Pixabay.com |
Semua kakus itu memang busuk. Tetapi kakus yang paling busuk itu adalah kakus tanpa penampung−lalu tetap saja orang-orang berak menghambur dibelakang rumah. Kotoran ini dihambur dihamparan luas tanpa batas, yang kemudian menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Biasanya ini dilakukan tanpa kesadaran akan pentingnya kesehatan.
Kakus
yang demikian dilakukan oleh masyarakat kampung. Mereka secara kolektif melakukannya
karena kemiskinan dan juga tidak terorganisirnya kesadaran mereka untuk selalu
menjaga kesehatan. Intinya, mereka tidak adanya pengetahuan tentang pentingnya membangun
sanitasi.
Kita
dapat membayangkan betapa amburadulnya kehidupan mereka. Persoalan kakus saja, tidak dapat dipecahkan persolannya. Apalagi misalnya dengan
persoalan-persoalan lain yang berat, yang tidak dapat dijangkau dengan
pemikiran mereka.
Kakus
tanpa batas atau saya menyebutnya dalam pemerintahan sebagai ‘kakus liberal’,
dapat menimbulkan berbagai problem dalam masyarakat. Lalat-lalat akan datang
mengerumunin taik−lalu hinggap dimakanan warga. Yang terjadi kemudian adalah
munculnya berbagai penyakit dalam masyarakat; ada penyakit Malaria, Muntaber
dan berbagai penyakit lainnya.
Dalam
pemerintahan daerah juga terdapat kakus-kakus yang menyebabkan bau amis dan
penyakit dikehidupan masyarakat. Kakus itu adalah sebuah institusi/lembaga atau
dinas-dinas yang didalamnya terdapat birokrasi yang bekerja dengan sistem.
Mereka juga adalah arsitek pembangunan, yang merancang/menyusun dan memanajemen
daerah.
Birokrasi
di Muna itu, seperti sebuah kakus tanpa penampung. Mereka membuang taik
dihamparan luas, tanpa ada pertimbangan tentang kesejahteraan warga. Banyak
lalat-lalat yang hinggap disana−lalu mengerumunin makanan warga. Yang ada
justru muncul berbagai penyakit yang meyerang; dari anak-anak, orang dewasa dan
orang tua/petani.
Sebuah
kakus jika dikelola dengan baik, sebenarnya akan jauh dari masalah. Ia bisa
menjadi pupuk untuk menyuburkan sebuah pohon, yang tergolong tua. Atau bisa
menjadi pupuk yang dapat menyuburkan sebuah tanaman yang baru tumbuh. Cara ini,
bisa menghasilkan sebuah pohon yang hijau daunnya dan buah-buah yang ranum.
Yang lainnya sudah tentu dapat membantu ekonomi petani.
Namun
dalam perjalanannya, kakus-kakus di pemerintah daerah Muna tidak bekerja dengan
baik, bahkan jauh dari efektif. Kakus-kakusnya bermasalah dan sangat buruk.
Bahkan
dalam kesempatan yang lain saat saya berkunjung pada dinas tertentu,
birokrasinya tak menunjukan kinerja-kinerja yang serius. Mereka malah dengan
asyik bermain domino, duduk dipojokan menggosip, pulang lebih duluan atau
sekedar bercerita santai pada jam kerja sambil merokok dan menyeruput kopi.
Atau, ada Camat yang tak tahan dengan kritik warga.
Apa
yang ingin saya katakan, di Muna perlu ada reformasi birokrasi yang
menyeluruh. Seluruh jajaran birokrasinya harus ditempatkan sesuai dengan Tupoksi dan keahliannya bukan dipilih berdasarkan
dukungan politik. Misalnya, seorang kepala dinas A, yang sebelumnya menjabat
tidak menunjukan kinerja dan gagasan yang baik untuk membangun daerah. Karena
dalam perjalanannya ia mendukung salah satu calon dan menang, ia masih dipertahankan
untuk menjadi kepala dinas tertentu.
Bagi
saya, ini tentu sesuatu yang salah kaprah dalam menata dan membangun suatu
daerah. Terselenggaranya pemerintahan yang baik, tentu harus didukung dengan
personil yang baik pula. Muna perlu birokrasi yang kompetitif−sebuah birokrasi
yang mampu bersaing dengan birokrasi daerah lain. Ia harus mampu menemukan
sebuah terobosan untuk mengeksplorasi daerah dengan segala sumber kekayaan alam
yang ada. Ia juga harus bisa memacu kreatifitas warga, dengan memanfaatkan segala
potensi ekonomi yang tersedia.
Muna,
selama ini mempunyai pengalaman yang buruk, masih banyaknya kakus-kakus yang
tidak tertata dengan baik. Birokrasi dibangun bukan berdasarkan kemampuan untuk
me-manejemen bawahanya agar bekerja dengan efektif, tetapi birokrasi yang
dibangun karena faktor politik. Birokrasi yang demikian, dapat menimbulkan
berbagai penyakit yang kronis; korupsi, kolusi dan juga nepotisme.
Maka
tak heran, jika selama ini kita mendengar bahwa Muna memang sebuah daerah yang
masih terbelakang, tertinggal dan tak pernah bangkit dari tidur lelapnya.
***
Lalu,
pertanyaannya, siapa yang dapat mereformasi kakus-kakus tersebut?
Dulu,
saya adalah orang yang sangat mengagumi sosok Rusman Emba saat menjadi ketua
DPRD Sulawesi Tenggara. Saya masih teringat, ketika menjadi mahasiswa kami
berdemonstrasi menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di depan gedung
Sekretariat DPRD Provinsi Sulawesi tenggara. Ditengah kerumunan demonstrasi
mahasiswa itu, ia datang dan menyambut ramah mahasiswa. Dengan senyumannya yang
ramah, ia kemudian merespon aspirasi mahasiswa yang juga merupakan aspirasi
rakyat Sulawesi Tenggara. Ia naik diatas kap mobil angkot, lalu berdemonstrasi
ikut mendukug tuntutan mahasiswa.
Rusman Emba |
Kekaguman saya bertambah ketika ia dikenal sangat dekat dengan anak-anak muda. Ia tak ingin membangun jarak dengan pemuda yang merupakan generasi penerus bangsa. Ia hendak membangun komunikasi dengan pemuda, untuk bersama-sama memikirkan persoalan bangsa dan daerah masing-masing.
Meskipun
saya tidak pernah bertemu langsung dengan sosok Rusman Emba, pada pencalonannya
di Pilkada Muna tahun 2014 lalu, saya tetap mendukungnya. Bagi saya, dia
merupakan sosok yang visioner−yang mampu membawah daerah Muna menuju kemajuan.
Ia dikenal mempunyai gagasan yang banyak, untuk membangun ekonomi petani
masyarakat Muna.
Dalam
perjalanan karir politiknya, Rusman Emba terpilih sebagai Bupati Muna. Sebelumnya
ia sempat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) Sulawesi
Tenggara, lalu mengundurkan diri untuk mengikuti perhelatan pemilihan Bupati
Muna. Dengan kemenangan yang diperolehnya dan menjabat sebagai Bupati untuk
lima tahun, masyarakat Muna menyandarkan harapan agar gagasan Rusman Emba dapat
memengaruhi kehidupan mereka.
Disinilah,
peran Rusman Emba sangat diharapkan untuk dapat mereformasi kakus-kakus di Muna
yang bermasalah.
Namun,
harapan itu tinggal harapan dan belum ada gagasan yang langsung bersentuhan
dengan kehidupan masyarakat Muna. Belum ada kinerja yang menunjukan
keprogresifannya untuk memajukan daerah. Ia hanya mempopulerkan tag-line Mai Te Wuna (bahasa Indonesianya: datang di Muna), yang
bergerak dibidang kepariwisataan dan budaya. Ia hendak, memperkenalkan
budaya-budaya Muna dan potensi pariwisata yang dimiliki Muna.
Di
jajaran birokrasi, ia tidak melakukan banyak hal. Bahkan ada kepala dinas, yang
tidak mempunyai kinerja baik, masih dipertahankan hanya karena faktor dukungan
politik. Perombakan di birokrasi tidak berjalan secara demokratis, yang
ditunjuk berdasarkan kemampuan dan keahliannya. Ia sama halnya mempekerjakan
orang-orang tanpa gagasan, yang tidak hendak sama sekali membangun ekonomi
petani.
Sekarang,
kekaguman itu menipis bahkan tidak ada lagi, saat ia mendeklarasikan untuk
menuju kursi Gubernur Sulawesi Tenggara. Ia seperti hendak menjadikan Muna
seperti lompatan untuk menuju kursi kekuasaan yang lebih luas lagi. Di media
sosial ia mengumumkan ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi
Tenggara. Baliho-balihonya sudah tersebar luas. Bahkan dengan pakaian yang
necis memakai jas dan dasi, ia terlihat membingungkan. Ia sebenarnya mewakili
siapa!
Dari
pakayan yang dikenakannya kita dapat menebak, ia seperti mewakili kelas
menengah dan golongan kaya. Bukan petani, buruh dan nelayan. Inilah yang saya
lihat.
***
Bagi
saya, Rusman Emba seharusnya tak perlu buru-buru untuk menebar opini tentang
pencalonanya. Ia seharusnya fokus terlebih dahulu untuk membangun dan menata
Muna, ia sudah sekian lama tak berkembang. Selama pemilihan dan sampai
dibawahnya proses hukum ke Mahkama Konsistusi (MK), Muna seperti dibuat terseok-seok.
Perseteruannya memakan waktu satu tahun lebih. Ketika daerah lain sudah mulai
membangun, Muna masih berseteruh tentang pelanggaran pemilihan. Ini sangat
menguras tenaga dan membuat pembangunan Muna terlihat dikesampingkan.
Kini,
Rusman Emba menjabat sebagai Bupati Muna sudah dua tahun lebih. Ia harus fokus
dan progresif menata kakus-kakus yang bermasalah. Penataan kakus-kakus itu,
juga dapat membuat masyarakat Muna agar tak membuang taik ditempat hamparan
luas lagi. Mereka harus dibuatkan sanitasi−toilet agar tak menimbulkan berbagai
macam penyakit.
Inilah
sikap saya sebagai warga Muna, yang juga sangat mencintai Muna. Saya kritik
terhadap opini pencalonanya sebagai Gubernur, sementara di Muna, ia belum
berbuat banyak. Kakus-kakusnya masih banyak yang bermasalah, namun ia hendak
memanjat kekuasaan yang lebih tinggi lagi.
Ia
tak bisa, memanjat kekuasaan seperti Jokowi yang dimulai dari bawah. Jokowi
terkenal dan disenangi rakyatnya karena berhasil mereformasi kakus-kakus di
Solo. Sementara Rusman Emba, apa yang dilakukan di Muna, itu belum ada.
Saya
hanya ingin mengatakan, kekuasaan dapat membuat keterlenaan, tergoda yang
kemudian dapat diselewengkan. Ketika kekuasaan digenggam, ia sewaktu-waktu juga
akan lepas. Maka kekuasaan seharusnya dipegang teguh, menjaga kepercayaan itu
agar terus mendapat legitimasi kepercayaan terhadap masyarakat Muna. Karena
seperti yang dikatakan Daniel Dhakidae bahwa kekuasaan begitu nyata dan juga
begitu misterius.
Rakyat
dalam kehidupannya sangat membutuhkan orang-orang baik dan berkemauan baik
dalam membangun kesejahteraan. Obama dalam buku autobiografinya The Audacity of Hope, seperti yang
tertulis dalam buku Teten Masduki:
Panglima Domba Melawan Korupsi menulis “Jika ada cukup banyak orang yang
percaya pada kebenaran proposisi itu dan bertindak sesuai dengannya, boleh jadi
kita tidak hanya dapat menyelesaikan persoalan tetapi juga mampu melakukan
sesuatu yang lebih bermakna.”
Jadi,
pilihan ada ditangan Rusman Emba. Ia lebih mendengar golongannya untuk berkuasa
atau mendengar aspirasi rakyat Muna yang lebih membutuhkannya.
Untuk
saya, ia seharusnya fokus untuk memperbaiki kakus-kakusnya.
L.
Halaidin
Muna,
18 Juni 2017
0 komentar:
Posting Komentar