Ilustrasi
Mungkin kebanyakan orang tidak akan
percaya jika kita bisa saja mengintip dunia ini hanya melalui buku tanpa kita
berpijak melangkahkan kaki kita untuk
terbang dari dunia yang satu kedunia yang lain. Namun tak salah juga
jika mereka tak percaya, jika selama hidupnya tak bersapa kata dengan sebuah
buku.
Dengan buku, dunia kini
terasa dekat. Kita bisa bercengkrama dengan dunia dalam setiap detik, tak kenal
malam maupun siang karena ketika membuka sebuah buku maka dunia itu seakan
jaraknya hanya sejengkal antara muka dan mata kita. Dan yang lebih membanggakan
lagi, kita bisa langsung berpapasan dan ikut berpetualang langsung dengan
setiap pergerakan dunia itu. Hmmm….rasanya dunia ini terasa dekat dengan adanya
buku.
***
Hari
ini, saya tak dapat rasanya tidur dengan nyenyak setelah membaca sebuah novel
Lan Fang, judulnya Ciuman Di bawah Hujan. Meskipun novel terbilang terbitan
lama, tapi saya sangat menikmati setiap tetesan kata-kata itu. Rasanya ingin
menuliskan sesuatu setelah saya membaca tentang novel ini.Pemikiran itu terus
datang dalam setiap detik ketika saya memejamkan mata. Maka terbangunlah dalam
tidurku. Saya memikirkan tentang buku yang ku baca di perpustakaan beberapa
hari yang lalu. Buku tersebut karya Rizal Mallarangeng yang berjudul Dari
Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan.
Dalam pengantarnya yang
berjudul Setangkai Daun, Rizal Mallarangeng mengutip kata-kata George F. Will
bahwa “Ide-Ide itu datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan
berderetan dalam tangkai yang sama. Kata-kata inilah yang membuat saya
terngiung, bahwa ketika ide menulis itu datang maka itu akan terus menyerangmu
bagaikan pasukan ninja samurai berkelompok dan selalu berderetan untuk
mengibasmu dengan pedangnya hingga tak dapat memejamkan mata sekejap pun.
Sedikit saya ingin
menceritkan novel diatas. Novel tersebut bukan hanya menceritakan kisah cinta
seorang wartawan koran perempuan kepada soerang pejabat Dewan Perwakilan
Rakyat, bukan hanya sebuah ciuman di bawah hujan yang selama ini selalu di
nanti-nantikan. Tetapi seorang politisi yang bermata matahari yang tak pernah
mampu menangkap asap dan juga seorang politisi yang berkaki angin yang terjebak
basa gerimis.
Perempuan itu bernama
Fung Lin seorang bermata sipit yang bekerja sebagai wartawan koran yang tiap
harinya di kejar deadline untuk
menyetorkan artikel di kantornya. Pada suatu waktu ia ingin mewawancarai
seorang pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berhubungan dengan komisi
tenaga kerja luar negeri. Fung lin melihat bahwa menulis berita ini sangat
penting karena berkaitan dengan kehidupan para TKW Indonesia. Karena selama ini
seperti yang diberitakan di teve sering para TKW diperlakukan tidak sesuai
dengan kemanusiaan. Ada majikan yang memukuli, mengurung dan memerkosa
pembatunya dan ada juga yang bermasaalah mengenai gaji, jam kerja dan berbagai
tindakan kriminal majikan lainnnya.
Hingga pada suatu waktu
bertemulah dengan pejabat itu dalam acara diskusi cerpen TKW, namanya Ari. Ari
adalah pejabat yang biasa saja. Dia tak tampak seperti pejabat ketika mengikuti
diskusi itu. Ketika pertemuan itu terjadi Fung Lin sempat berkata-kata dalam
hatinya. Inikah seorang pejabat itu yang ditunggu-tunggu selama satu jam tadi! Ia
pejabat nampak tak berdosa ketika terlambat, sedangkan penunggu adalah
kewajibannya menunggu.
***
Pejabat memang sering
melakukan hal-hal yang aneh ketika bertemu dengan masyarakat. Datang melambaikan
tangan, dengan wajah yang tersenyum ramah karena memang tak pantas jika mereka bertemu
dengan rakyatnya dengan wajah cemberut. Mimik wajah itu seakan-akan menunjukan
bahwa tak ada beban sedikit pun yang dialaminya. Segalah keluhan dan suara rakyat
selama ini sudah didengarkan dan diserap olehnya. Namun cukupkah hanya seperti
itu tanpa di wujudkannya?
Rakyat tak hanya
membutuhkan janji-janji ketika para pejabat berorasi. Rakyat tak hanya
membutuhkan suaranya di dengarkan tanpa di wujudkannya dengan tindakan nyata.
Sering kali memang rakyat sering berkotek-kotek, tetapi hal itu kemudian
menguap begitu saja tanpa ada tindakan apapun. Seharusnya pejabat Dewan
Perwakilan Rakyat itu memikirkan bahwa memang tugasnyalah mewujudkan apa yang
diimpikan rakyatnya karena seperti itulah tugas yang diembannya sebagai wakil
rakyat.
