“Rejeki
anak sholeh.” Begitu kata sahabat, saat mendengar saya berangkat ke Makassar
untuk mengikuti pelatihan enumerator dan jurnalis. Sahabat itu mengetahui bahwa
saya hanya pengurus perkumpulan penikmat konau dikampung halaman. Makanya, dia
juga merasa kaget saat saya mengikuti pelatihan itu, pada hal tak ada
hubungannya sama sekali.
Saya
sungguh beruntung bisa mengikuti pelatihan itu. Sebagai enumerator dan pernah
magang jadi jurnalis di salah satu media di Kendari, saya bisa mendapat dua
ilmu sekaligus, yakni bagaimana tehnik melakukan wawancara untuk kebutuhan
survey lapangan dan bagaimana cara bertemu narasumber melakukan wawancara untuk
kebutuhan berita. Kata narasumber pelatihan itu, enumerator dan jurnalis
sama-sama pekerjaan lapangan, tak banyak perbedaan saat hendak melakukan wawancara
pada responden dan narasumber.
Pada
kesempatan itu, saya hadir sebagai peserta enumerator. Bersama tiga orang
sahabat, kami mewakili Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo. Dalam
kegiatan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia itu, saya bertemu dengan
banyak peneliti dan jurnalis lokal di Sulawesi Tenggara. Kami sharing banyak
hal, membincangkan pengalaman-pengalaman dalam penelitian lapangan. Bersama
para jurnalis, saya belajar banyak bagaimana menulis sebuah berita yang baik. Saya
sangat banyak belajar dan berguru dari mereka.
Yang
mengesankan buat saya adalah saat mendengar pemaparan dari narasumber media ternama,
Tempo. Namanya Yandrhie Arvian. Di Tempo, dia menjabat sebagai managing editor
for economic and business. Pada permulaan presentasinya, dia membawakannya
dengan menarik.
Dia menceritakan
siapa saja narasumber yang gampang diwawancarai. Baginya, wakil Presiden Jusuf
Kalla adalah orang yang gampang untuk diwawancarai. Para jurnalis tidak
kesusahan saat ingin bertemu dengannya. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bisa
melayani jurnalis dengan pertanyaan apa saja. Kata Yandrhie, pertanyaan apapun
yang dilayangkan jurnalis, Jusuf Kalla pasti menjawabnya. Bahkan disuruh
wartawan untuk pemotretan ditengah hujan dengan memakai payung, dia mau.
Menteri
yang paling susah untuk ditemui jurnalis Tempo saat ini, baginya adalah Rini
Soemarno. Saat pertama menjabat menteri BUMN , Rini Soemarno sangat welcome
dengan jurnalis. Namun, setelah majalah Tempo mengulik skandal korupsi pelindo,
kereta cepat, jurnalis tidak pernah bertemu dengan Rini Soemarno. Dia seperti
menghindar, tak mau melayani jurnalis untuk menjadi narasumber.
Jika Jokowi
bisa diwawancarai tergantung mood, Setia Novanto justru lain hal. Novanto adalah
narasumber yang paling genit. Bahkan ditengah kasus korupsi E-KTP yang
menimpahnya, dia tetap bersedia untuk diwawancarai. Pejabat biasanya, jika
dikejar jurnalis seputar kasus yang tengah dihadapi, mereka memilih menghindar.
Novanto justru tidak, bahkan setelah kejadian kontroversial “tabrak tiang
listrik” dia tetap seperti biasa, menjawab setiap pertanyaan para jurnalis.
**
Saya menyaksikan
para peserta begitu antusias mendengar ceritanya. Bahkan sebelum dia masuk pada
materi presentasi, para peserta sudah melayangkan beberapa pertanyaan. Misalnya
terkait dengan perlindungan jurnalis lokal dan pusat. Juga konflik antara Tempo
dan pemilik Arta Graha, Tomy Winata.
Sayang,
dia tak banyak bercerita tentang hal itu karena keterbatasan waktu. Dia sudah
harus membawakan materi presentasinya untuk peserta. Yang saya suka adalah dia
bisa membagi waktunya, tak melulu soal presentasi tentang prinsip-prinsip
in-depth interview, tapi menyelipkan cerita pengalaman yang sesuai dengan materinya.
Bagi saya ini gaya presentasi yang menarik, tak membosankan dan selalu
mencairkan suasana.
Dia
lalu mengajak peserta berdiskusi banyak setelah selesai acara kegiatan. Entah para
jurnalis berdiskusi dengannya atau tidak saya kurang tahu. Saya lupa meminta
kontak para jurnalis agar mengabarkan jika mereka bertemu dengannya. Lagian,
saya siapa. Saya kan hanya mengurusi konau dikampung halaman. Hikss…
Muna,
25 Agustus 2019
0 komentar:
Posting Komentar