09 Januari 2018

Saatnya Kaum Muda Merebut Kembali Ruang Politik

Tokoh-Tokoh Sumpah Pemuda, Tahun 1928

Kemenangan aktivis muda pro demokrasi Hongkong dalam merebut kursi dewan legislatif 2016 lalu, harusnya menjadi angin segar bagi anak-anak muda di tanah air. Keberhasilan itu menjadi catatan penting bahwa kaum muda sudah tidak lagi dipandang sebelah mata dalam menggerakan sebuah perubahan. Politik bukan hanya ruang untuk mereka yang tua, tetapi juga para kaum muda. Yang muda, saatnya masuk digelanggang politik.
Pertarungan politik di tanah air akan sengit terjadi pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu presiden dan legislatif 2019 mendatang. Ingar-bingar tahun politik itu seringkali menarik perhatian banyak orang. Para pengamat dan peneliti di media massa dan sosial media banyak berseliweran memaparkan analisanya. Tahun ini dan kedepan merupakan tahun politik yang paling dinanti-nanti. Jalan pertarungan politik kian dekat, perang opini sudah dimulai, membuat banyak orang tidak sabar menantinya.
Kendati demikian, yang luput dari perhatian adalah tidak terjamahnya posisi kaum muda ditahun politik itu. Apakah kaum muda menjauh dari politik? Atau jangan-jangan kaum muda hanya akan dijadikan sebagai basis pengumpul suara saat yang tua-tua mencari dukungan.
Suara-suara kaum muda dalam politik selama ini memang seakan sunyi. Yang terlihat, munculnya generasi-generasi tua besutan rezim Orde Baru, datang dengan agenda reformasi yang sudah berganti jubah. Anak muda sekan lupa jalan pulang, dimana selama ini tempat berjuangnya.
Jika menilik dari sejarah, peran kaum muda sejatinya tidak dapat dikesampingkan dalam arena pertarungan politik. Kaum muda berperan besar dalam sejarah perjalanan bangsa. Sejak masa perjuangan dan setelah kemerdekaan, kaum muda terus terlibat aktif sebagai katalisator api perjuangan, baik untuk melepaskan diri dari penjajah maupun menjaga kemerdekaan bangsa.
Sumpah pemuda 1928 merupakan salah satu bukti yang menjadi catatan penting dalam sejarah, dimana kaum muda terlibat dalam perjuangan politik. Tidak hanya itu, setelah kemerdekaan pun kaum muda masih melibatkan diri dalam berbagai medan laga, saat pasukan Belanda mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara sekutu. Kaum muda membentuk suatu divisi khusus yang dinamakan Tentara Pelajar dan Tentara Republik Indonesia Pelajar yang umumya berumur 17 tahun.
Suara-suara para kaum muda itu kemudian terus bertransformasi, tatkala bangsa ini terus dirongrong oleh pihak-pihak oligarkis dan otoriter yang terus membelenggu kehidupan rakyat miskin. Ada pesan moral yang mereka emban untuk membela mereka yang tertindas oleh kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung absolut. Kaum muda dari berbagai lintas golongan berhasil membawa bangsa ini kedalam fase kehidupan yang lebih terbuka dan demokratis. Orde Lama dan Orde Baru sukses dijungkalkan dari kekuasaannya. Sayap reformasi kian melebar.
Dengan terbukanya keran demokrasi yang merupakan babak baru era reformasi dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, kaum muda dan politik justru seakan berjarak. Politik seakan bukan lagi ruang bagi kaum muda untuk mengaktualisasikan gagasan demi kemaslahatan bersama. Sementara kaum muda sendiri seringkali lebih memilih sikap skeptis, apatis dan merasa alergi terhadap politik. Mereka kaum muda, lebih memilih jalan sendiri, hidup dengan jalan lain yang lebih nyaman dengan sedikit mengambil peran dan akselerasi dalam proses demokrasi.
Akibatnya, keringat, tenaga dan pikiran bahkan darah yang dulu tercucur yang diperjuangkan kaum muda kini hampir sia-sia. Saat ini kaum muda dan politik seperti bersisian jalan, saling bermusuhan. Perjalanan memasuki hampir 20 tahun reformasi yang dikemudikan bernama demokrasi, perjuangan kaum muda seperti kehilangan ruh. Kaum muda hanya bangga dengan euforia kemenangan, namun lupa bahwa saat itu mereka hanya sampai dipersimpangan jalan. Setelah itu, kaum muda jalan sendiri-sendiri, tidak lagi beriringan.
Meretas Jalan, Merebut Ruang Politik
Prince Wong (Kir), Isabella Lo (Tengah) dan Joshua Wong (Kanan), merupakan penggerak Revolusi Payung di Hongkong.

Kemenangan kaum muda Hongkong dalam merebut kursi legislatif harusnya menjadi cermin saat ini bagi kaum muda di tanah air untuk merebut politik Indonesia. Bukan mengesampingkan sejarah kejayaan kaum muda masa lalu yang penuh dengan keberanian, terlibat dalam setiap arena pertarungan politik. Tetapi memang saat ini kita seolah kehilangan jejak sejarah. Atau seperti yang dikatakan dalam tulisan salah seorang budayawan Radhar Panca Dahana, bangsa kita telah menjadi bangsa tanpa sejarah. Kaum muda, seperti mengidap amnesia dan tak peduli lagi dengan sejarah politiknya sendiri.
Trauma kaum muda di masa lalu yang terus direproduksi oleh rezim Orde Baru, menjadi salah satu alasan mengapa kaum muda enggan untuk berpolitik. Pandangan politik yang sudah terlanjur institusional dimana negara menjadi subjek yang kerap diperdebatkan, membuat anak muda kehilangan keberanian. Ada peminggiran narasi politik, yang kemudian membuat kaum muda menjadi kehilangan pijakan. Terlebih lagi ditambah dengan sikap pragmatis partai politik, menutup ruang kaum muda yang ditandai dengan proses kaderisasi yang tidak sistematis dan terencana.
Pada titik ini, partai politik berubah menjadi mesin para elit-elit politik tua yang bekerja tidak sesuai dengan perjuangan ideologis partai. Kaum muda bekerja berdasarkan kekuatan kualitas imajinasi, idealisme yang progresif. Sementara elit politik tua seringkali menempatkan sikap pragmatis, oportunis dan transaksional, bekerja mementingkan golongan, partai dan pribadi.
Fakta menarik yang menjadi acuan adalah ketika anggota legislatif dan banyak kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan KPK. Istilah ‘Ijon Proyek’ sudah menjadi permainan antara politisi dan para pengusaha demi mengeruk keuntungan yang lebih besar. Yang mencengangkan, mereka melakukan kongkalingkong merampas uang negara, lalu hasil korupsi itu ‘dijatah’ hampir semua politisi yang bekerjasama dengan para pengusaha swasta.
Melihat kondisi diatas, keterlibatan kaum muda untuk mengambil peran dari setiap momentum dalam arena pertarungan politik, sudah menjadi keharusan. Tak perlu ditunggu-tunggu lagi. Kaum muda harus berani keluar dari kamar kenyamanan, kemapanan serta harus mampu melihat dengan jeli akar masalah bangsa yang sudah demikian akut.
Karena itu, diskursus politik bukan hanya sekadar melulu tentang persoalan urusan kekuasaan, pengaturan, Parpol, birokrasi, dan lain sebagainya. Politik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah peta jalan kehidupan yang diabdikan untuk mewujudkan kemuliaan yakni memajukan dan mensejahterakan umat.
Hal ini tentu, bisa disepakati apa yang katakan oleh Tan Malaka yang menyatakan bahwa politik harus dimengerti semua orang, karena politik adalah kehidupan sehari-hari. Politik adalah kecerdasan dalam memahami keadaan. Politik selalu hidup dan tumbuh dalam diskursus kemanusiaan, membincangkan tentang keberpihakan moral untuk kepentingan bangsa.
Kaum muda harus memiliki kesadaran, bahwa politik adalah cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita yang telah dibangun di masa lampau. Dengan memanfaatkan jangkuan informasi dan teknologi sebagai media politik yang efektif, kaum muda bisa menyampaikan cita-cita dan gagasan dengan lebih luas. Ruang politik digital atau Cyberpoliticon bisa menjadi jalan alternatif agar kaum muda bisa menginterupsi pemerintah, berpartisipasi dalam setiap kebijakan, bersosialisasi serta menggalang aspirasi.
Menjadi manusia politik (bukan sekedar politisi) tentu harus menjadi patokan dan pilihan para kaum muda. Manusia politik mempunyai keterpanggilan untuk memecahkan segala persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Dengan demikian, kaum muda harus mempunyai pengetahuan politik yang bermoral dan berkeadaban. Kaum muda perlu berpolitik dengan wawasan, belajar memahami dan menguasai masalah serta mampu merumuskan solusi terbaik yang penuh dengan rasa tanggung jawab demi kemajuan bangsa.
Saat ini kaum muda tak perlu risau dengan minimnya pengalaman, yang sering terlontar dari mulut elit-elit politik tua. Kaum muda, kata salah seorang penyair Samuel Ullman, bukanlah suatu fase dalam rentang kehidupan, tapi suatu kondisi pikiran. Lanjut Samuel, ini bukan soal pipi yang bersemu merah, bibir merah padam dan lutut yang lentur. Ini berkenaan dengan tekad, suatu kualitas imajinasi, suatu kekuatan emosi. Inilah kesegaran dari musim semi kehidupan.
Kaum muda adalah harapan bangsa dimasa depan. Dengan kerja-kerja idealisme yang progresif, penuh imajinasi, kaum muda bisa mengambil peran mengikuti pesta demokrasi elektoral lima tahunan. Keterlibatan kaum muda diparlemen, seperti halnya Hongkong tentu menjadi sesuatu yang menarik, menantikan perdebatan-perdebatan politik yang sengit. Membiarkan sang predatoris uang negara berkuasa, sama halnya kaum muda membiarkan rakyatnya dibelenggu dalam kungkungan kemeleratan.
Kini, kaum muda sudah saatnya merebut kembali ruang politik. Kaum muda perlu segera membenahi, menenun kembali politik kebangsaan yang terlanjur kusut dan gaduh tanpa moral.


                                                                       Laode Halaidin
                                                                       Kendari, 10-01-2018

0 komentar:

Posting Komentar