25 Mei 2015

Mencoba Menanyakan Pada Nasib

                                                                Ilustrasi Gambar dari Bbm.com

Tulisan ini hanya bagian dari curhatan hati saya yang kian hari kian tebal memenuhi benakku, dan otakku terus berdenyut, membuat saya berpikir keras mempertanyakan bagaimana kehidupanku kedepannya. Meskipun kita tahu bahwa masa depan memang abu-abu dan tak nampak tapi kita bukan berarti tidak diperbolehkan menyusun anak-anak tangga itu untuk menuju ke bintang kehidupan.

Masa depanku. Mungkin kebanyakan orang yang seusia denganku, yang sekarang lagi dalam proses atau tahap untuk melajukan diri ke kerikil-kerikil kehidupan yang sangat tajam, kejam, dan susah akan mempertanyakan hal yang sama. Bagaimana masa depanku kedepannya? Apakah akan lebih baik atau buruk?. Atau pertanyaan lain, setelah menyelesaikan study, apa yang perlu saya lakukan? Cari kerja, ataukah melanjutkan study kejenjang yang lebih tinggi lagi. Tentu masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dilontarkan mengenai masa depan itu.

Yuupsss…marilah kita kaji pertanyaan-pertanyaan itu dengan seksama. Tentu pertanyaan diatas adalah pertanyaan penulis pribadi yang sedang membunca dan bergejolak dalam benakku.

Saya selalu percaya bahwa masa lalu akan menjelaskan masa depan. Percaya atau tidak, suka atau tidak suka apa yang kita tekuni, apa yang menjadi kegemaran, hobi dan keahlian kita hari ini akan menjadi cermin untuk masa depan. Sejarah peradaban juga seperti itu. Sejarah peradaban masa lalu juga akan menjelaskan sejarah peradaban masa kini. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya skill atau kegemaran? Apakah dia akan mempunyai cermin untuk masa depannya! Jawabannya: jika dia tidak berusaha merubah dirinya, untuk mempunyai skill atau mengasa keterampilannya maka kemungkinan besar cermin itu akan buram dan tak akan dapat melihat bayangannya. Intinya adalah minat dan hasrat kita hari ini. Untuk itu disini yang kita perlukan adalah sesuatu pembelajaran yang tiada henti.

Tak perlu merendahkan diri, selalu melihat ke-bawah dan tak pernah melihat ke-atas. Menyerahkan segalanya ke-maha yang kuasa tanpa mau berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, merupakan hal yang konyol.. Rezeki memang Tuhan yang tentukan, tapi Tuhan melihat usaha, keikhlasan, kesabaran, dan kerja keras kita lalu memberikan rezekinya yang terbaik. Tuhan selalu hadir ketika seseorang melakukan perbuatan baik, keikhlasan untuk memperbaiki diri walaupun sebentar. Tuhan juga hadir ketika keindahan itu mencekam. Bukankah Tuhan tak dapat merubah nasib seseorang, jika bukan kita sendiri yang mau merubahnya. Kita sesekali untuk menengada keatas, bahwa kehidupan menyimpan berbagai misteri yang bahkan manusia pun tak dapat untuk hanya sekedar mendeteksi misteri itu.

Adalah sudah menjadi kewajaran jika semua orang mengidamkan masa depan yang lebih baik atau sukses, lebih mapan (bergemilang materi), labih bahagia dan yang lebih-lebih lagi. Namun ukuran untuk menjelaskan semua itu tentu sangat berbeda-beda. Apa yang menjadi ukuran sesoarang untuk menjadi orang sukses? Bergelimang harta atau tidak, namun dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Tentu esensi dari kesuksesan adalah kerja keras bukan seseorang yang seperti menunggu rezeki turun dari langit atau menunggu keajaiban malam untuk menurunkan kesuksesan.

Bagiku, sukses merupakan wadah untuk meluangkan diri dengan penuh kerendahan hati, dengan kerja keras, yang kemudian terus-menerus bertransformasi demi memetik hasil dari bibit yang telah ditanaminya. Sukses akan bertranformasi menjadi bahagia. Sukses dan bahagia bagiku sangat sederhana, yaitu jika berhasil mendaki puncak tertinggi gunung Everest. Hehehe…tinggi sekali mimpiku….tapi itulah mimpi yang nanitnya akan berubah menjadi suatu kekuatan untuk kemudian menjinakan hal-hal yang dianggap mustahil tersebut.

Sukses bagi orang-orang tertentu memang sederhana. Sukses jika apa yang di impikannya telah berhasil dipetik kemudian diluapkannya kepada banyak orang. Seperti seorang penulis misalnya akan mengatakan dirinya sukses dan bahagia jika dia telah berhasil menyusun atau merangkaikan kata-katanya diatas kertas meskipun itu tak setebal seperti karya novel J.K Rowling tentang Harry Potter atau The Casual Vacancy lalu diterbitkan dalam sebuah buku. Buku-buku itu lalu disebarkan untuk dijual di tokoh-tokoh buku meskipun kadang omzet penulis itu sangat kecil jika di bandingkan dengan penerbit. Dan sebagian penulis juga kadang tak akan mempersoalkan hal itu. Karena tujuan sebagian penulis bukan untuk menjadi orang kaya tapi hanya sekedar menebar benih gagasan-gagasannya melalui pemikirannya dan kerja kerasnya.

