Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

31 Juli 2019

Ingin Menjadi Murid Yusran Darmawan

Ki Hajar Dewantoro pernah menyarankan begini: “Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah.” Saran ini sangat mengena buat saya. Sebagai orang kampung yang boleh dibilang ndeso, berguru pada orang-orang hebat dan berwawasan luas adalah suatu keharusan. Dengan mereka, saya dapat menyerap banyak hikmah dan mutiara-mutiara sebagai bekal untuk menempuh perjalanan hidup. Berguru pada mereka dapat membuatku terus merasa seperti daun yang hijau. Terus bertahan ditangkai, tahan oleh tiupan angin dan tak akan membusuk.
Di media sosial, ada sosok yang saya kagumi, yang selama ini seringkali banyak kubaca tulisan-tulisannya. Orangnya sangat berwawasan luas, rendah hati, serta seorang pencinta buku. Dia adalah orang yang bertangan dingin, dimana setiap tulisannya dapat menggugah banyak orang. Kata-katanya sangat bernyawa. Dia adalah seorang jenius. Selain melahirkan banyak tulisan di blognya juga telah menerbitkan beberapa buku seperti Kopi Sumatera Di Amerika, Politik 3.0, Naskah Buton, Naskah Dunia dan beberapa buku lainnya. Dia adalah seorang penulis, yang menulis dengan hati.
Namanya Yusran Darmawan. Dia adalah sosok yang pandai menulis, menggali informasi setiap yang singgahi lalu menuliskannya dengan apik. Dia seperti penyihir kata, yang setiap ulasannya mengalir dengan lembut namun kadang juga sangat tajam. Dalam setiap kunjungannya, dia selalu berusaha memotret kehidupan disekelilingnya, lalu berusaha merangkumnya dengan tulisan yang sangat bernas.
Pada sosok Yusran Darmawan, jangan bilang, bagaimana saya mengagumi penulis hebat ini. Sebelum bertemu dengannya tahun 2013 di sebuah kantin FEB UHO saya sudah menaruh kagum padanya. Pada kesempatan itu, saya melihat sosok yang sangat santai, pendiam namun sangat bersahaja. Tatapannya menggambarkan dia seorang intelektual dengan kecerdasan tinggi. Dia adalah seorang antropolog bengawan, yang dikagumi oleh banyak pihak.
Saat saya menelisik blognya timur-angin.com, saya menemukan kepingan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan. Dia punya ambisi besar untuk memenuhi impiannya yang selalu bergejolak yakni mendaftar untuk kuliah magister di Universitas Indonesia. Dia sadar, dia tak punya uang untuk melanjutkan ke jenjang magister UI. Langkahnya hanya di dorong oleh sebuah kenekatan.
Meskipun banyak rintangan, kerikil-kerikil yang menghadang setiap langkahnya, dia tetap berjalan untuk menembus kepahitan itu. Dia pernah kehabisan uang, hinggah mengalami hari-hari yang paling sulit. Namun dalam kesulitan itu, selalu saja ada keajaiban yang di dapatnya seperti mendapat bantuan kiriman dari pacarnya, Dwi (sekarang istrinya) atau pekerjaan lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil merengkuh sekolah magisternya di UI dan melanjutkannya di kampus Ohio University Amerika Serikat.
Yang saya lihat adalah optimismenya yang begitu tinggi. Bahwa dengan keterbatasan apapun, jika punya kemauan untuk menujunya, pasti bisa direngkuh. Tentu harus di barengi dengan perencanaan yang matang dan kerja keras. Dia juga menyarankan agar tak selalu takut dengan pesimis. Sebab pesismis bagi dia adalah senjata agar kita selalu waspada dengan langkah-langkah yang dipilih untuk siap menghadapi segala konsekuensi.
Saya sangat terinspirasi dengan perjalanan hidupnya. Bagaimana dia melalui kehidupan yang begitu keras di Jakarta. Sebagai orang yang sama-sama berasal dari kampung, saya dapat merasakan bagaimana dia berada dalam situasi itu. Kesusahan, jenuh yang melingkupinya, dia jadikan sebagai energi untuk menerawang menuju impiannya.
Pada titik itu, saya ingin sekali berguru dengannya. Bagaimana dia berhasil menghadapi situasi persaingan kehidupan di kota-kota besar yang sangat sengit. Setahun lagi saya akan mencoba menginjakan kaki di kota besar, untuk memenuhi hasrat dalam diriku yang juga terus bergejolak. Saya ingin melanjutkan sekolah magister di UGM. Sama dengannya, saya juga tak punya uang untuk melanjutkan magister. Saya juga hanya bermodalkan kenekatan.
Jika saja saya pantas untuk masuk sebagai muridnya, maka saya dengan senang hati sangat bersedia. Tapi mungkin saya tak akan pantas sebab masih ndeso. Atau untuk sekadar membuatkannya kopi saja tidak apa-apa. Begitulah namanya murid yang ingin berguru. Saya selalu bersedia menjadikanku kucing yang ia latih.
Kemarin di facebook tanpa merasa malu, saya mengatakan itu. Sudah lama, ada keinginan untuk berguru dengannya. Beberapa kali kami bertemu, saya tak bisa mengatakan itu, sebab pertemuan kami sangat singkat. Dia selalu punya kesibukan yang harus dia selesaikan saat berkunjung di Kendari.
Meskipun tak bisa menjadi muridnya, kisah yang dia tulis di blognya beserta tulisan-tulisan lainnya telah menjadi acuan saya untuk terus bergerak demi merengkuh impianku selama ini. Perjalanannya dari kampung di Buton sana, hingga menuju kota besar dan berhasil di Jakarta juga menjadi cermin buat orang kampung seperti saya. Saya juga akan selalu berusaha merawat optimisme dan tak pernah takut dengan pesimisme.

