Gambar: Pixabay |
Beberapa bulan yang lalu, saya merasa kaget ketika mendengar seorang sahabat sejak kecil menjadi tersangka pembunuhan. Bagiku ia adalah seorang sahabat yang baik. Di waktu berumur remaja, pemuda itu adalah teman bermain, bercanda dan juga suka bertualang mencari bunga-bunga desa di kampung.
***
Kabar itu datang dari seoarang sahabat, yang saat ini
bekerja di pertambangan Kabaena. Pagi buta ia menelpon dan mengabarkan bahwa di
kampung telah terjadi pembunuhan yang begitu sadis. Saat saya menanyakan siapa
pembunuhnya, ia juga merasa kaget. Dengan penuh kesedihan, ia juga mendengar
informasi bahwa salah satu pembunuhnya salah seorang sahabat di kampung.
Penyebab pembunuhan kata salah seorang sahabat itu karena
adanya minuma-minuman keras. Bersama korban, mereka sama-sama menenggak minuman
tradisional Muna itu, bernama kameko yang berasal dari pohon enau. Lantaran
kelebihan minum, mereka mabuk lalu terjadi perkelahian. Namun, pada saat itu si
korban berhasil melarikan diri.
Disitulah awal mula, yang kemudian berakhir dengan
pembunuhan. Si sahabat ini masih emosi, hingga mencarinya beberapa kali di
kampung. Tak di dapat, mereka melanjutkan minum-minum kembali. Saat si korban
lewat untuk perjalanan menuju ke kebun, sahabat ini mengikuti bersama
teman-temannya hingga terjadi pengroyokan yang mengakibatkan si korban
meninggal.
Di kampung halaman, hal-hal seperti perkelahian memang bukan
sesuatu yang baru. Minum-minuman keras juga bukan sesuatu yang asing. Saat saya
masih duduk dibangku sekolah SMA, saya menjadi bagian dari itu. Mabuk dan nakal
sudah menjadi hal yang lumrah. Jika anak muda tidak melakukan keduanya, ia
dianggap tidak maco alias bencong.
Seperti itulah potret kehidupan di kampung halaman ketika
itu. Di kampung, kami sering disebut sebagai anak-anak pasar. Karena saat itu
pasar sebagai tempat berkumpul kami, baik pagi, siang maupun malam, maka
jadilah kami anak-anak pasar. Di pasar
itulah kami besar, menghabiskan waktu bermain hingga berpisah setelah
menamatkan sekolah SMA.
***
Yang saya kagum dari sahabat itu adalah ia termasuk salah seorang
yang pintar diantara kami, baik di SMP maupun di SMA. Di SMP dan SMA ia sangat
jago mata pelajaran Matematika dan Fisika. Ia juga berhasil juara kelas,
mengalahkan teman-teman yang lain.
Keadaan kami di kampung halaman juga sangat sederhana. Diantara
beberapa sahabat, tak ada yang orang tuanya pegawai negeri. Kami semua lahir
dari keluarga petani miskin. Masa depan yang baik, bagi kami saat itu hanyalah
milik mereka yang punya banyak uang. Tak ada pikiran, kemana kami akan
melangkah setelah menamatkan sekolah. Yang ada dibenak kami, merantau,
sebagaimana masyarakat yang lain.
Saya bertemu sahabat itu, dua tahun yang lalu. Pada bulan September,
ia mencoba ikut untuk mengadu nasib di Kendari. Disepanjang jalan kami
bercerita, bagaimana menghadapi hidup kedepan.
Ia sering bercerita tentang keluarganya yang berhasil. Di DPRD
Muna ia mempunyai banyak keluarga. Ia sering dipanggil untuk kerumahnya, namun
tak pernah memenuhinya. Waktu itu saya hanya mengatakan “ ia sudah kamu ikut
saja dia. Jangan pernah malu, untuk meminta pekerjaan. Toh dia keluargamu. Orang
lain saja dikasih apalagi kamu, sebagai keluarga.”
Keakraban kami dengan sahabat itu sangat baik. Dalam perjalanan,
kami sering memberi masukan. Hari itu, saya mencoba untuk melarangnya
meminum-minuman miras. Sebagai sahabat yang sering nongkrong bersama semenjak SMA,
saya wajib memberitahukan. Karena saya juga sadar, saya alumni alkohol, kita
patut merubah haluan hidup 360 derajat.
Kataku hari itu “ Kita harus menghentikan kelakuan buruk
masa lalu. Kita sama-sama nakal, miras dan lain sebagainya. Kita harus menjalani
hidup hari ini dan kedepan. Yang lalu biarlah, kita tak perlu menoleh. Saya sudah
meninggalkan hal yang demikian, kamu juga harus. Pergilah sama keluargamu, jika
ia memintamu.”
Hari itu ia terlihat semangat. Sebulan di Kendari, ia
menelpon saya untuk kembali ke kampung karena ada kedukaan. Seorang sahabat
yang lain bercerita, bahwa ia sudah berubah. Ia sudah tidak miras lagi. Ia mengikuti
sepupunya untuk mengurus proyek jalan di Muna dan Muna Barat. Sebagai sahabat
saya turut berbangga, karena ia turut mendengarkan nasehatku.
Namun yang terjadi selanjutnya, justru mengejutkan. Beberapa
bulan terkahir kata seorang sahabat ia kembali kedunianya, miras. Ia sering
mengancam, bahkan memukul orang-orang jika sudah mabuk. Kelakukan itu kemudian
berakhir dengan pembunuhan. Ia dengan sahabat-sahabatnya menganiaya orang
sekampungnya, hingga meninggal dunia. Saat ini ia ada ditangan kepolisian,
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sebagai seorang sahabat, saya turut bersedih atas apa yang
menimpah sahabat itu. Namun saya juga menyesalkan perbuatannya, yang telah
menghilangkan nyawa seseorang. Dalam beberapa bulan, mentalnya kembali jatuh
hingga ia kembali pada dunianya yang dulu. Miras, berkelahi hingga mengancam
orang-orang. Ia kembali rapuh dan jatuh kepelukan pesta miras dengan
sahabat-sahabatnya yang lain.
Ahh....hidup memang perih. Namun dengan keperihan itu,
seharusnya dijadikan peluru untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Kita yang
muda selalu menghadapi banyak tantangan. Jika kita rapuh, maka kita akan jatuh
pada lubang yang sama. Jika tidak, maka kita bisa saja akan memenangi kehidupan
ini.
Laode
Halaidin Kendari,
31 Maret 2018
0 komentar:
Posting Komentar