak orang Buton yang menetap. Seharusnya lebih dipermurah lagi, agar harganya dapat dijangkau oleh masyarakat Sulawesi Tenggara, terutama orang Buton, lalu mempelajari dan mengetahui kekayaan dan nilai-nilai kebudayaanya lewat buku tersebut.
***
Ada pengalaman tersendiri tentang buku, ketika beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa di Kendari berkunjung di kamar adik sepupu, dimana tempat buku-buku koleksiku saya simpan. Jumlahnya memang tidak banyak, sangatlah sedikit. Buku-buku itu tebalnya ada yang 100-an halaman sampai 700-an halaman. Harganya pun bervariasi, dari 25 Ribu rupiah (ini buku novel dan buku lama) sampai dengan harga 200 Ribu rupiah. Namun sejenak ketika melihat buku itu, ia terheran-heran, baginya lumayan banyak. Dia sempat bertanya apakah saya dari orang kaya! Saya katakan, bukan! Kedua orang tua saya adalah petani. Lalu dia bertanya lagi, bagaimana bisa mendapatkan buku-buku itu, untuk ukuran mahasiswa seperti kamu? Dulu waktu mahasiswa saya sempat mendapatkan beasiswa, dan uang itu saya gunakan untuk membeli buku-buku.
Memang buku-buku sangat mahal, tetapi semangat membacaku tak perna padam, sehingga membuatku terus mencari, mencari dan mencari buku. Jika uang tersebut habis saya bertaruh dengan makanan saya. Kadang saya sebulan hanya makan indomie dan telur. Kiriman orang tua tiga ratus ribu sebulan (waktu jadi mahasiswa), harus bisa mendapatkan satu buku meskipun itu harganya seratusan lebih.
Nah, biasanya untuk mendapatkan makanan lezat, yang banyak gizi (soalnya jarang-jarang memakan makanan yang bergizi dikamar waktu jadi mahasiswa) saya seringkali mengakali diri. Kadang saya menawarkan jasa membantu kegiatan teman-teman, para akademisi atau pekerja intelektual di hotel-hotel, meskipun tidak diberi persenan. Namun jika ada uangnya, uang itu tetap saya belikan buku, karena saya anggap sebagai tanda mata. Dengan itu, tentu buku-buku saya masih sangat sedikit, belum banyak jika dibandingkan dengan koleksi buku dosen saya, Syamsul Anam Ilahi atau seorang penulis Yusran Darmawan, M Alfan Alfian serta seperti penulis-penulis termasyur yang lainnya.
***
Di Kendari dan mungkin juga pada umumnya di Indonesia, orang-orang yang banyak mengoleksi buku yaitu dari kalangan akademisi seperti dosen atau para pekerja intelektual, biasanya juga para birokrasi yang masih hobi membaca. Mereka dianggap mampu karena suda hidup mapan, dengan pekerjaan mereka, sehingga banyak membeli buku-buku. Sementara masyarakat biasa, rakyat kecil atau mahasiswa/i dari kampung dengan kiriman yang terbatas, membeli buku adalah sesuatu yang luar biasa berat. Sehingga buku masih dianggap sebagai barang mewah, yang sangat susah dibeli karena kemahalan.
Menyikapi hal itu, apa yang dilakukan pemerintah seharusnya dapat menyediakan buku-buku yang harganya sangat murah dan dapat dijangkau rakyat dan juga para mahasiswa/i. Pemerintah harus memperhatikan faktor pendapatan masyarakat yang rendah, sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya bertitik pangkal pada kelas menengah dan kelas atas. Ini penting untuk merebut perubahan lewat membaca, karena buku adalah sumber ilmu pengetahuan yang kemudian mendorong orang-orang untuk dapat mengaplikasikannya kepada masyarakat. Dengan demikian, maka semua stakeholders sama-sama berpatisipasi dalam membangun, rakyat juga bisa menyumbangkan gagasan, bukan saja kelas menengah dan atas yang seringkali pikirannya rumit karena dengan mengkalkulasi untung-rugi.
Namun ini bukanlah hal yang muda, perlu komitmen bersama oleh pemerintah pusat, daerah serta legislatif pusat dan daerah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Karena kebanyakan orang sekarang di Indonesia masih banyak yang enggan membeli buku untuk membaca, karena kemahalan. Seperti yang diungkapkan oleh M Alfan Alfian, bahwa politik penerbitan buku kita masih belum jelas. Belum ada kebijakan pemerintah, mengenai bagaimana dengan ketersedian buku-buku. Beda halnya dengan negara India, yang dianggap memiliki politik perbukuan yang sangat mendukung kemajuan. Mengutip apa yang dikatakan oleh M Alfan Alfian dalam bukunya Bagaimana Saya Menulis:
Hajriyanto Y Thohari dalam sebuah artikelnya di surat kabar mengatakan bahwa dunia perbukuan India benar-benar luar biasa karena ketersediaan buku-buku literatur yang melimpah ruah dan harganya murah dan terjangkau rakyat. Selain itu politik perbukuan India sangat mendukung kemajuan karena diurus dengan cerdas, dan piawai, ditunjang kebijakan pemerintah yang membebaskan pajak buku dan menekan harga kertas buku seminimal mungkin. Ada beberapa usulan Hajriyanto Y Thohari yang perlu kita cermati, Pertama, hapuskan pajak buku. Kedua, harga buku untuk kertas harus ditekan. Ketiga, berikanlah subsidi buku. Keempat, buka akses dengan penerbit-penerbit buku di luar negeri agar buku-buku terbitan mereka dapat dicetak dan diterbitkan di Indonesia.
Tentunya usulan tersebut mengacu pada politik perbukuan di India. Ini suatu pukulan telak bagi kita. Negara India tengah bangkit, dan diprediksi akan menjadi negara berpengaruh di Asia sejejar dengan negara China, Jepang, Korea Selatan dan juga akan berpengaruh di negara-negara Barat lainnya. Banyak ilmuwan India, yang dulu tersebar dan belajar di negara-negara Barat, lalu pulang untuk membangun negaranya. Banyak juga orang India yang meraih hadiah nobel, meskipun menetap dan berkewarganegaraan di negara lain. Semua itu tentu, karena dukungan kebijakan pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak bangsanya. Negara India dengan politik perbukuan yang baik mendukung kemajuan dengan, mempermurah harga-harga buku agar dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Sementara anak-anak bangsa, entah sampai kapan! Buku masih dianggap barang mewah. Ini wajar karena harga-harga buku masih mahal, kemahalan. Ini perlu kebijakan pemerintah yang pro-kemajuan. Perpustakaan di daerah-daerah masih sangat kurang. Ada usulan pendirian perpustakaan anggota DPR, namun perpustakaan itu ternyata untuk di DPR, bukan untuk rakyat di daerah-daerah. Entah mengapa! Kecerdasan dikehendaki hanya untuk mereka yang memiliki jabatan yang berkuasa, sementara rakyat hanya dianggap penonton dan penerima. Ini jelas akan menjadi cambuk berduri untuk bangsa kita dikemudian hari, jika tidak cepat berbenah.
                                                                                        Kendari, 17 Juli 2016
                                                                                        Laode Halaidin

15 Juli 2016

Politik Perang, Antar Baliho

Baliho Calon-Calon Gubernur dan Walikota
Politics: Who Gets What, When, How.
Harold D. Laswell
Pemilihan umum kepala daerah serentak gelombang ke dua, tinggal menunggu beberapa bulan lagi yakni di bulan Februari tahun 2017 mendatang. Politisi yang ingin memperebutkan orang nomor wahid pun, saat ini sedang gencar-gencarnya mempersenjatai diri mereka dengan memasang baliho, spanduk dan pamflet. Hal itu dilakukan untuk menaikan citra atau popularitas diri mereka agar masuk pada poling survei tertinggi. Harapan mereka adalah agar dapat diusung oleh partai-partai politik.
Partai politik sekiranya dapat memberikan ruang, dalam hal ini dapat dijadikan sebagai kendaraannya politik jika politisi tersebut memiliki tingkat survei yang lebih tinggi atau popularitasnya lebih tinggi. Partai politik memilih dan memilah calon-calon yang telah melamar. Siapa yang tinggi, itulah yang akan dipinangnya dan jika tidak maka tentunya akan ditenggelamkan. Partai politik menggunakan data basis survei dalam hal mengusung calon. Inilah yang dinamakan penjaringan calon yang dilakukan partai politik saat ini, mencari calon-calon yang mempunyai popularitas tinggi. Maka tak heran politisi-politisi yang ingin berebut kekuasaan itu berlomba-lomba menyebarkan berbagai baliho, spanduk dan pamflet diberbagai sudut di ruang-ruang kota.
Kita dapat menemukan baliho, spanduk dan pamflet tersebut diberbagai penjuru; perempatan lampu merah, didepan mesjid, didepan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dekat got yang didirikan dengan kayu-kayu balok, dipapan rumah orang-orang miskin, ditempat prostitusi/pelacuran dan lain sebagainya. Baliho, spanduk dan pamflet mereka tersebar ada dimana-mana. Ada kesan dari masyarakat bahwa sepertinya sedang terjadi perang antar baliho. Seperti sebuah perang yang direncanakan dan bertemu dipadang gurun terbuka dengan berbagai bendera sebagai lambang kerajaannya. Tujuan mereka adalah satu, yaitu sebuah kekuasaan. Siapa yang unggul itulah yang bertahan dan berada dalam lingkaran kekuasaan. Namun politisi ini berebut kuasa bukan untuk menjajah, namun dengan tujuan yang mulia, untuk memakmurkan masyarakat kecil bukan pengusaha atau birokrasi borjuis.
Tentunya, ini mengingatkan saya pada sebuah film Dragon Blade yang diperankan oleh Jackie Chan sebagai jendral Huo An, penjaga perdamayan jalur sutra di Angsa Liar. Konon, jalur tersebut adalah jalur yang sangat strategis, dapat menghubungkan bagian barat kerajaan besar ke bagian timur. Jalur tersebut sebagai pusat perdagangan dan budaya, yang banyak diperebutkan oleh berbagai kerajaan di Eropa dan juga Asia. Ada 36 kerajaan yang memperebutkan jalur tersebut seperti kerajaan Roma, Turki, India, Persia, Parthia, China dan lain sebagaianya. Ketika kerajaan mengambil kebijakan atau menginstruksikan untuk merebut jalur sutra tersebut, maka peperangan dapat terjadi. Pertempuran mereka dipadang gurun terbuka. Bendera-bendera sebagai lambang kerajaan mereka membubul tinggi, pertanda peperangan telah siap akan dimulai. Satu yang akan menjadi tujuan mereka, merebut jalur tersebut agar kerajaannya mendapatkan limpahan kekayaaan dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Idealnya adalah sebuah kekuasaan. Sekali lagi, siapa yang unggul itulah yang bertahan dan berada dalam lingkaran kekuasaan.

