Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

19 Mei 2018

Menyemai Keindahan Alam di Tanah Rongi

Sumber foto: Herwin Ewin. Puncak Katelemando, Rongi, Buton Selatan

Seorang sahabat di tanah Rongi, mengirimkan gambar puncak Teletubies atau biasa disebutnya puncak Katelemando. Sontak saja, saya begitu kagum dan merindukan keindahan alam disana. Semenjak saya meninggalkan Rongi, pada masa KKN 2015 lalu, ada keinginan untuk berkunjung kembali. Bukan saja untuk menikmati keindahan alamnya, tapi mencoba mempelajari budaya, adat serta kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai saat ini.
***
Pagi itu desa Rongi diselimuti oleh kabut tebal. Seluru badan terasa menggigil. Seorang sahabat terlihat menghisap rokoknya dengan asap yang mengepul. Ini pengobat dingin, kata sahabat itu. Sebagian sahabat perempuan, tengah sibuk membuatkan teh hangat. Tehnya sudah siap pak ketua, cetus seorang kawan. Sambil memandangi puncak yang terbelah di depanku, teh hangat itu kuseruput. Dingin, masih terasa membungkus paru-paruku.
Hawa di Desa Rongi berbeda dengan desa-desa yang lain di Buton Selatan. Kapan saja bisa berubah. Jika datang hujan, kedinginan dapat membekukan jantung. Namun bisa saja, sehabis hujan, kembali akan bersuhu panas, hingga terik matahari menyengat kulit yang begitu perih.
Di hari minggu, saya menjadwalkan untuk mendaki puncak Katelemando. Hari minggu kita mendaki puncak itu, cetusku. Sontak saja kawan-kawan kaget. “Baru seminggu KKN, kita sudah mau mendaki puncak. Kita kan belum tuntas merampungkan program kerja” bantah seorang sahabat. “Hari minggu kita coba nikmati pemandangan alam. Bagi yang mau, silahkan ikut saya, kataku.
Minggu subuh, kami masih menggigil kedinginan. Sebagian sahabat masih ketiduran, nyenyak seperti masih dinyanyikan nina bobo oleh ibunya. Tubuh mereka tebungkus selimut hingga menutupi seluruh badan.
“Bangun-bangun. Ayo kita mendaki. Cuaca sangat mendukung. Ini waktu yang pas, untuk menikmati pucak, sambil mengabadikan momen disana, kataku.”

Dan ternyata, yang berhasil bangun hanya satu orang. Namanya Misrin Lamoane, seorang sahabat KKN asal Ternate. Berdua, kami berhasil mendaki puncak tertinggi di tanah Rongi itu.
Sumber foto: Herwin Ewin
Sumber foto: Herwin Ewin. Puncak Katelemando, Rongi, Buton Selatan

Banyak kesan-kesan yang saya dapat selama menetap satu bulan lebih di tanah Rongi. Kearifan lokal yang masih dipertahankan serta adat dan budaya yang masih tetap dijaga dengan baik. Dan satu lagi, seorang sahabat, paling suka dengan arak Rongi yang nomor satu. Katanya, mantap. Hehehe.....

***
Sahabat saya di Rongi Herwin mengatakan, setelah kami melakukan Kulia Kerja Nyata (KKN) disana, puncak itu kemudian terkenal dan banyak dikunjungan oleh orang-orang dari daerah lain. Bukan saja itu, ia juga mengatakan, orang mancanegara seperti Jerman dan Australia sudah mulai berkunjung, menikmati puncak Katelemando tersebut. Sahabat saya itu, tidak tau persis dalam kunjungan apa. Tapi menurut saya, orang mancanegara tersebut tengah melakukan penelitian di Buton, lalu meluangkan waktu untuk mengunjungi puncak Katelemando.
Tentu saya turut berbangga dengan informasi itu. Meskipun, kami tak bisa melakukan banyak hal saat melakukan KKN di Rongi. Sudah tiga tahun lebih ke tanah Rongi, kenangan masi tersimpan dimemori pikiran. Bagaimana masyarakat disana menyambut kami dengan baik, anak-anak yang ceriah yang mengunjungi kami setiap saat. Bahkan saya menjadi guru ngaji mereka. Sebelum mengaji, biasanya saya selalu memberikan cerita dongeng tentang bagaimana agar anak-anak mencintai alam.
Yang kudapatkan adalah antusias anak-anak menyambut hal tersebut. Dengan sabar dan senang hati, anak-anak Rongi mau mendengarkan. Mereka kadang bertanya dan sesekali tersenyum malu saat saya menunjuk mereka untuk memintanya bercerita. Yang membuatku teringat saat ini yaitu ada seorang anak kecil SD yang bernama Desi datang ke posko dengan senyum malu-malu sambil meminta buku yang saya baca, Khalil Gibran. Informasi dari Herwin, anak itu saat ini sudah kelas dua SMP.
Sumber Foto: Herwin Ewin
Sumber Foto: Herwin Ewin
Yang membuatku bangga yaitu saat saya menanyakan alasannya meminta buku. Anak tersebut mengatakan, ia suka membaca buku bahkan Ibunya selalu membacakan cerita dongeng sebelum ia tertidur. Setelah buku pertama ia selesai baca dengan Ibunya, ia datang meminta buku kembali. Tujuh buku yang saya bawah saat itu, duanya saya berikan kepada Desi dan satunya lagi saya berikan kepada Kepala Desa Rongi, buku tentang Revolusi dari Desa.
Semoga kedepan, saya bisa berkunjung kembali di desa Rongi atau Sandang Pangan, dengan membawa beberapa buku untuk anak-anak disana. Itulah yang membuatku tertarik, selain alamnya yang indah, juga anak-anaknya yang ceriah dan mau diajak untuk belajar.

                                                                        Kendari, 19 Mei 2018
                                                                        Laode Halaidin

30 Maret 2018

Yang Muda, Yang Rapuh

Gambar: Pixabay

Beberapa bulan yang lalu, saya merasa kaget ketika mendengar seorang sahabat sejak kecil menjadi tersangka pembunuhan. Bagiku ia adalah seorang sahabat yang baik. Di waktu berumur remaja, pemuda itu adalah teman bermain, bercanda dan juga suka bertualang mencari bunga-bunga desa di kampung.
***
Kabar itu datang dari seoarang sahabat, yang saat ini bekerja di pertambangan Kabaena. Pagi buta ia menelpon dan mengabarkan bahwa di kampung telah terjadi pembunuhan yang begitu sadis. Saat saya menanyakan siapa pembunuhnya, ia juga merasa kaget. Dengan penuh kesedihan, ia juga mendengar informasi bahwa salah satu pembunuhnya salah seorang sahabat di kampung.
Penyebab pembunuhan kata salah seorang sahabat itu karena adanya minuma-minuman keras. Bersama korban, mereka sama-sama menenggak minuman tradisional Muna itu, bernama kameko yang berasal dari pohon enau. Lantaran kelebihan minum, mereka mabuk lalu terjadi perkelahian. Namun, pada saat itu si korban berhasil melarikan diri.
Disitulah awal mula, yang kemudian berakhir dengan pembunuhan. Si sahabat ini masih emosi, hingga mencarinya beberapa kali di kampung. Tak di dapat, mereka melanjutkan minum-minum kembali. Saat si korban lewat untuk perjalanan menuju ke kebun, sahabat ini mengikuti bersama teman-temannya hingga terjadi pengroyokan yang mengakibatkan si korban meninggal.
Di kampung halaman, hal-hal seperti perkelahian memang bukan sesuatu yang baru. Minum-minuman keras juga bukan sesuatu yang asing. Saat saya masih duduk dibangku sekolah SMA, saya menjadi bagian dari itu. Mabuk dan nakal sudah menjadi hal yang lumrah. Jika anak muda tidak melakukan keduanya, ia dianggap tidak maco alias bencong.
Seperti itulah potret kehidupan di kampung halaman ketika itu. Di kampung, kami sering disebut sebagai anak-anak pasar. Karena saat itu pasar sebagai tempat berkumpul kami, baik pagi, siang maupun malam, maka jadilah kami anak-anak pasar.  Di pasar itulah kami besar, menghabiskan waktu bermain hingga berpisah setelah menamatkan sekolah SMA.
***
Yang saya kagum dari sahabat itu adalah ia termasuk salah seorang yang pintar diantara kami, baik di SMP maupun di SMA. Di SMP dan SMA ia sangat jago mata pelajaran Matematika dan Fisika. Ia juga berhasil juara kelas, mengalahkan teman-teman yang lain.
Keadaan kami di kampung halaman juga sangat sederhana. Diantara beberapa sahabat, tak ada yang orang tuanya pegawai negeri. Kami semua lahir dari keluarga petani miskin. Masa depan yang baik, bagi kami saat itu hanyalah milik mereka yang punya banyak uang. Tak ada pikiran, kemana kami akan melangkah setelah menamatkan sekolah. Yang ada dibenak kami, merantau, sebagaimana masyarakat yang lain.
Saya bertemu sahabat itu, dua tahun yang lalu. Pada bulan September, ia mencoba ikut untuk mengadu nasib di Kendari. Disepanjang jalan kami bercerita, bagaimana menghadapi hidup kedepan.
Ia sering bercerita tentang keluarganya yang berhasil. Di DPRD Muna ia mempunyai banyak keluarga. Ia sering dipanggil untuk kerumahnya, namun tak pernah memenuhinya. Waktu itu saya hanya mengatakan “ ia sudah kamu ikut saja dia. Jangan pernah malu, untuk meminta pekerjaan. Toh dia keluargamu. Orang lain saja dikasih apalagi kamu, sebagai keluarga.”
Keakraban kami dengan sahabat itu sangat baik. Dalam perjalanan, kami sering memberi masukan. Hari itu, saya mencoba untuk melarangnya meminum-minuman miras. Sebagai sahabat yang sering nongkrong bersama semenjak SMA, saya wajib memberitahukan. Karena saya juga sadar, saya alumni alkohol, kita patut merubah haluan hidup 360 derajat.
Kataku hari itu “ Kita harus menghentikan kelakuan buruk masa lalu. Kita sama-sama nakal, miras dan lain sebagainya. Kita harus menjalani hidup hari ini dan kedepan. Yang lalu biarlah, kita tak perlu menoleh. Saya sudah meninggalkan hal yang demikian, kamu juga harus. Pergilah sama keluargamu, jika ia memintamu.”
Hari itu ia terlihat semangat. Sebulan di Kendari, ia menelpon saya untuk kembali ke kampung karena ada kedukaan. Seorang sahabat yang lain bercerita, bahwa ia sudah berubah. Ia sudah tidak miras lagi. Ia mengikuti sepupunya untuk mengurus proyek jalan di Muna dan Muna Barat. Sebagai sahabat saya turut berbangga, karena ia turut mendengarkan nasehatku.
Namun yang terjadi selanjutnya, justru mengejutkan. Beberapa bulan terkahir kata seorang sahabat ia kembali kedunianya, miras. Ia sering mengancam, bahkan memukul orang-orang jika sudah mabuk. Kelakukan itu kemudian berakhir dengan pembunuhan. Ia dengan sahabat-sahabatnya menganiaya orang sekampungnya, hingga meninggal dunia. Saat ini ia ada ditangan kepolisian, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sebagai seorang sahabat, saya turut bersedih atas apa yang menimpah sahabat itu. Namun saya juga menyesalkan perbuatannya, yang telah menghilangkan nyawa seseorang. Dalam beberapa bulan, mentalnya kembali jatuh hingga ia kembali pada dunianya yang dulu. Miras, berkelahi hingga mengancam orang-orang. Ia kembali rapuh dan jatuh kepelukan pesta miras dengan sahabat-sahabatnya yang lain.
Ahh....hidup memang perih. Namun dengan keperihan itu, seharusnya dijadikan peluru untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Kita yang muda selalu menghadapi banyak tantangan. Jika kita rapuh, maka kita akan jatuh pada lubang yang sama. Jika tidak, maka kita bisa saja akan memenangi kehidupan ini.

                                                                                    Laode Halaidin                                                                                                                                        Kendari, 31 Maret 2018

02 Maret 2018

Potret Dinasti Politik Asrun dan Gejala Amoral Familism

Sumber foto: Pribadi

Nasi sudah jadi bubur
. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk Asrun dan anaknya Adriatma Dwi Putra (ADP), setelah nasibnya berada ditangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Asrun yang merupakan calon Gubernur Sulawesi Tenggara, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK bersama anaknya ADP dan sepuluh orang lainnya pada Rabu dini hari. Langkahnya untuk memperebutkan kursi nomor satu di Sultra, untuk saat ini dipastikan akan terhenti.
***
Siapa yang tidak mengenal Asrun dan keluarganya di daratan Sulawesi Tenggara, terutama di kota Kendari! Semua pasti mengenal. Asrun dan keluarganya sangat populer, terutama dalam membangun dinasti politiknya beberapa tahun terakhir.
Awal mulanya sekitar pada tahun 2007 lalu, saat pilkada langsung pertama diadakan di kota Kendari. Asrun yang berpasangan dengan Musaddar berhasil memenangi pertarungan politik Kendari. Asrun-Musaddar menggeser empat pasangan lainnya yakni Musakkir Mustafa-Ridwan Abunawas, Asrun Tombili-Anas Nikoyan, Baharumin A. Kasim-M. Yani KM dan Muh. Jusuf P-La Ode Khalifa. Kemenangan itu merupakan awal, yang lalu semakin mengokohkan tampuk kekuasaan Asrun dan keluarganya hingga periode-periode berikutnya.
Selama lima tahun memimpin kota Kendari 2007-2012, Asrun tampaknya semakin populer saja. Ia dianggap berhasil membangun kota Kendari yang bersih dan kota layak anak, yang lalu menyabet beberapa kali piala adipura. Selama kepemimpinannya, Kendari dipoles sedemikian rupa untuk menjadikannya kota yang lebih modern. Kota Kendari berhasil berubah pesat, terutama banyaknya pembangunan ruko dan hotel di tengah dan sudut kota. Maka wajar jika setiap orang, kota Kendari sering dijuluki sebagai kota ruko.
Jika ditengah dan disudut kota berlimpah kemewahan untuk orang-orang yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik, maka lain halnya dengan wilayah yang berada di pinggiran kota Kendari. Wilayah seperti di Purirano kita menyaksikan bagaimana sebagian masyarakat hidup dalam ketidakadilan. Kesenjangan sosial semakin nampak, tatkala kita menyempatkan waktu untuk melihat dan bercerita dengan masyarakat. Bantuan-bantuan yang diperuntungkan bagi keluarga yang tidak mampu sering tidak tepat sasaran. Alasannya, karena warga tersebut tidak memilih sang wali kota yang terpilih.
Nampaknya, kekuasaan Asrun tidak berhenti sampai disitu. Persoalan suka dan tidak disukai warganya baginya adalah biasa. Semua hanya persoalan dinamika ditengah kehidupan masyarakat yang tidak akan membuatnya turun dari tampuk kekuasaan. Yang diperlukannya, hanya perlu menjaga basis agar tetap solid, merapikan struktur birokrasi dalam barisan pendukung serta mempertebal kekuatan finansial untuk memenangi pemilihan wali kota berikutnya.
Hal itu terbukti ketika pemilihan wali kota tahun 2012, Asrun bersama Musaddar keluar sebagai jawara untuk ke dua kalinya. Sebagai petahana, ia mengalahkan pesaing-pesaingnya dengan mudah. Isu dengan menggunakan mesin birokrasi dikalangan masyarakat sangat sulit terbendung. Kemenangan Asrun kala itu dianggap tak pernah terlepas dengan bongkar-pasang birokrasinya yang dimulai dari kepala dinas, camat hingga lurah.  Ia menempatkan pendukungnya pada posisi strategis yang bisa menggerakan masa untuk memilihnya.
Bukan saja itu. Rupanya informasi yang santer beredar ditengah masyarakat adalah adanya politik uang. Dari keterangan beberapa masyarakat mengaku diberikan amplop dengan sejumlah uang pada saat sebelum pemilihan. Kebiasaan-kebiasaan itu rupanya terus berlanjut, tatkala dua anak Asrun maju sebagai calon anggota DPRD Provinsi dan kota. Dua anaknya tersebut berhasil duduk dikursi legislatif daerah pada pemilihan 2015 lalu secara bersamaan. Adriatma Dwi Putra terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi dan menjabat sebagai ketua komisi III, sementara Asrizal Pratama Putra menjadi anggota DPRD kota sebagai ketua fraksi PAN.
Kuku Dinasti Politik Asrun
Selama Asrun duduk dikursi empuknya untuk kedua kalinya dengan menahkodai Kendari selama lima tahun 2012-2017, rasanya tak banyak perubahan. Wajah Kendari tergolong datar, biasa-biasa saja. Dari segi pembangunan, tak banyak peningkatan signifikan yang dikerjakan pemerintahan Asrun. Dalam setiap pertemuan ia hanya mempopulerkan salah satu keberhasilannya yakni membangun pasar sentral dan pasar baru yang lebih modern. Namun pasar-pasar tersebut terutama pasar baru bukan tanpa masalah. Sejak pasar tersebut diresmikan, banyak polemik yang terjadi, terutama mahalnya sewa los dan sepinya para pengunjung, pembeli. Sama halnya dengan pembangunan infrastruktur jalan, disinyalir banyak menimbulkan masalah.
Yang nampak memang ada kesan bahwa dalam periode keduanya, Asrun sedang menata dinastinya berkuasa di Kendari. salah satu bukti nyata yakni terpilihnya kedua anaknya sebagai anggota legislatif Provinsi dan Kota tahun 2015 lalu secara bersamaan. Setelah selesai masa jabatannya menjadi wali kota, Asrun kemudian mencalonkan anaknya ADP untuk menggantikan posisinya pada tampuk kekuasaan.
Disinilah awal mula dinasti politik Asrun terbangun dengan kokoh. Rasanya ia tidak ingin menyerahkan kekuasaannya pada pihak lain. Ketika ia ingin berkuasa di tingkat provinsi maka salah satu strategi yang diperlukan, dengan menancapkan kuku-kuku dinasti politiknya dengan kuat. Kemenangan anaknya merupakan harga mati yang harus dipertaruhkan agar ia dapat melanggengkan kekuasaannya pada tingkat provinsi. Maka jalan lain pun diambil, termasuk memanipulasi pilkada, menggunakan politik uang dan mesin birokrasi.
Pada pilkada serentak 2017, anaknya Adriatma Dwi Putra berhasil keluar sebagai jawara untuk menahkodai Kendari selama lima tahun kedepan 2017-2022. Adriatma Dwi Putra-Zulkarnaen Kadir mengungguli dua pesaingnya dengan perolehan suara 41,00 persen, Abdul Razak-Andi Haris Surahman sebesar 36,86 persen, dan Muh. Zayat Kaimoedin-Suri Syahriah Mahmud dengan suara 22,14 persen. Kemenangan itu semakin mengukuhkan bahwa dinasti politik Asrun sulit untuk dihentikan seperti halnya Ratu Atut di Banten.
Dinasti politik yang dibangun kemudian tidak berhenti sampai disitu. Asrun semakin melebarkan sayap dinastinya pada jajaran birokrasi. Dipemerintahan anaknya ADP sebagai wali kota, Asrun dengan lihai mulai merancang yang lalu menempatkan jabatan penting pada barisan keluarganya. Dari istri, adik kandung, Ipar hingga kemenakan. Hal ini merupakan salah satu strategi agar disetiap pertarungan politik ia dengan muda memobilisasi massa untuk memenangkannya.
Praktik itu terlihat, ketika istri Asrun, Sri Yastin menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Kota Kendari. Hasria Mahmud, adik kandung Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan KB Kota Kendari. Adik kandung Asrun lainnya, Askar Mahmud menjabat sebagai Kepala Bappeda Kota Kendari sejak tahun 2013 hingga sekarang.
Berikutnya adalah Sri Yusnita, kemenakan Asrun, menjabat sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Kendari. Zainal Arifin, sepupu sekali Asrun yang menjabat sebagai Kepala Badan Pegawai dan Peningkatan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Kendari. Muhammad Saiful, sepupu sekali Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Kendari. Hamsir Madjid, sepupu sekali Asrun lainnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Sosnakertrans) Kota Kendari.
Dari keluarga Ipar, terdapat nama Sartini Sarita, adik ipar Asrun yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kota Kendari. Daming, ipar Asrun, menjabat sebagai Kepala PDAM Kota Kendari dan terakhir Sri Sulastri, ipar Asrun lainnya menjabat sebagai Kepala Bidang Pariwisata Kota Kendari. Dinasti lainnya juga tersebar dibeberapa kabupaten yakni Surunuddin Dangga yang merupakan paman Asrun menjabat sebagai Bupati Konawe Selatan. Imran, besan Asrun, mantan Bupati Konawe Selatan selama dua periode. Dan berikutnya Ahmad Sjafei, besan Imran, menjabat sebagai Bupati Kolaka.
Dinasti Politik Melahirkan Amoral Familism
Lingkaran kekuasaan dinasti politik Asrun memang terus mengakar sejak beberapa tahun yang lalu. Semenjak menjadi wali kota Kendari tahun 2007, keluarga Asrun satu per satu memasuki politik praktis hingga birokrasi. Diawali oleh dua anaknya, ADP dan Asrizal Pratama Putra pada tahun 2015, lalu paman dan istri, adik kandung, ipar hingga kemenakan memasuki birokrasi. Dan pada pilkada serentak 2017, Asrun mencalonkan anaknya ADP sebagai wali kota Kendari dan berhasil memperoleh kemenangan. Setelah itu Asrun, ingin menancapkan kekuasaannya kembali pada tingkat provinsi pada pilkada Juni mendatang.
Dinasti politik yang dibangun setiap kepala daerah tentu mempunyai dampak yang serius bagi keberlanjutan demokrasi, berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali Asrun dan keluarganya, mereka mencoba mengebiri demokrasi yang lalu mengabaikan kompetensi dan rekam jejak untuk kader-kader lain. Bukan saja itu, dinasti politik juga bisa mengebiri masyarakat dalam menentukan pilihan. Masyarakat tidak lagi menentukan pilihannya, tetapi telah dipilihkan oleh elit-elit yang terlibat dalam pertarungan politik.
Disisi yang lain, dinasti politik sangat rawan menimbulkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), yang lalu dapat merusak tatanan sosial hingga pemimpin dan keluarga itu sendiri. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa wali kota Kendari ADP dan ayahnya Asrun, merupakan potret buram dimana dinasti politik itu bermasalah. Dalam praktiknya, dinasti politik sering memanipulasi kebijakan, penyalahgunaan wewenang hingga penyelewengan keuangan negara.
Dalam teori Edward Banfled, inilah yang disebut dengan amoral familism yakni suatu budaya yang kurang komunitarian tetapi sangat memperkuat hubungan keluarga. Pembahasan kebijakan hanya berada dalam lingkaran keluarga, yang menyebabkan tidak berjalannya fungsi checks and balances. Sehingga bisa saja kebijakan itu dibuat hanya karena suatu kewajiban untuk membantu, yang lalu membagi-bagikan segala sumber daya pada keluarga atau kelompok.
Lebih lanjut Banfled menegaskan bahwa amoral familism memberikan kesempatan pada seseorang untuk terus berbuat korupsi, lalu memperkuat tingkah-laku yang menyelewengnya dari nilai-nilai universalisme serta sistem merit. Maka dari itu lahirlah korupsi yang membudaya, melalui tindakan yang dilakukan terus menerus. Budaya itu lalu menjadi pola bagi individu dan kolektivitas untuk berprilaku, bertindak, bersikap dan berpikir.
Menurut Emile Durkheim, budaya yang semula diciptakan manusia telah berubah menjadi fakta sosial, sehingga sulit bagi manusia yang dilingkupinya untuk tidak terpengaruh. Sama halnya korupsi yang telah membudaya yang diciptakan oleh sekelompok manusia juga merupakan fakta sosial yang membuat orang sulit keluar dan menjauh karena bersifat memaksa. Maka apa yang terjadi dengan dinasti politik Asrun dan keluarganya memang suatu gejala amoral familism, karena perbuatan itu justru dengan muda mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.
Salah satu penyebabnya adalah miskinnya kesadaran moral yang lalu melahirkan perbuatan korupsi. Orang-orang seperti itu menganggap, korupsi sebagai sesuatu yang rasional untuk dilakukan, suatu fakta sosial, bukan lagi aib yang kemudian dapat mempermalukan nama baik keluarga.

                                                                                    Laode Halaidin
                                                                                    Kendari, 02-03-2018

17 Februari 2018

Pilgub Sultra: Kepulauan versus Daratan

Sumber: kabarsuluh.com
MELIHAT peta pertarungan politik Pilgub di Sulawesi Tenggara hari ini memang sangat menarik. Bagaimana tidak, setelah kepulauan Muna kehilangan figur untuk tampil dalam arena pertarungan politik, kini tinggal menyisahkan dua kelompok yang saling bersaing yakni kepulauan Buton dan daratan Sulawesi Tenggara.
Hal itu bisa terlihat dari masing-masing pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur. Asrun berpasangan dengan Hugua atau gabungan daratan-kepulauan (etnik Tolaki-Buton), Ali Mazi dan Lukman Abunawas, kepulauan-daratan (etnik Buton-Tolaki), serta Rusda Mahmud dan Laode Sjafei Kahar, daratan-kepulauan (etnik Bugis-Buton).
Jika dibandingkan dengan Pilgub tahun lalu, etnik dari kepulauan Buton terlihat lebih mendominasi yakni terdapat tiga etnik Buton, dua Tolaki dan satu Bugis. Pilgub kali ini mengindikasikan adanya pertarungan identitas etnik dalam arena politik lokal di Sulawesi Tenggara akan sengit.
Dalam buku disertasi Sofyan Sjaf menguraikan bahwa dalam arena pertarungan ekonomi politik lokal di Sulawesi Tenggara, masing-masing aktor seringkali memproduksi doxa pemisahan kelompok etnik dengan istilah daratan versus kepulauan. Doxa itu kemudian direproduksi dengan menyertakan kesejarahan kerajaan tradisional dari masing-masing etnisitas.
Etnik Tolaki misalnya mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Konawe dan Mekongga yang berkuasa di daratan Sulawesi Tenggara. Etnik Buton mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Buton yang menguasai kepulauan Buton dan Wakatobi. Sementara etnik Muna mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Muna yang menguasai kepulauan Muna itu sendiri.
Berbeda dengan daerah-daerah lain, dalam aras Sulawesi Tenggara, perebutan kekuasaan politik yang dikedepankan aktor adalah politik identitas etnik. Masing-masing aktor selalu berusaha memproduksi dan memanfaatkan kedekatan etnisitas untuk mengakumulasi kuasa atas ekonomi dan politik. Hal itu mengindikasikan bahwa politik identitas etnik di Sulawesi Tenggara sudah menjadi instrumen untuk merebut kekuasaan politik. Etnik yang dominan selalu dianggap menjadi pemenang dalam setiap arena perebutan kursi nomor satu di Sultra.
Koalisi Dua Etnik Yang Berbeda
Meskipun demikian, etnik mayoritas di daratan Sulawesi Tenggara dalam setiap Pilgub tidak pernah berkoalisi sesama etnik. Kemenangan mantan gubernur Nur Alam dua periode yang saat ini tengah berkasus ditopang oleh wakilnya yang berasal dari kepulauan Muna yakni Saleh Lasata. Meskipun saat itu terdapat Mahmud Hamundu yang berasal dari kepulauan Muna, Nur Alam berhasil merebut basis suara terbanyak di Muna. Sama halnya dalam pertarungan periode keduanya. Nur Alam berhasil merebut suara terbanyak di Muna yang mendominasi kandidat lain seperti Ridwan Bae yang berasal kepulauan Muna itu sendiri.
Namun untuk laga Pilgub tahun ini, Muna sepertinya terlangkahi. Kekalahan figur Muna dalam pemilihan wali kota Kendari menjadi alasan mengapa aktor politik Muna tidak diperhitungkan dalam Pilgub kali ini. Pemilih etnik Muna terlihat pragmatis dan muda dipengaruhi dengan iming-iming sejumlah uang. Ini menjadi ‘catatan hitam’ bagi kepulauan Muna ketika setiap figur maju menjadi kandidat dalam setiap pertarungan politik. Di sisi yang lain, suara pemilih etnik Muna terlihat seksi, karena diperebutkan oleh tiga kandidat calon yang saat ini sedang bersaing.
Jika Melihat pertarungan elektoral di Sulawesi Tenggara, ada kesan bahwa pertarungan Pilgub kali ini antara kepulauan lagi-lagi menantang daratan. Hal itu terlihat saat Ali Mazi maju kembali untuk ketiga kalinya pada tahun ini. Setelah dua kali mengalami kekalahan 2007 dan 2012, kini Ali Mazi mencalonkan diri kembali dengan menggandeng Lukman Abunawas dari etnik Tolaki atau daratan. Tahun 2007 dan 2012, Ali Mazi menggandeng etnik yang sama dengan saat ini.
Sudah tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Apalagi Lukman Abunawas sangat populer dikalangan masyarakat Konawe. Di Konawe, Lukman Abunawas berhasil menjadi Bupati selama dua periode. Setelah itu, Lukman juga menjadi Sekda Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari segi popularitas dan basis pendukung tentu Lukman menjadi pilihan yang rasional, sebab Sultra kental dengan politik identitas etnik. Memang ini sudah menjadi fakta atau kenyataan, bahwa selama pemilihan langsung terutama pilgub dan pilwakot tidak pernah ada yang berani berkoalisi sesama etnik. Hanya saja sejauh mana koalisi dua etnik ini akan memberikan insentif perluasan basis masih menjadi pertanyaan besar. Persoalannya, Lukman menghadapi lawan yang juga popularitas sesama etniknya sangat tinggi yakni Asrun, mantan wali kota Kendari selama dua periode.
Sama halnya dengan Ali Mazi, yang tengah menghadapi lawan yang sangat populer dilihat dari sesama etniknya yakni Hugua. Hugua adalah ikon Wakatobi. Ia sangat populer dikalangan masyarakat Buton terutama Wakatobi karena berhasil memimpin daerah itu selama dua periode. Selama menjadi Bupati Wakatobi, Hugua cukup terkenal karena keberhasilannya memperkenalkan laut Wakatobi yang memiliki keindahan laut dan terumbu karang terbesar dunia. Hugua yang menjadi calon wakil Gubernur dari Asrun diprediksi akan menjadi pesaing terberat Ali Mazi di kepulauan Buton.
Sementara koalisi  Rusda Mahmud dan Laode Sjafei Kahar kemungkinan besar mempunyai basis suara di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Buton dan Buton Selatan. Rusda Mahmud pernah memimpin Kolaka Utara selama dua periode, sementara Laode Sjafei Kahar pernah menjadi bupati Buton.
Suatu Kenyataan
Bagi Sofyan Sjaf, meski identitas etnik sebagai instrumen kekuasaan  sudah sejak lama berlangsung, kebangkitannya mulai tampak ketika rezim Orde Baru tumbang dan pemilihan kepala daerah langsung dijadikan sebagai instrumen untuk memilih pemimpin daerah. Dalam aras Sulawesi Tenggara, identitas etnik adalah suatu fakta yang kemudian memberikan dampak terhadap dominannya etnik tertentu terhadap etnik yang lainnya. Bagi pihak-pihak tertentu, mereproduksi identitas etnik dalam setiap arena perebutan kekuasaan ekonomi-politik adalah suatu kewajaran.
Namun ada dampak-dampak yang cukup serius saat identitas etnik direproduksi dengan cara-cara yang berlebihan. Suara-suara perpecahan, pemekaran wilayah dan konflik kekerasan merupakan bayang-bayang yang akan menghantui. Lebih jauh lagi, praktek politik identitas etnik menimbulkan ketidakadilan bagi etnik minoritas.
Dalam proses pilkada, politik identitas etnik melahirkan proses jual-beli suara yang kemudian menyebabkan kepala daerah yang terpilih rentan melakukan praktek korupsi. Hal lainnya, terjadinya kesenjangan pembangunan antara daratan dan daerah kepulauan. Misalnya saja seperti yang terjadi di kepulauan Muna. Selama Nur Alam menjadi Gubernur dua periode, jalan Provinsi di Kepulauan Muna hampir tidak diperhatikan sama sekali hingga rusak para. Berbeda dengan jalan Provinsi yang terdapat di daratan Sulawesi Tenggara. Jalan Provinsinya diperhatikan, diperlebar dan diperbaiki secara terus menerus.
Dengan demikian, identitas etnik tentu harus dilihat bukan sebagai sumber akar masalah. Identitas etnik harus dilihat sebagai kenyataan kemajemukan atas banyak suku yang eksis di Sulawesi Tenggara. Etnik adalah bangunan yang harus dijaga, agar kemajemukan tetap berada ditengah-tengah masyarakat.
Yang salah, memanfaatkan politik identitas etnik untuk kepentingan politik praktis, pribadi dan kekuasaan kelompok aktor tertentu. Ini harus dihindari. Sebab jika tidak, Sulawesi Tenggara tidak bisa berkembang pesat atau menjadi daerah yang makmur dan penuh dengan ketidakadilan. Pilkada hanya akan menjadi pertarungan elit lima tahunan, dimana harapan-harapan masyarakat terus digantung hingga Pilkada berikutnya.

                                                                                       Kendari, 17 Februari 2018
                                                                                       Laode Halaidin

16 Januari 2018

Antara Diperhatikan, Dibuang dan Dipakai

Pixabay

Ini bukan kisah hidup. Ini adalah sebuah pergumulanku dalam mengarungi hidup. Banyak hambatan-hambatan, namun aku terus mencari. Hidupku selalu terombang-ambing seperti dilautan lepas yang sehabis kekaraman kapal. Dilautan itu aku hanya memakai pelampung, terbawah ombak entah kemana. Namun aku ingin terus hidup, untuk mengubah pemandangan disepanjang jalan yang kususuri.
***
Hari-hari saya berjudi dengan kehidupan. Memang ini adalah satu-satunya jalan hidup yang harus kulalui. Menjalani suka dan duka hidup. Sejak menginjakan kaki di tanah ini, saya sudah menduga perjalananku akan terasa berat. Ada jalan-jalan yang tak bisa kutembus. Ada lorong-lorong gelap yang akan membayangi jalanku. Disana saya akan terentang dibuhul jalanan ataukah menang mengarungi samudra.
Sejak disini, perkenalanku makin melebar hingga bertemu dengan beberapa penulis. Saya juga berkenalan dengan banyak orang dari para aktivis, cendekiawan hingga disebut intelektual. Sebagai pemuda, kadang saya cukup menghabiskan waktu dengan mereka-mereka untuk mendiskusikan banyak hal.
Dengan mereka saya seperti menemukan duniaku. Dengan membaca banyak buku dan menulis, saya seperti menemukan butir-butir permata dihamparan banyak pasir. Itulah dunia yang paling mengagumkan. Itulah dunia yang paling menggairahkan. Maka pencarian itu tak pernah terhenti, karena hidup adalah sebuah proses yang tak pernah selesai.
Dalam pencarianku itu, saya bertemu banyak guru yang mengajariku tentang kejernihan berpikir, keuletan dalam mewujudkan mimpi serta nutrisi-nutrisi bagaimana agar kita bisa mencapai sekolah S2. Saya menyambut baik masukan-masukan itu sembari meratapi jalan hidup yang telah kususuri.
Guru saya itu (saya sering menyebut mereka demikian) adalah serupa pemandu atau kompas tatkala kita berada dilorong yang senyap. Ia adalah mulut yang tak pernah bosan, memberi kita dari tetes hingga menggumpal membentuk samudra bahasa, motivasi hingga semangat. Ia serupa malaikat, yang hendak mengantarkan kita pada lubang kecil menuju yang besar. Dari lorong yang gelap hingga menuju yang terang. Dari jalan yang terjal berkerikil ke jalan yang mulus, semulus jalan kereta api.
Bagi saya, itu semua adalah kebaikan yang perlu disambut dengan hati yang jernih. Tatkala bertemu dengannya, saya selalu memasang kuping dengan baik mendengarkannya serupa ceramah yang menggemah. Dan itu terus diulang-ulang. Ditengah hamparan gurun pasir kita diberi harapan bahwa disana masih ada kehidupan, air dan dunia.
Baginya, saya serupa seorang pengelana yang kehilangan pijakan, harapan dan mungkin seorang yang kehilangan dunianya. Ia berkelakar tentang jalan yang penuh tantangan dan berat yang sama sekali tak kumengerti. Ia hanya bisa memberikanku sebotol air, bukan menunjukan dimana air itu berada.
Kadang-kadang saya bertanya-tanya. Bisakah kita mewujudkannya bila kita sekadar diberi harapan-harapan? Setiap kali bertemu dengannya, ia selalu memberikan harapan bahwa disana ada jalan. Saya serupa seorang tentara yang ditugaskan di medan laga untuk berperang dengan senjata tanpa peluru. Saya diperhatikan, dikuatkan dan dilatih, tetapi sesungguhnya setelah diterjunkan sama halnya dibuang.
Yang saya jalani memang selalu tak mudah. Kadang terbersit dalam pikiran, perjalanan hidupku hanya dihinggapi oleh keruntuhan demi keruntuhan. Saya berguru dari satu guru ke guru yang lain. Yang saya dapatkan hanya perhatian, harapan dan diberikan serupa nutrisi agar tetap kuat menghadapi masa depan yang tak tentu arah. Selebihnya tak ada.
Yang lainnya adalah ketika saya bertemu dengan seseorang yang mempunyai pribadi yang juga baik. Saya cukup segan dan menghormatinya. Ia termasuk orang yang irit untuk hanya sekadar bercakap-cakap. Soal pekerjaan ia selalu banyak yang bicara.
Setiap kali bertemu ia tak pernah membicarakan soal sekolah ke jenjang yang lebih tinggi S2. Apalagi memberikan motivasi, penguatan atau nutrisi-nutrisi lainnya. Hubungan kami hanya sekadar hubungan kerja tim. Saya merasakan tak lebih.
Saat saya bercerita tentang keinginan sekolah S2, ia hanya diam. Saya kadang berpikir, mengapa ia memanggilku bekerja dengannya. Saya tak butuh kerja dengan gaji yang demikian. Dari situ saya berpikir bahwa saya sesungguhnya dibuang. Mereka hanya memakai jasaku untuk menuntaskan pekerjaannya. Saya dibuang tapi masih dipakai untuk sesuatu pekerjaan. Maka ini sama halnya, saya hanya diberikan harapan-harapan. Saya hidup antara diperhatikan, dipakai dan dibuang.
Namun apapun itu, saya telah menemukan duniaku. Jalanku cukup terjal, namun tak akan pernah menghentikan pencarianku. Setiap hidup selalu memberikan pelajaran. Dan setiap pelajaran selalu ada hikmah yang terselip, yang lalu menjadi pelajaran hidup selanjutnya.
Keinginanku untuk S2 memang tak pernah terbendung. Bahkan saya mau bersimpuh dibawah altar kepada mereka yang berilmu pengetahuan. Semoga ada orang-orang yang menjadi guru buatku, menjadi pemandu atau kompas untuk menuju ke sana.

                                                                                    Kendari, 17-01-2017

09 Januari 2018

Saatnya Kaum Muda Merebut Kembali Ruang Politik

Tokoh-Tokoh Sumpah Pemuda, Tahun 1928

Kemenangan aktivis muda pro demokrasi Hongkong dalam merebut kursi dewan legislatif 2016 lalu, harusnya menjadi angin segar bagi anak-anak muda di tanah air. Keberhasilan itu menjadi catatan penting bahwa kaum muda sudah tidak lagi dipandang sebelah mata dalam menggerakan sebuah perubahan. Politik bukan hanya ruang untuk mereka yang tua, tetapi juga para kaum muda. Yang muda, saatnya masuk digelanggang politik.
Pertarungan politik di tanah air akan sengit terjadi pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu presiden dan legislatif 2019 mendatang. Ingar-bingar tahun politik itu seringkali menarik perhatian banyak orang. Para pengamat dan peneliti di media massa dan sosial media banyak berseliweran memaparkan analisanya. Tahun ini dan kedepan merupakan tahun politik yang paling dinanti-nanti. Jalan pertarungan politik kian dekat, perang opini sudah dimulai, membuat banyak orang tidak sabar menantinya.
Kendati demikian, yang luput dari perhatian adalah tidak terjamahnya posisi kaum muda ditahun politik itu. Apakah kaum muda menjauh dari politik? Atau jangan-jangan kaum muda hanya akan dijadikan sebagai basis pengumpul suara saat yang tua-tua mencari dukungan.
Suara-suara kaum muda dalam politik selama ini memang seakan sunyi. Yang terlihat, munculnya generasi-generasi tua besutan rezim Orde Baru, datang dengan agenda reformasi yang sudah berganti jubah. Anak muda sekan lupa jalan pulang, dimana selama ini tempat berjuangnya.
Jika menilik dari sejarah, peran kaum muda sejatinya tidak dapat dikesampingkan dalam arena pertarungan politik. Kaum muda berperan besar dalam sejarah perjalanan bangsa. Sejak masa perjuangan dan setelah kemerdekaan, kaum muda terus terlibat aktif sebagai katalisator api perjuangan, baik untuk melepaskan diri dari penjajah maupun menjaga kemerdekaan bangsa.
Sumpah pemuda 1928 merupakan salah satu bukti yang menjadi catatan penting dalam sejarah, dimana kaum muda terlibat dalam perjuangan politik. Tidak hanya itu, setelah kemerdekaan pun kaum muda masih melibatkan diri dalam berbagai medan laga, saat pasukan Belanda mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara sekutu. Kaum muda membentuk suatu divisi khusus yang dinamakan Tentara Pelajar dan Tentara Republik Indonesia Pelajar yang umumya berumur 17 tahun.
Suara-suara para kaum muda itu kemudian terus bertransformasi, tatkala bangsa ini terus dirongrong oleh pihak-pihak oligarkis dan otoriter yang terus membelenggu kehidupan rakyat miskin. Ada pesan moral yang mereka emban untuk membela mereka yang tertindas oleh kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung absolut. Kaum muda dari berbagai lintas golongan berhasil membawa bangsa ini kedalam fase kehidupan yang lebih terbuka dan demokratis. Orde Lama dan Orde Baru sukses dijungkalkan dari kekuasaannya. Sayap reformasi kian melebar.
Dengan terbukanya keran demokrasi yang merupakan babak baru era reformasi dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, kaum muda dan politik justru seakan berjarak. Politik seakan bukan lagi ruang bagi kaum muda untuk mengaktualisasikan gagasan demi kemaslahatan bersama. Sementara kaum muda sendiri seringkali lebih memilih sikap skeptis, apatis dan merasa alergi terhadap politik. Mereka kaum muda, lebih memilih jalan sendiri, hidup dengan jalan lain yang lebih nyaman dengan sedikit mengambil peran dan akselerasi dalam proses demokrasi.
Akibatnya, keringat, tenaga dan pikiran bahkan darah yang dulu tercucur yang diperjuangkan kaum muda kini hampir sia-sia. Saat ini kaum muda dan politik seperti bersisian jalan, saling bermusuhan. Perjalanan memasuki hampir 20 tahun reformasi yang dikemudikan bernama demokrasi, perjuangan kaum muda seperti kehilangan ruh. Kaum muda hanya bangga dengan euforia kemenangan, namun lupa bahwa saat itu mereka hanya sampai dipersimpangan jalan. Setelah itu, kaum muda jalan sendiri-sendiri, tidak lagi beriringan.
Meretas Jalan, Merebut Ruang Politik
Prince Wong (Kir), Isabella Lo (Tengah) dan Joshua Wong (Kanan), merupakan penggerak Revolusi Payung di Hongkong.

Kemenangan kaum muda Hongkong dalam merebut kursi legislatif harusnya menjadi cermin saat ini bagi kaum muda di tanah air untuk merebut politik Indonesia. Bukan mengesampingkan sejarah kejayaan kaum muda masa lalu yang penuh dengan keberanian, terlibat dalam setiap arena pertarungan politik. Tetapi memang saat ini kita seolah kehilangan jejak sejarah. Atau seperti yang dikatakan dalam tulisan salah seorang budayawan Radhar Panca Dahana, bangsa kita telah menjadi bangsa tanpa sejarah. Kaum muda, seperti mengidap amnesia dan tak peduli lagi dengan sejarah politiknya sendiri.
Trauma kaum muda di masa lalu yang terus direproduksi oleh rezim Orde Baru, menjadi salah satu alasan mengapa kaum muda enggan untuk berpolitik. Pandangan politik yang sudah terlanjur institusional dimana negara menjadi subjek yang kerap diperdebatkan, membuat anak muda kehilangan keberanian. Ada peminggiran narasi politik, yang kemudian membuat kaum muda menjadi kehilangan pijakan. Terlebih lagi ditambah dengan sikap pragmatis partai politik, menutup ruang kaum muda yang ditandai dengan proses kaderisasi yang tidak sistematis dan terencana.
Pada titik ini, partai politik berubah menjadi mesin para elit-elit politik tua yang bekerja tidak sesuai dengan perjuangan ideologis partai. Kaum muda bekerja berdasarkan kekuatan kualitas imajinasi, idealisme yang progresif. Sementara elit politik tua seringkali menempatkan sikap pragmatis, oportunis dan transaksional, bekerja mementingkan golongan, partai dan pribadi.
Fakta menarik yang menjadi acuan adalah ketika anggota legislatif dan banyak kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan KPK. Istilah ‘Ijon Proyek’ sudah menjadi permainan antara politisi dan para pengusaha demi mengeruk keuntungan yang lebih besar. Yang mencengangkan, mereka melakukan kongkalingkong merampas uang negara, lalu hasil korupsi itu ‘dijatah’ hampir semua politisi yang bekerjasama dengan para pengusaha swasta.
Melihat kondisi diatas, keterlibatan kaum muda untuk mengambil peran dari setiap momentum dalam arena pertarungan politik, sudah menjadi keharusan. Tak perlu ditunggu-tunggu lagi. Kaum muda harus berani keluar dari kamar kenyamanan, kemapanan serta harus mampu melihat dengan jeli akar masalah bangsa yang sudah demikian akut.
Karena itu, diskursus politik bukan hanya sekadar melulu tentang persoalan urusan kekuasaan, pengaturan, Parpol, birokrasi, dan lain sebagainya. Politik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah peta jalan kehidupan yang diabdikan untuk mewujudkan kemuliaan yakni memajukan dan mensejahterakan umat.
Hal ini tentu, bisa disepakati apa yang katakan oleh Tan Malaka yang menyatakan bahwa politik harus dimengerti semua orang, karena politik adalah kehidupan sehari-hari. Politik adalah kecerdasan dalam memahami keadaan. Politik selalu hidup dan tumbuh dalam diskursus kemanusiaan, membincangkan tentang keberpihakan moral untuk kepentingan bangsa.
Kaum muda harus memiliki kesadaran, bahwa politik adalah cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita yang telah dibangun di masa lampau. Dengan memanfaatkan jangkuan informasi dan teknologi sebagai media politik yang efektif, kaum muda bisa menyampaikan cita-cita dan gagasan dengan lebih luas. Ruang politik digital atau Cyberpoliticon bisa menjadi jalan alternatif agar kaum muda bisa menginterupsi pemerintah, berpartisipasi dalam setiap kebijakan, bersosialisasi serta menggalang aspirasi.
Menjadi manusia politik (bukan sekedar politisi) tentu harus menjadi patokan dan pilihan para kaum muda. Manusia politik mempunyai keterpanggilan untuk memecahkan segala persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Dengan demikian, kaum muda harus mempunyai pengetahuan politik yang bermoral dan berkeadaban. Kaum muda perlu berpolitik dengan wawasan, belajar memahami dan menguasai masalah serta mampu merumuskan solusi terbaik yang penuh dengan rasa tanggung jawab demi kemajuan bangsa.
Saat ini kaum muda tak perlu risau dengan minimnya pengalaman, yang sering terlontar dari mulut elit-elit politik tua. Kaum muda, kata salah seorang penyair Samuel Ullman, bukanlah suatu fase dalam rentang kehidupan, tapi suatu kondisi pikiran. Lanjut Samuel, ini bukan soal pipi yang bersemu merah, bibir merah padam dan lutut yang lentur. Ini berkenaan dengan tekad, suatu kualitas imajinasi, suatu kekuatan emosi. Inilah kesegaran dari musim semi kehidupan.
Kaum muda adalah harapan bangsa dimasa depan. Dengan kerja-kerja idealisme yang progresif, penuh imajinasi, kaum muda bisa mengambil peran mengikuti pesta demokrasi elektoral lima tahunan. Keterlibatan kaum muda diparlemen, seperti halnya Hongkong tentu menjadi sesuatu yang menarik, menantikan perdebatan-perdebatan politik yang sengit. Membiarkan sang predatoris uang negara berkuasa, sama halnya kaum muda membiarkan rakyatnya dibelenggu dalam kungkungan kemeleratan.
Kini, kaum muda sudah saatnya merebut kembali ruang politik. Kaum muda perlu segera membenahi, menenun kembali politik kebangsaan yang terlanjur kusut dan gaduh tanpa moral.


                                                                       Laode Halaidin
                                                                       Kendari, 10-01-2018