15 Mei 2015

Bahasa Merupakan Tempat Tinggal Manusia

                                                                    Ilustrasi

Bahasa merupakan satu-satunya pilihan untuk menampakkan realitas yang kitapun tak dapat memendamnya. Dengan bahasa kitapun bebas mengungkapkan apapun yang kita inginkan. Dengan bahasa makna hadir dengan bebasnya kedalam atmosfir kesadaran kita.

Bahasa ibarat rumah hati dan jiwa kita. Bahasa ibarat fondasi rumah kita yang kokoh dengan bangunan yang utuh, di sanalah kita bisa menampakkan apapun yang kita inginkan. Ide-ide, gagasan-gagasan serta pemikiran yang terangkum dalam otak kita bebas untuk mengalirkannya dengan bahasa-bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Dengan bahasa kita bebas untuk hanya sekedar berceloteh, atau membumikan hal-hal yang masih tersembunyi di jagad raya ini. Mengungkap ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang selama ini dibungkam oleh pihak-pihak yang berkuasa. Ini merupakan suda menjadi penyakit kronis masyarakat selama orde lama dan juga orde baru dan bahkan juga bisa saya katakan pada orde reformis sekarang ini.

Pembungkaman terjadi kepada masyarakat karena kerasnya tekanan yang dilakukan oleh birokrat dan pejabat-pejabat lingkup pemerintahan, DPR, Gubernur, dan Bupati. Inilah yang saya dapatkan dari beberapa daerah. Penekanannya bervariasi, berupa tekanan psikologis, ancaman, peneroran dengan jasa preman dll. Masyarakat akan dijadikan sebagai objek yang seperti batu karang diam seribu bahasa. Tak mampu berucap, tak mampu berkata-kata, bagai orang lata yang mulutnya agak kesusahan ketika menyusun bahasa dan hanya akan mengulangi satu bahasa itu.

Dengan penekanan itu, rakyat seperti diajak diam dirumahnya sendiri, diam di alamnya yang seharusnya mempunyai kebebasan mengungkapkan seluruh isi hati, uneg-uneg dan seluruh permasaalahan dalam rumah tangga pemerintahnya dan dengan wakil rakyatnya. Pemerintah dan wakil rakyat seperti itu berarti tak lagi mempunyai respon, suara dengan bahasa yang penuh dengan uluran tangan, suara dengan bahasa yang penuh pengharapan, suara dengan bahasa yang penuh derita, suara dengan bahasa yang penuh darah dan nanah tak lagi di dengar. Telingan mereka tertutup oleh ke-egoisan, status quo, dan hausnya kekuasaan untuk hanya sekedar memburu rente. Sungguh sadis kan.. ketika negeri ini tidak mendengarkan bahasa-bahasa minoritas!

Bahasa ibarat pedang yang dapat memenggal kesunyian kita yang kian pekat, yang dapat memenggal oknum-oknum penguasa yang otoriter atau yang bahkan diktator sekalipun. Cobalah tengok kebelakang, bagaimana jatuhnya Orde Baru yang dimotori oleh seluruh pergerakan mahasisiwa Indonesia tahun 1996, yang dimulai dengan protes, suara yang lantang serta bahasa yang memanaskan kuping-kuping penguasa yang dictator sampai akhirnya tumbang.

Bahasa dapat mengaktifkan seluruh indra kita, lalu menuntun kita untuk kemudian mengungkapkannya dengan hati, mulut dan juga tangan-tangan kita. Bahasa dapat membuat nadi-nadi kita berdenyut dan dapat mengalirkan peredaran darah yang tertahan akibat kekakuan kita dalam mengkomunikasikan bahasa itu.

Bahasa ibarat tubuh, yang akan terus bergerak ketika kita mengaktifkan seluruh komponen sel-sel yang terdapat dalam tubuh itu. Otak merupakan terminal bahasa itu. Disanalah semua terkumpul ide-ide, gagasan-gagasan dan segala pemikiran yang kemudian kita mengungkapkannya dengan bahasa lisan maupun tulisan. Informasi terbuka, keadilan yang seimbang, kesewenag-wenangan musna karena kita mempunyai satu suara dengan bahasa yang sama, menuntut negeri ini untuk berjalan pada koridor yang ada. Itulah bahasa. Bukankah bahasa menurut Haidegger merupakan tempat tinggal manusia (The house of being). Tempat tinggal rakyat yang bebas mengungkapkan segala kebenaran dan realitas yang ada.

Maaf tulisan saya kali ini mungkin pendek, tapi itulah proses dan saya saat ini sedang pada tahap itu. Dengan proses maka dapat memberi kita kesalahan dan juga pelajaran untuk menjadi yang lebih baik dan lebih baik lagi sampai menjadi yang terbaik. Terimah kasih bagi orang-orang yang telah membaca blogger saya.
                                                                                                                         

                                                                                                 La ode Halaidin
                                                                                            Kendari 16 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar