14 Juni 2015

Mengintip Dunia Melalui Buku



                                                                               Ilustrasi  
     
Mungkin kebanyakan orang tidak akan percaya jika kita bisa saja mengintip dunia ini hanya melalui buku tanpa kita berpijak melangkahkan kaki kita untuk  terbang dari dunia yang satu kedunia yang lain. Namun tak salah juga jika mereka tak percaya, jika selama hidupnya tak bersapa kata dengan sebuah buku.

Dengan buku, dunia kini terasa dekat. Kita bisa bercengkrama dengan dunia dalam setiap detik, tak kenal malam maupun siang karena ketika membuka sebuah buku maka dunia itu seakan jaraknya hanya sejengkal antara muka dan mata kita. Dan yang lebih membanggakan lagi, kita bisa langsung berpapasan dan ikut berpetualang langsung dengan setiap pergerakan dunia itu. Hmmm….rasanya dunia ini terasa dekat dengan adanya buku.

***
Hari ini, saya tak dapat rasanya tidur dengan nyenyak setelah membaca sebuah novel Lan Fang, judulnya Ciuman Di bawah Hujan. Meskipun novel terbilang terbitan lama, tapi saya sangat menikmati setiap tetesan kata-kata itu. Rasanya ingin menuliskan sesuatu setelah saya membaca tentang novel ini.Pemikiran itu terus datang dalam setiap detik ketika saya memejamkan mata. Maka terbangunlah dalam tidurku. Saya memikirkan tentang buku yang ku baca di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Buku tersebut karya Rizal Mallarangeng yang berjudul Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan.
Dalam pengantarnya yang berjudul Setangkai Daun, Rizal Mallarangeng mengutip kata-kata George F. Will bahwa “Ide-Ide itu datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Kata-kata inilah yang membuat saya terngiung, bahwa ketika ide menulis itu datang maka itu akan terus menyerangmu bagaikan pasukan ninja samurai berkelompok dan selalu berderetan untuk mengibasmu dengan pedangnya hingga tak dapat memejamkan mata sekejap pun.
Sedikit saya ingin menceritkan novel diatas. Novel tersebut bukan hanya menceritakan kisah cinta seorang wartawan koran perempuan kepada soerang pejabat Dewan Perwakilan Rakyat, bukan hanya sebuah ciuman di bawah hujan yang selama ini selalu di nanti-nantikan. Tetapi seorang politisi yang bermata matahari yang tak pernah mampu menangkap asap dan juga seorang politisi yang berkaki angin yang terjebak basa gerimis.

Perempuan itu bernama Fung Lin seorang bermata sipit yang bekerja sebagai wartawan koran yang tiap harinya di kejar deadline untuk menyetorkan artikel di kantornya. Pada suatu waktu ia ingin mewawancarai seorang pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berhubungan dengan komisi tenaga kerja luar negeri. Fung lin melihat bahwa menulis berita ini sangat penting karena berkaitan dengan kehidupan para TKW Indonesia. Karena selama ini seperti yang diberitakan di teve sering para TKW diperlakukan tidak sesuai dengan kemanusiaan. Ada majikan yang memukuli, mengurung dan memerkosa pembatunya dan ada juga yang bermasaalah mengenai gaji, jam kerja dan berbagai tindakan kriminal majikan lainnnya.

Hingga pada suatu waktu bertemulah dengan pejabat itu dalam acara diskusi cerpen TKW, namanya Ari. Ari adalah pejabat yang biasa saja. Dia tak tampak seperti pejabat ketika mengikuti diskusi itu. Ketika pertemuan itu terjadi Fung Lin sempat berkata-kata dalam hatinya. Inikah seorang pejabat itu yang ditunggu-tunggu selama satu jam tadi! Ia pejabat nampak tak berdosa ketika terlambat, sedangkan penunggu adalah kewajibannya menunggu.
***
Pejabat memang sering melakukan hal-hal yang aneh ketika bertemu dengan masyarakat. Datang melambaikan tangan, dengan wajah yang tersenyum ramah karena memang tak pantas jika mereka bertemu dengan rakyatnya dengan wajah cemberut. Mimik wajah itu seakan-akan menunjukan bahwa tak ada beban sedikit pun yang dialaminya. Segalah keluhan dan suara rakyat selama ini sudah didengarkan dan diserap olehnya. Namun cukupkah hanya seperti itu tanpa di wujudkannya?

Rakyat tak hanya membutuhkan janji-janji ketika para pejabat berorasi. Rakyat tak hanya membutuhkan suaranya di dengarkan tanpa di wujudkannya dengan tindakan nyata. Sering kali memang rakyat sering berkotek-kotek, tetapi hal itu kemudian menguap begitu saja tanpa ada tindakan apapun. Seharusnya pejabat Dewan Perwakilan Rakyat itu memikirkan bahwa memang tugasnyalah mewujudkan apa yang diimpikan rakyatnya karena seperti itulah tugas yang diembannya sebagai wakil rakyat.
Yang paling manarik bagi saya dari novel ini adalah seorang politisi yang bernama Rafi, tiap hari selalu berdialektika dengan apa yang menjadi tugasnya sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Iya bertanya-tanya pada diri sendiri apakah keberadaanya sebagai wakil rakyat ataukah sebagai wakil partai politik.

Memang kita akui bahwa dalam setiap rapat paripurna anggota dewan, disana banyak kepentingan. Saya tak tahu apakah itu mereka memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah kepentingan pribadi dan kelompok mereka terutama partai yang mengusungnya.

Seringkali Rafi memimpikan agar anak-anak pergi kesekolah dengan tas dan sepatu yang baru, memberikan berbagai macam buku-buku untuk kemudian mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan di dalamnya, tentunya agar kelak anak-anak tersebut menjadi orang yang pintar. Namun itu hanya mimpi yang tak berarti apa-apa. Semacam pementasan ludruk yang hanya dimainkan oleh pemain-pemain tua yang berusaha menyembunyikan keriput mereka. Inilah yang membuat Rafi di lemah, karena apa yang menjadi impiannya tak kesampaian karena di rapat itu hanya bagian dari pertarungan kepentingan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Saya suka ketika dia ingin memberikan berbagai macam buku-buku, tentunya agar anak-anak desa tersebut dapat mengintip dunia lewat buku, meskipun mereka berada di pelosok-pelosok desa terpencil. Ini mengingatkan saya ketika masih duduk di SMP dan SMA yang tak dapat membaca satu karangan buku apapun. Ketika melihat ayah membaca, saya menunggunya sampai selesai kemudian mengambilnya untuk membacanya secara diam-diam. Di sekolah tak ada buku-buku sumbangan apapun dari pemerintah atau dari para pejabat itu. Saya berpikiran apakah para pejabat ini tak mau melihat anak-anak sebagai masa depan bangsa yang bisa mengecap kepintaran yang kemudian dapat mengantarkan mereka pada sinar kehidupan? Pada saat yang bersamaan ketika pemilihan umum tiba, pejabat itu berbondong-bondong untuk turun ke desa, menyapa masyarakat dengan tujuan meraih simpati masyarakat untuk mengumpulkan suara. Hanya itu…..sekali lagi hanya itu yang mereka perlukan kepada masyarakat.

Hal yang aneh memang dengan apa yang terjadi di negeri ini. Ada yang mengatakan bahwa anak-anak muda merupakan masa depan bangsa ini. Anak-anak harus berani bermimpi, namun terkadang mimpi itu hanya sekedar mimpi karena harus bertarung dengan kepahitan hidup mereka. Akhirnya mimpi hanya akan menjadi hak para pemain politik tua di negeri ini, yaitu mimpi berebut kursi.
***
Ini mengingatkan saya ketika berkunjung di salahsatu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Buton Selatan. Saat itu saya menanyakan kepada Gurunya mengenai gedung yang tak terpakai itu. Guru ini mengatakan bahwa gedung itu adalah perpustakaan namun tak ada buku-bukunya. Waktu itu pemerintah setempat katanya akan menyumbangkan buku-buku tapi sampai sekarang belum ada satu pun buku yang di sumbangkan. Sungguh miris. Bagaimana bisa mengintip dunia lalu membuat anak-anaknya pintar kalau tak ada buku satupun!

Ia, buku memang akan menambah pengetahuan anak-anak bangsa ini. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan merupkan dasar untuk mengecap bagaimana pentingnya ilmu pengetahuan melalui buku untuk kemudian di terapkan ke- kehidupan kita. Kita bisa mengenal dari dunia satu ke dunia yang lainnya hanya dengan melalui sebuah buku. Kita bisa mengetahui keadaan Negara Arab yang membangun hotel terbesar dan tertinggi di dunia di mekkah, dengan menghancurkan situs-situs bersejarah di sana. Kita bisa mengetahui perkembangan ekonomi Negara China yang melejit hingga menyaingi Negara Adidaya Amerika Serikat. Kita bisa mengetahui perbedaan kemakmuran di kedua sisi tapal batas antara warga kota Nogales Arizona dan warga kota Nogales Sonora di Amerika. Semua itu karena hanya sebuah buku.

Suatu ketika saya menyarankan teman untuk membeli buku-buku lalu dibacanya. Saya mengajaknya untuk ke tokoh buku pada waktu itu. Namun teman ini menolak, katanya saya tak suka membaca buku-buku. What? Saya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban itu…..

                                               

                                                                                                  La ode Halaidin
                                                                                              Kendari, 14 Juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar