16 Januari 2018

Antara Diperhatikan, Dibuang dan Dipakai

Pixabay

Ini bukan kisah hidup. Ini adalah sebuah pergumulanku dalam mengarungi hidup. Banyak hambatan-hambatan, namun aku terus mencari. Hidupku selalu terombang-ambing seperti dilautan lepas yang sehabis kekaraman kapal. Dilautan itu aku hanya memakai pelampung, terbawah ombak entah kemana. Namun aku ingin terus hidup, untuk mengubah pemandangan disepanjang jalan yang kususuri.
***
Hari-hari saya berjudi dengan kehidupan. Memang ini adalah satu-satunya jalan hidup yang harus kulalui. Menjalani suka dan duka hidup. Sejak menginjakan kaki di tanah ini, saya sudah menduga perjalananku akan terasa berat. Ada jalan-jalan yang tak bisa kutembus. Ada lorong-lorong gelap yang akan membayangi jalanku. Disana saya akan terentang dibuhul jalanan ataukah menang mengarungi samudra.
Sejak disini, perkenalanku makin melebar hingga bertemu dengan beberapa penulis. Saya juga berkenalan dengan banyak orang dari para aktivis, cendekiawan hingga disebut intelektual. Sebagai pemuda, kadang saya cukup menghabiskan waktu dengan mereka-mereka untuk mendiskusikan banyak hal.
Dengan mereka saya seperti menemukan duniaku. Dengan membaca banyak buku dan menulis, saya seperti menemukan butir-butir permata dihamparan banyak pasir. Itulah dunia yang paling mengagumkan. Itulah dunia yang paling menggairahkan. Maka pencarian itu tak pernah terhenti, karena hidup adalah sebuah proses yang tak pernah selesai.
Dalam pencarianku itu, saya bertemu banyak guru yang mengajariku tentang kejernihan berpikir, keuletan dalam mewujudkan mimpi serta nutrisi-nutrisi bagaimana agar kita bisa mencapai sekolah S2. Saya menyambut baik masukan-masukan itu sembari meratapi jalan hidup yang telah kususuri.
Guru saya itu (saya sering menyebut mereka demikian) adalah serupa pemandu atau kompas tatkala kita berada dilorong yang senyap. Ia adalah mulut yang tak pernah bosan, memberi kita dari tetes hingga menggumpal membentuk samudra bahasa, motivasi hingga semangat. Ia serupa malaikat, yang hendak mengantarkan kita pada lubang kecil menuju yang besar. Dari lorong yang gelap hingga menuju yang terang. Dari jalan yang terjal berkerikil ke jalan yang mulus, semulus jalan kereta api.
Bagi saya, itu semua adalah kebaikan yang perlu disambut dengan hati yang jernih. Tatkala bertemu dengannya, saya selalu memasang kuping dengan baik mendengarkannya serupa ceramah yang menggemah. Dan itu terus diulang-ulang. Ditengah hamparan gurun pasir kita diberi harapan bahwa disana masih ada kehidupan, air dan dunia.
Baginya, saya serupa seorang pengelana yang kehilangan pijakan, harapan dan mungkin seorang yang kehilangan dunianya. Ia berkelakar tentang jalan yang penuh tantangan dan berat yang sama sekali tak kumengerti. Ia hanya bisa memberikanku sebotol air, bukan menunjukan dimana air itu berada.
Kadang-kadang saya bertanya-tanya. Bisakah kita mewujudkannya bila kita sekadar diberi harapan-harapan? Setiap kali bertemu dengannya, ia selalu memberikan harapan bahwa disana ada jalan. Saya serupa seorang tentara yang ditugaskan di medan laga untuk berperang dengan senjata tanpa peluru. Saya diperhatikan, dikuatkan dan dilatih, tetapi sesungguhnya setelah diterjunkan sama halnya dibuang.
Yang saya jalani memang selalu tak mudah. Kadang terbersit dalam pikiran, perjalanan hidupku hanya dihinggapi oleh keruntuhan demi keruntuhan. Saya berguru dari satu guru ke guru yang lain. Yang saya dapatkan hanya perhatian, harapan dan diberikan serupa nutrisi agar tetap kuat menghadapi masa depan yang tak tentu arah. Selebihnya tak ada.
Yang lainnya adalah ketika saya bertemu dengan seseorang yang mempunyai pribadi yang juga baik. Saya cukup segan dan menghormatinya. Ia termasuk orang yang irit untuk hanya sekadar bercakap-cakap. Soal pekerjaan ia selalu banyak yang bicara.
Setiap kali bertemu ia tak pernah membicarakan soal sekolah ke jenjang yang lebih tinggi S2. Apalagi memberikan motivasi, penguatan atau nutrisi-nutrisi lainnya. Hubungan kami hanya sekadar hubungan kerja tim. Saya merasakan tak lebih.
Saat saya bercerita tentang keinginan sekolah S2, ia hanya diam. Saya kadang berpikir, mengapa ia memanggilku bekerja dengannya. Saya tak butuh kerja dengan gaji yang demikian. Dari situ saya berpikir bahwa saya sesungguhnya dibuang. Mereka hanya memakai jasaku untuk menuntaskan pekerjaannya. Saya dibuang tapi masih dipakai untuk sesuatu pekerjaan. Maka ini sama halnya, saya hanya diberikan harapan-harapan. Saya hidup antara diperhatikan, dipakai dan dibuang.
Namun apapun itu, saya telah menemukan duniaku. Jalanku cukup terjal, namun tak akan pernah menghentikan pencarianku. Setiap hidup selalu memberikan pelajaran. Dan setiap pelajaran selalu ada hikmah yang terselip, yang lalu menjadi pelajaran hidup selanjutnya.
Keinginanku untuk S2 memang tak pernah terbendung. Bahkan saya mau bersimpuh dibawah altar kepada mereka yang berilmu pengetahuan. Semoga ada orang-orang yang menjadi guru buatku, menjadi pemandu atau kompas untuk menuju ke sana.

                                                                                    Kendari, 17-01-2017

0 komentar:

Posting Komentar