08 November 2015

Di kampung Kami, Tanah Menjadi Rebutan Para Elit-elit Desa

                                 Lokasi perusahaan perkebunan PT. Wahana Surya Agro di Desa Wantiworo

Di negeri ini persoalan agraria tak pernah kunjung selesai. Dimulai sejak awal reformasi agraria hingga sekarang banyak peraturan-peraturan yang tumpang tindih dan justru merugikan rakyat banyak. Peraturan-peraturan itu tak banyak yang berpihak kepada rakyat dan rakyat justru makin melarat dengan keadaan yang ditimpahnya. Tanah mereka dirampas begitu saja oleh pihak-pihak korporasi—kerjasama dengan elit-elit desa—dengan mengklaim telah mengantongi izin pemanfaatan tanah, sementara rakyat tidak tahu-menahu. Adanya korban nyawa yang melayang karena rakyat melakukan perlawan atas tindakan ketidak-sewenag-wenangan dan ketidak-adilan itu. Pada akhirnya rakyat bukan dimakmurkan tapi dihancur-leburkan dari tanah kelahirannya—dimiskinkan.

Konflik Pertikaian, penculikan, dan berakhir pada pembunuhan terkadang sering terjadi ketika persoalan agraria mulai mengaung di permukaan. Perusahaan terkadang memakai jasa preman dan juga institusi kepolisian sebagai alat mereka untuk menggusur dan mengusir masyarakat dari tanah kelahirannya yang suda menjadi sumber penghidupannya. Alasan mereka tentu, sebagai pengaman dan pelindung namun pada kenyataannya justru rakyat dijajah dan korporasi dibentengi dengan tameng-tameng dengan lapisan besi baja.

Lalu pertanyaannya, kemanakah rakyat harus berlindung/berteduh, mengaduh dan meluapkan emosi yang mengebuh-ngebuh ketika keadaan suda demikian! Tidak ada cara lain selain bentuk perlawanan untuk melepaskan rakyat dari belenggu penjajahan anak kandung negeri sendiri ini. Iya, selama ini kita dijajah oleh anak kandung negeri ini, lewat pelacuran diri yang dilakukan oleh elit-elit pada korporasi besar. Dari sinilah tentunya kita dapat menyepakati bahwa yang kita kedepankan adalah bentuk dari bela rakyat dan bukan bela Negara. Iya… rakyat memang harus di bela dan Negara no.

***
Dari beberapa pandapat parah ahli menilai bahwa banyak regulasi atau peraturan mengenai agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan dan kedaulatan rakyat. Rakyat selalu dijadikan kambing hitam atas doktrin kesejahteraan, pembangunan dan lapangan pekerjaan sementara dilapangan tenaga rakyat dieksploitasi dengan ganas. Rakyat hanya dijadikan buruh upah rendahan yang bekerja paruh waktu yang justru kesejahteraan keluarganya tidak akan pernah terangkat dan keluarga mereka tetap memakan nasi aki ketika pulang dari tempat kerjanya. Sementara elit-elit yang berkuasa dan yang dekat dengan kekuasaan malah menikmati kemewahan mereka—hasil dari proyek-proyek para investor.

Seperti itulah yang ditimpa rakyat ketika muncul pengambil alihan tanah atas dasar investasi. Apakah kita harus anti-investasi? Saya kira tidak, selama itu bertujuan untuk memakmurkan rakyat Indonesia.

Namun bagaimana kenyataanya? Di beberapa daerah di Indonesia ketika investasi menginjakan kakinya dan mulai mengelola perkebunan justru tenaga masyarakatnya dieksploitasi misalnya perkebunan kelapa sawit di Konawe Selatan. Dari informasi yang saya dapat bahwa gaji mereka dipotong oleh perusahaan dengan alasan yang tidak masuk akal, misalnya biaya perawatan perkebunan dan lain-lain. Dan itu tidak masuk pada perjanjian awal dimana perusahaan 60 persen dan masyarakat 40 persen. Kini buruh perkebunan itu tidak menerima penghasilan mereka sesuai dengan perjanjian dalam kesepakatan itu.

***
Caruk-maruknya negeri ini, membuat pesimis rakyat Indonesia—dimana Negara ini untuk menjadi Negara maju dan menjadi salah satu poros maritim dunia. Banyaknya pengajuan proyek-proyek pembangunan baik fisik maupun non fisik, namun itu semua hanyalah proyek basah—bagi para pemburu rente. Seharusnya mereka mementingkan kepentingan rakyat banyak, dari pada kepentingan individu, kelompok ataupun keluarga mereka. Karena sesungguhnya konsep ber-negara adalah kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Itulah makna dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika Demokrasi sangat memegang teguh atau menghendaki adanya kedaulatan di tangan rakyat atau Demokrasi rakyat, saat ini yang terjadi adalah kedaulatan ada ditangan para investor dan segelintir para elit yang tersebar di negeri ini sampai kepelosok-pelosok desa atau Demokrasi borjuis. Demokrasi saat ini seolah-olah hanyalah milik para borjuis dengan korporasi-korporasinya yang makin menghegemoni di setiap sudut negeri ini. Mereka pandai melobi untuk memuluskan jalan investasinya, semenatara Negara makin gencar menerapkan ‘kebijakan gula-gula’ sehingga para investor makin banyak mengepakan sayapanya di negeri ini. Yang lebih para lagi justru para elit-elit di negeri ini, malah melacurkan diri hanya untuk mendapatkan segepok keuntungan demi memperkaya diri mereka.

Hhmmm….sunggu ironis bangsa ini jika elit-elit seperti itu dipelihara dan dibiarkan bebas berkeliaran……
***
Saat ini memang yang menjadi perhatian dan sangat menarik memang untuk di diskusikan atau dikaji—adalah makin banyaknya para elit yang justru bermain di desa-desa. Dulu desa bukanlah sesuatu yang dapat membawa keuntungan bagi elit-elit yang dulu bermain di tingkat daerah/lokal atau pusat—sehingga desa hanya dipandang sebagai sesuatu yang tak bernilai. Kini desa menjadi sesuatu yang dapat memberikan insentif kekayaan, kemewahan—lewat proyek-proyek basah. Investasi adalah panglimanya—sedangkan para elit menjadi kendaraan untuk menuju kesingasana kekayaannya. Para elit makmur, karena panglima investasi itu. Elit-elit desanya yang melakukan lobi-lobi di pemerintahan daerah—dan investor makin gampang untuk menguasai tanah-tanah di desa itu sebagai perkebunan atau lahan peternakan—sedangkan rakyat semakin terpojokan.

Itulah yang ku-saksikan ketika kita mengunjungi salah satu desa yang ada di Kabupaten Muna. Tempatnya di desa wantiworo dan desa laiba yang mempunyai hutan yang sangat luas. Masyarakat di dua desa ini rata-rata masih tergolong sangat miskin, bahkan masyarakatnya kadang tidak mempunyai pendapatan sama sekali. Mereka bertani hanya sekedar untuk sumber makanan mereka bukan untuk dijual. Mereka bercocok tanam dengan menanam jagung, kacang, kedelai, tomat dan tanaman itu suda menjadi andalan mereka diperkebunan. Tak ada insentif sama sekali—masyarakatnya bertani dengan menanam tanaman tersebut. Tak ada juga bantuan pemerintanh untuk memproduksi hasil pertanian mereka—sehingga kemiskinan dan kemelaratan semakin tampak didepan mata.

Anehnya, ketika program pemerintah pusat dan juga daerah mulai masuk di dua desa ini, malah justru dimanfaatkan oleh elit-elitnya. Proyek itu mereka jadikan keuntungan, bukan justru untuk sumber insentif mengangkat produktifitas masyarakat. Proyek tak selesai karena anggaranya di korupsi, hutan rusak dan tanah dirampas begitu saja. Dan yang paling anehnya lagi elit-elitnya justru berseteru memperubutkan tanah yang akan dijadikan proyek-proyek itu.

              Foto diatas untuk lokasi perkebunan dan dibawa untuk lokasi peternakan.
                  Dua proyek yang berbeda dan 60 hektarnya adalah tanah yang sama. 
                             Elit-elit inilah memperebutkan tanah-tanah ditempat ini.
                
                        Foto percetakan sawah di desa wantiworo yang tak rampung,
                        karena anggarannya telah di korupsi dan kini yang menangani 
                                          proyek tersebut suda dipenjarah.
Pada akhirnya di kampung kami tanah hanya dapat menguntungkan segelintir orang. Tanah menjadi rebutan para elit-elit yang mempunyai kuasa atau yang dekat dengan kekuasaan. Elit-elit ini juga dapat menyetir pemerintah desa, sehingga dapat dengan mudah membujuk para korporasi untuk mendirikan perusahaan perkebunan di setiap desa. Hal tersebut dapat membuat para elit-elit untuk menuju ke-singasana kemewahan dengan tak terbendung sementara masyarakat makin terhimpit dengan kemiskinannya.

Lantas apa yang kita harapkan sebagai masyarakat biasa di negeri ini?


                                                                                                Raha, 7 November 2015
                                                                                                La ode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar