Pixabay |
Ini bukan kisah hidup. Ini adalah sebuah pergumulanku dalam mengarungi hidup. Banyak hambatan-hambatan, namun aku terus mencari. Hidupku selalu terombang-ambing seperti dilautan lepas yang sehabis kekaraman kapal. Dilautan itu aku hanya memakai pelampung, terbawah ombak entah kemana. Namun aku ingin terus hidup, untuk mengubah pemandangan disepanjang jalan yang kususuri.
***
Hari-hari saya berjudi dengan kehidupan. Memang ini adalah
satu-satunya jalan hidup yang harus kulalui. Menjalani suka dan duka hidup. Sejak
menginjakan kaki di tanah ini, saya sudah menduga perjalananku akan terasa
berat. Ada jalan-jalan yang tak bisa kutembus. Ada lorong-lorong gelap yang
akan membayangi jalanku. Disana saya akan terentang dibuhul jalanan ataukah
menang mengarungi samudra.
Sejak disini, perkenalanku makin melebar hingga bertemu
dengan beberapa penulis. Saya juga berkenalan dengan banyak orang dari para
aktivis, cendekiawan hingga disebut intelektual. Sebagai pemuda, kadang saya
cukup menghabiskan waktu dengan mereka-mereka untuk mendiskusikan banyak hal.
Dengan mereka saya seperti menemukan duniaku. Dengan membaca
banyak buku dan menulis, saya seperti menemukan butir-butir permata dihamparan
banyak pasir. Itulah dunia yang paling mengagumkan. Itulah dunia yang paling
menggairahkan. Maka pencarian itu tak pernah terhenti, karena hidup adalah
sebuah proses yang tak pernah selesai.
Dalam pencarianku itu, saya bertemu banyak guru yang
mengajariku tentang kejernihan berpikir, keuletan dalam mewujudkan mimpi serta nutrisi-nutrisi
bagaimana agar kita bisa mencapai sekolah S2. Saya menyambut baik masukan-masukan
itu sembari meratapi jalan hidup yang telah kususuri.
Guru saya itu (saya sering menyebut mereka demikian) adalah
serupa pemandu atau kompas tatkala kita berada dilorong yang senyap. Ia adalah
mulut yang tak pernah bosan, memberi kita dari tetes hingga menggumpal
membentuk samudra bahasa, motivasi hingga semangat. Ia serupa malaikat, yang
hendak mengantarkan kita pada lubang kecil menuju yang besar. Dari lorong yang
gelap hingga menuju yang terang. Dari jalan yang terjal berkerikil ke jalan yang
mulus, semulus jalan kereta api.
Bagi saya, itu semua adalah kebaikan yang perlu disambut
dengan hati yang jernih. Tatkala bertemu dengannya, saya selalu memasang kuping
dengan baik mendengarkannya serupa ceramah yang menggemah. Dan itu terus
diulang-ulang. Ditengah hamparan gurun pasir kita diberi harapan bahwa disana
masih ada kehidupan, air dan dunia.
Baginya, saya serupa seorang pengelana yang kehilangan
pijakan, harapan dan mungkin seorang yang kehilangan dunianya. Ia berkelakar
tentang jalan yang penuh tantangan dan berat yang sama sekali tak kumengerti. Ia
hanya bisa memberikanku sebotol air, bukan menunjukan dimana air itu berada.
Kadang-kadang saya bertanya-tanya. Bisakah kita mewujudkannya
bila kita sekadar diberi harapan-harapan? Setiap kali bertemu dengannya, ia
selalu memberikan harapan bahwa disana ada jalan. Saya serupa seorang tentara
yang ditugaskan di medan laga untuk berperang dengan senjata tanpa peluru. Saya
diperhatikan, dikuatkan dan dilatih, tetapi sesungguhnya setelah diterjunkan sama
halnya dibuang.
Yang saya jalani memang selalu tak mudah. Kadang terbersit
dalam pikiran, perjalanan hidupku hanya dihinggapi oleh keruntuhan demi
keruntuhan. Saya berguru dari satu guru ke guru yang lain. Yang saya dapatkan
hanya perhatian, harapan dan diberikan serupa nutrisi agar tetap kuat
menghadapi masa depan yang tak tentu arah. Selebihnya tak ada.
Yang lainnya adalah ketika saya bertemu dengan seseorang yang
mempunyai pribadi yang juga baik. Saya cukup segan dan menghormatinya. Ia
termasuk orang yang irit untuk hanya sekadar bercakap-cakap. Soal pekerjaan ia
selalu banyak yang bicara.
Setiap kali bertemu ia tak pernah membicarakan soal sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi S2. Apalagi memberikan motivasi, penguatan atau
nutrisi-nutrisi lainnya. Hubungan kami hanya sekadar hubungan kerja tim. Saya
merasakan tak lebih.
Saat saya bercerita tentang keinginan sekolah S2, ia hanya
diam. Saya kadang berpikir, mengapa ia memanggilku bekerja dengannya. Saya tak
butuh kerja dengan gaji yang demikian. Dari situ saya berpikir bahwa saya
sesungguhnya dibuang. Mereka hanya memakai jasaku untuk menuntaskan
pekerjaannya. Saya dibuang tapi masih dipakai untuk sesuatu pekerjaan. Maka ini
sama halnya, saya hanya diberikan harapan-harapan. Saya hidup antara
diperhatikan, dipakai
dan dibuang.
Namun apapun itu, saya telah menemukan duniaku. Jalanku cukup terjal, namun tak akan
pernah menghentikan pencarianku. Setiap hidup selalu memberikan pelajaran. Dan
setiap pelajaran selalu ada hikmah yang terselip, yang lalu menjadi pelajaran
hidup selanjutnya.
Keinginanku untuk S2 memang tak
pernah terbendung. Bahkan saya mau bersimpuh dibawah altar kepada mereka yang
berilmu pengetahuan. Semoga ada orang-orang yang menjadi guru buatku, menjadi
pemandu atau kompas untuk menuju ke sana.
Kendari,
17-01-2017
0 komentar:
Posting Komentar