Ilustrasi
“Mencintalah dengan semua yang kamu miliki; mencintalah
dengan sepenuh hatimu” (Rando Kim, dalam buku Time Of Your Life, hal 128)
Topik dan kalimat sederhana diatas merupakan bentuk
dari seruan untuk kita semua sebagai insan manusia bahwa mencintai merupakan
ungkapan dari ketulusan hati—kerelaan dua insan yang ingin
menyatukan jalinan cinta karena ingin bahagia—dan kekurangan adalah bentuk dari
kekuatan untuk kemudian dijaga dan dipupuk hingga semerbaknya mengangkasa di titik
kebahagiaan. Kekurangan bukan dijadikan sebagai titik kelemahan—sesuatu problem
yang kemudian menjadikan bahtera cinta yang terjalin selama ini menjadi karam.
Kekurangan adalah bagian dari kisah cinta dua insan, dimana yang satu menerima
yang lain dan kemudian selalu berusaha memupuknya dengan kasih sayang yang
dalam, sehingga cinta itu dapat mengakar dan menjuntaikan semerbaknya di
keabadian kehidupan.
Seperti
itulah kira-kira pesan dari Rando Kim yang ada dalam bukunya berjudul ‘Time Of
Your Life’. Kita dapat menemukan dalam bukunya dihalaman 124 tentang cinta yang
ingin kita peroleh—cinta seperti apa yang kita inginkan—cinta yang berasaskan
pada nilai. Baginya Jalinan cinta adalah jalinan hubungan dua orang dengan
merasa bahagia dan sempurna ketika mereka bersama. Kebahagiaan itu yang merupakan
menjadi tujuan utama dalam menjalin bahtera cinta yang kemudian dapat
mengokohkan dirinya pada setitik sejarah cinta nan-abadi. Waahh….bukankah
kebahagiaan ini yang dicari oleh setiap insan—pasangan muda-mudi yang sedang
dimabuk cinta seperti layaknya kisah cinta abadi Habibie dan Ainun.
Kisah
cinta mereka diukir oleh sejarah karena mereka percaya bahwa mencintai dengan
yang mereka miliki—dengan sepenuh hati, cinta itu menjadi lebih bermakna dan
menjadi kekuatan buat mereka untuk terus bersama meskipun pada akhirnya maut
yang memisahkan mereka. Itulah, mengapa semua orang mendambahkan kisah cinta
seperti Habibie dan Ainun yang kuntum-kuntum cintanya mekar dan harum
semerbaknya masih tercium oleh sebagian anak-anak muda sampai saat ini. Kisah
cinta mereka adalah bentuk dari keberhasilan dan kesabaran Habibie dan Ainun
dalam merawat kuntum cinta itu sejak muda. Cinta mereka tidak mempunyai seleksi
dan kriteria seperti yang berlaku sekarang ini, dimana materialistik dalam
jalinan cinta menjadi di nomor satukan.
Lalu,
apa yang kita pahami tentang cinta untuk sekarang ini! Cinta dengan sepenuh
hati, sekarang ini bukan menjadi tolok ukur utama seseorang. Cinta ibarat
sebuah produk dan jika kita menyukai lalu ingin memilikinya tentu membutuhkan
transaksi seperti berbelanja. Dalam berbelanja tentu kita harus membelinya
dengan sebuah capital/modal dalam hal ini uang. Inilah cinta yang dimaknai oleh
sebagian orang—sangat dangkal bahwa kehidupan sekarang ini makna cinta itu tak
berarti sama sekali kecuali dengan materi. Disini kita bisa memahami bahwa
sekarang ini cinta sama halnya dengan transaksi berbelanja—dimana cinta sangat materialistik.
Dulu
cinta tak seperti itu. tak ada ukuran, kriteria dan ketika dua insan menyatukan
perasaan hati untuk bersama merawat kuntum-kuntum cinta, menyerahkan semua
untuk dia, menghilangkan kata aku menjadi kita—berarti mereka siap meleburkan
diri menjadi satu untuk kemudian menjalin sebuah keluarga yang bahtera. Cinta
dulu dan sekarang memang berbeda, kata seorang sahabat. Dulu mungkin masyarakat
jarang sekali yang kaya sehingga cinta tak dapat bisa diukur dengan materi.
Sekarang ini sangat susah kita mencari seseorang yang mengerti tentang arti
cinta yang sesunggunya, kata sahabat ini,
seraya membatin.
Memang
cinta sekarang ini suda bertransformasi menjadi materialistik. Berani mencintai
berarti kita berani mengeluarkan isi dompet, begitu kata orang. Perkembangan
teknologi dan kemajuan pusat-pusat perbelanjaan modern juga mempengaruhi arti
dan makna cinta yang kemudian menjadi materialistik.
Kita
bisa membayangkan berapa orang yang berkunjung setiap hari pasangan muda-mudi
berpegangan tangan dipusat-pusat perbelanjaan modern. Duduk dipojok kafe—makanan
dan minuman yang harganya sangatlah mahal dengan menentang tas belanja dari
sang kekasih. Mereka menganggap dengan membelanjakan pasangan, cinta itu akan
tumbuh lalu mekar. Mereka lupa bahwa cinta itu tidak dapat hanya tumbuh dengan
pundi-pundi materialistik. Cinta sekali lagi bukan transaksi perbelanjaan tapi
cinta adalah kerelaan yang akan meleburkan dirimu bersama pasanganmu. Aku
menjadi kita, engkau seperti berada dalam ketiadaan, bersatu dengannya—merelakan
segala sesuatu yang berharga buat dirimu, untuknya.
***
Saya
tidak hendak mencampuradukan antara percintaan/mencintai dan Homo Ekonomicus
(manusia ekonomi). Bagiku dalam hal cinta kita tak bisa mengukur manusia dari
segi individualitasnya—mencari kepuasan atas dirinya sendiri atau manusia
rasional. Meskipun dalam skala individualitas manusia hidup dengan mencari
kepuasan atau kesejahteraan sendiri (manusia ekonomi/Homo Ekonomicus) hal ini
tentu berbeda dengan kepuasan dalam cinta mencintai. Cinta berarti penyatuan dua
insan bukan sesuatu yang lain. Kepuasan dan kesejahteraan adalah bagian dari
manifestasi hubungan jalinan cinta pria dan wanita—dan dalam hal cinta,
kepuasan dan kesejahteraan itu harus dinikmati secara bersama.
Itulah
cinta adalah kebersamaan. Itulah cinta adalah ketiadaan—meniadakan dirimu
menjadi dirinya yang kemudian menyatu menjadi satu. Kepuasan dan kesejahteraan
dalam cinta adalah milik bersama—bukan hanya milik pria atau si wanitanya.
Mencintalah
dengan sepenuh hati. Sebab cinta adalah keindahan yang semerbaknya mengangkasa
hingga nun-jauh menembus lapis-lapis langit. Mencintalah dengan segala yang
engkau miliki, sebab cinta adalah ibarat kuntum-kuntum yang perlu dijaga dan
dirawat, diberi kasih sayang, dikasihani agar kelak tumbuh mekar bersama cinta
di nan-keabadian.
Mencintalah
dengan jiwa dan raga. Sebab cinta adalah kekuatan yang dapat meruntuhkan
gunung-gunung menjadi debuh, ombak keras tertunduk karena kedigdayaanmu.
Mencintalah dengan apa yang kamu miliki sebab cinta bukan untuk dideskripsikan
namun untuk dirasakan. Rasa cinta itu ada direlung hati yang paling dalam dan
yang bisa merasakan itu adalah diri kita sendiri. Sekali lagi saya ingin katakan,
mencintalah!
La
ode Halaidin
Wayong, 15 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar