Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

30 Agustus 2015

Capeknya Membuat Skripsi

                                                                           Ilustrasi

Beberapa minggu ini rutinitasku berubah, iya berubahnya hanya 180 derajat saja sih, tidak juga berputar dengan haluan penuh 360 derajat. Saya punya kebiasaan biasanya mencari buku-buku bacaan di tokoh buku, jika kusuka saya beli lalu kutenggelamkan diruku dalam bacaanku. Biasanya juga untuk menambah koleksi-koleksi buku, karena buku-buku diatas meja belajarku belum banyak, lagian saya ingin punya banyak wawasan tentang apapun, kecuali ilmu-ilmu kedokteran karena saya tak suka menghafal bagian-bagian tubuh dengan bahasa yang sukar dimengerti.

Kini saya harus lebih banyak menyisipkan waktu untuk menyusun skripsiku. Iya menyusun proposal untuk skripsi betul-betul capek dan membosankan, meskipun menulis merupakan salah satu bagian dari hidupku yang tak bisa kupisahkan. Membaca, melihat fenomena kehidupan, berpikir lalu menulis hal-hal yang masih tersembunyi atau kejadian sosial, ekonomi dan politik yang belum sempat dibumikan dijagad raya ini.
Mungkin semua orang berpikir, emang kamu bisa menuliskan tentang hal itu! Saya kira jika kita ingin terus belajar, hal-hal sesusah apapun pasti kita akan bisa melaluinya dan berhasil. Dan itulah impian dan harapan terbesarku di kehidupan ini…lalu harapan dan impianmu apa?

Menulis seperti artikel atau di bloger memang tak membutuhkan tenaga yang full atau dengan kekuatan super power. Cukup dengan ketenangan berpikir, dengan membaca, menonton, melihat kejadian atau realitas kehidupan lalu menuliskannya. Tak butuh berlembar-lembar untuk membuatnya atau dengan mengutip teori-teori para ahli yang kadang sukar dipahami orang-orang. Sebab menulis di bloger atau artikel-artikel yang tidak berat, bahasanya mengalir sesuai dengan ketenangan jiwa dan batin kita. Kejernihan berpikir untuk mengungkapkan realitas yang sebenarnya terkadang juga memacu kita untuk dapat menuliskan sesuatu hal.

Lain halnya dengan menulis karya ilmiah atau proposal skripsi yang diwajibkan untuk mengutip pandapat-pendapat para ahli. Lalu kemudian kita juga membutuhkan buku pedoman, acuan atau refrensi untuk skripsi. Terkadang saya berpikir ini tugas berat akhir saya. Pasalnya sebuah skripsi membutuhkan pengetikan berpuluh-puluh lembar kertas untuk selesai. Belum lagi pada saat kegiatan penelitian, ini membutuhkan tenaga super power ala power ranger. Banyak menguras tenaga, waktu dan pikiran. Di sini kita seperti hanya berada pada satu dunia yaitu dunia skripsi.

Membuat skripsi memang capek dan membosankan, tapi itulah sebuah kewajiban untuk mendapatkan sebuah titel sarjana yang sering dibangga-banggakan oleh setiap orang. Orang tua saya tentu juga menginginkan hal ini. Saya hanya butuh dorongan yang kuat serta penguatan agar secepatnya saya menyelesaikan tugas akhir ini, meskipun banyak kendala, terutama biaya. Saya hanya akan terus menjalaninya untuk sebuah impian dan cita-cita kedepan, tak boleh rapuh, tak boleh putus asa karena semua ada momen-momen tertentu. Hari ini bahagia kedepan belum tentu, hari bersusah-susah paya demi menggapai impian, kedepan mungkin kita akan bahagia. Roma Irama si Raja dangdut sering menyanyikan ini “Bersusah-susah dahulu lalu kemudian…. bersenang-senang”.

Yups….mungkin dengan kondisi saya saat ini, pantas untuk bersusah-susah dahulu dan kemudian akan saya petik buah kesenangan itu. Semogaaa…….



Kendari 30 Agustus 2015

Haruskah Memilih Rusman Emba (?)

Foto unjuk rasa yang dilakukan pendukung Rusman Emba-Malik Ditu 
di depan Kantor KPU Muna, Senin (24/8). (kiri). Paslon Rusman dan Malik (kanan).

Saya rasa Muna sebagai daerah yang masih terbelakang dari segi kemajuan ekonomi, perlu suapan-suapan yang bergizi baik dari kualitas makanan maupun minuman dan tentunya yang sehat, agar kelak menjadi daerah yang tegak berdiri, tak loyo atau sempoyongan dan tidak ditertawai oleh teman-teman seperjuangannya.

***
Siapa yang menyangka saya harus menuliskan hal ini. Saya sendiri juga tidak tahu kenapa harus menulis tentang politisi, pada hal dari dulu saya tidak suka dengan para politisi yang suka doyan menjual janji palsu. Apakah Rusman Emba seorang politisi tersebut? Entalah…!! Karena masing-masing punya presepsi dan preferensi masing-masing tentang sosok pemimpin kepala daerah yang nanti akan dipilihnya. Semua orang bebas dan memiliki kemerdekaan tentang pilihannya.

Disini saya bukan membahas hal-hal yang ganjil/tidak baik tentang seorang politisi Rusman Emba, karena itu bukanlah bagian karakter saya. Tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil membangun citranya hanyalah bagian dari mobilisasi opini untuk kemudian mengangkat atau mempopulerkan namanya dipermukaan. Ini hanyalah cara klasik……

Inilah yang membuat saya betanya-bertanya, bahwa cara berpolitik seperti ini bukanlah cara yang sehat namun hanya bagian dari pengecohan dan pemutarbalikan arah untuk kemudian masyarakat memilihnya. Orang-orang tertentu meminta masyarakat untuk memilihnya tanpa menyodorkan apa yang menjadi ide dan gagasan-gagasannya untuk membangun daerah. Inilah cara-cara klasik yang dipertaruhkan didepan publik, semua dilakukan hanya dengan pengalihan opini tanpa dasar yang jelas. Mungkin cara-cara seperti ini pantas kita sebut sebagai cara-cara politik ‘tai kucing’ (maaf agak busuk) yang hanya mengedepankan kepentingan dan kuasa kedepannya. Semua bisa terjadi…

Lalu yang menjadi pertanyaan kita, pantaskah cara-cara berpolitik seperti ini diterapkan, lalu mengharapkan sebuah kemajuan terhadap daerah yang kita banggakan? Entalah……!! Tetapi saya beranggapan, seperti itulah cara-cara politik kotor yang sering diterapkan oleh seorang politisi untuk kemudian melegitimasi kedudukan dan kekuasaan di daerahnya. Tak bisa dilerai dan tak bisa dihentikan, maka kita harus terjun dan terlibat meskipun dengan hal-hal yang kecil untuk sekedar memperingatkan atau bahkan meluruskan apa yang menjadi pemahaman masyarakat.
***
Berawal dari kelelahan mata melihat dan telinga ini mendengar tentang sesosok orang yang diagungkan, yang katanya dapat memberi kemajuan di jazira Muna. Sosok itu menjadi idaman dan akan menjadi pilihan sebagian masyarakat karena dianggap akan mampu memberi perubahan untuk kemajuan daerah Kabupaten Muna. Saya sendiri tak tau sebagian masyarakat mengukurnya dari mana; entah dari kontribusinya terhadap Kabuapten Muna atau mungkin prestasinya selama ini yang kemudian ditorehkannya, atau mungkin punya ide-ide dan gagasan yang brilian atau apalah…..saya juga tidak bisa menebak. Bagiku  politisi yang bertarung (untuk tidak menyebut semuanya) selama ini di daerah Muna sama saja, tak ada niat untuk memajukan daerah; semua atas dasar kuasa dan kepentingan untuk mengeksploitasi segala sumber daya ekonomi yang ada. Iya menurut saya hanya itu. Buktinya tidak ada progress sama sekali dalam pembangunan daerahnya. Jika kita menelisik kebelakang, jati yang menjadi ikon daerah Muna, telah berhasil dibabat oleh orang-orang oligarki, tak tau uangnya ke mana; ke kas daerah pun menurut informasi yang saya dapat, tidak masuk.

 
Foto: Salah satu jalan di Muna, jalan poros wamengkoli-bau-bau 
yang tak kunjung di aspal sekitar hampir 15 tahun. 

Ia, inilah yang menjadi pelajaran kita, bahwa untuk menentukan pemimpin yang dapat memajuhkan daerah, kita perlu ruang untuk kemudian didiskusikan, lalu dipelajari secara bersama-sama. Bukan menebarkan atau memobilisasi opini yang sama sekali tak mendidik masyarakat. Yang menjadi kekhawatiran kita adalah jika calon-calon pemimpin itu lahir dan berasal dari rahim yang sama. Tentu ini menjadi kajian kita, untuk kemudian memutus mata rantai kebiadaban orang-orang yang hendak mengambil atau mengeksploitasi segala sumber daya yang ada daerah.


***
Yang kebanyakan muncul sekarang ini memang para aktor-aktor politik yang pragmatisme. Politik pragmatisme tentunya adalah politik yang hanya pandai mengumbar janji manis, dan sering kali pada kenyataanya masyarakat banyak menelan luda pahit ketika mereka terpilih. Ungkapan-ungkapannya diatas mimbar tidak pernah diwujudkan ketika terpilih yang menurut saya, ini hanyalah bagian dari pembodohan terhadap masyarakat. Bahasa-bahasa ini tentunya banyak diucapkan di podium ketika terjadi pertarungan politik dalam sebuah event yang bergengsi, yang bernamakan pemilihan umum; baik Bupati, Gubernur, Presiden bahkan sampai ke level bawa, kepala desa. Mungkin disini pantas kita menulis pepatah orang-orang Arab bahwa “orang yang tidak punya apa-apa, tidak akan bisa memberikan apa-apa”. Jika tak punya ade atau gagasan maka tidak akan bisa memberikan ide atau gagasan. Titik….

Namun tak sedikit juga saya melihat, calon-calon kepala daerah di puja-puja oleh masyarakat; (entah relawan atau tim pemenang atau mungkin dari simpatisan) bak sang dewa agung yang disembah untuk kemudian dapat memberikan kedamayaan, kemegahan atau kemajuan atau dapat mengabulkan semua apa yang dimintanya. Puja-puja disini bukan berarti disembah (beribadah kepadanya) layaknya seperti Tuhan Yang Maha Kuasa namun dengan pemberian opini. Opini yang mereka lontarkan dimedia sosial bermacam-macam seperti “dialah pemimpin yang menjadi harapan untuk memajukan Muna atau pilihlah si Anu, karena jika si Anu terpilih maka Kabupaten Muna akan maju”, dan masih banyak lagi opini-opini yang muncul. Melalui mobilisasi opini-opini itulah, masyarakat terkecoh dan pengaruhnya sangat dirasakan oleh masyarakat.

Mobilisasi opini merupakan bagian dari dominasi politik oligarki. Politik oligarki merupakan politik yang mempunyai kuasa terhadap materi dengan melakukan penumpukan berbagai modal. Inilah bagian dari cara politisi oligarki yang doyan menjalankan politik penjarahan dengan memobilisasi opini dan menguasai sumber daya kekayaan dan kekuasaan yang kemudian mereka dapat mengkosolidasikannya. Sehingga kehendak untuk berkuasa mereka tak terelakan; opini muncul dipermukaan dengan berbagai bentuk warna-warni, manis seperti buah anggur, wewangian yang seakan-akan menyumbat hidung untuk bernafas, dengan mata berkedap-kedip seakan-akan kita terkena sesuatu kenikmatan.

Namun apakah opini yang mereka kutip di media sosial sesuai dengan realitas? Belum tentu. Kita boleh saja bisa beranggapan bahwa semua dilakukan atas dasar komitmen-komitmen dengan persetujuan ‘amplop panas’ untuk kemudian mempopulerkannya. Iya hanya itu, tak lebih dari itu……

Menurut Ziko Muliya dalam tulisannya tentang Oligarki vs Civil Society, riset demos tahun 2005 dan 2007 menemukan bahwa kemandegan demokrasi ternyata disebabkan oleh elit dominan yang memonopoli kekuasaan. Mereka membangun demokrasi oligarki, yang menurut pengertian tiga pakar politik Indonesia : Vedy R Hadiz, Richard Robinson dan Jeffrey Winters, oligarki selalu menekankan keunggulan sumber daya material sebagai kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi.
***
Jika kita melihat partai Rusman Emba memang partainya lahir di masa Orde Baru yaitu Partai Golkar. Semasa Orde Baru dengan rezim otoriter Soeharto berkuasa, banyak orang-orangnya dimasukan dalam partai golkar. Lalu pertanyaannya apakah Rusman Emba bagian dari politisi yang lahir dari Orde Baru? Saya juga tak tahu. Karena saya tak bisa melacak hal itu. Namun semasa rezim otoriter berkuasa system patronase menjalar hingga ke level provinsi, kabupaten/kota dan desa. Mungkin lewat patronase yang menjalar inilah yang kemudian melahirkan politisi-politisi oligarki di tingkat lokal, dan selalu mempertahankan status quo mereka.

Lalu pertanyaan yang kita kedepankan, haruskah kita memilih Rusman Emba dalam pemilihan kepalah daerah di Muna kedepan? Entalah….Itu semua tergantung hati nurani kita untuk kemudian memilih siapa yang punya potensi, atau orang yang ingin benar-benar bekerja untuk kemajuan daerah Muna yang kita cintai. Nasib Muna lima tahun kedepan tergantung dibilik suara, yang hanya memakan waktu singkat dan cepat.

Saya pun demikian, saya masih melihat siapa orang yang akan saya pilih. Suda hampir lima belas tahun saya tidak memilih kepala daerah di Muna. Saat ini saya berpikir untuk memilih lewat analisa yang baik. Semoga kedepan dengan pilihanku itu dapat terpilih dan melihat kerja nyatanya untuk sebuah kemajuan di Muna yang kita cintai. Semoga……..


Gambar 1 diambil di: http://beritasultra.co/rusman-malik-lolos-lubang-jarum/
                                                                                                           

Kendari, 30 Agustus 2015

19 Agustus 2015

Kemer [D] ekaan Milik Mereka Dan Bukan Milik Kita [?]

Beberapa hari ini, saya menyaksikan penyambutan hari kemerdekaan Indonesia di berbagai wilayah memang selalu berbeda-beda ada lomba panjat pinang, sepakbola, makan kerupuk, bola gotong dan berbagai perayaan lainnya. Ini semua tentu patut kita apresiasi karena perayaan tersebut merupakan bagian dari bentuk kebanggaan masyarakat kita setelah Indonesia lepas dari belengguh penjajahan bangsa-bangsa kolonialisme. Inilah yang masyarakat pahami tentang perayaan kemerdekaan selama ini. Semangat perayaan kemerdekaannya hanya dipahami dengan symbol formalisme belaka, atau yang bersifat kasat mata.

Inilah nasionalisme yang bersifat semu yang suda menjangkiti masyarakat kita. Dan yang lebih mencengangkan lagi setiap perayaan lomba kemerdekaan di desa-desa tak sedikit juga saya menyaksikan perkelahian antar desa. Perkelahian itu terjadi dalam pertandingan sepakbola; kadang dibenak saya sering memunculkan pertanyaan; apakah mereka mengerti makna dari perayaan kemerdakaan ini!

Menurut Asep kepada BBC Indonesia mengatakan bahwa perayaan kemerdekaan diperingati sebagai upaya untuk mengenal sejarah dan budaya bangsa dengan mengenali para pejuang karena merekalah yang melahirkan bangsa ini dan memberikan kesempatan untuk menikmati kemerdekaan dengan mengorbankan keringat, darah dan air mata. Bagi saya perayaan kemerdekaan dengan mengadakan berbagai lomba-lomba tersebut merupakan bagian dari kegiatan sosial untuk kemudian mempertautkan silaturahmi antar desa. Disanalah seharusnya kebersamaan, kesatuan dan persatuan terjadi; segengsi apapun pertandingan, yang perlu kita dorong adalah semangat nasionalisme namun tidak bersifat semu atau dangkal; dan yang lebih penting lagi adalah masyarakat tidak kehilangan harga dan martabat diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka.

Yang patut kita pertanyakan bersama setelah Indonesia merdeka, apa yang kita pahami selama ini tentang kemerdekaan? Apakah kemerdekaan masih berarti terbebasnya masyarakat Indonesia akibat penjajahan oleh bangsa-bangsa asing! Jika kita melihat dalam konteks perang kemiliteran pada masa penjajahan dulu memang kita suda merdeka, tidak ada lagi yang menjajah kita secara militer namun, bagaimana dengan konteks penjajahan mental dan moralitas bangsa, apakah kita suda merdeka? Seringkali Undang-undang dan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah muda saja didikte; diintip lalu dimasuki oleh kepentingan bangsa-bangsa asing. Lalu pertanyaan berikutnya adalah untuk apa Indonesia merdeka? Setelah merdeka, buat siapakah kemerdekaan itu? Apakah betul di Indonesia ada yang masyarakatnya merdeka dan ada yang tidak merdeka!

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu mempunyai relevansi yang kuat dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Melihat realitas dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini tentu sangat berkontradiksi. Disatu sisi Indonesia diharapkan menjadi Negara yang makmur, sejahtera dalam bidang politik, ekonomi dan budaya, dengan mencipatakan pembangunan yang berkeadilan di segala bidang atau mungkin hanya sekedar seperti yang sangat populer selama ini diucapkan oleh Prabowo Subianto menjadi macan Asia.

Di sisi lain bangsa ini selalu terkungkung dengan kebijakan yang diterapkan oleh para penguasa, permainan partai-partai politik dengan kepentingannya, pemodal dengan doktrinisasinya lewat gedung putih atau istana, dll. Sehingga apa yang mmenjadi kebijakan yang diambil bukan lagi kepentingan yang bertemakan rakyat tetapi kepantingan orang-orang yang berdasi; tak kenal dasi asing atau dasi orang Indonesia sendiri.

Pemahaman kemerdekaan tentu tidak hanya dilakukan dengan pengukuran dalam satu barometer saja, sehingga tidak menjadi sesuatu pseudo kemerdekaan (pemahaman kemerdekaan yang semu). Jika hal demikian maka kemerdekaan itu menjadi sesuatu yang tak bermakna, tak bernilai dan tak berkarakter. Kita bisa menjastivikasi pemahaman kemerdekaan dengan cara mengalami; mengalami disini bukan berarti kita kembali dimiskinkan, atau menjadi seseorang yang miskin namun melibatkan diri dengan pergulatan kehidupan mereka; kita bisa turun ke desa-desa, ke petani-petani, nelayan, pekerja buruh, keperumahan-perumahan kumuh, atau orang-orang yang berumah dikolong jembatan. Disanalah kita dapat memahami kemerdekaan dalam konteks yang moderat bahwa kemerdekaan sekarang tidak hanya dipahami dengan terbebasnya dari penjajahan bangsa-bangsa asing, namun terbebasnya dari masaalah-masaalah ekonomi (kemelaratan, kemiskinan dan ketertinggalan), social dan politik.

***
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tentu merupakan langka awal untuk menjadikan titik balik kehidupan bangsa untuk membangun negeri. Namun pembangunan negeri tidak bersifat yang berat sebelah, pilih kasih; atau ada sitilah “wilayah mana yang telah memenangkan saya maka wilayah itu berhak mendapatkan perhatian dan bantuan; atau akan ada pengajuan proyek besar-besaran untuk wilayah tersebut karena pemilihnya telah memenangkannya”.

Yang lebih popular lagi sekarang ini adalah relawan para calon; setelah juragannya memenangi pertaruhan pemilu maka relawan tersebut memiliki peluang untuk duduk dikursi-kursi basah tersebut. Tentunya ini bukan relawan biasa, tetapi relawan-relawan yang propfesional; yang telah membuat komitmen-komitmen liar dengan juragannya. Pada akhirnya kemerdekaan itu seolah milik mereka, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan/jabatan bukan lagi kemerdekaan kita semua yang tak mengenal garis pembatas.

Jika hal demikian maka kemerdekaan bukan lagi berada pada genggaman kekuasaan rakyat tapi hanya mereka yang pemodal, kuasa/jabatan, dan mungkin juga organisasi-organisasi non pemerintah yang telah berhasil mempermainkan strategi liciknya dengan mengusulkan berbagai proposal proyek besar di negeri ini. Akhirnya kata kemerdekaan yang mempunyai nilai-nilai yang mendasar kemajemukan; tak pandang kelas, status social, dan wilayah seolah hanya milik mereka; maka tak salah jika kata KEMERDEKAAN itu akan berubah menjadi KEMER [D] EKAAN bukan lagi KEKITAAN.

Apa yang membedakan Kemerekaan dan kekitaan dalam konteks kemerdekaan Negara republik Indonesia? Kemerekaan merepresentasikan bahwa kemerdekaan itu hanya milik segelintir orang-orang tertentu; disana ada pertarungan kelas, status social, kekayaan, jabatan dan sebagianya yang merupakan wujud dari kelompok-kelompok yang individualitas. Kongkritnya kemerekaan itu tidak merangkul semua kalangan; namun hanya orang-orang tertentu yang masuk pada kriteria-kriteria yang disyaratkan.
Berbeda dengan kekitaan yang sifatnya merangkul tanpa ada pembedaan, kelas, dan status social; kongkritnya bahwa kekitaan itu merepresentasikan kemerdekaan semua kalangan dan kemerdekaan semua wilayah; yang berada dalam lingkaran kemiskinan maka mereka berhak untuk mendapatkan bantuan social, pengangguran berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, yang tidak mampu untuk membiayai pendidikan berhak untuk mendapatkan biaya pendidikan gratis.

Sama halnya dengan kemerdekaan semua wilayah; jika kemajuan selama ini hanya dialami oleh satu kawasan yaitu kawasan Indonesia barat dalam konteks kemerdekaan _ ke-kitaan maka seharusnya tidak ada pengecualian, kawasan Indonesia timur juga harus maju. Anggaran seharusnya juga adil, tidak mesti harus terus yang lebih besar di kawasan Indonesia barat; sehingga kemajuan dalam bidang pembangunan kelihatannya merata. Mungkin inilah monumen sebuah  keadilan, kerajaan keadilan yang kemudian akan melahirkan persatuan dan kesatuan bangsa untuk membangun negeri, seperti yang disemangatkan hari kemerdekaan pada usia yang ke 70 tahun ini; bukan masing-masing wilayah menyatakan diri untuk merdeka atau ingin pisah dari sebuah Negara Indonesia. Dan semoga semua hal ini tidak terjadi, dan keadilan itu semoga cepat terwujud. Dirgahayu RI yang ke 70. Selamat menatap gejolak dan pertarungan dunia yang tidak menentu...

                                                                                    Kendari, 19 Agustus 2015