Yang paling manarik
bagi saya dari novel ini adalah seorang politisi yang bernama Rafi, tiap hari
selalu berdialektika dengan apa yang menjadi tugasnya sebagai Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Iya bertanya-tanya pada diri sendiri apakah keberadaanya
sebagai wakil rakyat ataukah sebagai wakil partai politik.
Memang kita akui bahwa
dalam setiap rapat paripurna anggota dewan, disana banyak kepentingan. Saya tak
tahu apakah itu mereka memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah kepentingan
pribadi dan kelompok mereka terutama partai yang mengusungnya.
Seringkali Rafi
memimpikan agar anak-anak pergi kesekolah dengan tas dan sepatu yang baru,
memberikan berbagai macam buku-buku untuk kemudian mempelajari berbagai macam
ilmu pengetahuan di dalamnya, tentunya agar kelak anak-anak tersebut menjadi
orang yang pintar. Namun itu hanya mimpi yang tak berarti apa-apa. Semacam
pementasan ludruk yang hanya dimainkan oleh pemain-pemain tua yang berusaha
menyembunyikan keriput mereka. Inilah yang membuat Rafi di lemah, karena apa
yang menjadi impiannya tak kesampaian karena di rapat itu hanya bagian dari
pertarungan kepentingan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Saya suka ketika dia
ingin memberikan berbagai macam buku-buku, tentunya agar anak-anak desa
tersebut dapat mengintip dunia lewat buku, meskipun mereka berada di
pelosok-pelosok desa terpencil. Ini mengingatkan saya ketika masih duduk di SMP
dan SMA yang tak dapat membaca satu karangan buku apapun. Ketika melihat ayah membaca,
saya menunggunya sampai selesai kemudian mengambilnya untuk membacanya secara
diam-diam. Di sekolah tak ada buku-buku sumbangan apapun dari pemerintah atau
dari para pejabat itu. Saya berpikiran apakah para pejabat ini tak mau melihat
anak-anak sebagai masa depan bangsa yang bisa mengecap kepintaran yang kemudian
dapat mengantarkan mereka pada sinar kehidupan? Pada saat yang bersamaan ketika
pemilihan umum tiba, pejabat itu berbondong-bondong untuk turun ke desa,
menyapa masyarakat dengan tujuan meraih simpati masyarakat untuk mengumpulkan
suara. Hanya itu…..sekali lagi hanya itu yang mereka perlukan kepada
masyarakat.
Hal yang aneh memang
dengan apa yang terjadi di negeri ini. Ada yang mengatakan bahwa anak-anak muda
merupakan masa depan bangsa ini. Anak-anak harus berani bermimpi, namun
terkadang mimpi itu hanya sekedar mimpi karena harus bertarung dengan kepahitan
hidup mereka. Akhirnya mimpi hanya akan menjadi hak para pemain politik tua di
negeri ini, yaitu mimpi berebut kursi.
***
Ini mengingatkan saya
ketika berkunjung di salahsatu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di
Buton Selatan. Saat itu saya menanyakan kepada Gurunya mengenai gedung yang tak
terpakai itu. Guru ini mengatakan bahwa gedung itu adalah perpustakaan namun
tak ada buku-bukunya. Waktu itu pemerintah setempat katanya akan menyumbangkan buku-buku
tapi sampai sekarang belum ada satu pun buku yang di sumbangkan. Sungguh miris.
Bagaimana bisa mengintip dunia lalu membuat anak-anaknya pintar kalau tak ada
buku satupun!
Ia, buku memang akan
menambah pengetahuan anak-anak bangsa ini. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan
merupkan dasar untuk mengecap bagaimana pentingnya ilmu pengetahuan melalui
buku untuk kemudian di terapkan ke- kehidupan kita. Kita bisa mengenal dari
dunia satu ke dunia yang lainnya hanya dengan melalui sebuah buku. Kita bisa
mengetahui keadaan Negara Arab yang membangun hotel terbesar dan tertinggi di
dunia di mekkah, dengan menghancurkan situs-situs bersejarah di sana. Kita bisa
mengetahui perkembangan ekonomi Negara China yang melejit hingga menyaingi
Negara Adidaya Amerika Serikat. Kita bisa mengetahui perbedaan kemakmuran di
kedua sisi tapal batas antara warga kota Nogales Arizona dan warga kota Nogales
Sonora di Amerika. Semua itu karena hanya sebuah buku.
Suatu ketika saya
menyarankan teman untuk membeli buku-buku lalu dibacanya. Saya mengajaknya
untuk ke tokoh buku pada waktu itu. Namun teman ini menolak, katanya saya tak
suka membaca buku-buku. What? Saya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban itu…..
La
ode Halaidin
Kendari,
14 Juni 2015
0 komentar:
Posting Komentar