Lokasi perusahaan perkebunan PT. Wahana Surya Agro di Desa Wantiworo
Di
negeri ini persoalan agraria tak pernah kunjung selesai. Dimulai sejak awal
reformasi agraria hingga sekarang banyak peraturan-peraturan yang tumpang
tindih dan justru merugikan rakyat banyak. Peraturan-peraturan itu tak banyak
yang berpihak kepada rakyat dan rakyat justru makin melarat dengan keadaan yang
ditimpahnya. Tanah mereka dirampas begitu saja oleh pihak-pihak korporasi—kerjasama
dengan elit-elit desa—dengan mengklaim telah mengantongi izin pemanfaatan
tanah, sementara rakyat tidak tahu-menahu. Adanya korban nyawa yang melayang
karena rakyat melakukan perlawan atas tindakan ketidak-sewenag-wenangan dan
ketidak-adilan itu. Pada akhirnya rakyat bukan dimakmurkan tapi
dihancur-leburkan dari tanah kelahirannya—dimiskinkan.
Konflik
Pertikaian, penculikan, dan berakhir pada pembunuhan terkadang sering terjadi
ketika persoalan agraria mulai mengaung di permukaan. Perusahaan terkadang
memakai jasa preman dan juga institusi kepolisian sebagai alat mereka untuk
menggusur dan mengusir masyarakat dari tanah kelahirannya yang suda menjadi
sumber penghidupannya. Alasan mereka tentu, sebagai pengaman dan pelindung
namun pada kenyataannya justru rakyat dijajah dan korporasi dibentengi dengan
tameng-tameng dengan lapisan besi baja.
Lalu
pertanyaannya, kemanakah rakyat harus berlindung/berteduh, mengaduh dan
meluapkan emosi yang mengebuh-ngebuh ketika keadaan suda demikian! Tidak ada
cara lain selain bentuk perlawanan untuk melepaskan rakyat dari belenggu
penjajahan anak kandung negeri sendiri ini. Iya, selama ini kita dijajah oleh anak
kandung negeri ini, lewat pelacuran diri yang dilakukan oleh elit-elit pada
korporasi besar. Dari sinilah tentunya kita dapat menyepakati bahwa yang kita
kedepankan adalah bentuk dari bela rakyat dan bukan bela Negara. Iya… rakyat
memang harus di bela dan Negara no.
***
Dari
beberapa pandapat parah ahli menilai bahwa banyak regulasi atau peraturan
mengenai agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan
dan kedaulatan rakyat. Rakyat selalu dijadikan kambing hitam atas doktrin
kesejahteraan, pembangunan dan lapangan pekerjaan sementara dilapangan tenaga
rakyat dieksploitasi dengan ganas. Rakyat hanya dijadikan buruh upah rendahan
yang bekerja paruh waktu yang justru kesejahteraan keluarganya tidak akan pernah
terangkat dan keluarga mereka tetap memakan nasi aki ketika pulang dari tempat
kerjanya. Sementara elit-elit yang berkuasa dan yang dekat dengan kekuasaan
malah menikmati kemewahan mereka—hasil dari proyek-proyek para investor.
Seperti
itulah yang ditimpa rakyat ketika muncul pengambil alihan tanah atas dasar
investasi. Apakah kita harus anti-investasi? Saya kira tidak, selama itu
bertujuan untuk memakmurkan rakyat Indonesia.
Namun
bagaimana kenyataanya? Di beberapa daerah di Indonesia ketika investasi
menginjakan kakinya dan mulai mengelola perkebunan justru tenaga masyarakatnya
dieksploitasi misalnya perkebunan kelapa sawit di Konawe Selatan. Dari
informasi yang saya dapat bahwa gaji mereka dipotong oleh perusahaan dengan
alasan yang tidak masuk akal, misalnya biaya perawatan perkebunan dan lain-lain.
Dan itu tidak masuk pada perjanjian awal dimana perusahaan 60 persen dan
masyarakat 40 persen. Kini buruh perkebunan itu tidak menerima penghasilan
mereka sesuai dengan perjanjian dalam kesepakatan itu.
***
Caruk-maruknya
negeri ini, membuat pesimis rakyat Indonesia—dimana Negara ini untuk menjadi
Negara maju dan menjadi salah satu poros maritim dunia. Banyaknya pengajuan proyek-proyek
pembangunan baik fisik maupun non fisik, namun itu semua hanyalah proyek basah—bagi
para pemburu rente. Seharusnya mereka mementingkan kepentingan rakyat banyak,
dari pada kepentingan individu, kelompok ataupun keluarga mereka. Karena
sesungguhnya konsep ber-negara adalah kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Itulah makna dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika
Demokrasi sangat memegang teguh atau menghendaki adanya kedaulatan di tangan rakyat
atau Demokrasi rakyat, saat ini yang terjadi adalah kedaulatan ada ditangan
para investor dan segelintir para elit yang tersebar di negeri ini sampai
kepelosok-pelosok desa atau Demokrasi borjuis. Demokrasi saat ini seolah-olah
hanyalah milik para borjuis dengan korporasi-korporasinya yang makin
menghegemoni di setiap sudut negeri ini. Mereka pandai melobi untuk memuluskan
jalan investasinya, semenatara Negara makin gencar menerapkan ‘kebijakan gula-gula’
sehingga para investor makin banyak mengepakan sayapanya di negeri ini. Yang
lebih para lagi justru para elit-elit di negeri ini, malah melacurkan diri
hanya untuk mendapatkan segepok keuntungan demi memperkaya diri mereka.
Hhmmm….sunggu
ironis bangsa ini jika elit-elit seperti itu dipelihara dan dibiarkan bebas
berkeliaran……
***
Saat
ini memang yang menjadi perhatian dan sangat menarik memang untuk di diskusikan
atau dikaji—adalah makin
banyaknya para elit yang justru bermain di desa-desa. Dulu desa bukanlah
sesuatu yang dapat membawa keuntungan bagi elit-elit yang dulu bermain di
tingkat daerah/lokal atau pusat—sehingga desa hanya dipandang
sebagai sesuatu yang tak bernilai. Kini desa menjadi sesuatu yang dapat
memberikan insentif kekayaan, kemewahan—lewat proyek-proyek basah. Investasi
adalah panglimanya—sedangkan para elit menjadi kendaraan untuk menuju
kesingasana kekayaannya. Para elit makmur, karena panglima investasi itu.
Elit-elit desanya yang melakukan lobi-lobi di pemerintahan daerah—dan investor
makin gampang untuk menguasai tanah-tanah di desa itu sebagai perkebunan atau
lahan peternakan—sedangkan rakyat semakin terpojokan.
Itulah
yang ku-saksikan ketika kita mengunjungi salah satu desa yang ada di Kabupaten
Muna. Tempatnya di desa wantiworo dan desa laiba yang mempunyai hutan yang
sangat luas. Masyarakat di dua desa ini rata-rata masih tergolong sangat
miskin, bahkan masyarakatnya kadang tidak mempunyai pendapatan sama sekali.
Mereka bertani hanya sekedar untuk sumber makanan mereka bukan untuk dijual. Mereka
bercocok tanam dengan menanam jagung, kacang, kedelai, tomat dan tanaman itu suda
menjadi andalan mereka diperkebunan. Tak ada insentif sama sekali—masyarakatnya
bertani dengan menanam tanaman tersebut. Tak ada juga bantuan pemerintanh untuk
memproduksi hasil pertanian mereka—sehingga kemiskinan dan kemelaratan semakin
tampak didepan mata.
Anehnya,
ketika program pemerintah pusat dan juga daerah mulai masuk di dua desa ini,
malah justru dimanfaatkan oleh elit-elitnya. Proyek itu mereka jadikan
keuntungan, bukan justru untuk sumber insentif mengangkat produktifitas
masyarakat. Proyek tak selesai karena anggaranya di korupsi, hutan rusak dan
tanah dirampas begitu saja. Dan yang paling anehnya lagi elit-elitnya justru
berseteru memperubutkan tanah yang akan dijadikan proyek-proyek itu.
Foto diatas untuk lokasi perkebunan dan dibawa untuk lokasi peternakan.
Dua proyek yang berbeda dan 60 hektarnya adalah tanah yang sama.
Elit-elit inilah memperebutkan tanah-tanah ditempat ini.
Foto percetakan sawah di desa wantiworo yang tak rampung,
karena anggarannya telah di korupsi dan kini yang menangani
proyek tersebut suda dipenjarah.
Pada
akhirnya di kampung kami tanah hanya dapat menguntungkan segelintir orang. Tanah
menjadi rebutan para elit-elit yang mempunyai kuasa atau yang dekat dengan
kekuasaan. Elit-elit ini juga dapat menyetir pemerintah desa, sehingga dapat
dengan mudah membujuk para korporasi untuk mendirikan perusahaan perkebunan di
setiap desa. Hal tersebut dapat membuat para elit-elit untuk menuju
ke-singasana kemewahan dengan tak terbendung sementara masyarakat makin
terhimpit dengan kemiskinannya.
Lantas
apa yang kita harapkan sebagai masyarakat biasa di negeri ini?
Raha,
7 November 2015
La
ode Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar