Ilustrasi
Bahasa merupakan satu-satunya pilihan
untuk menampakkan realitas yang kitapun tak dapat memendamnya. Dengan bahasa
kitapun bebas mengungkapkan apapun yang kita inginkan. Dengan bahasa makna
hadir dengan bebasnya kedalam atmosfir kesadaran kita.
Bahasa
ibarat rumah hati dan jiwa kita. Bahasa ibarat fondasi rumah kita yang kokoh
dengan bangunan yang utuh, di sanalah kita bisa menampakkan apapun yang kita inginkan.
Ide-ide, gagasan-gagasan serta pemikiran yang terangkum dalam otak kita bebas
untuk mengalirkannya dengan bahasa-bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Dengan bahasa kita
bebas untuk hanya sekedar berceloteh, atau membumikan hal-hal yang masih
tersembunyi di jagad raya ini. Mengungkap ketidakadilan, kesewenang-wenangan
yang selama ini dibungkam oleh pihak-pihak yang berkuasa. Ini merupakan suda
menjadi penyakit kronis masyarakat selama orde lama dan juga orde baru dan
bahkan juga bisa saya katakan pada orde reformis sekarang ini.
Pembungkaman terjadi
kepada masyarakat karena kerasnya tekanan yang dilakukan oleh birokrat dan
pejabat-pejabat lingkup pemerintahan, DPR, Gubernur, dan Bupati. Inilah yang
saya dapatkan dari beberapa daerah. Penekanannya bervariasi, berupa tekanan psikologis,
ancaman, peneroran dengan jasa preman dll. Masyarakat akan dijadikan sebagai
objek yang seperti batu karang diam seribu bahasa. Tak mampu berucap, tak mampu
berkata-kata, bagai orang lata yang mulutnya agak kesusahan ketika menyusun
bahasa dan hanya akan mengulangi satu bahasa itu.
Dengan penekanan itu, rakyat
seperti diajak diam dirumahnya sendiri, diam di alamnya yang seharusnya
mempunyai kebebasan mengungkapkan seluruh isi hati, uneg-uneg dan seluruh
permasaalahan dalam rumah tangga pemerintahnya dan dengan wakil rakyatnya.
Pemerintah dan wakil rakyat seperti itu berarti tak lagi mempunyai respon, suara
dengan bahasa yang penuh dengan uluran tangan, suara dengan bahasa yang penuh
pengharapan, suara dengan bahasa yang penuh derita, suara dengan bahasa yang penuh
darah dan nanah tak lagi di dengar. Telingan mereka tertutup oleh ke-egoisan,
status quo, dan hausnya kekuasaan untuk hanya sekedar memburu rente. Sungguh
sadis kan.. ketika negeri ini tidak mendengarkan bahasa-bahasa minoritas!
Bahasa
ibarat pedang yang dapat memenggal kesunyian kita yang kian pekat, yang dapat
memenggal oknum-oknum penguasa yang otoriter atau yang bahkan diktator sekalipun.
Cobalah tengok kebelakang, bagaimana jatuhnya Orde Baru yang dimotori oleh
seluruh pergerakan mahasisiwa Indonesia tahun 1996, yang dimulai dengan protes,
suara yang lantang serta bahasa yang memanaskan kuping-kuping penguasa yang dictator
sampai akhirnya tumbang.
Bahasa dapat
mengaktifkan seluruh indra kita, lalu menuntun kita untuk kemudian mengungkapkannya
dengan hati, mulut dan juga tangan-tangan kita. Bahasa dapat membuat nadi-nadi
kita berdenyut dan dapat mengalirkan peredaran darah yang tertahan akibat
kekakuan kita dalam mengkomunikasikan bahasa itu.
Bahasa
ibarat tubuh, yang akan terus bergerak ketika kita mengaktifkan seluruh komponen
sel-sel yang terdapat dalam tubuh itu. Otak merupakan terminal bahasa itu.
Disanalah semua terkumpul ide-ide, gagasan-gagasan dan segala pemikiran yang
kemudian kita mengungkapkannya dengan bahasa lisan maupun tulisan. Informasi
terbuka, keadilan yang seimbang, kesewenag-wenangan musna karena kita mempunyai
satu suara dengan bahasa yang sama, menuntut negeri ini untuk berjalan pada
koridor yang ada. Itulah bahasa. Bukankah bahasa menurut Haidegger merupakan
tempat tinggal manusia (The house of
being). Tempat tinggal rakyat yang bebas mengungkapkan segala kebenaran dan
realitas yang ada.
Maaf tulisan saya kali ini mungkin
pendek, tapi itulah proses dan saya saat ini sedang pada tahap itu. Dengan
proses maka dapat memberi kita kesalahan dan juga pelajaran untuk menjadi yang
lebih baik dan lebih baik lagi sampai menjadi yang terbaik. Terimah kasih bagi
orang-orang yang telah membaca blogger saya.
La
ode Halaidin
Kendari
16 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar