30 Maret 2018

Yang Muda, Yang Rapuh

Gambar: Pixabay

Beberapa bulan yang lalu, saya merasa kaget ketika mendengar seorang sahabat sejak kecil menjadi tersangka pembunuhan. Bagiku ia adalah seorang sahabat yang baik. Di waktu berumur remaja, pemuda itu adalah teman bermain, bercanda dan juga suka bertualang mencari bunga-bunga desa di kampung.
***
Kabar itu datang dari seoarang sahabat, yang saat ini bekerja di pertambangan Kabaena. Pagi buta ia menelpon dan mengabarkan bahwa di kampung telah terjadi pembunuhan yang begitu sadis. Saat saya menanyakan siapa pembunuhnya, ia juga merasa kaget. Dengan penuh kesedihan, ia juga mendengar informasi bahwa salah satu pembunuhnya salah seorang sahabat di kampung.
Penyebab pembunuhan kata salah seorang sahabat itu karena adanya minuma-minuman keras. Bersama korban, mereka sama-sama menenggak minuman tradisional Muna itu, bernama kameko yang berasal dari pohon enau. Lantaran kelebihan minum, mereka mabuk lalu terjadi perkelahian. Namun, pada saat itu si korban berhasil melarikan diri.
Disitulah awal mula, yang kemudian berakhir dengan pembunuhan. Si sahabat ini masih emosi, hingga mencarinya beberapa kali di kampung. Tak di dapat, mereka melanjutkan minum-minum kembali. Saat si korban lewat untuk perjalanan menuju ke kebun, sahabat ini mengikuti bersama teman-temannya hingga terjadi pengroyokan yang mengakibatkan si korban meninggal.
Di kampung halaman, hal-hal seperti perkelahian memang bukan sesuatu yang baru. Minum-minuman keras juga bukan sesuatu yang asing. Saat saya masih duduk dibangku sekolah SMA, saya menjadi bagian dari itu. Mabuk dan nakal sudah menjadi hal yang lumrah. Jika anak muda tidak melakukan keduanya, ia dianggap tidak maco alias bencong.
Seperti itulah potret kehidupan di kampung halaman ketika itu. Di kampung, kami sering disebut sebagai anak-anak pasar. Karena saat itu pasar sebagai tempat berkumpul kami, baik pagi, siang maupun malam, maka jadilah kami anak-anak pasar.  Di pasar itulah kami besar, menghabiskan waktu bermain hingga berpisah setelah menamatkan sekolah SMA.
***
Yang saya kagum dari sahabat itu adalah ia termasuk salah seorang yang pintar diantara kami, baik di SMP maupun di SMA. Di SMP dan SMA ia sangat jago mata pelajaran Matematika dan Fisika. Ia juga berhasil juara kelas, mengalahkan teman-teman yang lain.
Keadaan kami di kampung halaman juga sangat sederhana. Diantara beberapa sahabat, tak ada yang orang tuanya pegawai negeri. Kami semua lahir dari keluarga petani miskin. Masa depan yang baik, bagi kami saat itu hanyalah milik mereka yang punya banyak uang. Tak ada pikiran, kemana kami akan melangkah setelah menamatkan sekolah. Yang ada dibenak kami, merantau, sebagaimana masyarakat yang lain.
Saya bertemu sahabat itu, dua tahun yang lalu. Pada bulan September, ia mencoba ikut untuk mengadu nasib di Kendari. Disepanjang jalan kami bercerita, bagaimana menghadapi hidup kedepan.
Ia sering bercerita tentang keluarganya yang berhasil. Di DPRD Muna ia mempunyai banyak keluarga. Ia sering dipanggil untuk kerumahnya, namun tak pernah memenuhinya. Waktu itu saya hanya mengatakan “ ia sudah kamu ikut saja dia. Jangan pernah malu, untuk meminta pekerjaan. Toh dia keluargamu. Orang lain saja dikasih apalagi kamu, sebagai keluarga.”
Keakraban kami dengan sahabat itu sangat baik. Dalam perjalanan, kami sering memberi masukan. Hari itu, saya mencoba untuk melarangnya meminum-minuman miras. Sebagai sahabat yang sering nongkrong bersama semenjak SMA, saya wajib memberitahukan. Karena saya juga sadar, saya alumni alkohol, kita patut merubah haluan hidup 360 derajat.
Kataku hari itu “ Kita harus menghentikan kelakuan buruk masa lalu. Kita sama-sama nakal, miras dan lain sebagainya. Kita harus menjalani hidup hari ini dan kedepan. Yang lalu biarlah, kita tak perlu menoleh. Saya sudah meninggalkan hal yang demikian, kamu juga harus. Pergilah sama keluargamu, jika ia memintamu.”
Hari itu ia terlihat semangat. Sebulan di Kendari, ia menelpon saya untuk kembali ke kampung karena ada kedukaan. Seorang sahabat yang lain bercerita, bahwa ia sudah berubah. Ia sudah tidak miras lagi. Ia mengikuti sepupunya untuk mengurus proyek jalan di Muna dan Muna Barat. Sebagai sahabat saya turut berbangga, karena ia turut mendengarkan nasehatku.
Namun yang terjadi selanjutnya, justru mengejutkan. Beberapa bulan terkahir kata seorang sahabat ia kembali kedunianya, miras. Ia sering mengancam, bahkan memukul orang-orang jika sudah mabuk. Kelakukan itu kemudian berakhir dengan pembunuhan. Ia dengan sahabat-sahabatnya menganiaya orang sekampungnya, hingga meninggal dunia. Saat ini ia ada ditangan kepolisian, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sebagai seorang sahabat, saya turut bersedih atas apa yang menimpah sahabat itu. Namun saya juga menyesalkan perbuatannya, yang telah menghilangkan nyawa seseorang. Dalam beberapa bulan, mentalnya kembali jatuh hingga ia kembali pada dunianya yang dulu. Miras, berkelahi hingga mengancam orang-orang. Ia kembali rapuh dan jatuh kepelukan pesta miras dengan sahabat-sahabatnya yang lain.
Ahh....hidup memang perih. Namun dengan keperihan itu, seharusnya dijadikan peluru untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Kita yang muda selalu menghadapi banyak tantangan. Jika kita rapuh, maka kita akan jatuh pada lubang yang sama. Jika tidak, maka kita bisa saja akan memenangi kehidupan ini.

                                                                                    Laode Halaidin                                                                                                                                        Kendari, 31 Maret 2018

0 komentar:

Posting Komentar