Baliho ADP Yang Banyak Tersebar di Kota Kendari
Spanduk Sudarmanto. S

Kembali ke konteks awal tadi, jika politisi banyak memasang baliho, spanduk dan pamflet di mana-mana, tentu ada kemungkinan popularitas mereka akan naik, yang kemudian dapat diusung oleh partai politik. Namun ini belum cukup dan belum tentu juga akan menang, meskipun pasukan yang dibawahnya sangatlah besar. Sejatinya publiklah yang akan menyeleksi. Dan yang paling menentukan adalah kecerdikan mereka mengelolah berbagai taktik, informasi, wacana, cepat tanggap terhadap masaalah masyarakat dan lain sebagainya.
Pemimpin Yang Bermutu
Di dalam demokrasi langsung, memang popularitas seorang tokoh politik itu sangatlah penting. Jadi, jika kita melihat baliho, spanduk dan pamflet bertebaran di jalanan sana memang wajar saja, karena politisi sebagaimana seorang artis butuh terkenal dan juga butuh dukungan publik yang luas. Maka dari itu seorang calon harus survive, idealnya itu harus hadir di tengah-tengah publik seperti memasang baliho, memuat iklan tentang diri dikoran-koran, membuat grup di media sosial dengan menghadirkan gagasan yang solutif pada setiap permasalahan masyarakat, hadir di kegiatan sosial, membagi-bagikan Tunjangan Hari Raya (THR) pada masyarakat kecil (kebetulan ini dekat-dekat hari raya idul fitri), atau mungkin juga blusukan ala Jokowi. Itu penting dan memang harus demikian adanya. Jika tidak, sama halnya membiarkan diri mereka akan tenggelam di dasar laut, seperti halnya kapal yang karam karena tak tahan diterjang ombak yang begitu besar.
Namun dengan demikian, seorang calon atau lebih populer disebut seorang politisi, juga harus dituntut untuk selalu profesional dalam merespon tentang banyak hal, misalnya keluhan masyarakat tentang kurangnya pemadam kebakaran, kesemerawutan kota seperti banjir, begal, sampah dijalanan, kemiskinan, tentang nasib para pengemis, pelayanan birokrasi yang lambat dan lain sebagainya. Selain itu, juga harus dibarengi dengan kecanggihan merawat basis dukungan di berbagai kalangan seperti tokoh pemuda, politik, agama, adat dan lain-lain. Kita akan mengibaratkannya seperti dalam konteks penyanyi idola, seorang politisi tidak bisa hanya mengandalkan suaranya yang merdu seperti penyanyi Novita Dewi yang digadang-gadang akan mengalakan Fatin Shidiqqia dalam ajang grand final X Factor. Namun seorang politisi, juga harus bisa menarik simpati dan meraup dukungan yang lebih banyak pada publik.
Berbicara tentang Fatin, memang tidak disangka-sangka akan menjadi juara di ajang X Factor karena suaranya tergolong sangat biasa saja. Namun karena mendapatkan basis dukungan yang besar dari masyarakat Indonesia, maka Fatin mendapatkan poling sms yang sangat banyak lalu mengalakan Novita Dewi. Namun kemenangan Fatin itu bukan tanpa taktik atau cara-cara dalam mengalahkan lawannya Novita Dewi. Ia menggunakan cara, apa yang disebut Ragil Nugroho dalam tulisannya dengan Koran atau peranca. Ragil Nugroho mengatakan bahwa, Koran yang dipakai Fatin bukan koran-koran pada umunya, namun dalam bentuk syair lagu yang disebarkan lewat youtube. Syair lagu tersebut kemudian dapat menjangkau dan terdistribusi luas dari ruangan yang ber AC sampai di kampung-kampung, didengarkan penjaga lapak telepon genggam sampai politisi di senayan, ruang tunggu kawasan pelacuran sampai dengan mal-mal papan atas di ibu kota.

Spanduk Abdul Razak. Entah apa yang dipikirkan, proyek atau permasalahan masyarakat Kota Kendari
Inilah Baliho Tiga Calon Walikota Kendari

Lalu, bagaimana dengan para politisi yang ingin memperebutkan Walikota dan Gubernur di daerah. Politisi yang akan bertarung dalam Pilwali atau Pilgub juga harus menggunakan sebuah Koran atau peranca agar dapat meraup dukungan yang lebih banyak. Koran yang dipakai bisa lewat media massa atau media sosial dengan tulisan-tulisan yang memuat gagasan dalam membangun daerah, memanfaatkan grup dengan hal-hal yang positif, mengkritisi gagasan calon lain dengan rasional bukan dengan kebencian yang dibumbui dengan berbagai gagasan dan ide-ide yang baru, segar, yang memihak  pada masyarakat kecil dan muda diterima oleh masyarakat setempat. Idelanya sebuah visi-misi, gagasan yang bermutu, komprehensif yang menyangkut tentang pembangunan, bukan terus-terusan pendidikan gratis yang justru faktanya pendidikan tetap memungut biaya. Ide ini malah gagasan lama dan bahkan berasal dari pusat. Bukan hal baru, bahkan kepala daerah sebelumnya juga seperti itu dan sangat terkesan hanya tambal sulam yang kemudian membuat masyarakat skeptis dan apatis publik untuk memberikan dukungan.
Namun dengan menyebarkan baliho, spanduk dan pamflet tentunya bukan berarti salah dan tidak produktif sama sekali. Kata sahabat saya, itu merupakan taktik politik juga dan bagian dari ide konsultan politik untuk menaikan popularitas mereka. Namun satu hal yang perlu di ketahui bahwa terkadang baliho, spanduk, pamflet dan semacamnya sangat meresahkan masyarakat karena dianggap merusak pemandangan perkotaan. Bolehlah memasang baliho, namun ditempat-tempat strategis saja, yang tidak menganggu kenyamanan dan pemandangan kota. Jika tidak maka siap-siaplah akan kehilangan basis dukungan dari masyarakat.
Berangkat dari itu, jika kita melihat situasi atau momen seperti pemilu yang akan berlangsung beberapa bulan lagi, kita selalu teringatkan pendapat Al Gore, katanya “The presidency is more than a popularity contest” (dalam tulisan M Alfan Alfian “Calon Presiden Pilihan Survei” Kompas 17/9/2013), tetapi ini jika berbicara tentang konteks calon presiden. M Alfan Alfian berpendapat bahwa mestinya Pilpres tak sekedar perlombaan kepopuleran tokoh, karena itu kepopuleran tokoh belum tentu mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Jika pendapat diatas diturunkan dilevel daerah pada pertarungan Pilwali atau Pilgub kiranya akan sama, Pilwali dan Pilgub seharusnya bukan sekedar perlombaan kepopuleran, karena itu belum tentu akan mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Jadi yang berbeda itu hanya levelnya saja, antara kepala negara dan kepala daerah, namun substansinya sama yaitu seorang calon tidak bisa hanya diukur dari segi popularitasnya, tetapi kualitas kepemimpinnya, agar membawa daerah pada kemajuan dan memakmurkan masyarakat kecil.
Popularitas Lewat Gagasan
Pencarian popularitas bisa saja, tetapi dengan sewajarnya. Popularitas juga merupakan bagian dari dorongan berbagai Parpol, seperti tuntutan agar politisi mencari popularitas tinggi untuk kemudian dapat diusungnya. Harapan Parpol adalah untuk meraup kemenangan. Namun biasanya popularitas dinilai hanya bagian dari anti-tesis tokoh lama, misalnya calon tersebut orang tuanya pernah menjabat sebagai Gubernur atau calon tersebut orang tuanya tengah menjadi Walikota atau juga calon tersebut anak dari seorang tokoh politik. Nah, dalam konteks ini, publik tidak memiliki gambaran yang paripurna untuk memilih pemimpinnya. Semua terkesan popularitas instan dan bukan pembumian lewat gagasan dan ide-ide dalam membangun daerah sebelumnya. Dengan itu, terkadang juga publik sering termakan umpan bahwa keberhasilan tokoh lama dalam hal ini orang tuanya dalam memimpin, akan terbawah kepada anaknya. Sungguh, ini penilaian yang sangat absuriditas dan sama sekali tak berdasar.

Spanduk di depan Mesjid
Spanduk Yang Ada di MTQ Kendari

Olehnya itu, Parpol seharusnya harus jeli dan menentukan dukungan, jika tidak ingin menang asal-asalan. Tidak hanya fokus pada popularitas seseorang menurut survei yang sering didewa-dewakan, namun pada politisi yang bermutu, berkarisma dan diyakini mampu menjawab tantangan-tantangan dalam membangun daerah ke depan.
Lalu, publik kadang sangat sulit untuk mengukur kepemimpinan seseoarang. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan. Biasanya kalau calon tersebut tangga dasarnya dari birokrasi, maka masyarakat akan menilai, suda sejauh mana birokrasi yang dipimpinnya selama ini! Apakah dia berhasil atau tidak? Apakah dia tersangkut korupsi di birokrasi itu? Bagaimana dengan penggunaan anggaran di birokrasinya? Apakah efektif digunakan untuk kepentingan masyarakat kecil? Namun jika calon tersebut dari partai politik tentunya masyarakat akan mempunyai pertanyaan lain. Masyarakat akan menilai, Bagaimana kiprahnya di partai politik selama ini? Apakah dia selalu ikut kongkalingkong berebut bisnis, lalu tersangkut korupsi! Apa sumbangan pemikirannya terhadap partai politik dalam mengawal atau mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Apakah betul dia akan membawa aspirasi masyarakat dan bukan partainya? Jangan-jangan dia hanya akan memakmurkan relasi bisnisnya di partai-partai politik bukan masyarakat kecil! Pertanyaan-pertanyaan ini tentu sangat rasional dan sangat relevan dengan kondisi saat ini, ditengah melenturnya kepercayaan publik pada calon-calon Pilwali, Pilgub dan mungkin juga Pilpres.
Namun itulah politik, dimana persaingan untuk memperoleh kekuasaan kadang begitu muda dan juga akan terasa sulit. Ada yang gugur dan ada juga yang menang. Setelah memperoleh kekuasaan, juga diperhadapkan dengan banyak tantangan, yakni kekuasaan yang pragmatis-transaksional. Disinilah kekuasaan akan berdampak buruk, namun jika pengelolaannya tidak demikian kekuasaan justru akan berdampak baik. Kekuasaan juga kadang sangat gampang berada dalam genggaman, namun gampang juga untuk lepas dan tak bisa meraihnya. Tergantung bagaimana kecerdasan mengelola berbagai macam kemungkinan. Kata Harold D. Laswell “Politics: Who Gets What, When, How” (Politik tentang siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana). Jika tidak hati-hati memahami politik, maka akan seperti yang dikatakan oleh Peter Merkl bahwa politik akan menjelma menjadi “a selfish grab of power, glory and riches” (suatu perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan) untuk kepentingan diri sendiri atau kata Miriam Budiardjo, 1989:3, akan menjadi perebutan kekuasaan, tahta dan harta.

Salah Satu Kelurga Pemulung Yang Ada di Kota Kendari
 
Pengait Sampah di Kota Kendari

Politik dengan hal tersebut diatas, tentu akan sangat jauh dari substansi arti politik yang sesungguhnya yaitu kekuasaan untuk mengatur dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat; yang oleh Benedict Anderson menyebut bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk memberikan kehidupan.
Dalam konteks inilah, dimana politik dipahami sebagai kekuasaan yang mempunyai etika dan pertanggungjawaban, seperti yang diungkapkan oleh Muchamad Yuliyanto, dengan diabdikan untuk mewujudkan suatu kemuliaan (virtual) yakni memajukan dan menyejahterakan publik.