04 September 2017

Saat Sawit Menjadi Air Mata

Sumber foto; Hasrun

SEBUAH panorama indah memanjakan mata kita. Di sebuah desa―namanya desa Bandaeha langitnya sangat cerah―putih ke biru-biruan. Desa itu dikelilingi oleh bukit dan hutan yang membuat mata kita terkagum-kagum akan keindahannya. Sinar mataharinya begitu menyengat, panas. Sebuah hamparan sawah bersuka cita menyambut sinarnya. Sudah berhari-hari sawah itu tak mendapat sinar, karena langit seringkali tertutupi
oleh awan hitam.
Di desa Bandaeha, kecamatan Oheo, terkenal sebagai desa persawahan. Disepanjang jalan terdapat hamparan sawah yang memanjang dengan daun kehijau-hijauan. Sawah itu dikepung oleh bukit dan hutan lebat yang senantiasa mengirimi udara sejuk. Dibawahnya, air mengalir tanpa henti menandakan desa itu diberkahi tanah subur. Sementara hutannya dijadikan masyarakat sebagai sumber rejeki, karena didalamnya terdapat limpahan berbagai rotan.
Tidak terlalu jauh dari desa itu―masuk desa Polora Indah, kecamatan Langgigima, kita disuguhkan dengan pemandangan yang lain lagi. Kali ini bukan persawahan, tetapi sebuah perkebunan kelapa sawit yang cukup luas dibawah bukit. Tanaman sawitnya terlihat miring, namun tidak mengurangi kesuburannya. Sawit itu terlihat tumbuh subur, bersih karena terawat dengan cukup baik.
Masuknya perusahaan perkebunan sawit di kecamatan Langgigima, boleh dibilang sudah agak terlalu lama. Yang mengelola perkebunan sawit adalah PT. Damai Jaya Lestari (DJL). Sawinya ditanam sekitar tahun 2006―dan awal panen sekitar tahun 2011. Meskipun demikian, perkebunan sawit ini ternyata sudah menimbulkan berbagai masalah.
Belum lama ini, dari informasi yang saya himpun, masyarakat melakukan demonstrasi bahkan menutup dan mendirikan tenda dikantong-kantong perlawanan karena tuntutan mereka tak kunjung dipenuhi. Masyarakat menyarankan agar perusahaan perkebunan PT. DJL memberikan klarifikasi apa yang tertuang dalam MoU. Karena selama ini masyarakat tidak pernah diberitahukan apa isi dalam MoU tersebut.
Ada beberapa tuntutan petani sawit Langgigima, dua diantaranya yaitu pembayaran lahan milik warga yang telah ditanami kelapa sawit dan pengembalian sertifikat tanah yang telah ditahan perusahaan PT. DJL. Hal lainnya terkait dengan keterlambatan pembayaran, seharusnya setiap satu bulan, kini petani sawit harus menunggu setiap tiga bulan.

Sumber foto; Hasrun
Perlawanan-perlawanan masyarakat seperti itu ternyata bukan sesuatu yang baru. Juga bukan tuntutan-tuntutan yang baru pula kepada perusahaan perkebunan. Dibalik sebuah iming-iming perusahaan beserta pemerintah daerahnya yang menjanjikan kesejahteraan, ternyata menyimpan sebuah jerat. MoU hanyalah kertas putih yang disepakati perusahaan dengan pemerintah, bukan dengan masyarakat. Selebihnya perusahaan bergerak sendiri, berbuat seenaknya sendiri. Ia berbuat sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan keadilan dan hak-hak masyarakat petani sawit.
Kejadian ini, juga berlaku di perkebunan kelapa sawit kecamatan Wiwirano. Sebuah perusahaan perkebunan, PT. Perkebunan Nusantara XIV justru tidak memenuhi kesepakatan yang tertuang dalam MoU. Akibatnya masyarakat banyak mengalami kerugian. Terutama saat perusahaan tidak menepati janjinya membangun sebuah pabrik besar untuk menampung hasil sawit. Selama kurang lebih 5 tahun, hasil panen sawit masyarakat Wiwirano terbuang sia-sia, rusak atau dibiarkan membusuk dipohon.
***
Semua berawal, saat pemerintahan Soeharto menjalankan program transmigrasi. Pada tahun 1997, banyak masyarakat Jawa, Bali, Sumatra dan Nusa Tenggara Timur menanggungkan hidup di daerah Wiwirano, dekat perbatasan Sulawesi Tengah. Warga transmigrasi itu disediakan lahan untuk menggarap perkebunan dan pertanian untuk keberlanjutan hidup mereka. Mereka diberikan tanah dengan luas 0,5 sampai 3 hektar.
Nanti pada tahun 1999 perusahaan perkebunan, PT. Perkebunan Nusantara XIV mulai menginisisasi membuka lahan perkebunan sawit. PT. PN XIV merupakan perusahaan negara, BUMN, yang bergerak dalam pemberdayaan pertanian, perkebunan dan peternakan, dengan bidang usaha meliputi komoditi tebuh, kelapa sawit, karet, kelapa, dan ternak sapi.
Melalui pemerintah, warga kemudian menyediakan lahan-lahan yang ada untuk digarap dan ditanami oleh perusahaan perkebunan. Sementara itu, bank Agro (bank BRI) sebagai penyedia pinjaman modal. Besaran pinjaman warga kepada bank Agro kala itu berkisar 13 juta/1 hektar. Saat itu masyarakat Wiwirano, dari beberapa informasi yang saya himpun, hanya mengetahui besaran utang saja, tanpa ada perincian secara jelas.
PT. PN XIV dalam perjanjiannya, semua kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemupukan, perawatan serta pemanenan hasil dilakukan oleh perusahaan sendiri. Perusahaan juga berjanji akan mendirikan pabrik. Warga saat itu hanya dijanjikan menunggu hasil, dalam artian menunggu pembayaran lahan. Selebihnya dari hasil panen itu, perusahaan melakukan pemotongan untuk pembayaran utang pada bank Agro.
Itulah awal perjanjian masyarakat dengan perusahaan PT. PN XIV yang dikemudian hari justru tidak ditepati bahkan dilanggar. Perusahaan perkebunan hanya menanam, dipelihara dan dibiarkan berbuah. Tetapi perusahaan tidak bisa memanen hasil sawit karena pabrik belum tersedia. Akibatnya buah sawit itu rusak dan membusuk dipohon. Para petani kemudian melakukan demonstrasi dan perlawanan, menuntut perusahaan agar menepati janjinya. Sebagian para aktivis masyarakat saat itu dipenjarah. Ini adalah bagian dari kelicikan perusahaan, kata Abdul Rahmat Badwin, seorang aktivis petani sawit Wiwirano.
Abdul Rahmat Badwin merupakan seorang aktivis petani sawit di desa Tetewatu, kecamatan Wiwirano. Ia merupakan mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Kalimantan Timur tahun 1990. Di Wiwirano, ia bersama teman-temannya, terus memperjuangkan hak-hak petani yang selama ini diabaikan oleh perusahaan PT. PN XIV.
Ia terus menentang perusahaan perkebunan, agar hak-hak petani sawit dapat diberikan. Dengan usia yang sudah tergolong tua, semangatnya masih berkobar. Bahkan ia pernah membubarkan sebuah musyawara, lantaran tidak ketemu kesepakatan dengan pihak perusahaan. Idealismenya masih tinggi. Ia sama sekali tidak tergiur ketika ditawarkan jabatan dan sejumlah uang.
Saya pernah didatangi oleh seseorang, menanyakan saya mau jadi apa. Ditawarkan uang pun tidak akan menerimanya. Bagi saya itu suatu ketelodoran, sama halnya kita menjual idealisme. Itu juga akan menyakiti masyarakat yang lain. Saya memilih untuk menjadi petani. Semua ini adalah kodrat dari yang kuasa. Jika kita menentang, tidak mau menerima, berarti sama halnya kita melawan kehendak yang kuasa. Saya tidak pernah menyesal dengan keputusanku. Dengan menjadi petani, maka saya bebas, saya merdeka dan menjadi diriku sendiri, kata Abdul Rahmat Badwin dengan penuh semangat.
Namun demikian, memang tidak selalu muda menyelesaikan persoalan ketika berhadapan dengan kekuasaan perusahaan. Sudah lebih dari 10 tahun ia terus menyuarakan hak-hak petani, melalui dialog dan juga demonstrasi. Semua tanpa hasil, nihil. Perusahaan selalu memiliki banyak akal, mengamankan aktivis (para mahasiswa) dengan diberikan uang amplop, kemudian dibantu aparat kepolisian dan pemerintah setempat.
Banyak yang ikut membantu kami, kata Abdul Rahmat, termasuk para aktivis mahasiswa di Kendari. Tapi suara mereka seperti putus ditengah jalan, dibungkam. Setelah kita telusuri, ternyata para aktivis mahasiswa itu diamankan oleh perusahaan dengan diberikan  amplop. Dari situ, maaf, kami tidak lagi mempercayai aktivis mahasiswa, ungkap Abdul Rahmat B. saat memulai mencoba menjelaskan.
***
Sebelum warga transmigrasi mendiami, Wiwirano sebagai daerah setengah belantara. Hutan masih lebat, sementara penduduk lokalnya belum terlalu banyak. Semua orang bisa memulai hidup baru di Wiwirano, termasuk seorang pembunuh dan perampok sekalipun. Warga transmigrasi kemudian bermunculan sekitar tahun 1997-1998. Saat itu, tanah Wiwirano menjadi tanah emas bagi para pengusaha perkebunan sawit. Ini merupakan suatu keajaiban bagi tanah Wiwirano, diprediksi menjadi suatu kebangkitan masyarakat setelah masuknya perusahaan perkebunan sawit pada tahun 1999.
Tetapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Wiwirano berubah menjadi daerah yang penuh dengan ketidakwarasan. Berubah menjadi tempat yang aneh, miskin dan terbelakang. Yang kaya dan yang banyak tanah hanya mereka para kepala desa dan kroni-kroninya. Sementara petani yang mempunyai lahan 0,5 sampai 3 hektar, masih menjadi sampah ketidakdilan bagi perusahaan. Para petani itu, telah diperlakukan semena-mena oleh pihak perusahaan perkebunan PT. PN XIV.
Itulah yang saya dengar, yang saya lihat, kemudian saya himpun, setelah bertemu dan berdiskusi dengan warga Wiwirano. Pemerintah kabupaten dan desa, perusahaan beserta penguasa-penguasa tanah dengan asyiknya ber-tango diatas karpet, yang mencoba menyembunyikan debu kemiskinan (Budiman Sudjatmiko, buku: Anak-anak Revolusi 2). Jeritan mereka tidak terdengar, tersumbat oleh kehidupan yang semakin susah dan menghimpit. Kesusahan begitu  membelenggu, kelaparan semakin menusuk-nusuk perut, para petani terus bekerja mencoba mempertahankan hidup.
Dari situ, banyak warga yang tidak tahan dengan penderitaan itu. Sawit mereka selama bertahun-tahun tidak bisa mendapatkan uang satu rupiah pun, dibiarkan membusuk dipohon. Saat panen hasil tiba, masyarakat bingung kemana sawitnya akan dijual. Janji perusahaan membangun pabrik tidak pernah terealisasi. Para petani kadang menjualnya di Sulawesi Tengah, tetapi terkendala pada infrastruktur jalan. Itupun dengan resiko, berhadapan dengan preman perusahaan.
Jalanan saat itu sangat rusak bahkan berhari-hari kami bermalam, itupun sawit kami sudah membusuk sebagian. Kadang juga kami dilarang dan ditahan sama pihak perusahaan agar tidak menjual sendiri diluar daerah. Kami rugi besar, ungkap pak Umar setengah terbata-bata.
Yang tidak tahan dengan penderitaan, para petani lalu menjual kebun sawit yang ditangani oleh perusahaan (sawit plasma), lalu memilih pergi meninggalkan Wiwirano. Mereka kembali dikampung halaman atau pergi merantau di kota mencari kerja informal, menjadi buruh. Para petani itu tidak bisa menggarap pertanian yang lain karena keterbatasan lahan yang ada. Mereka betul-betul dibuat jatuh miskin.
Bertani yang lain pun kami tidak bisa. Kami tidak mempunyai banyak tanah. Tanah kami yang disediakan oleh pemerintah hanya 0,5 sampai 3 hektar. Itupun semua ditanami kelapa sawit oleh perusahaan. Banyak petani yang memilih pergi meninggalkan Wiwirano, karena tak ada lahan. Berharap sama hasil kelapa sawit susah, harganya sangat murah. Dulu Rp. 1.200, sekarang tinggal Rp. 950,00 sampai Rp. 750, 00. Belum lagi perusahaan melakukan pemotongan hasil dan keterlambatan melakukan pembayaran. Dulu janjinya setiap satu bulan, sekarang sudah tiga bulan perusahaan belum membayar, ungkap pak Sukrani, seorang transmigrasi asal Jawa.
Beberapa hari di Wiwirano, Konawe Utara, saya bertemu dengan banyak kemalangan. Sejak pertama menginjak tanah itu, terlihat hamparan tanaman kelapa sawit yang cukup luas, berjumlah 2.500 hektar. Pikirku, warga disini hidup lebih sejahtera. Jumlah itu ternyata tidak membuat kehidupan mereka beranjak pada kebaikan hidup, tetapi justru malah hidup serba susah. Petani sawit tidak berdaulat atas harga sawitnya. Harga sawit dipatok para tengkulak dengan harga Rp. 750,00. Hal itu merupakan salah satu alternatif agar hasil sawit mereka tidak membusuk dipohon. Jika menjualnya ke pabrik kelapa sawit, para petani sawit tidak mampu membiayai ongkos transportasinya.
Semua itu bermuara pada penghasilan yang pas-pasan. Bahkan sama sekali tak cukup hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Belum lagi kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Hasil sawit petani harganya dipotong dengan alasan pembayaran utang. PT. PN XIV hanya datang menagih/meminta ke masyarakat. Pada hal menurut Abdul Rahmat Badwin, yang merawat kelapa sawit petani sendiri. Perusahaan tidak lagi mengurus, tidak merawat dan tidak ada perlakuan sama sekali.
Yang menjadi kegelisahan Abdul Rahmat yaitu terkait dengan utang para petani. Ia mempertanyakan, mengapa utang petani tidak pernah lunas, pada hal sudah 15 tahun lebih. Selama dua tahun petani sawit berhenti membayar, tetapi perusahaan perkebunan kembali muncul melakukan penagihan.
Ini aneh. Perusahaan perkebunan ini memang nakal. Sepertinya ada yang dilindungi. Ia mencoba menggunting dalam lipatan, ungkap Abdul Rahmat Badwin.
Saya membayangkan, apa yang terjadi kepada masyarakat petani sawit Wiwirano adalah bagian dari eksploitasi. Mereka tak ubahnya seperti para pekerja rodi di zaman kolonial. Bukan saja dimiskinkan tapi dibuat bodoh. Para petani sawit itu, secara sadar dan tidak sadar mengemis pada tanahnya sendiri. Sawit telah berubah menjadi air mata. Sementara perusahaan perkebunan berdiri pada singasana bisnisnya, meraup ber-miliyar-miliyar keuntungan.
Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Abdul Rahmat Badwin;
“Perusahaan perkebunan ini adalah perusahaan negara. Dan kami juga adalah anak-anak negara. Tapi lihatlah, apa yang diperbuat oleh negara kepada masyarakatnya!”

                                                                                    Wiwirano, 2017
                                                                                    Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar