02 Agustus 2017

Teten Masduki: Panglima Legiun Domba Yang Melawan Korupsi

Teten Masduki:Dok. Pribadi

Pagi itu, awan terlihat cukup cerah. Secerah cat tembok gedung Istana Merdeka Jakarta yang berwarnah keputihan itu. Ini menandakan cuaca pagi itu sangat baik untuk beraktivitas.
Namun, cuaca hati dan suara sumbang dari para petani pegunungan Kendeng, ternyata menggambarkan sebaliknya. Bagi mereka, awan pagi itu memang cerah, namun jiwa mereka seperti sedang direnggut oleh kekuasaan. Para sedulur itu sedang berhadapan dengan pemerintah.
Mereka sedang ditimpah sebuah kemalangan akibat ulah pemerintah dan kompradornya, PT. Semen Indonesia. Tanah yang sudah dianggap sebagai Ibu pertiwi, diserahkan kepada PT. Semen Indonesia oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah sebagai pertambangan pabrik semen.
Alih-alih mematuhi keputusan Mahkama Konstitusi (MK) dan perintah Presiden dengan menunda semua izin pertambangan untuk kemudian dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Ganjar Pranowo malah mengeluargan izin lingkungan baru untuk PT. Semen Indonesia. Ganjar Pranowo, seperti memberi keleluasan pada korporasi kapital itu karena alasan investasi yang bernilai triliunan.
Maka, cuaca cerah itu─yang seharusnya baik untuk beraktivitas di sawah dan ladang, kini berubah menjadi sebuah aksi demonstrasi. Para sedulur Kendeng, datang di gedung Istana Merdeka Jakarta, membawa tuntutan penolakan pabrik semen dengan menyemen kaki dengan semen. Aksi ini adalah bagian dari penolakan yang berkaitan dengan masalah direnggutnya kehidupan, lingkungan/Ibu pertiwi dan juga hak-hak masyarakat pegunungan Kendeng.
Di depan gedung Istana Merdeka Jakarta itu, para sedulur Kendeng rela berpanas-panasan, karena keinginannya bertemu dan menyampaikan langsung tuntutan mereka kepada sang Presiden Jokowi. Tetapi kali itu, mereka disambut dan diterima oleh seorang Kepala Staf Kepresidenan. Ia bernama Teten Masduki. Ia menjabat sebagai Kepala Staf Presiden Jokowi sejak 2 September 2015, menggantikan Luhut Binsar Panjaitan.
Bagaimana kisah perjalanan kehidupan seorang Teten Masduki, hingga menjadi Kepala Staf Presiden?
***
Tetan Masduki lahir di Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963. Semasa kecilnya, ia termasuk orang yang berkecukupan, berasal dari keluarga mapan. Ayahnya, bernama Masduki seorang pengusaha tapioka di Limbangan, Garut, yang memiliki tiga pabrik pembuatan tepung. Sedangkan Ibunya, Ena Hindasyah seorang Ibu rumah tangga, namun ia juga sesekali kadang terlibat dalam mengatur pekerjaan dipabrik.
Seorang Tetan remaja adalah Teten yang kritis dan suka melawan terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Pernah suatu kali Teten dan sahabat-sahabatnya memprotes guru mengajinya, lantaran cara mengajarnya terlalu keras, tidak adil dan suka menebar teror. Mereka sering dipukul dan dijewer oleh guru ngaji tersebut.
Dengan adanya protes itu, guru mengaji tersebut berhasil diganti atau kembali mengajar dengan cara lembut, bukan lagi dengan kekerasan. Mereka berhasil mengubah keadaan, meskipun tergolong muda. Bagi Teten, ketidakadilan ternyata bisa dilawan. Tentu ini dilakukan dengan strategi yang tepat, kebersamaan, dan kekompakan. Dipesantren inilah yang kemudian mempengaruhi kehidupan Teten kemudian.
Setelah tamat di SMAN 349 Cicalengka, Teten kemudian memilih untuk kuliah di Bandung, di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, jurusan Kimia Minor Matematika. Saat itu, ia memilih untuk menjadi guru, karena keterpukauan dan ketertarikannya pada guru Fisika di SMA-nya. Ia merasakan guru tersebut mengajar sangat cerdas, bisa membuat para siswa dapat menguasai pelajaran dengan baik.
Namun, perjalanan kehidupan mahasiswa Teten di Bandung, bukan fokus pada kuliah formal, tetapi ia lebih memilih dengan aktivitas hiruk-pikuk gerakan. Ia merasa terpukau dengan atmosfir gerakan intelektualisme dan aktivisme di Bandung. Teten sadar bahwa ia sedang berada di Kota yang memang menjadi pusat gerakan mahasiswa.
Dalam aktivitasnya di Bandung, ia banyak menemukan inspirasi dari kelompok diskusi dan tokoh-tokoh sosial dan demokrasi. Sebut saja misalnya seperti Dawam Rahardjo, Mulyana W. Kusuma, Adi Sasono dan lainnya. Para aktivis senior itu berhasil membuka pikiran Teten dan mahasiswa lain, yang selama ini haus akan pencerahan. Ia kemudian semakin masuk dalam gerakan, dengan mengikuti diskusi masalah sosial di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bandung.
Pertama kali pembelaan rakyat yang dimasuki Teten adalah perampasan tanah di Badega, Garut yang dilakukan PT. Citrin. Disusul kemudian dengan kasus-kasus yang lain, seperti penyerobotan tanah di Cimacan, Cianjur, yang dilakukan PT. Bandung Asri Mulia (BAM). Saat itu, ia mulai aktif sebagai volunter di LSM seperti di Institut Studi dan Informasi Hak Asasi Manusia (INSAN) lalu, di Lembaga Bantuan Huku (LBH).
Kesibukan Teten sudah mulai terbagi-bagi. Ia seringkali sebisa mungkin mengatur waktunya dengan baik. Setelah selesai kuliah di IKIP Bandung, Teten diangkat menjadi seorang guru, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kesibukan mengajar dan aktif di LSM sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Pagi mengajar, sementara sore ia aktif di LSM INSAN. Di LSM INSAN, ia mendapat tugas yang tidak ringan. Ia membuat dokumentasi kliping berbagai media tentang berita pelanggaran HAM dikalangan para petani, buruh, nelayan dan juga hak-hak politik warga.
Di INSAN-lah awal Teten tertarik untuk menggeluti dunia aktivis. Ia mulai tertarik dengan masalah petani dan perburuhan. Juga membaca berbagai refrensi buku sosial, ekonomi dan politik serta terlibat berdiskusi banyak dengan para aktivis buruh. Ia juga mulai menyelami kehidupan para buruh di pabrik-pabrik. Ia terjun kelapangan untuk melihat secara nyata kehidupan para buruh, di bawah tekanan rezim Orde Baru.
Masalah perburuhan ini cukup menarik keterlibatan Teten lebih dalam lagi, untuk memperjuangkan nasib para buruh. Ia berani merubah haluan dari PNS menjadi aktivis perburuhan. Pilihan itu memang tidak gampang, bahkan melawan harapan orang tuanya, Ena Hindasyah yang menginginkan agar Teten berkarir sebagai guru PNS. Namun seorang Teten, punya mimpi lain―ia hendak bercita-cita memperjuangkan perubahan lewat kerja-kerja sosial lewat LSM.
***
Teten Masduki mulai terlibat secara penuh setelah mengundurkan diri sebagai guru. Di YLBHI, ia dipercaya sebagai Kepala Divisi Perburuhan menggantikan Fauzi Abdullah. Disinilah ia mulai secara intens mengadvokasi para buruh untuk memperjuangkan hak-hak para buruh. Baginya, masalah buruh tidak bisa hanya mengandalkan dengan pendekatan hukum, tapi persoalan buruh merupakan bagian dari persoalan politik, sosial dan juga ekonomi.
Dari sini, aksi Teten Masduki dalam memperjuangkan hak-hak buruh tidak bisa terbendung lagi. Ia membela buruh PT. Gajah Tunggal (GT) Group dengan aksi pemogokan terbesar di masa Orde Baru. Ia juga terlibat dalam pengusutan pembunuhan kematian seorang buruh perempuan bernama Marsina.
Marsina, perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 10 April 1969 itu, merupakan buruh yang bekerja sebagai karyawan di pabrik PT. Catur Putra Surya (CTS). Marsina adalah salah satu orang yang melakukan aksi unjuk rasa dan pemogokan pada Mei 1993. Ia dan teman-temannya menuntut pemenuhan kesejahteraan buruh, sesuai dengan surat edaran Gubernur Jawa Timur tentang kenaikan gaji.
Namun, nahas yang menimpa Marsina cukup tragis. Tanggal 8 Mei, ia ditemukan tewas di sebuah gubuk di pinggir hutan jati di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Ia tewas dengan cara menggenaskan; tulang panggul dan leher remuk, perut terluka tusuk dan badan penuh memar. Kematian ini bagi banyak pihak dicurigai terkait dengan pemogokan buruh, tak terkecuali bagi Teten dan teman-temannya di YLBHI.
Kematian Marsina sangat menggoncang aktivis perburuhan di Indonesia. Banyak pihak yang kemudian bersimpati dan terlibat untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan ini. Teten di YLBHI mencoba mengadvokasi untuk membongkar kasus ini. Begitupun aktivis Munir di LBH Surabaya, juga ikut terlibat, yang kemudian mempererat perkenalannya dengan Teten.
Dalam penanganan kasus Marsina, Teten dan Munir selalu berbeda pendapat. Meskipun begitu,  mereka tetap memiliki tujuan yang sama, berusaha mengadvokasi dan menginvestigasi kasus pembunuhan Marsina. Mereka kemudian membentuk sebuah komite untuk membongkar kasus tersebut. Teten membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsina (KSUM). Sementara Munir, membentuk Komite Aksi Solidaritas Untuk Marsina (KASUM).
Dalam perjalanannya, kasus ini masih diliputi misteri, belum ditemukan titik terang siapa pembunuh sebenarnya. Namun bagi aktivis perburuhan, kasus ini merupakan langkah awal untuk menyadarkan publik akan masalah perburuhan. YLBHI berhasil mengadvokasi kasus Marsina, yang kemudian tumbuh benih-benih kekuatan bagi gerakan perburuhan di Indonesia. Dan Teten Masduki, kian tersadarkan bahwa politik buruh yang dikembangkan rezim Orde Baru merupakan duri-duri dalam kerangkeng kehidupan para buruh. Ini tidak bisa dibiarkan dan harus dilawan.
***
Melalui YLBHI, Teten dan aktivis lainnya mencoba melawan rezim otoriter itu. Puncaknya rezim diktator Soeharto berhasil dijungkalkan dari kursi kekuasannya pada 21 Mei 1998. Bersama dengan para aktivis demokrasi, kedudukan mahasiswa semakin kuat untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Gedung parlemen MPR/DPR RI berhasil di duduki. Para mahasiswa meminta Soeharto mundur dari kekuasannya. Dan pada 21 Mei 1998, Soeharto benar-benar jatuh. Ia menyatakan mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie.
Namun bagi Teten, jatuhnya rezim Soeharto masih membuatnya gelisah. Ia sadar bahwa Orde Baru sudah pupus. Tetapi ia masih mencium adanya gelagat orang-orang lama dalam era reformasi. Mereka masih rentan bermain dengan prilaku KKN. Hal inilah yang kemudian menghantui Teten Masduki.
Bersama temannya, Robertus Robet, mereka memikirkan bagaimana cara untuk mendorong pemerintahan yang bersih. Mereka membutuhkan alat perjuangan baru. Bersama sejumlah tokoh, mereka kemudian mendirikan sebuah gerakan sipil untuk melawan korupsi. Awalnya, Robet mengusulkan sebuah nama Komisi Masyarakat Independen untuk Penyelidikan Korupsi (KMPK). Sementara Daniel Dakhidae dengan nama Corruption Watch. Dua nama ini kemudian disandingkan, untuk selanjutnya terlibat dalam pengawasan, penyelidikan tindak pidana korupsi dan pembentukan sebuah pemerintahan yang bersih. KMPK kemudian lebih dikenal dengan nama Indonesia Corruption Watch (ICW).
Di ICW, Teten mulai menelusuri adanya harta kekayaan Soeharto beserta kasus-kasus lainnya seperti Pengembangan Buku dan Minat Baca yang di biayai Bank Dunia, penggelapan pajak, dugaan korupsi (PDAM) Jaya dan kasus suap Jaksa Agung Andi M. Ghalib.
Tetan Masduki dan ICW-nya mulai populer ketika ia berhasil mengusut kasus suap seorang Jenderal aktif yang menjabat sebagai Jaksa Agung, Andi M. Ghalib. Andi Ghalib lalu dicopot dari jabatannya oleh Presiden BJ Habibie. Meskipun tidak diadili, Teten dan ICW-nya merasa memenangi perkara itu. Mereka telah berhasil menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi. Kata Teten, yang paling penting, bagaimana menumbuhkan keberanian masyarakat untuk mengontrol pemerintahan.
Perhatian Teten dalam melawan korupsi kian menyubur, tatkala melihat pejabat-pejabat banyak yang terlibat korupsi. Perseteruan antara KPK versus Polri yang berawal dari penyadapan KPK terhadap Susno Duadji, seorang Kepala Bareskrim Polri, terkait pencairan dana nasabah Bank Century, membuat Teten dan kawan-kawannya terus intens melakukan perlawanan untuk membela KPK. KPK saat itu tengah diolok-olok Susno Duadji dengan sebutan cicak sementara Polri buaya. Atau dalam bahasa Susno Duadji, “cicak versus buaya.”
Bagi Teten, hal ini sangat menyakitkan. Ia melihat ada pihak-pihak yang merevitalisasi rezim korup. Maka, sebagai aktivis antikorupsi, ia menghimbau agar KPK diselamatkan. Ia juga mengatakan bahwa KPK harus dikawal. Banyak pihak yang kemudian terlibat mengawal dan mendukung KPK, termasuk Happy Salma, Slank, Erwin Gutawa dan lain-lain. Lalu dalam perkembangannya, Susno Duadji dicopot dari jabatannya. Dan cicak-lah yang menjadi pemenangnya.
***
Sebagai aktivis antikorupsi, Teten juga memulai dengan kegiatan baru yaitu selain menanam berbagai tanaman, ia juga memelihara domba. Inilah yang menarik dari sisi kehidupannya. Ia menitipkan domba-dombanya kepada petani. Bagi Teten, memelihara domba bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bisa dipakai untuk memberdayakan ekonomi rakyat.
Teten memang menitipkan domba-dombanya kepada para petani kecil yang tidak mempunyai lahan pertanian. Ia selalu mengatakan, jika dikelola dengan baik, dengan memberi bibit unggul, ternak domba bisa menjanjikan bagi petani. Ia ingin membangun ekonomi petani lewat ternak domba. Sekitar 150 indukan domba berhasil dititipkan ke lima puluh kelompok tani dengan sistem bagi hasil.
Selain itu, bagi Teten, domba juga bisa menjadi sebuah gerakan politik. Ia pernah menyampaikan untuk menyumbangkan dombanya ketika ICW menggalang dukungan rakyat untuk dana pembangunan gedung KPK. Disinilah ia kemudian selain dikenal aktivis buruh, antikorupsi juga dikenal sebagai juragan domba. Atau teman-temannya sering menjulukinya sebagai “Panglima Legiun Domba.”
Di tahun 2013 lalu, Teten hijrah kekampung halamannya untuk maju bersama Rieke dipilkada Jawa Barat. Ia hendak masuk dipemerintahan untuk melakukan perubahan. Ia menyadari sudah banyak berkecimpung diluar dengan berjuang melakukan perubahan di kehidupan masyarakat melalui LSM.
Kini, ia ingin berjuang lebih efektif dengan masuk ke struktur pemerintah. Baginya, kepemimpinan eksekutif bisa menjadi salah satu jalur untuk mendorong perubahan. Sebagai aktivis antikorupsi, ia bertekad dapat membersihkan birokrasi dari praktik korupsi.
Rieke dan Teten kemudian diusung oleh PDI-P pada pilkada Jawa Barat. Namun dalam perjalanannya, Rieke-Teten kalah dengan meraih poling suara terbanyak ke dua setelah Aher-Deddi. Namun bagi Teten,  kalah pun bukan berarti dia rusak.  Ia tidak akan jatuh nama baik, karena ia tidak mengeluarkan banyak uang.
Meskipun kalah, namun nama Teten kian dilirik oleh partai dan politisi. Saat Pilpres 2014, Teten menjadi ketua pemenangan Jokowi-JK. Ia kemudian berhasil membawa Jokowi-JK dikursi kekuasaan. Dari sinilah ia kemudian didapuk menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
***
Apa yang saya lihat adalah rentetan perjalanan perjuangan seorang Teten Masduki memang tergolong panjang. Ia berawal saat menjadi volunter di LSM INSAN, menjadi guru, masuk sebagai aktivis perburuhan di LBH kemudian di YLBHI, ICW, peternak domba, lalu mencoba masuk dipemerintahan namun gagal.
Semangatnya begitu menggelora dan ia tak pernah putus asa bahkan berbagai teror pun yang ia alami. Ia mempunyai cita-cita perubahan dengan kerja-kerja sosialnya. Ia ingin melihat buruh dan petani di Indonesia lebih baik tanpa kemiskinan. Ia ingin melihat Indonesia lebih baik tanpa korupsi. Ia ingin melihat Indonesia lebih demokratis.
Sekarang ia duduk di Istana sebagai Kepala Staf Presiden Jokowi. Jabatan ia diembannya hampir setara dengan wakil presiden Jusuf Kalla. Dari buku yang saya baca ini, saya ingin menantikan langkah-langkag kerja nyata, sebagaimana yang ia cita-citakan untuk melakukan perubahan. Minimal ia berhasil selalu mengkomunikasikan kepada Jokowi, apa yang menjadi keinginan para buruh dan petani.
Dari pengalamannya yang saya baca, ia banyak mengetahui apa yang menjadi keinginan para buruh dan petani. Namun, apakah ia bisa mewujudkan apa yang dicita-citakan dulu!
Entalah……

                                                                                                L. Halaidin
                                                                                                Kendari, 03 Agustus 2017

0 komentar:

Posting Komentar