Ilustrasi sebuah desa yang indah
Desa adalah wilayah
yang ditempati oleh suatu masyarakat, yang didalamnya masih terdapat
ketenangan, rindangnya pepohonan, lahan kosong dan memiliki keakraban antar
sesama masyarakat. Desa adalah tempat indah untuk kita berteduh menenangkan
pikiran, dikalah kota terdapat kebisingan, kesemerawutan, macet, yang membuat
gemah perasaan tak menenang. Desa adalah ibarat pondok sederhana yang beralaskan
tikar dan beratapkan rumbia, namun dibalik itu menyediakan berbagai menu-menu
yang menarik, keramahtamahan pelayanannya, senyum tawa manusianya yang terus
memikat hati kita dan memiliki kearifan lokalnya yang seakan tak akan lekang
oleh waktu.
Desa adalah tentang
masa depan, yang didalamnya terdapat berbagai sumber daya, untuk kemudian
memacu kita agar lebih bijak memanfaatkan dan menjaganya untuk kemakmuran
bersama. Desa adalah tentang afektifitas yakni kebersamaan dengan perasaan
kasih sayang, cinta dan kesetiaan yang melingkupi.
***
Desa yang dimaksudkan
diatas adalah desa yang belum tersentuh oleh tangan-tangan korporasi besar atau
elit-elit lokal yang mempunyai kehendak untuk mengeksploitasi segala sumber
daya ekonomi. Desa diatas adalah desa yang masih berada dalam benteng ke—tradisionalan—nya,
mereka bukan karena terbelakang atau tidak mau maju. Namun mereka sengaja terus
mempertahankan adat dan budaya sebagai bagian dari tradisi desa yang dianggap
sebagai benteng pertahanan dari remukan yang bernama koorporasi besar atau
perusahaan multinasional. Desa diatas adalah desa yang masih sejuk, yang belum
dijamah oleh industri-industri yang memburuh rente, sehingga keindahan alam
masih terbentang di depan mata. Gunung, hutan dan laut adalah bagian yang tak
terpisahkan dari desa, yang selalu memanjakan mata kita dikala kita mengunjungi
desa.
Desa diatas adalah desa
yang mengukuhkan bahwa desa adalah milik kita bersama, tak ada manusia
mengeksploitasi manusia, tak ada tuan tanah, tak ada produksi dikuasai oleh
individu-individu, meminjam istilah Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi bahwa itulah kita
seharusnya ‘satu desa satu bangsa’. Kita semua harus menggemahkan kebersamaan,
ke—kitaan, kesejahteraan bersama, keadilan bersama dan kemajuan bersama, dengan
berada dalam satu atap yang bernamakan desa. Lalu, bukan kemudian berusaha
untuk meng—kotak-kotakan diri karena telah dikangkangi oleh
kepentingan-kepentingan jangka pendek.
***
Keramahtamahan dan
kearifan itu, selalu mengingatkan pada desa yang ku—kunjungi beberapa bulan
yang lalu. Pada kunjungan itu, kami dalam rangka melaksanakan Kuliah Kerja
Nyata—Nusantara II di desa Sandang Pangan, di Buton Selatan. Desa, dimana
dengan masyarakatnya yang ramah dan pemandangan puncak dan hutannya yang sangat
memanjakan mata saya.
Foto di puncak Lamando/Teletubies desa Sandang Pangan, Buton Selatan
Saya cukup tertarik
dengan desa ini, hutan yang belum terjamah oleh industri apapun, puncak yang
indah—yang menjadi ikon desa ini—yang terlihat menjadi menarik. Masyaraktnya menyebut
nama puncaknya—dengan nama puncak lamando sedangkan anak-anaknya menyebutnya sebagai
puncak teletubies karena modelnya seperti puncak yang ada dalam film—
teletubies di tahun 2000-an itu.
Yang membuat nurani
saya tersentak, ketika masyarakat setempat mengatakan bahwa masyarakat yang
mempunyai lahan suda tak tertarik lagi untuk kemudian mengelola lahannya
sebagai lahan pertanian. Mereka meninggalkan lahannya hingga berpuluh-puluh
tahun. Mereka lebih tertarik meninggalkan kampung untuk merantau dan bergelut
dengan pekerjaan di sektor informal. Buruh bangunan, buruh kapal dan pedagang
kecil-kecilan suda menjadi kebiasaan hidup mereka diperantauan.
Desa yang konon sebagai
lumbung sandang dan pangan, kini tak banyak menyediakan penghidupan yang layak
buat keluarga. Tak banyak yang diperbuat ketika masyarakat menyaksikan hasil
pertanian mereka melimpa. Mereka hanya melihatnya menumpuk. Tetesan keringat, panasnya
sengitnya matahari yang sudah menjadi bagian dari pertarungan kehidupan mereka
sehari-hari, tak terbayarkan ketika hasil pertaniannya tak tau dimana hendak
akan dijual. Sehingga anak-anak putus sekolah lalu memilih merantau
meninggalkan desa, keluarga yang pindah tempat tinggal lalu menetap di kota dan
masih bergelut dengan pekerjaan informal.
Bertani seakan bukanlah
sesuatu yang menjanjikan buat mereka. Pekerjaan sebagai petani identik dengan
ketiadaan—dalam hal ini adalah kemiskinan. Salah satu masyarakat desa ini
mengatakan bahwa orang tua tak dapat membeli apa-apa ketika menjadi petani—tak
dapat membeli TV, motor, sepeda, hingga menyekolahkan anak. Yang ada hanyalah
jagung dan padi yang menumpuk diatas rumah. Menjulanya pun kami tak bisa katanya—karena jalanannya yang sangat
rusak dan pasar sangatlah jauh dari desa, sehingga kami lebih memilih merantau
meninggalkan desa daripada bertani. Ini merupakan salahsatu dari keadaan desa
yang mungkin sangat banyak dialami oleh desa-desa yang ada di Indonesia.
Ia, marilah sejenak
merenungi kehidupan dibawah matahari ini. Renungan kehidupan tentang masyarakat,
ketika tak tertarik lagi dengan desa mereka. Dalam era globalisasi ini, bukan
tak mungkin perusahaan multinasional atau koorporasi besar akan memasuki desa
untuk menanamkan investasinya. Bagi mereka investasi adalah panglima yang akan
mengarahkan mereka pada pertempuran itu. Tentunya mereka suda mempunyai
peta-peta kemenangan untuk kemudian menguasai segala bentuk sumber daya ekonomi
desa.
Lalu pertanyaanya, siapakah yang akan
mengambil peran penting ketika masyarakat tak lagi tertarik dengan desa mereka
lalu meninggalkannya? Siapakah yang akan menjaga keseimbangan alam, mengurusnya
dan memanfaatkan untuk keberlanjutan dan kebaikan ekosistem dan ekologi?
Siapakah…………….!!!
Banyak pertanyaan yang
menghinggapi dibenak ini ketika desa hanya dipandang sebagai obyek dalam
pembangunan. Sehingga tak salah ketika masyarakat lebih memilih kota dari pada
desa karena tak banyak menyediakan penghidupan. Masyarakat enggan berkontribusi
ketika ruang mereka dibatasi untuk memajukan desa.
Seringkali, masyarakat
desa hanya menjadi sasaran oleh elit-elit lokal/desa, yang kemudian melakukan
kerjasama dengan perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi sumber daya
ekonomi yang ada. Sehingga yang ada adalah kemelaratan, kemiskinan yang terus
mengalir kealiran darah mereka. Mereka tak kuasa untuk mengubah nasib, sehingga
turun temurun kemiskinan terus menghinggapi kehidupan masyarakat desa. Mereka
suda tak punya suara untuk menyuarakan suaranya, lantaran mereka tak punya
kuasa.
Gayatri Spivak suda
menjelaskan tentang hal ini, bahwa kaum yang dipinggirkan oleh kekuasaan tak
akan mampu berbicara, sebagaimana kiasannya “can subaltern speak?”. Inilah
peran kekuasaan dan politik yang sulit dipisahkan—antara kekuasaan logika dan
wacana—sebagaimana Derrida mengatakan bahwa “we need to intrepret
interpretation than a interpret thing”. Dengan hal ini, maka kita akan semakin
tergelitik—membongkar dibalik motivasi kekuasaan wacana yang sering
didengungkan oleh perusahaan multinasional.
Michael Foucault dalam karyanya “the archeology of
Knowledge” juga mengatakan bahwa pengetahuan dan politik sulit untuk dipisahkan
karena fondasi kekuasaan ternyata
membutuhkan legitimasi pengetahuan. Sehingga setiap wacana yang dimunculkan
perusahaan multinasional tak lain adalah kepentingan mereka untuk mendominasi.
Iya, mendominasi bagian dari strategi kapitalisme—neoliberalistik.
***
Lantas, kita sekarang harus
memberi penyambutan terhadap ‘desa cosmopolitan’ didalam era globalisasi ini.
Desa cosmopolitan, dimana sebutan nama desa yang kini menjadi bagian langsung
dalam proses globalisasi. Desa, dimana bukan lagi akan identik dengan simbol
keterbelakangan, namun desa yang akan berkembang mengarah pada kemajuan
(cosmopolitan).
Dulu, memang kita
memandang desa dan globalisasi merupakan sesuatu hal yang terpisahkan, bahkan
mungkin sangat terlampau jauh. Kini, desa dan globalisasi sangatlah sulit untuk
dipisahkan—satu tubuh yang saling merekat satu sama lain. Kita tak bisa
mematahkan salah satunya—karena globalisasi merupakan fakta dan realita hari
ini.
Namun kita tidak bisa
memandang desa sebagai sesuatu—obyek pasif yang mengikuti kemana arah
globalisasi membawahnya. Jika hal demikian terjadi, maka kita akan menyaksikan
didepan mata—bagaimana globalisasi akan menggerogoti desa, dengan remukan
kecanggihan teknologi hingga tak akan menyisakan apapun.
Tentunya kerusakan alam baik hutan maupun gunung akan membentang didepan mata kita, lahan dicaplok oleh koorporasi
besar, sumber daya ekonomi dieksploitasi dan lain sebagainya. Hingga suatu saat
kita akan bertanya-tanya, dimanakah desa kita yang—dengan keindahan alamnya
dulu memanjakan mata kita? kemana saya harus pulang kampung? Kemana saya harus
merayakan idul fitri dan idul adha? Kemana saya harus bertemu keluarga? Untuk
saat ini memang kita akan menjawab ‘desa’ sebab desa masih milik kita semua.
Namun kedepan,
kemungkinan jawaban ‘desa’ itu akan berubah, karena kita tak akan mengenali
mana desa dan mana bangunan sebuah pabrik industri-industri besar. Semuanya
akan disulap seketika demi mereka yang memburu rente, hingga akhirnya desa
hanya milik mereka yang punya modal. Karena desa sesunggunya justru berpotensi
menjadi subyek aktif yang akan menopang sistem ekonomi dunia yang saat ini
tengah krisis.
Lantas, apa yang kita
akan perbuat untuk saat ini? Sebelum globalisasi datang dengan perusahaan
multinasionalnya mencaplok desa-desa, yang selama ini menjadi kebanggaan kita.
La
ode Halaidin
Kendari
25 September 2015