Saat
ini, suhu politik di Muna juga terbilang sangat panas, tegang, dan para
pendukung menyerang satu sama lain. Sebut saja pendukung pasangan sebelah
menyerang pasangan nomor urut tiga L.M Baharudin-La Pili bahwa selama
pemerintahannya tidak melakukan perubahan dan pembangunan apapun di daerah
Muna. Tentu ini suda menjadi resiko seorang petahana yang menjadi bulan-bulanan
dalam pertarungan pilkada kali ini.
Pertarungan
opini menguak dipermukaan dengan berbagai narasi. Narasi-narasi itu disusun
dengan apik sebagai strategi politik untuk memenangkan pilkada Muna. Visi dan
Misi dijabarkan di depan publik sebagai jurus untuk memalingkan jari-jari
masyarakat untuk kemudian memilihnya. Namun, saya melihat visi-misi itu
terlihat visi-misi yang klasik dan dari dulu seperti itu-itu saja. Tak ada
gagasan yang segar, ide-ide yang baru untuk membangun Muna, semua monoton dan
tak masuk akal. Misalnya Visi-Misi mengenai pembangunan infrastruktur jalan.
Meskipun ini merupakan hal penting, tapi bukan sesuatu hal yang baru dan
masyarakat suda enggan mendengar hal ini.
Yang
pernah menjadi orang nomor satu di Muna, waktu kampanye juga pernah mengeluakan
pernyataan perbaikan infrastruktur jalan ini, namun sampai hari ini baru ada
perbaikan infrastruktur jalan ketika pemilihan akan diselenggarakan pada
tanggal 9 Desember mendatang, khususnya jalan Lawa-Kabawo-Parigi dan Tongkuno.
Hal ini tentu tak terlepas dari perbaikan citra salah satu calon tersebut.
Ada
juga di bagian wilayah Muna, terutama di wilayah Muna utara dengan salah satu
calon kepala daerah telah membuat kesepakatan kontrak politik. Sebut saja
kesepakatannya seperti ini :
“Jika
beliau terpilih, maka masyarakat Muna Utara akan ditempatkan di salah satu
jabatan penting di pemerintahan Kabupaten Muna”. Dan masih banyak lagi kontrak
lain. Kalau tak salah ada sekitar 8 sampai 10 kesepakatan kontrak politik. Kontrak
kesepakatan politik ini, saya melihatnya di Napabalano dekat dengan pelabuhan
Very Tampo—ini bentuk kesepakatan antara pemuda Tampo—dalam hal ini Napabalano
dan pasangan calon Rusman Emba-Malik Ditu. Tentu kontrak tersebut merupakan
ikatan yang sangat sakral—tidak bisa di ingkari. Jika perebutan kekuasaan sudah
seperti ini berdasarkan kesepakatan kontrak politik, Muna mau dibawah kemana!
Pertanyaannya
adalah bagaimana dengan bagian Muna Timur, mereka dapat apa? Bukankah kesepakatan
kontrak politik adalah sesuatu hal meminjam istilah Kwik Kian Gie seperti politik
‘Dagang Sapi’ karena berdasarkan deal-deal politik. Ada yang disepakati maka
kami memilih anda, ada sapi ada proyek. Bisa saja disana ada deal-deal
pengajuan proyek basah yang nantinya akan menguntungkan segelintir orang.
Siapa
yang bisa menyangkal kedepannya...!!!
***
Dibalik
suhu panas bola api itu, ada juga yang paling menarik untuk dibahas pada
kesempatan ini yaitu gelagat politik Ridwan Bae—salah satu tokoh politik dari
partai Golkar dan mantan orang nomor satu di Muna selama dua periode yang kini
menjadi anggota DPR RI Pusat Dapil Sulawesi Tenggara. Informasi yang beredar
bahwa kemenangan calon kepala daerah juga sangat ditentukan oleh orang yang
pernah menjadi nomor satu selama dua periode di Muna ini.
Lalu
pertanyaannya, di arah manakah gelagat
politik Ridwan Bae bermain dalam Pilkada Muna kali ini?
***
Beberpa
hari yang lalu, saya menyempatkan diri untuk menyusuri kota Raha—berharap untuk
bertemu banyak masyarakat kota Raha— mendengarkan cerita mengenai Pilkada Muna.
Di beberapa jalan, terlihat pemandangan dengan posko, umbul-umbul dan spanduk-spanduk/baliho
besar dan juga kecil serta pamflet-pamflet terpasang dan ditempel dengan apik.
Semua nampak sangat indah, posko ditata dengan rapih ada lampu disko, didalamnya
juga ada teve dan untuk tempat karaoke gratis bagi masyarakat yang mau
menyumbangkan suaranya. Di posko itu ketika saya bergabung tak ada perbincangan
yang lebih dalam mengenai calon-calon ini, semua terfokus pada satu momen yaitu
hepi-hepi alias karaoke.
Di lain
kesempatan, saya berbincang dengan salah satu pemuda yang ada di posko
tersebut. Ketika saya menanyakan berapa partai pendukung pasangan nomor urut
tiga L.M Baharudin dan La Pili—pemuda ini mengatakan, ada tujuh partai. Saya
agak kaget dan langsung melihat spanduk yang ada diposko itu—dan terlihat hanya
ada lima partai. Pemuda ini langsung mengatakan, Ridwan Bae dari partai Golkar
mendukung pasangan namor urut tiga. Loh…kok bisa, Rusman Emba kan yang berpasangan
dengan Malik Ditu partainya dari Golkar dan mereka tidak pecah alias sama kubu
Aburizal Bakrie.
Pemuda
ini mengatakan bahwa dukungan itu disampaikan secara langsung oleh Ridwan Bae
di dalam kampanye L.M Baharudin-La Pili—dan mengatakan bahwa beliau mendukung nomor
urut tiga.
Saya
tidak langsung percaya dengan informasi tersebut. Saya beranggapan bahwa ini
merupakan taktik politik penebaran isu untuk mengalihkan pendukung lawannya—karena
semua orang tau bahwa Ridwan Bae mempunyai pengaruh politik yang kuat pada
setiap pemilu di Muna.
Hari
berikutnya saya mengikuti kampanye dan sosialisasi pasangan L.M Baharudin-La
Pili di salah satu desa yang mempunyai potensi wisata—Walengkabhola atau
Tongkuno. Di kampanye itulah saya menyaksikan dan mendengarkan ketika L.M
Baharudin mengatakan bahwa Ridwan Bae dari partai Golkar mendukung kami. Dari sini
saya menilai bahwa dalam politik apa saja bisa terjadi, tergantung bagaimana
kita menafsirkan arti dukungan itu. Bisa saja dukungan itu bersifat pribadi
bukan partai, toh L.M Baharudin merupakan adik iparnya. Sehingga di sinilah L.M
Baharudin-La Pili memanfaatkan nama itu sebagai basis untuk mengarahkan
pendukung-pendukung untuk kemudian memenagkannya.
Lalu
bagaiaman dengan pasangan Rusman Emba-Malik Ditu. Mengapa Ridwan Bae yang satu
atap dengan Rusman Emba malah membelakanginya? Taktik politik seperti apakah
yang dimainkannya!
***
Pada
pilkada Muna Tahun 2010 Ridwan Bae mendukung Rusman Emba yang merupakan satu
partai. Dalam pilkada tersebut Ridwan Bae malah membelakangi L.M Baharudin
yang berbeda partai dan justru memenangkan pilkada tersebut. Dalam perbincangan
saya di warung kopi dekat pelabuhan Kota Raha dengan masyarakat setempat
mengatakan bahwa kemenangan L.M Baharudin tahun 2010 karena ada dukungan dari
bawah yaitu rakyat seperti para petani, pedagang dan juga para nelayan—sedangkan
Rusman Emba dukungan datang dari kalangan atas seperti elit politik Ridwan Bae
dan kawan-kawannya. Lebih lanjut sahabat itu menjelaskan kepada saya bahwa hari
ini Rusman Emba-lah yang mendapat dukungan dari bawah sedangkan dukungan dari
atas datang dari L.M Baharudin. Terbukti dari sosialisai di Tongkuno itu L.M
Baharudin mengatakan bahwa mereka didukung oleh partai-partai besar dan
elit-elit politik nasional seperti Ridwan Bae, Prabowo Subianto, Surya Paloh.
Dari
penjelasan diatas, kita dapat membaca ke mana gelagat politik Ridwan Bae. Saya berasumsi
bahwa meskipun mendukung L.M Baharudin, dukungan itu bukan atas nama partai
Golkar tetapi atas nama pribadi sebagai adik ipar. Sesuatu yang ganjil jika
Rusman Emba mencalonkan diri dalam pilkada Muna tanpa restu dan dukungan dari
ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Tenggara, Ridwan Bae. Dan saya melihat di
berbagai baliho atau spanduk-spanduk ada partai Golkar sebagai pendukungnya. Jika
dilihat versi siapa yang sah, tentu Aburizal Bakrie tetapi di spanduk L.M
Baharudin tidak ada partai Golkar. Sudah tentu disini ada taktik permainan
politik yang diaturnya dengan apik. Di satu sisi nomor urut satu adalah teman
separtainya dan maju dengan partai yang dipimpinya di sisi lain nomor urut tiga
adalah adik iparnya.
Lalu
siapakah didukungnya yang sebenarnya?
Bagi
saya, politik adalah tentang perebutan kepentingan dan kekuasaan, hingga apapun
dalam politik bisa saja terjadi. Saya mempunyai asumsi-asumsi, hendak kemana sebenarnya
gelagat Ridwan Bae di pilkada Muna ini:
Pertama,
dukungan Ridwan Bae untuk L.M Baharudin adalah sah-sah saja sebagai adik ipar
namun sebagai ketua DPD partai Golkar Sulawesi Tenggara tentu dukungannya
mengarah pada Rusman Emba. Tentu dia tidak menginginkan keretakan hubungan seperti
yang terjadi pada tahun 2010 lalu—karena tidak mendukung adik iparnya. Pada pilkada
tahun 2010 itu L.M Baharudin yang terpilih, sehingga tak punya ruang untuk
bermain-main dan namanya tak mencuat dipermukaan.
Kedua,
taktik untuk memenangkan Rusman Emba. Di dalam berpartai politik kader harus
mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap partai. Ridwan Bae yang merupakan
ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Tenggara tentu memahami hal ini—tidak mungkin menghianati
salah satu kader terbaiknya hanya untuk mengalihkan dukungan terhadap adik
iparnya.
Bagi
saya ini taktik pemenangan. Publik akan melihat bahwa Rusman Emba tidak
didukung oleh kalangan atas—maka masyarakat bawah akan memberikan dukungan, karena
seperti yang saya jelaskan diatas pemilihan tahun 2010 L.M Baharudin memenangkan
pilkada karena atas dukungan dari kalangan bawah. Ada pengalihan taktik di sini
dan berkebalikan—hari ini justru L.M Baharudin yang mendapat dukungan dari kalangan
atas—atas ketertempelan Ridwan Bae.
Ketiga
adalah faktor kepentingan. Sebagai anggota DPR RI daerah pemilihan Sulawesi
Tenggara, tentu ini taktik yang sangat cerdas dan rapi untuk tidak mengalihkan
dukungannya hanya pada salah satu pihak. Ridwan Bae pandai menyusun strategi
dan mengatakan secara langsung kepada L.M Baharudin di depan publik. Tetapi bisa
saja diluar itu dia juga mendukung Rusman Emba secara langsung dalam lembaga partai
Golkar dan tidak mencuatkanya didepan publik. Meskipun kita tau bahwa ada
perseteruan antara Ridwan Bae dan Oheo Sinapoi mengenai dukungan di pilkada
Muna. Tetapi sekali lagi yang sah sekarang dan yang berhak untuk menentukan
dukungan yang sah adalah Ridwan Bae kubu Aburizal Bakrie. Tentu disini mau
tidak mau harus mendukung Rusman Emba yang lewat partai Golkar.
Dari
sinilah kita bisa menilai bahwa kemenangan kedua pasangan calon adalah kelak kemenanganya
juga. Sehingga kepentingan untuk bermain-main disana tak akan terhalangi, toh
sama-sama didukungnya.
Itulah
asumsi-asumsi saya. Anda pun bisa menilai mana asumsi yang masuk akal, mana
yang tidak. Tetapi lebih baik jika anda bisa berasumsi sendiri mengenai topik diatas.
Kendari
10 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar