02 Maret 2018

Potret Dinasti Politik Asrun dan Gejala Amoral Familism

Sumber foto: Pribadi

Nasi sudah jadi bubur
. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk Asrun dan anaknya Adriatma Dwi Putra (ADP), setelah nasibnya berada ditangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Asrun yang merupakan calon Gubernur Sulawesi Tenggara, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK bersama anaknya ADP dan sepuluh orang lainnya pada Rabu dini hari. Langkahnya untuk memperebutkan kursi nomor satu di Sultra, untuk saat ini dipastikan akan terhenti.
***
Siapa yang tidak mengenal Asrun dan keluarganya di daratan Sulawesi Tenggara, terutama di kota Kendari! Semua pasti mengenal. Asrun dan keluarganya sangat populer, terutama dalam membangun dinasti politiknya beberapa tahun terakhir.
Awal mulanya sekitar pada tahun 2007 lalu, saat pilkada langsung pertama diadakan di kota Kendari. Asrun yang berpasangan dengan Musaddar berhasil memenangi pertarungan politik Kendari. Asrun-Musaddar menggeser empat pasangan lainnya yakni Musakkir Mustafa-Ridwan Abunawas, Asrun Tombili-Anas Nikoyan, Baharumin A. Kasim-M. Yani KM dan Muh. Jusuf P-La Ode Khalifa. Kemenangan itu merupakan awal, yang lalu semakin mengokohkan tampuk kekuasaan Asrun dan keluarganya hingga periode-periode berikutnya.
Selama lima tahun memimpin kota Kendari 2007-2012, Asrun tampaknya semakin populer saja. Ia dianggap berhasil membangun kota Kendari yang bersih dan kota layak anak, yang lalu menyabet beberapa kali piala adipura. Selama kepemimpinannya, Kendari dipoles sedemikian rupa untuk menjadikannya kota yang lebih modern. Kota Kendari berhasil berubah pesat, terutama banyaknya pembangunan ruko dan hotel di tengah dan sudut kota. Maka wajar jika setiap orang, kota Kendari sering dijuluki sebagai kota ruko.
Jika ditengah dan disudut kota berlimpah kemewahan untuk orang-orang yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik, maka lain halnya dengan wilayah yang berada di pinggiran kota Kendari. Wilayah seperti di Purirano kita menyaksikan bagaimana sebagian masyarakat hidup dalam ketidakadilan. Kesenjangan sosial semakin nampak, tatkala kita menyempatkan waktu untuk melihat dan bercerita dengan masyarakat. Bantuan-bantuan yang diperuntungkan bagi keluarga yang tidak mampu sering tidak tepat sasaran. Alasannya, karena warga tersebut tidak memilih sang wali kota yang terpilih.
Nampaknya, kekuasaan Asrun tidak berhenti sampai disitu. Persoalan suka dan tidak disukai warganya baginya adalah biasa. Semua hanya persoalan dinamika ditengah kehidupan masyarakat yang tidak akan membuatnya turun dari tampuk kekuasaan. Yang diperlukannya, hanya perlu menjaga basis agar tetap solid, merapikan struktur birokrasi dalam barisan pendukung serta mempertebal kekuatan finansial untuk memenangi pemilihan wali kota berikutnya.
Hal itu terbukti ketika pemilihan wali kota tahun 2012, Asrun bersama Musaddar keluar sebagai jawara untuk ke dua kalinya. Sebagai petahana, ia mengalahkan pesaing-pesaingnya dengan mudah. Isu dengan menggunakan mesin birokrasi dikalangan masyarakat sangat sulit terbendung. Kemenangan Asrun kala itu dianggap tak pernah terlepas dengan bongkar-pasang birokrasinya yang dimulai dari kepala dinas, camat hingga lurah.  Ia menempatkan pendukungnya pada posisi strategis yang bisa menggerakan masa untuk memilihnya.
Bukan saja itu. Rupanya informasi yang santer beredar ditengah masyarakat adalah adanya politik uang. Dari keterangan beberapa masyarakat mengaku diberikan amplop dengan sejumlah uang pada saat sebelum pemilihan. Kebiasaan-kebiasaan itu rupanya terus berlanjut, tatkala dua anak Asrun maju sebagai calon anggota DPRD Provinsi dan kota. Dua anaknya tersebut berhasil duduk dikursi legislatif daerah pada pemilihan 2015 lalu secara bersamaan. Adriatma Dwi Putra terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi dan menjabat sebagai ketua komisi III, sementara Asrizal Pratama Putra menjadi anggota DPRD kota sebagai ketua fraksi PAN.
Kuku Dinasti Politik Asrun
Selama Asrun duduk dikursi empuknya untuk kedua kalinya dengan menahkodai Kendari selama lima tahun 2012-2017, rasanya tak banyak perubahan. Wajah Kendari tergolong datar, biasa-biasa saja. Dari segi pembangunan, tak banyak peningkatan signifikan yang dikerjakan pemerintahan Asrun. Dalam setiap pertemuan ia hanya mempopulerkan salah satu keberhasilannya yakni membangun pasar sentral dan pasar baru yang lebih modern. Namun pasar-pasar tersebut terutama pasar baru bukan tanpa masalah. Sejak pasar tersebut diresmikan, banyak polemik yang terjadi, terutama mahalnya sewa los dan sepinya para pengunjung, pembeli. Sama halnya dengan pembangunan infrastruktur jalan, disinyalir banyak menimbulkan masalah.
Yang nampak memang ada kesan bahwa dalam periode keduanya, Asrun sedang menata dinastinya berkuasa di Kendari. salah satu bukti nyata yakni terpilihnya kedua anaknya sebagai anggota legislatif Provinsi dan Kota tahun 2015 lalu secara bersamaan. Setelah selesai masa jabatannya menjadi wali kota, Asrun kemudian mencalonkan anaknya ADP untuk menggantikan posisinya pada tampuk kekuasaan.
Disinilah awal mula dinasti politik Asrun terbangun dengan kokoh. Rasanya ia tidak ingin menyerahkan kekuasaannya pada pihak lain. Ketika ia ingin berkuasa di tingkat provinsi maka salah satu strategi yang diperlukan, dengan menancapkan kuku-kuku dinasti politiknya dengan kuat. Kemenangan anaknya merupakan harga mati yang harus dipertaruhkan agar ia dapat melanggengkan kekuasaannya pada tingkat provinsi. Maka jalan lain pun diambil, termasuk memanipulasi pilkada, menggunakan politik uang dan mesin birokrasi.
Pada pilkada serentak 2017, anaknya Adriatma Dwi Putra berhasil keluar sebagai jawara untuk menahkodai Kendari selama lima tahun kedepan 2017-2022. Adriatma Dwi Putra-Zulkarnaen Kadir mengungguli dua pesaingnya dengan perolehan suara 41,00 persen, Abdul Razak-Andi Haris Surahman sebesar 36,86 persen, dan Muh. Zayat Kaimoedin-Suri Syahriah Mahmud dengan suara 22,14 persen. Kemenangan itu semakin mengukuhkan bahwa dinasti politik Asrun sulit untuk dihentikan seperti halnya Ratu Atut di Banten.
Dinasti politik yang dibangun kemudian tidak berhenti sampai disitu. Asrun semakin melebarkan sayap dinastinya pada jajaran birokrasi. Dipemerintahan anaknya ADP sebagai wali kota, Asrun dengan lihai mulai merancang yang lalu menempatkan jabatan penting pada barisan keluarganya. Dari istri, adik kandung, Ipar hingga kemenakan. Hal ini merupakan salah satu strategi agar disetiap pertarungan politik ia dengan muda memobilisasi massa untuk memenangkannya.
Praktik itu terlihat, ketika istri Asrun, Sri Yastin menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Kota Kendari. Hasria Mahmud, adik kandung Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan KB Kota Kendari. Adik kandung Asrun lainnya, Askar Mahmud menjabat sebagai Kepala Bappeda Kota Kendari sejak tahun 2013 hingga sekarang.
Berikutnya adalah Sri Yusnita, kemenakan Asrun, menjabat sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Kendari. Zainal Arifin, sepupu sekali Asrun yang menjabat sebagai Kepala Badan Pegawai dan Peningkatan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Kendari. Muhammad Saiful, sepupu sekali Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Kendari. Hamsir Madjid, sepupu sekali Asrun lainnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Sosnakertrans) Kota Kendari.
Dari keluarga Ipar, terdapat nama Sartini Sarita, adik ipar Asrun yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kota Kendari. Daming, ipar Asrun, menjabat sebagai Kepala PDAM Kota Kendari dan terakhir Sri Sulastri, ipar Asrun lainnya menjabat sebagai Kepala Bidang Pariwisata Kota Kendari. Dinasti lainnya juga tersebar dibeberapa kabupaten yakni Surunuddin Dangga yang merupakan paman Asrun menjabat sebagai Bupati Konawe Selatan. Imran, besan Asrun, mantan Bupati Konawe Selatan selama dua periode. Dan berikutnya Ahmad Sjafei, besan Imran, menjabat sebagai Bupati Kolaka.
Dinasti Politik Melahirkan Amoral Familism
Lingkaran kekuasaan dinasti politik Asrun memang terus mengakar sejak beberapa tahun yang lalu. Semenjak menjadi wali kota Kendari tahun 2007, keluarga Asrun satu per satu memasuki politik praktis hingga birokrasi. Diawali oleh dua anaknya, ADP dan Asrizal Pratama Putra pada tahun 2015, lalu paman dan istri, adik kandung, ipar hingga kemenakan memasuki birokrasi. Dan pada pilkada serentak 2017, Asrun mencalonkan anaknya ADP sebagai wali kota Kendari dan berhasil memperoleh kemenangan. Setelah itu Asrun, ingin menancapkan kekuasaannya kembali pada tingkat provinsi pada pilkada Juni mendatang.
Dinasti politik yang dibangun setiap kepala daerah tentu mempunyai dampak yang serius bagi keberlanjutan demokrasi, berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali Asrun dan keluarganya, mereka mencoba mengebiri demokrasi yang lalu mengabaikan kompetensi dan rekam jejak untuk kader-kader lain. Bukan saja itu, dinasti politik juga bisa mengebiri masyarakat dalam menentukan pilihan. Masyarakat tidak lagi menentukan pilihannya, tetapi telah dipilihkan oleh elit-elit yang terlibat dalam pertarungan politik.
Disisi yang lain, dinasti politik sangat rawan menimbulkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), yang lalu dapat merusak tatanan sosial hingga pemimpin dan keluarga itu sendiri. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa wali kota Kendari ADP dan ayahnya Asrun, merupakan potret buram dimana dinasti politik itu bermasalah. Dalam praktiknya, dinasti politik sering memanipulasi kebijakan, penyalahgunaan wewenang hingga penyelewengan keuangan negara.
Dalam teori Edward Banfled, inilah yang disebut dengan amoral familism yakni suatu budaya yang kurang komunitarian tetapi sangat memperkuat hubungan keluarga. Pembahasan kebijakan hanya berada dalam lingkaran keluarga, yang menyebabkan tidak berjalannya fungsi checks and balances. Sehingga bisa saja kebijakan itu dibuat hanya karena suatu kewajiban untuk membantu, yang lalu membagi-bagikan segala sumber daya pada keluarga atau kelompok.
Lebih lanjut Banfled menegaskan bahwa amoral familism memberikan kesempatan pada seseorang untuk terus berbuat korupsi, lalu memperkuat tingkah-laku yang menyelewengnya dari nilai-nilai universalisme serta sistem merit. Maka dari itu lahirlah korupsi yang membudaya, melalui tindakan yang dilakukan terus menerus. Budaya itu lalu menjadi pola bagi individu dan kolektivitas untuk berprilaku, bertindak, bersikap dan berpikir.
Menurut Emile Durkheim, budaya yang semula diciptakan manusia telah berubah menjadi fakta sosial, sehingga sulit bagi manusia yang dilingkupinya untuk tidak terpengaruh. Sama halnya korupsi yang telah membudaya yang diciptakan oleh sekelompok manusia juga merupakan fakta sosial yang membuat orang sulit keluar dan menjauh karena bersifat memaksa. Maka apa yang terjadi dengan dinasti politik Asrun dan keluarganya memang suatu gejala amoral familism, karena perbuatan itu justru dengan muda mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.
Salah satu penyebabnya adalah miskinnya kesadaran moral yang lalu melahirkan perbuatan korupsi. Orang-orang seperti itu menganggap, korupsi sebagai sesuatu yang rasional untuk dilakukan, suatu fakta sosial, bukan lagi aib yang kemudian dapat mempermalukan nama baik keluarga.

                                                                                    Laode Halaidin
                                                                                    Kendari, 02-03-2018

0 komentar:

Posting Komentar