Tokoh-Tokoh Sumpah Pemuda, Tahun 1928 |
Kemenangan
aktivis muda pro demokrasi Hongkong dalam merebut kursi dewan legislatif 2016
lalu, harusnya menjadi angin segar bagi anak-anak muda di tanah air. Keberhasilan
itu menjadi catatan penting bahwa kaum muda sudah tidak lagi dipandang sebelah
mata dalam menggerakan sebuah perubahan. Politik bukan hanya ruang untuk mereka
yang tua, tetapi juga para kaum muda. Yang muda, saatnya masuk digelanggang politik.
Pertarungan
politik di tanah air akan sengit terjadi pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu
presiden dan legislatif 2019 mendatang. Ingar-bingar tahun politik itu seringkali
menarik perhatian banyak orang. Para pengamat dan peneliti di media massa dan
sosial media banyak berseliweran memaparkan analisanya. Tahun ini dan kedepan
merupakan tahun politik yang paling dinanti-nanti. Jalan pertarungan politik
kian dekat, perang opini sudah dimulai, membuat banyak orang tidak sabar
menantinya.
Kendati
demikian, yang luput dari perhatian adalah tidak terjamahnya posisi kaum muda
ditahun politik itu. Apakah kaum muda menjauh dari politik? Atau jangan-jangan
kaum muda hanya akan dijadikan sebagai basis pengumpul suara saat yang tua-tua
mencari dukungan.
Suara-suara
kaum muda dalam politik selama ini memang seakan sunyi. Yang terlihat,
munculnya generasi-generasi tua besutan rezim Orde Baru, datang dengan agenda
reformasi yang sudah berganti jubah. Anak muda sekan lupa jalan pulang, dimana
selama ini tempat berjuangnya.
Jika
menilik dari sejarah, peran kaum muda sejatinya tidak dapat dikesampingkan
dalam arena pertarungan politik. Kaum muda berperan besar dalam sejarah perjalanan
bangsa. Sejak masa perjuangan dan setelah kemerdekaan, kaum muda terus terlibat
aktif sebagai katalisator api perjuangan, baik untuk melepaskan diri dari
penjajah maupun menjaga kemerdekaan bangsa.
Sumpah
pemuda 1928 merupakan salah satu bukti yang menjadi catatan penting dalam
sejarah, dimana kaum muda terlibat dalam perjuangan politik. Tidak hanya itu,
setelah kemerdekaan pun kaum muda masih melibatkan diri dalam berbagai medan
laga, saat pasukan Belanda mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara
sekutu. Kaum muda membentuk suatu divisi khusus yang dinamakan Tentara Pelajar
dan Tentara Republik Indonesia Pelajar yang umumya berumur 17 tahun.
Suara-suara
para kaum muda itu kemudian terus bertransformasi, tatkala bangsa ini terus
dirongrong oleh pihak-pihak oligarkis dan otoriter yang terus membelenggu
kehidupan rakyat miskin. Ada pesan moral yang mereka emban untuk membela mereka
yang tertindas oleh kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung
absolut. Kaum muda dari berbagai lintas golongan berhasil membawa bangsa ini
kedalam fase kehidupan yang lebih terbuka dan demokratis. Orde Lama dan Orde
Baru sukses dijungkalkan dari kekuasaannya. Sayap reformasi kian melebar.
Dengan
terbukanya keran demokrasi yang merupakan babak baru era reformasi dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara, kaum muda dan politik justru seakan
berjarak. Politik seakan bukan lagi ruang bagi kaum muda untuk mengaktualisasikan
gagasan demi kemaslahatan bersama. Sementara kaum muda sendiri seringkali lebih
memilih sikap skeptis, apatis dan merasa alergi terhadap politik. Mereka kaum
muda, lebih memilih jalan sendiri, hidup dengan jalan lain yang lebih nyaman
dengan sedikit mengambil peran dan akselerasi dalam proses demokrasi.
Akibatnya,
keringat, tenaga dan pikiran bahkan darah yang dulu tercucur yang diperjuangkan
kaum muda kini hampir sia-sia. Saat ini kaum muda dan politik seperti bersisian
jalan, saling bermusuhan. Perjalanan memasuki hampir 20 tahun reformasi yang dikemudikan
bernama demokrasi, perjuangan kaum muda seperti kehilangan ruh. Kaum muda hanya
bangga dengan euforia kemenangan, namun lupa bahwa saat itu mereka hanya sampai
dipersimpangan jalan. Setelah itu, kaum muda jalan sendiri-sendiri, tidak lagi
beriringan.
Meretas Jalan, Merebut Ruang Politik
Prince Wong (Kir), Isabella Lo (Tengah) dan Joshua Wong (Kanan), merupakan penggerak Revolusi Payung di Hongkong. |
Kemenangan
kaum muda Hongkong dalam merebut kursi legislatif harusnya menjadi cermin saat
ini bagi kaum muda di tanah air untuk merebut politik Indonesia. Bukan mengesampingkan
sejarah kejayaan kaum muda masa lalu yang penuh dengan keberanian, terlibat
dalam setiap arena pertarungan politik. Tetapi memang saat ini kita seolah kehilangan
jejak sejarah. Atau seperti yang dikatakan dalam tulisan salah seorang
budayawan Radhar Panca Dahana, bangsa kita telah menjadi bangsa tanpa sejarah. Kaum
muda, seperti mengidap amnesia dan tak peduli lagi dengan sejarah politiknya
sendiri.
Trauma kaum
muda di masa lalu yang terus direproduksi oleh rezim Orde Baru, menjadi salah
satu alasan mengapa kaum muda enggan untuk berpolitik. Pandangan politik yang
sudah terlanjur institusional dimana negara menjadi subjek yang kerap
diperdebatkan, membuat anak muda kehilangan keberanian. Ada peminggiran narasi
politik, yang kemudian membuat kaum muda menjadi kehilangan pijakan. Terlebih lagi
ditambah dengan sikap pragmatis partai politik, menutup ruang kaum muda yang
ditandai dengan proses kaderisasi yang tidak sistematis dan terencana.
Pada
titik ini, partai politik berubah menjadi mesin para elit-elit politik tua yang
bekerja tidak sesuai dengan perjuangan ideologis partai. Kaum muda bekerja
berdasarkan kekuatan kualitas imajinasi, idealisme yang progresif. Sementara
elit politik tua seringkali menempatkan sikap pragmatis, oportunis dan
transaksional, bekerja mementingkan golongan, partai dan pribadi.
Fakta menarik
yang menjadi acuan adalah ketika anggota legislatif dan banyak kepala daerah terjaring
operasi tangkap tangan KPK. Istilah ‘Ijon Proyek’ sudah menjadi permainan
antara politisi dan para pengusaha demi mengeruk keuntungan yang lebih besar. Yang
mencengangkan, mereka melakukan kongkalingkong merampas uang negara, lalu hasil
korupsi itu ‘dijatah’ hampir semua politisi yang bekerjasama dengan para
pengusaha swasta.
Melihat
kondisi diatas, keterlibatan kaum muda untuk mengambil peran dari setiap
momentum dalam arena pertarungan politik, sudah menjadi keharusan. Tak perlu
ditunggu-tunggu lagi. Kaum muda harus berani keluar dari kamar kenyamanan,
kemapanan serta harus mampu melihat dengan jeli akar masalah bangsa yang sudah
demikian akut.
Karena
itu, diskursus politik bukan hanya sekadar melulu tentang persoalan urusan
kekuasaan, pengaturan, Parpol, birokrasi, dan lain sebagainya. Politik merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah peta jalan kehidupan yang diabdikan
untuk mewujudkan kemuliaan yakni memajukan dan mensejahterakan umat.
Hal ini
tentu, bisa disepakati apa yang katakan oleh Tan Malaka yang menyatakan bahwa
politik harus dimengerti semua orang, karena politik adalah kehidupan
sehari-hari. Politik adalah kecerdasan dalam memahami keadaan. Politik selalu
hidup dan tumbuh dalam diskursus kemanusiaan, membincangkan tentang keberpihakan
moral untuk kepentingan bangsa.
Kaum
muda harus memiliki kesadaran, bahwa politik adalah cara terbaik untuk
mewujudkan cita-cita yang telah dibangun di masa lampau. Dengan memanfaatkan
jangkuan informasi dan teknologi sebagai media politik yang efektif, kaum muda
bisa menyampaikan cita-cita dan gagasan dengan lebih luas. Ruang politik
digital atau Cyberpoliticon bisa
menjadi jalan alternatif agar kaum muda bisa menginterupsi pemerintah,
berpartisipasi dalam setiap kebijakan, bersosialisasi serta menggalang aspirasi.
Menjadi
manusia politik (bukan sekedar politisi) tentu harus menjadi patokan dan
pilihan para kaum muda. Manusia politik mempunyai keterpanggilan untuk
memecahkan segala persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Dengan
demikian, kaum muda harus mempunyai pengetahuan politik yang bermoral dan
berkeadaban. Kaum muda perlu berpolitik dengan wawasan, belajar memahami dan
menguasai masalah serta mampu merumuskan solusi terbaik yang penuh dengan rasa
tanggung jawab demi kemajuan bangsa.
Saat ini
kaum muda tak perlu risau dengan minimnya pengalaman, yang sering terlontar
dari mulut elit-elit politik tua. Kaum muda, kata salah seorang penyair Samuel
Ullman, bukanlah suatu fase dalam rentang kehidupan, tapi suatu kondisi
pikiran. Lanjut Samuel, ini bukan soal pipi yang bersemu merah, bibir merah
padam dan lutut yang lentur. Ini berkenaan dengan tekad, suatu kualitas
imajinasi, suatu kekuatan emosi. Inilah kesegaran dari musim semi kehidupan.
Kaum muda
adalah harapan bangsa dimasa depan. Dengan kerja-kerja idealisme yang progresif,
penuh imajinasi, kaum muda bisa mengambil peran mengikuti pesta demokrasi
elektoral lima tahunan. Keterlibatan kaum muda diparlemen, seperti halnya
Hongkong tentu menjadi sesuatu yang menarik, menantikan perdebatan-perdebatan
politik yang sengit. Membiarkan sang predatoris uang negara berkuasa, sama
halnya kaum muda membiarkan rakyatnya dibelenggu dalam kungkungan kemeleratan.
Kini, kaum
muda sudah saatnya merebut kembali ruang politik. Kaum muda perlu segera
membenahi, menenun kembali politik kebangsaan yang terlanjur kusut dan gaduh
tanpa moral.
Laode Halaidin
Kendari, 10-01-2018
Laode Halaidin
Kendari, 10-01-2018
0 komentar:
Posting Komentar