                                                                   Kendari, 31 Juli 2019

19 Juli 2019

Cerita Tentang Tiga Sahabat

Sumber foto: Marhum
Sebagai pengangguran yang hakiki, mendapat ajakan ngopi untuk sekadar cerita yang remeh-temeh adalah suatu keberuntungan. Betapa tidak, saya seperti orang rumahan yang jarang kemana-mana. Paling, sekali sebulan untuk keluar ngopi di warkop. Itu pun kalau ada sahabat-sahabat. Maklum, sahabat-sahabat saya memiliki kesibukan, dibandingkan saya yang hanya seorang pengangguran.
**
Pagi itu, hp saya berdering. Saat kuangkat, terdengar suara yang begitu familiyar. Rasanya, saya begitu mengenal suaranya. Benar saja. Mereka adalah sahabatku dulu di kampus Universitas Halu Oleo. Mereka adalah Marhum yang memakai baju putih dari Muna, pertama dari kanan bernama Alfian Mudo dari Menui, sementara kedua dari kanan bernama Laode Zainudin dari Buton Utara. Mereka hendak mengajak saya untuk ngopi-ngopi di tempat kosnya.
Saat tiba di kamar kos Marhum, kami bercerita panjang lebar. Kami cerita tentang kesibukan saat ini, kelucuan di masa lalu ketika jadi mahasiswa juga bercerita bagaimana menghadapi masa depan yang kian rumit. Saya begitu antusias ketika mendengar cerita mereka. Zae dan Marhum begitu saya memanggilnya, sedang melanjutkan kuliah magister di kampus pasca sarjana Universitas Halu Oleo. Sementara Alfian, integrasi dan memilih kuliah di kampus Unsultra. Dia tak selesai di FEB UHO.
Ketika mereka menanyakan kesibukanku, saya mengatakan, saya sedang menganggur. Tak ada pekerjaan. Bahkan kukatakan, saya terkatung-katung mencari pekerjaan di Kendari. Tak ada hasil. Pulang kampung pun, saya tak laku untuk jadi sekadar menjadi ketua RT. Berbisnis konau, sudah terlalu banyak saingan. Mereka terlihat geleng-geleng kepala, serasa tak percaya. Saya pun hanya tersenyum.
Cerita persahabatan kami adalah cerita tentang kebersamaan. Di Kendari kami punya tujuan yang sama, memenuhi mimpi menempuh pendidikan di kampus UHO. Sahabat saya, Marhum, bercerita bahwa ia hampir saja tidak bisa memenuhi impiannya untuk kuliah di UHO. Katanya, jika tidak ada gelombang keempat yang di buka di FEB maka dirinya tak bisa kuliah dan memilih untuk pulang kampung saja.
Kami ternyata mengalami hal yang sama. Sama-sama lulus gelombang keempat yang di buka di FEB UHO. Saat itu, FEB masih kekurangan mahasiswa sehingga membuka jalur untuk gelombang keempat. Dengan bercanda, saya kemudian menyebutnya “Jalur Buangan” untuk menampung kami yang tidak lolos seleksi sampai gelombang ketiga.
Saat kami bercerita bagaimana memulai persahabatan, semua kebingungan. Tak ada yang benar-benar mengingat. Persahabatan mengalir begitu saja. Yang jelas, kursi yang paling belakang itu sudah menjadi langganan kami. “Kita sering duduk di kursi belakang. Rasanya dari situ kita memulai persahabatan,” kata Alfian sambil terkekeh.
Diantara sahabat yang paling lucu adalah Marhum. Ia mengingat curhatannya ke saya tentang perempuan yang ia sukai di kelas. Waktu itu, saya menjadi pendengar yang baik. Saya bilang, jika kamu menyukai perempuan tersebut ungkapkan saja, jangan memendam perasaan begitu. Anehnya, perempuan itu juga orang yang saya sukai. Dan kami berdua selama itu ternyata menyukai perempuan yang sama. “Saya curhat ke kamu tentang dia, ternyata kamu duluan yang suka. Setelah itu, ada lagi teman yang curhat ke saya bahwa dia menyukai perempuan yang kita sukai. Kejadian itu benar-benar lucu,” ujar Marhum sambil tertawa lepas.
**
Yang paling berkesan dari cerita mereka adalah bagaimana menyusun langkah-langkah untuk menghadapi masa depan yang kian rumit. Ada banyak pelajaran dan hikmah yang saya petik dari mereka. Mereka adalah orang-orang yang haus tantangan serta punya kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Mereka ingin benar-benar menghadirkan embun, ditengah kondisi masyarakat yang serba susah. Dengan ilmu yang dipelajari di Universitas, timbul keinginan mereka ingin berkontribusi terhadap daerahnya masing-masing.
Zainudin memilih untuk fokus membangun desanya di Buton Utara setelah ia menyelesaikan magisternya. Katanya, ada Dana Desa yang membuatnya optimis untuk bisa membangun kampungnya. Dengan keilmuannya saat ini, ia hendak memanfaatkan Dana Desa untuk memperbaiki kondisi masyarakat di desanya. Misalnya memanfaatkan BUM-Desa dengan mengelola dan mengembangkan pertanian terpadu. Zaenudin melihat, BUM-Desa di desanya saat ini tidak terkelolah dengan baik.
Alfian juga punya rencana yang menarik, bagaimana dia ingin berkontribusi terhadap kampungnya. Dia memang gagal menyelesaikan kuliahnya di FEB UHO. Tapi demi merengkuh pendidikan sarjana, kegagalan tak membuatnya patah semangat. Katanya, ia malu saat pulang di Menui ketika tidak bergelar sarjana. Pada hal tujuannya datang di Kendari adalah untuk kuliah. Saat ini di kampus Unsultra, Alfian hendak menyusun skripsinya.
Dari cerita Alfian saya menemukan banyak pelajaran yang bisa saya catat. Katanya, di Menui pekerjaan masyarakat (selain PNS) hanya dua yakni nelayan dan bertani. Masyarakat di kampungnya kadang tinggal menyesuaikan pekerjaannya. Jika cuaca di laut sedang tidak bagus maka warga memilih untuk merawat cengkeh atau menanam tanaman lain. Namun jika panen cengkeh telah tiba, mereka fokus untuk memanen cengkeh berhari-hari. Setelah panen usai, warga akan sibuk mencari penghidupan kembali di lautan lepas.
Di Menui kata Alfian, bisnis cengkeh sangat menjanjikan. Dia tak begitu berharap untuk jadi PNS. Katanya, jika ia tak bisa jadi PNS maka bertani cengkeh bisa menjadi solusi untuk kehidupannya. Dengan bertani cengkeh, dia punya harapan kedepan bisa menciptakan lapangan kerja. “Saya tak begitu berharap jadi PNS. Jika tak bisa jadi PNS saya memilih berbisnis cengkeh saja. Kan saya bisa menciptakan lapangan kerja. Iya kan,” ujar Alfian.
Saya cukup mengapresiasi idenya. Sebab, menciptakan lapangan kerja dengan berbisnis cengkeh adalah salah satu kontribusi yang berharga terhadap kampung. Allfian, begitu cerdas melihat potensi SDA yang hendak dikembangkan di kampungnya. Setelah selesai sekolah sarjananya, opsi berbisnis cengkeh menjadi salah satu pilihan dikampung halamanya.
Hidup jadi PNS memang menjadi harapan banyak orang. Tak sedikit yang berjuang untuk jadi PNS, namun tak sedikit juga yang gagal. Di kampung saya, banyak sarjana yang berkeinginan untuk jadi PNS. Jika gagal jadi PNS, mereka memilih merantau di daerah lain. Tak ada pilihan lain selain merantau. Berbisnis tak punya dana juga bingung hendak berbisnis apa.
Sementara Marhum, ia juga berpikir hendak menata kampungnya. Mungkin ia hendak mencalonkan diri sebagai kepala desa. Entahlah. Sebagai sahabat, saya sangat mendukung langkah-langkahnya. Tapi saat ini, katanya, ia masih memikirkan untuk menyelesaikan pendidikan magisternya dan ingin menikah.
Saat rintik hujan mulai jatuh membasahi rerumputan di depan kamar, saya kemudian memandangi diri. Rasanya, saya perlu menyusun strategi baru agar bisa bersaing dalam bisnis konau. Jika berhasil, emak-emak sudah pasti memilihku untuk jadi ketua RT. Iya kan.
                                                                                  Laode Halaidin

                                                                                  Kendari, 20 Juli 2019

15 Juli 2019

Jalan Sepi Merawat Impian

Foto: Laode Halaidin
SAAT bertemu Guru  di Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekitar sebulan yang lalu, dia tak pernah lupa memberi saran agar saya mengambil jenjang magister di UGM atau IPB. Dengan cepat saya mengangguk bahwa sebenarnya keinginan untuk lanjut kuliah ke jenjang magister sangatlah besar. Apalagi di kampus ternama di Indonesia seperti UGM dan IPB tak terkecuali juga UI.
Guru itu adalah Samsul Anam Illahi. Bagi saya, dia layaknya obor, pemikir yang menjadi penerang saat sebagian mahasiswa menemui jalan redup kemana hendak mengalirkan diri. Dia adalah orang yang cukup rendah hati, selalu menyapa dan tak pernah membangun jarak dengan mahasiswanya. Bukan cuman saya. Yang saya lihat, ada banyak mahasiswa yang suka diskusi dengannya, entah konsultasi terkait penelitian atau hal yang reme temeh. Dia jugalah yang mengajarkan bagaimana saya memulai belajar menulis di blog lalu diperkenalkan dengan nama penulis terkenal dan tampan seperti Yusran Darmawan.
Yang saya ingat, saran yang dia berikan bukan cuman sekali tapi berkali-kali. Waktu saya jadi mahasiswa, dia adalah orang pertama yang mendukung agar saya kuliah ke jenjang magister. Bahkan dia tak pernah bosan terus mengingatkan dan menyarankan orang kampung seperti saya. Di setiap ucapannya, dia selalu menghadirkan embun yang setiap tetesannya bisa memberi harapan bahwa ada selaksa kehidupan diujung sana. Dia hendak menunjukan jalan bahwa disana ada samudra pengetahuan. Tak ada yang tak pasti jika ada keinginan untuk menujunya. Termasuk orang kampung seperti saya yang tak punya uang untuk lanjut magister di UGM, IPB atau UI.
Namun, sampai saat ini saya belum menjalankan saran-saran itu, meskipun sebenarnya dalam hati ingin cepat melanjutkan kuliah magister. Keinginan setahun lalu untuk ke UGM harus saya tunda karena ada kewajiban yang harus saya penuhi, merawat Bapak. Setelah beberapa bulan saya rawat, sang pemilik kehidupan berkehendak lain dengan memanggilnya. Kini, saya mulai menata, merancang kembali keinginan untuk pergi ke kota impian itu, Jogja dan Bogor.
**
Masih tersimpan diingatan perkataan sang guru itu , “Kamu harus ke UGM atau IPB ya. Tahun depan kamu bisa sama-sama Yusdin.” Saran itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Apakah ini benar-benar akan terjadi? Apa yang perlu saya persiapkan sebelum bergelut dengan kehidupan kota impian itu? Pertanyaan-pertanyaan itu bergentayangan dalam pikiran, sekaligus ada ketidaksabaran agar secepatnya menginjakan kaki di kota Jogja dan Bogor.
Bagi saya, Jogja dan Bogor adalah salah satu kota impian. Jogja adalah kota yang penuh dengan atmosfir intelektual dan kreatifitas yang sangat tinggi. Ruang-ruang diskusi terbuka lebar. Juga kajian-kajian keilmuan selalu mendapatkan tempat. Kata sahabat, bahkan di perempatan dan di jalan-jalan sekalipun ada diskusi, kajian dan pameran seni.
Saya begitu mendambakan untuk bisa ke kota-kota seperti itu. Sebagai orang kampung, bisa ke Jogja adalah sebuah impian. Bukan saja untuk menikmati objek wisata yang memanjakan mata dan kuliner, tapi yang paling utama dan terutama sekali adalah ingin memperdalam ilmu pengetahuan saya di kampus UGM.
Ada banyak hal mengapa kota Jogja layak saya tempati untuk menuntut ilmu. Selain banyak pendatang untuk mengenal kebudayaan daerah lain, juga warganya yang sangat ramah dan penuh keterbukaan. Satu lagi yang membuat layak bagi orang kampung seperti saya dan ini penting yaitu makanannya cukup murah meriah.
Kota hujan (julukan kota Bogor) juga menjadi kota impian saya. Tentu bukan untuk menikmati hujannya (sebab Kendari dan Muna juga sering hujan) tapi untuk memperdalam ilmu pengetahuan di kampus ternama, IPB.
Selain kampusnya yang terbaik, Bogor juga memiliki banyak hal yang menarik. Ada kebun raya Bogor, Gunung Salak dan Istana Bogor. Bogor yang dikenal sebagai Buitenzorg pada masa kolonial Belanda ini, dikenal sebagai tempat yang nyaman dan sejuk. Bagi saya, disinilah menariknya mengapa Bogor sangat saya sukai.
Di Bogor, lalulintas informasi terus berseliweran. Kebijakan ekonomi maupun politik yang dilakukan oleh pemerintah, selalu dirapatkan di istana Bogor. Di Bogor saya bisa belajar banyak hal dengan orang-orang hebat, intelektual, para pakar ekonomi maupun politik. Satu yang membuat pertimbangan, biaya hidup di Bogor lebih mahal daripada di Jogja.
**
Mewujudkan impian untuk melanjutkan kuliah magister di kampus terbaik seperti UGM, IPB dan UI memang tak mudah. Ada banyak kerikil yang menghadang di depan. Saya juga tahu kalau saya tak punya uang. Kejadian ini sama sewaktu saya ingin kuliah S1 di Kendari. Tak punya uang telah menjadi duri-duri dalam merawat impianku. Bahkan waktu menempuh kuliah S1, banyak yang mencemooh, saya tak bisa menyelesaikan kuliahku.
Namun segala sesuatu harus di coba. Sebagaimana waktu kuliah S1 hanya butuh kenekatan, saat ini saya juga hanya bermodalkan kenekatan. Tak ada yang lain. Saya hanya butuh doa ke dua orang tua untuk bisa melanjutkan kuliah ke jenjang magister. Begitulah saya memenuhi ambisiku yang tengah bergejolak. Tak harus patah semangat dengan keterbatasan yang ada.
Bersahabat denga resiko adalah cara terbaik saya untuk menjalani kehidupan. Bahwa tak ada hidup yang tak diperjuangkan. Juga sebuah ambisi untuk kuliah ke jenjang magister. Semua harus butuh perjuangan dan penuh resiko.  
Demikianlah jalan hidup. Saya harus berjudi dengan resiko. Itu adalah tantangan buat saya. Orang-orang hebat bukan lahir dan bergelut di zona nyaman tapi mereka yang berani mengambil resiko. Dan saya harus memutuskan bahwa tahun depan saya harus keluar dari Kendari untuk menuju Jogja dan Bogor. Kata-kata Muhammad Ali selalu mengingatkanku “He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life.”
Di sini, saya hanya perlu mempersiapkan diri dengan terus belajar. Juga membangun jejaring di dua kota dan kampus tersebut. Rasa-rasanya, keinginanku untuk sekolah mulai tak terbendung lagi. Ada semangat yang menggebu-gebu di dalam diriku. Sudah saatnya saya mulai menata impianku dengan baik. Semoga Allah Swt memberikan jalan yang lapang agar saya dapat memenuhi segala impianku. Aminn.

                                                                                 Laode Halaidin

                                                                                 Kendari, 15 Juli 2019

06 Juli 2019

Perempuan, Bernama Serum

Sumber foto: FB Ulin Maulyd'an Ulhy
Hawa pagi di desa terasa begitu dingin. Sudah seminggu, baru kali ini tak mau bergegas dari tempat tidur. Dinginnya menusuk pori-pori, hingga membuatku menggigil. Saya menikmati dinginnya pagi dalam selimut. Sesekali membuka ponsel untuk berselancar di dunia twitter.
“Busyet...cebong dan kampret masih saja berkelahi. Kapan mereka damai? Buzzer-buzzer Jokowi dan Prabowo kurasa tak pernah tidur. Mereka mengadu domba masyarakat kecil hingga saling menyerang dari malam hingga pagi ini. Mereka mau saja diperalat sama elit politik Jakarta,” kesalku.
Di dapur, Ibu memanggil-manggil.
“Falah, ayo cepat bangun. Tehnya sudah jadi, nanti cepat dingin.”
Saat Ibu terdengar bergegas pergi, saya malah menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan tidur kembali.
Dalam tidurku, mimpi-mimpi terus berseliweran. Tak punya awal dan ujung. Mimpi tak karuan, terputus-putus. Terkadang mimpi bertemu mantan lima tahun lalu, kadang juga memimpikan dunia yang hancur lebur. Hanya ada satu mimpi yang berkesan dan cukup kuingat.
Di dalam mimpi itu, dua orang perempuan hendak bertemu denganku. Mereka orang yang tak ku kenal sama sekali. Juga tujuan kedatangannya tak ku ketahui. Penampilannya begitu anggun, sangat cantik. Tapi, dua-duanya diselimuti dengan kesedihan.
Senyumku mengembang mengingat mimpi itu. “Perempuannya begitu menawan seperti Sophia Latjuba. Tapi mengapa mereka kelihatan sedih?” bisiku dalam hati. Tiba-tiba saja adik perempuanku menyadarkanku dari lamunan. Adikku hendak mengatakan, ada dua orang perempuan yang sejak tadi menunggu ingin bertemu.
Saya bergegas dari kamar lalu mencoba bertemu dua orang perempuan itu. Benar saja, dua orang perempuan yang sedang menunggu. Namun mereka terlihat kebingungan, seperti tersesat dalam hutan belantara. Yang dikunjunginya begitu asing. Tak tau arah mereka ingin hendak kemana. Sementara saya terlihat kucek, berantakan. Muka pun belum dicuci. Saya kemudian mencoba pamit untuk mencuci muka sebentar.
Dari tempat duduknya, kulihat gerak-geriknya agak lain. Mereka nampak cemas juga sedih. Perempuan yang memakai baju putih hendak ingin bicara tapi berat. Mulutnya seperti terkunci tak bisa mengatakan sesuatu. Entah mengapa.
“Maaf, ini dengan siapa dan dari mana? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyaku dengan pelan.
Mereka terdiam cukup lama. Masih duduk dengan perasaan yang masih mengadu. Namun tak satu kata pun bahasa keluar dari mulutnya. Sementara saya dalam hati berbisik-bisik. “Mengapa dua perempuan cantik ini masih saja diam. Apa yang hendak ia sampaikan padaku. Apa ia mengira aku mirip kekasihnya yang ia cari?.
Perempuan yang satu mencoba memberanikan diri untuk berbicara. Yang satu atas nama Hani, satunya lagi bernama Serum.
"Saya Hani dan ini temanku Serum. Kami dari Kendari. Sebenarnya kami kesini mendapat petunjuk dari alumni kampus kuning Kendari, atas nama Jamal. Mungkin Kakak kenal. Katanya ia pernah ke rumah Kakak,” tutur Hani.
Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Saya Falahi. Panggil saja Falah.”
Kucoba mengingat kembali memori lama, sahabat-sahabat yang pernah jalan dan sering diskusi denganku. Hanya ada satu nama Jamal yang dulu pernah ke rumah, Jamal anak FISIP. Dia adalah teman debat dan diskusiku. Sejak menjadi mahasiswa, ia lebih banyak aktif diorganisasi luar kampus seperti HMI. Orangnya cukup berani dan cerdas. Sementara saya aktif diorganisasi internal dan eksternal kampus.
“Iya saya kenal Jamal. Dia dulu mahasiswa FISIP. Orang yang sering ku debat dulu. Waktu kuliah, kami makan tidak makan tetap bersama. Memang Jamal pernah ke rumah, kalau tidak salah ingat tahun 2012 saat ada kasus lahan disini.”
“Bagaimana bisa, kamu mengenal Jamal?” tanyaku pada Hani.
“Kak Jamal itu satu desa denganku. Kami menghubunginya, menanyakan siapa yang di kenal di Muna. Katanya yang di kenal cukup dekat, hanya Kakak sendiri. Lalu ia memberikan alamat dan menunjukan foto-foto rumah. Kak Jamal juga membawa pesan agar Kakak membantu kami,” jelas Hani dengan muka serius.
“Wah, masalah apalagi yang dibawah si Jamal,” bisiku dalam hati.
Memang sudah kebiasaan Jamal sejak kami jadi mahasiswa. Jamal sering gonta-ganti pacar. Setiap malam minggu dia bisa saja membawa perempuan dengan muka yang berbeda. Jamal sering kusebut seorang play boy kelas kakap. Namanya aktivis, ia punya seribu satu cara untuk menaklukan hati wanitanya. Tapi ketika ada masalah, dia merengek meminta bantuan agar saya berhadapan dengan perempuan-perempuannya itu. Saya diminta untuk menyelesaikan masalahnya. Bangsat kan!!
Hani memberikan nomor Jamal untuk kuhubungi dan meminta penjelasan. Apa yang menjadi dugaanku ternyata salah. Jamal sedang tidak membawah masalahnya padaku. Jamal hanya meminta agar Hani dan Serum dibantu dan diperhatikan selama dikampung.
“Nanti kamu cerita sendiri sama Hani dan Serum apa masalahnya ya bro. Saya percayakan sama kamu,” tutup Jamal.
**
“Coba ceritakan apa yang bisa saya bantu disini,” tanyaku dengan nada halus.
Serum, sejenak membangunkan mukanya yang tertunduk lesu. Mungkin ia sedang letih karena menempuh perjalanan cukup jauh atau lelah dalam mengarungi hidup yang begitu rumit ini. Nafasnya terdengar kempas-kempis. Muka anggunnya tak lagi menampakkan cahaya. Redup begitu pucat. Serum masih saja terasa berat untuk berbicara. Lalu Hani mencoba memulai pembicaraan.
“Begini Kak, sebenarnya kami sedang mencari rumah teman Serum. Serum bilang, rumahnya di Muna, tapi tak tau persis Muna bagian mana,” ujar Hani dengan sopan.
Mata Serum terlihat berkaca-kaca. Setelah mendengar penjelasan Hani ia mulai menemukan nafasnya. Serum mencoba mengatur nafasnya perlahan-lahan. Sesekali ia memegang rahimnya sambil melihat keluar. Saat pandangannya nampak di depan mukaku, matanya kelihatan memerah. Ada air mata yang berkumpul bagai awan diantara bola matanya. Ia sedang menahan sedih dan tangisnya. Air mata itu tak jadi tumpah merembes ke pipinya. Serum ingin terlihat kuat di depanku.
Sementara Hani juga ikut dalam kesedihan Serum. Ia coba memegang pundak sahabatnya itu dan memeluknya. Mencoba menguatkannya lalu menyuruh Serum untuk bercerita padaku. Serum dengan pelan-pelan bercerita.
Saya mendengarkan rentetan kisah Serum dengan kekasihnya, Rusdi. Mereka telah menjalin kasih asmara selama hampir lima tahun. Selama berpacaran, Serum dan Rusdi tak pernah dihingapi masalah sedikit pun. Kecuali Rusdi sendiri yang bermasalah, entah dengan Rektor, Dosen dan juga aparat pemerintah. Kata Serum, dimatanya Rusdi adalah lelaki yang setia dan bertanggungjawab. Tapi dalam waktu setahun ini, Rusdi tak ada kabar. Rusdi seperti menghilang bak ditelan bumi.
“Sekarang saya mengandung anaknya. Saya ingin bertemu dengannya. Sudah berbulan-bulan saya coba menanti kedatangannya. Ayahku sangat menantikan kehadiran Rusdi dirumah,” kata Serum seraya menangis. Air mata yang tertahan itu akhirnya tumpah juga, menjadi bulir-bulir  yang menetes lalu membekas di kedua pipinya.
“Saya tak pernah membayangkan dia bisa berubah secepat ini. Pada hal dia sudah berkomitmen untuk menikahiku. Setahun yang lalu dia berencana akan melamarku. Enam bulan setelah pelamaran, baru kami akan menikah. Saya bersedia. Kukatakan saat itu, apapun keadaannya, saya akan menerimanya apa adanya. Itu janjiku dulu. Saya sangat mencintainya. Tapi mengapa Rusdi menghilang begitu saja,” lanjut Serum dengan berlinang air mata.
Air mata Hani juga ikut meleleh, namun berusaha untuk menahannya. Saya pun merasakan hal yang sama, ikut dalam kesedihan. Betapa malangnya nasib perempuan ini. Dia memiliki hati yang tulus, mencintai kekasihnya dengan apa adanya. Dari jauh, ia datang di desa ini mencari kekasihnya yang sama sekali tak mengenal seorang pun. Mencari rumahnya yang sama sekali tak ia ketahui dimana rimbahnya. Berbulan-bulan menanti tak ada kabarnya. Kekasihnya yang ia cintai sudah benar-benar menghilang. Di asrama teman, dikampus, sahabat-sahabatnya mereka semua tak mengetahui dimana Rusdi. Juga nomor ponselnya sudah mulai tak aktif lagi.
Saya lalu terbayang bagaimana kisahku dulu yang penuh luka dan duka.
“Ah, Serum yang tak kukenal. Ada apa dengan nasibmu? Tak banyak lagi perempuan yang setia mendampingi kekasihnya dengan kemelaratan, yang memulai dari nol. Laki-laki yang mendapatkan kamu adalah laki-laki yang beruntung. Beda denganku ditinggalkan hanya karena soal pekerjaan yang serabutan. Wanita itu tak bisa menerimaku apa adanya, sebagaimana kamu menerima kekurangan Rusdi. Perempuan yang saya sayangi itu pergi, karena tak mau hidup bersama mewujudkan mimpi-mimpiku juga mimpi-mimpinya. Katanya, saya tak punya masa depan. Dia menginginkan laki-laki mapan, yang bisa membiayai segala kebutuhan hidupnya saat ini. Sementara saya!! Ah...saya hanya orang yang numpang di kota dengan menyabung hidup. Kerja yang penting dapat makan dan beli buku-buku bacaan. Hari demi hari, terus mencoba menghitung manik-manik nasib.”
Hani membuyarkanku dari lamunan yang tiba-tiba memulai ceritanya. Hani bercerita bahwa Rusdi adalah teman satu asramanya di kampus kuning. Dari cerita Hani, sosok Rusdi teridentifikasi. Rusdi pernah berorganisasi di HMI juga sebagai Sekjen Badan Eksekutif Kampus (BEM) Fisip. Terakhir Hani bertemu Rusdi di asrama, tapi tak berlangsung lama. Rusdi saat itu terkesan buru-buru ingin keluar. Dia meminta agar keberadaannya dirahasiakan.
Sosok Rusdi kata Hani, sangat kontroversial dan disegani dikalangan aktivis. Dia dan teman-temannya berhasil mengorganisir warga untuk menolak penggusuran asrama-asrama di depan kampus. Yang ia hadapi saat itu adalah seorang petugas keamanan negara yang mengklaim bahwa tanah tersebut hak miliknya. Di balik sosok demo besar yang menuntut agar seorang kepala daerah ditangkap karena dugaan kasus korupsi perizinan tambang adalah seorang Rusdi. Dia berhasil menggerakan seluruh elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi, baik di daerah maupun di depan kantor KPK, Jakarta. Rusdi juga pernah mengorganisir mahasiswa untuk menuntut kasus dugaan korupsi seorang Rektor.
“Setelah demo besar penuntutan kasus dugaan kasus korupsi seorang Rektor, Rusdi tak ada kabar lagi. Dari informasi teman-temannya, Rusdi sudah dikeluarkan dari kampus kuning karena demo tersebut. Di asrama juga sering ada orang yang tak dikenal mencari Rusdi. Itu terjadi, semenjak demo tuntutan dugaan kasus korupsi izin tambang seorang kepala daerah,” tutur Hani.
Saya terdiam sejenak, menimbang-nimbang pikiran apa yang dihadapi Rusdi. “Sekarang saya sudah paham duduk perkaranya. Rusdi menjauh karena sedang menyembunyikan diri. Dia sedang mendapat teror dari preman-preman bayaran. Jika kedapatan ia bisa saja diculik lalu dibunuh. Bukankah begitu Hani.”
Hani merespon dengan cepat “Iya, saya sepakat dengan pendapat Kakak. Mereka sepertinya merasa terganggu dengan gerakan Rusdi.”
Serum yang dari tadi menjadi pendengar yang baik kini ikut berkomentar. Ada kekhawatiran yang tersembunyi dibalik raut wajahnya. Ia kembali mengatur nafasnya lalu bertanya.
“Mengapa harus Rusdi yang mendapat teror? Mengapa harus Rusdi orang yang pertama di cari?.”
“Karena dia otak dibalik setiap demonstrasi itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun demi membungkam Rusdi. Seperti yang saya jelaskan tadi, membayar preman untuk menculik lalu membunuh Rusdi itu bukan suatu kemustahilan. Bisa saja terjadi. Untuk itu, Rusdi untuk sementara memilih bersembunyi,” jelasku.
Serum kembali menarik nafas panjang lalu menatapku juga sesekali ia melirik Hani. “Tapi ayahku tidak melakukan demikian. Setiap ada warga atau mahasiswa yang demonstrasi, ayah selalu mengajak mereka untuk berkomunikasi. Berbicara dari hati ke hati.”
“Setiap karakter seorang pemimpin itu beda-beda. Ayahmu sebagai seorang Bupati mungkin menerima demonstrasi warga dan mahasiswa sebagai kritikan atau masukan yang baik. Itu untuk kebaikan pemerintahannya. Ayahmu tidak anti-kritik, makanya menerimanya dan berdiskusi. Tapi yang dihadapi Rusdi ini beda. Mereka sepertinya anti-kritik dan merasa terganggu dengan apa yang di suarakan oleh Rusdi,” Hani menjelaskan.
“Apa yang perlu kita lakukan sekarang Kak. Apa mungkin Rusdi telah dibunuh?” tanya Serum dengan nada rendah padaku.
“Saya akan coba hubungi teman-teman yang pernah berorganisasi di HMI dan alumni Fisip teman-teman Jamal yang menetap di Kendari. Siapa tau mereka mengenal atau melihat Rusdi.”
Dari nama-nama yang saya hubungi, hanya nama Gatot yang punya bayangan tentang sosok Rusdi. Sementara Suhartono, Joko Hih, Bowo Subrianto, La Ode Beye, Wa Mega, Habib Kiri, Wir Anton, Hendro, Moel Duku, Luhut Bimbar, La Palo, Haimin Kardos, La Ohak, Budi Guniwan, Budiman Sujatmoko, Adian, Makruf, Fadli dan Fahri, semua tak ada yang mengenal Rusdi. Gatot, hanya mendengar nama Rusdi dari cerita-cerita La Bima. Gatot lalu memintaku untuk menghubungi La Bima dan Semar. Dari penjelasan La Bima dan Semar, hanya Yudistira yang tahu keberadaan Rusdi.
“Yah, kita sudah punya bayangan. Yang tahu keberadaan Rusdi hanya Yudistira, junior saya dikampus kuning. Tiga tahun lalu dia juga pernah ke rumah. Saya akan memintanya untuk menunjukan tempat tinggalnya. Tapi tak mungkin hari ini karena sudah sore. Bagaimana kalau besok pagi kita ke tempat Yudistira?,” tanyaku.
Serum dan Hani bersedia agar besok pagi saja ke tempat Yudistira. “Rum, besok pagi saja ya, baru ke tempat Rusdi,” kata Hani. Serum pun manggut-manggut pertanda setuju. Dari raut mukanya, Serum seperti menemukan kembali hidupnya yang selama ini redup. Saya lalu mengantar mereka berdua untuk mencari penginapan.
**
Subuh sekali saat ayam belum turun dari rumah-rumahnya, kucoba menghubungi Yudistira. Saya menanyakan apakah ia sudah cerita ke Rusdi bahwa Serum, pacarnya berada dikampung! Dan yang mengejutkan, Yudistira telah menceritakannya. Muncul rasa amarah dalam diri, bagaimana jika Rusdi pergi jauh menghindar. Dugaan saya, Rusdi tak akan menerima Serum karena nasibnya benar-benar sudah berantakan, dikeluarkan dari kampus, pergi tanpa kabar dan dia sudah tak berani muncul di kota.
“Rusdi malah senang disini ada Serum bang. Rusdi meminta agar diantar ke rumah pagi ini untuk menemui Serum,” kata Yudistira.
Yang kurasakan adalah rasa haru, penuh kebahagiaan. Bahagia karena masalah ini sudah menemui titik terang. Bahagia karena Serum akan bertemu dengan kekasihnya yang ia nantikan berbulan-bulan. Bahagia karena anak yang dikandungnya kini akan memiliki ayah. Saya seperti ayah Serum, yang begitu senang melihat kebahagiaan anaknya.
“Baik. Saya akan tunggu kedatangan kalian berdua.”
Serum dan Hani tiba lebih pagi. Kali ini tentu dengan membawa perasaan yang berbeda. Kesedihan tampak sudah menjauh dari dalam dirinya. Ada seberkas cahaya yang nampak dari raut wajahnya. Itu terlihat saat mereka tiba menyapaku dengan senyum manisnya.
“Pagi, Kak Falah” sapa Serum dan Hani dengan senyum.
Mereka tiba saat saya masih menikmati kopi dan rokok putihku diteras rumah. “Pagi juga Serum, Hani,” sambutku dengan senyum. Kupersilahkan saja mereka masuk dan menunggu sebentar.
Saat keluar kamar, tiba-tiba Hani berani memprotesku.
“Kak, kok senyum-senyum sendiri. Ada apa? Ada yang salah dengan penampilanku atau Serum?.”
“Tidak. Tidak ada. Justru saya sebaliknya ingin memuji kecantikan kalian berdua pagi ini. Soalnya, saya belum pernah dikunjungi perempuan secantik kalian. Bangga saja, pagi-pagi ada dua orang bidadari di dalam rumah,” candaku dengan tertawa.
Hani dan Serum pun tertawa lepas. “Ah, kakak bisa saja. Saya jadi malu nih,” sambut Serum.
Kedatangan Rusdi bersama Yudistira tetap kurahasiakan. Tak kuceritakan sama sekali. Biarkan ini menjadi kejutan buat Serum. Saya ingin melihat rasa haru dan rindu Serum puas dan terobati dengan kemunculan Rusdi secara tiba-tiba. Saya tau Serum tak sabar untuk bertemu Rusdi, kekasih yang ia sangat cintai itu.
Pesan WhatsApp terus masuk di ponselku. Kulirik pelan-pelan agar tak diketahui oleh Serum dan Hani. Rusdi sedang memberi pesan, dia lagi dalam perjalanan menuju ke rumah. Jaraknya tak jauh lagi. Sambil menunggu, saya memperbanyak cerita agar mereka lupa dan mengulur-ngulur waktu.
“Serum.” Suara itu terdengar dari luar pintu. Saya berpura-pura tak mendengar. Sementara Hani mulai meliriku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak bisa. Hani tahu persis bagaimana suara Rusdi. Serum pun demikian, ia perlahan-lahan mengenali suara ramah dan familiar itu memanggilnya.
“Rusdi,” panggil Serum lalu bergegas dari tempat duduknya, menemui Rusdi. Serum beranjak keluar lalu menyambut Rusdi dengan pelukan tangis. Tangis itu telah berubah, bukan lagi tangis sedih tapi tangis bahagia. Bagaimanapun, Serum sangat menantikan Rusdi hadir disampingnya. Apalagi dengan bayi yang dikandungnya sudah memasuki dua bulan. Serum sangat membutuhkan Rusdi saat ia akan melahirkan. Bayi mungil itu butuh seorang ayah sebelum melihat dunia.
Kupersilahkan Rusdi, Serum dan Yudistira untuk masuk. Hani masih menatap kedua sahabatnya itu penuh haru dan bahagia.
“Mengapa kamu menghilang tanpa kabar, Rusdi? Mengapa kamu hilang? Saya sangat mencintaimu Rusdi,” kata Serum masih sesunggukan menangis dipelukan Rusdi.
“Saya harus merahasiakan identitasku dari siapapun, termasuk kamu Rum. Preman-preman itu tahu kamu kekasihku. Bisa saja mereka akan menginterogasimu, menanyakan keberadaanku. Saya juga takut kehilangan kamu, Rum,” tutur Rusdi sambil menghapus air mata Serum yang bercucuran jatuh dipipihnya.
Serum lalu menatap kekasihnya itu dalam-dalam. Ternyata sifatnya tak ada yang berubah sedikit pun. Ia masih Rusdi yang dulu. Rusdi yang pertama kali bertemu di teluk Kendari. Seorang penyayang dan penuh ketulusan. Yang berubah hanya bentuk fisiknya yang tampak kekurusan. Sekarang berwajah agak sedikit bersih dan wangi. Beda dengan dulu yang urakan, gondrong dan terlihat tidak pernah disentuh air disekujur tubuhnya.
Kekurusannya karena pikirannya selalu dihantui masalahnya di Kendari. Memikirkan kuliahnya tidak selesai karena dikeluarkan dari kampus kuning, nyawa yang terancam saat hendak mau ke kota juga kurus karena memikirkan Serum yang disayanginya. Rusdi merasa bersalah tak memberi kabar berbulan-bulan.
“Maafkan saya Rum. Saya telah pergi dan tak memberimu kabar berbulan-bulan. Tapi bukan untuk menjauhimu. Tidak. Itu bukan sikap saya yang sebenarnya. Saya dipaksa oleh keadaan yang mengancam nyawaku,” lanjut Rusdi.
Serum terlihat percaya dengan kata-kata Rusdi, sambil memeluknya.
“Saya percaya sama kamu Rusdi. Saya percaya kamu masih menyayangiku. Sekarang kamu tidak sedang membawa dirimu untuk bertemu denganku, meminta maaf lalu pergi lagi kan!.”
“Tidak. Saya tidak akan pergi,” kata Rusdi.
Tapi....
Tiba-tiba suara Rusdi terhenti. Rusdi sedang menimbang-nimbang isi pikirannya. Sekarang masalah yang paling berat bukan soal Serum atau diteror, tapi ayahnya yang akan menolak hubungan mereka. Ayah Serum seorang Bupati itu tak akan tega melihat anaknya sengsara dan menikah dengan seorang buruh tani. Rusdi kini hanya jadi seorang buruh tani di desa.
“Tapi apa?” sambut Serum.
“Saya tak akan mengikutimu di Kendari. Bukan takut karena preman itu lagi. Tapi takut ayahmu tak akan menerima keadaanku saat ini. Saya sudah dikeluarkan dari kampus dan disini saya hanya jadi buruh tani, Rum. Ayahmu pasti akan menolakku dengan terang-terangan,” ujar Rusdi.
Serum kembali menangis dan melepas pelukannya di tubuh Rusdi. Hani berusaha menenangkan Serum dengan menghampirinya lalu berusaha memeluknya. Hani menatap Rusdi dalam-dalam dengan penuh kekesalan.
“Di!! Mengapa kamu bersikap seperti itu terhadap Serum. Sekarang kamu sudah berubah, beda dengan dulu yang begitu penyayang. Saya masih ingat dulu setiap teman-teman punya masalah, kamu berusaha mencarikan jalan keluar. Sekarang masalahmu sendiri tak bisa kamu pecahkan. Dimana otak cerdasmu dulu Di? Apakah jawabanmu itu adalah solusi? Bukan. Yang barusan kudengar itu alasan konyol yang keluar dari mulutmu,” kesal Hani yang mulai hilang keseimbangan emosi.
Rusdi berusaha mengimbangi kekesalan Hani dengan tenang.
“Tidak Han, saya tidak pernah berubah. Justru itu alasan saya yang paling rasional.”
“Hah, rasional!! Seperti itukah jawaban rasional seorang Rusdi. Bagaimana bisa tau, kamu akan ditolak oleh ayah Serum!? Atau selama ini memang kamu tak benar-benar mengenal ayah Serum. Saya curiga kualitas pikiranmu kini sudah menurun.”
Hani lalu berdiri mengambil botol Aqua dan meminumnya. Nafasnya masih berkejar-kejaran. Emosinya belum saja meredah. Hani mulai terlihat menceramai Rusdi.
“Rusdi! Asal kamu tau, kami berada disini atas izin ayah Serum. Beliau mengizinkan kami mencari dan menemuimu. Beliau tak peduli apa status sosial keluargamu. Lagian, beliau sudah lama tau bahwa keluargamu hanyalah buruh tani. Jika beliau membencimu, mengapa tidak sejak dulu ayah Serum tidak merestui hubungan kalian. Beliau rela berbuat apa saja yang penting anaknya, Serum bahagia,” lanjut Hani.
Rusdi kembali menatap Serum dan mengelus-elus tangannya. Rusdi kini tak berani berbicara pada Serum, juga tak menjawab Hani. Dia tak tahu harus merespon dengan apa. Pikirannya sedang berada dititik terendah, buntuh tak tahu apa yang harus diucapkan. Sementara Serum hanya menangis dalam pelukan Hani. Tak ada yang keluar kata-kata dari mulutnya.
Hani kembali mengambil alih pembicaraan. Menatap Rusdi. Tapi kali ini dengan nada halus.
“Di, Rusdi. Serum sedang hamil mengandung anakmu. Usia kandungannya sudah mau memasuki dua bulan.”
Rusdi terkejut dan muncul rasa tidak percaya. Dengan sedikit awas, Rusdi menanyai Serum.
“Benarkah Rum. Kamu, kamu sedang hamil!”
Serum mengangguk, “Iya Rusdi. Saya sedang hamil, mengandung anakmu.”
Tanpa izin, Rusdi langsung memegang perut pacarnya itu. Betapa bahagianya ia mendengar Serum hamil. Rasanya sebentar lagi ia akan jadi seorang ayah.
“Benar.... Kamu sedang hamil Rum...” kata Rusdi.
Rusdi memeluk Serum dengan erat. Ada rona bahagia yang tampak diraut mukanya. Sepertinya ia tak mau lagi meninggalkan pacarnya itu untuk kedua kalinya. Rusdi berjanji akan menemui ayah Serum untuk meminta restu. Dalam pelukan Rusdi, terdengar suara Serum.
“Saya sangat mencintaimu Rusdi. Sangat mencintaimu. Ayah sedang menunggu kedatanganmu. Ayah tak pernah membenci kamu. Bahkan sebelum saya hamil, ayah sering menanyakan keberadaanmu padaku.”
Rusdi mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menghapus air mata yang jatuh di kedua belah pipinya. Namun air mata itu tak bisa ia tahan. Masih saja jatuh. Bahkan semakin deras.
“Baiklah. Secepatnya kita akan ke Kendari menemui ayahmu. Saya akan meminta restu untuk menikahimu,” ujar Rusdi.
Saya, Hani dan Yudistira saling bertatapan, tak percaya dengan apa yang terjadi. Dari penjelasan Hani, Rusdi sosok yang keras dan tak mau mengalah. Yang muncul di pikiranku, bagaimana jika Rusdi tak mengakui bahwa anak yang dikandung Serum itu anaknya. Benar-benar tak menyangkah Rusdi secair itu. Hani hanya terdiam, masih mengembalikan emosinya seperti semula. Begitu pula Yudistira, hanya diam sambil memandangi Serum dan Rusdi.
**
Esok harinya mereka bertiga, Serum, Hani dan Rusdi berpamitan untuk berangkat di Kendari. Yudistira memilih menunggu di mobil. Tidak seperti biasanya, kali ini penampilan Serum semakin anggun. Muka pucatnya mulai berwarna. Rasanya ia sudah tak ada beban lagi dalam hidupnya. Rusdi yang di cintainya itu sudah berada dalam pelukannya. Penantian demi penantian, telah berbulan-bulan hingga ia mengandung, Rusdi tak pernah kembali. Namun, atas keyakinannya bahwa Rusdi masih mencintainya, Serum mencari keberadaan Rusdi. Benar saja, Rusdi tidak sedang menjauh karena ingin meninggalkan Serum tapi akibat nyawanya yang terancam. Maka Rusdi memilih menyembunyikan identitasnya.
Sementara Hani, tiba dengan senyum seperti biasanya. Terlihat lucu tapi tegas. Ketegasannya membuat siapa pun tak berani berkutik. Dia akan mendebatmu dan menjatuhkan mentalmu. Tapi dari aura itu, Hani tetap kelihatan cantik. Percampuran yang serasi, tegas, pintar dan cantik.
Saat Hani semakin dekat di depanku, saya semakin memujinya. “Ah, cantik juga si Hani ini.” Lamunanku buyar ketika Hani hendak menyampaikan akan mengabarkan jika Serum dan Rusdi menikah. Dan Rusdi dengan perasaan yang mengharu biru, siap berangkat di Kendari.
Baru beberapa meter mereka bertiga beranjak dari teras rumah, Hani tiba-tiba berhenti dan menoleh. Dari gerak-gerik bibirnya, Hani terlihat mengucapkan sesuatu, tak bersuara hanya seperti bisikan.
“Nanti kamu datang ya. Supaya saya punya pasangan,” bisik Hani dari jauh sambil tersenyum manis.
Saya hanya mengangguk dan membalas senyum Hani dengan senyuman.
Kusaksikan mereka bertiga berangkat. Semakin cepat mobil itu melaju, mereka semakin menjauh. Terus kupandangi mobil yang ditumpangi Serum, Hani dan Rusdi hingga benar-benar menghilang dari pandangan.


                                                                                  Laode Halaidin
                                                                                  Di tulis di Kendari, 1 Juli 2019