Lain halnya dengan orang-orang kapital bahwa dirinya akan dikatakan sukses apabila dapat menghasilkan uang yang bernilai ratusan juta rupiah tiap harinya. Lalu dia akan mengatakan dirinya bahagia, mempunyai status social yang tinggi dll. Sah-sah saja jika seseorang mengatakan hal demikian karena manusia merupakan mahluk kapital (baca: mahluk yang kesehariannya hanya untuk mengumpulkan uang/kekayaan) karena seperti dalam nadu lagu dangdut “Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang”. Namun jika hidup kita hanya mengisinya dengan hal-hal seperti itu, bisa saja kita terjebak dalam hal-hal yang nista, rakus, dan segala hal bisa kita halalkan.

Saya teringat dengan bacaan saya tentang mitos Sisyphus yang dikisahkan oleh Albert Camus dalam buku The Myt Of Sisyphus bahwa Sisyphus setiap hari terus melakukan pekerjaan yang tak bermakna. Mendorong batu raksasa yang diatas puncak lalu setelah tiba dipuncaknya batu tersebut akan menggelinding jatuh kebawah. Hal ini akan dilakukan terus menerus mendorong batu raksasa itu, lalu menggelinding kebawah lalu didorong lagi. Menurut Albert Camus fakta yang menarik dari kisah Sisyphus adalah bahwa manusia kadang melakukan seperti apa yang dilakukan Sisyphus.

Tentu disini saya ingin mengatakan bahwa tak seharusnya kita menjadi mahluk capital yang hanya mengumpulkan kekayaan tanpa berkarya untuk kemudian menebar benih-benih gagasan itu. Berkarya bisa jadi akan menjadi kekuatan yang akan menggairahkan dan akan punya makna untuk diri sendiri dan juga orang lain. Lihatlah penulis seperti sastrawan sekaligus budayawan Pramoedya Ananta Toer tak bergelimang harta namun bergelimang ide-ide dan gagasan-gagasan. Dan tentu mewariskan suatu pengetahuan tentang masa lalu kepada jutaan manusia dan bukan kekayaan. Sama seperti halnya Sisyphus meskipun melakukan pekerjaan yang sama mendorong batu raksasa di atas puncak namun dengan batu yang berbeda, itu mungkin bermanfaat baginya dan akan menjadi kekuatan dan motivasi buat dirinya. Dan orang lain dapat menangkap makna dari itu yaitu bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang terlupakan dan bahkan yang sulit dipahami orang yakni kesungguhan dan kerja kerasnya.

Hidup memang pilihan, begitulah ungkapan oleh orang-orang di lingkungan sekitar kita. Hidupku adalah hidupku dan bukan hidup seseorang dan bukan juga hidupmu. Kesuksesan hidupku itu tergantung pada diri saya sendiri. Orang lain merupakan jembatan penghubung untuk mencapai daratan satu ke-daratan yang lain. Kita hanya perlu membangun jaringan, lalu mengkoneksikan diri kita dengan jaringan orang lain. Dan jika kita ingin memenanginya maka kita harus memperjuangkanya. Seperti kata Friederich Schiller bahwa “hidup yang tidak di perjuangkan, tidak layak untuk di menangkan”. Jika kita ingin merubah nasib kita berarti kita harus memperbaiki diri, merubah diri kita dengan apa yang menjadi kelebihan kita sekarang. Menghindari kelemahan dan terus mencoba mendorong kelebihan itu. Intinya kita harus terus memberikan saluran atas kelebihan dan kekurangan itu. Kalau memperbaiki diri, iya memperbaiki diri tak perlu menunggu orang untuk datang lalu memperbaiki diri kita. Karena memang tak akan ada.

Banyak orang-orang tertentu yang mengeluh dalam hidupnya karena tak sesukses orang lain dan hidupnya seperti itu-itu saja. Keterpurukan dalam ekonomi, pekerjaan, uang, dll. Orang-orang ini selalu memberikan jawaban yang pasrah bahwa inilah nasib saya, seolah memasrahkan semuanya bahwa inilah hidup. Kita akan berusaha pun, toh saya suda ditakdirkan oleh Tuhan seperti ini. Inilah jawaban-jawaban terburuk yang pernah saya dengar kepada orang-orang, lalu tanpa berusaha dan bekerja keras untuk merubah haluan hidupnya. Nasib yang tentukan adalah diri kita sendiri, lalu setelah nasib itu sudah kita genggam atau kita melepaskannya baru akan menjadi takdir. Tugas kita adalah bagaimana menjaga dan bertanggung jawab terhadap takdir tersebut.

Meskipun kadang, impian dan yang kita capai selalu bersebrangan. Yang kita impikan misalnya ini, namun yang kita dapatkan adalah itu. Itulah bagian dari misteri kehidupan ini. Yang terpenting, kita suda bekerja keras dan memberikan yang terbaik kepada impian itu.

Seandainya nasib adalah manusia yang bernyawa, yang dapat memberikan jawaban tentang kehidupan saya kedepannya maka aku akan menanyainya. Seperti apakah nasib hidupku kedepannya? Seandainya nasib dapat menentukan apa yang terbaik buatku! maka saya akan mengatakan berikanlah nasibmu yang terbaik, karena saya tak menginginkan kehidupan yang susah dan buruk di bumi ini. Tapi itulah nasib sesuatu yang misteri. Kita tak tahu. Semua tergantung pada diri kita sendiri. Kita hanya butuh ketegaran, dan terus bekerja keras untuk mengubah nasib kita hari ini.

Tulisan ini merupakan bagian dari motivasi buat diriku sendiri dan bukan untuk orang lain bagi yang tidak termotivasi. Karena pada dasarnya saya berada pada dunia ciptaanku yaitu tulisan. Seperti yang dikatakan oleh Hosillos (1997,237) bahwa setiap “Penulis itu berada dalam ciptaannya”.


                                                                                                 La Ode Halaidin
                                                                                            Kendari, 25 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar