10 Agustus 2017

Zaman Topeng

Sumber gambar: Pixabay

Setiap zaman terus berubah. Generasi pun demikian. Generasi yang pertama muncul apa yang disebut dengan generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964. Kedua, generasi X, yang lahir 1965-1980. Ketiga, generasi Y alias milenial, lahir 1981-1994. Keempat, generasi Z, yang lahir 1995-2010. Dan kelima, kita juga akan kelahiran generasi baru bernama generasi Alpha, yang kelahirannya tahun 2011-2025.

Setiap generasi yang lahir selalu berevolusi. Generasi yang paling terkenal dibahas saat ini adalah munculnya generasi Z. Tetapi sebelum itu, kita kelahiran generasi Y alias milenial, yang mana generasi ini juga terkenal karena merasakan atau telah melewati masa milenium kedua.
Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam dunia yang serba cepat. Taknologi, bagi generasi Z adalah dunianya. Mereka dikenal sebagai generasi yang melek teknologi. Dalam kehidupannya, generasi Z dapat melakukan berbagai hal dengan sangat muda dan cepat seperti bersosialisasi, dan mengontrol jalannya pemerintahan lewat media sosial. Atau bisa melakukan hal lainya yang bisa berpengaruh terhadap ekonomi, politik dan sosial.
Di Indonesia, zaman ternyata terus mengalami perubahan. Dimasa kerajaan, kita mengenal dengan nama zaman Kutai. Zaman ini merupakan zaman yang pertama kali menampilkan nilai-nilai sosial politik dan ketuhanan. Setelah itu, ada zaman Sriwijaya yaitu sebuah zaman yang ingin membangun cita-cita sebuah Negara yang adil dan makmur.
Kemudian munculah zaman-zaman lainnya seperti zaman kerajaan sebelum Majapahit, zaman kerajaan Majapahit, zaman penjajahan dan zaman merebut kemerdekaan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, dimana Negara dipimpin oleh presiden Soekarno, munculah sebuah zaman yang disebut zaman Orde Lama. Lalu, di bawah rezim kepemimpinan Soeharto, di Indonesia kemudian muncul sebuah zaman baru, bernama zaman Orde Baru.
Tetapi kekuasaan itu ternyata tidak abadi, tapi fana. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto berhasil dijungkalkan dari kekuasaannya 21 Mei 1998. Zaman Orde Baru tumbang. Lalu, dengan semangat reformasi, banyak kalangan saat itu menginginkan sebuah zaman dengan harapan dan perubahan baru. Zaman itu (sampai saat ini masih disebut) sebagai zaman reformasi.
***
Tetapi sebelum itu, di zaman Orde Lama, Soe Hok Gie pernah menyinggung tentang manusia-manusia baru. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang lapisan atau generasi baru, tetapi manusia-manusia baru. Dalam buku Daniel Dhakidae “Menerjang Badai Kekuasaan” Soe Hok Gie menyebutkan, mereka yang saat itu lahir setelah kemerdekaan─disebut manusia-manusia baru adalah mereka yang mengalami sesuatu yang baru, harapan baru, pengalaman politik dan sosial baru dan semangat baru yang mungkin menjadi keprihatinan dan ketakutan baru pula.
Pemikiran Soe Hok Gie itu tentu bukan hanya sekadar teori. Hal itu merupakan fakta pahit yang ia saksikan, tetapi tentu dengan kritikannya. Dibalik yang serba baru itu, kekuasaan ternyata tidak mengandung kebaruan. Ia justru banyak menemukan kepingan-kepingan fakta keruntuhan demi keruntuhan.
Kekuasaan Soekarno pasca proklamasi kemerdekaan ia anggap sebagai kebijaksanaan politik kemewahan dan kesewenang-wenangan. Korupsi bermain dilingkar istana, sementara rakyat diluar hidup melarat, bahkan ada yang kelaparan lalu memakan kulit mangga. Orde Lama, tak lain adalah sebuah harapan baru yang menjelma menjadi sebuah ketakutan baru pula.
Setelah jatuhnya Orde Lama, banyak pihak yang lalu kemudian menunggu sebuah zaman baru dengan harapan baru. Soeharto saat itu mengambil alih kekuasaan dengan zaman baru, yakni sebuah zaman Orde Baru. Tetapi dalam perjalanannya, zaman ini ternyata bukanlah obat mujarab, tetapi justru mengekang rakyat dengan hukum yang sewenang-wenang.
Orang-orang yang kritik terhadap pemerintahannya ia penjarakan bahkan diculik dan dibunuh. Ia mencoba bertopeng dibalik pancasila. Dengan dalih pelaksanaan pancasila secara murni dan konsekuen, maka setiap warga tidak boleh ada tafsir yang berbeda dan mengkritik. Yang berbeda pandangan, dianggap sebagai penghianat pancasila, subversif dan makar terhadap pemerintahan yang sah.
Pemerintahan Soeharto berusaha memaki berbagai instrument terhadap pancasila, untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Pengelolaan Negara terlihat sangat sentralistik bahkan otoriter. Budaya KKN mengakar dan terjadi dari level bawah hingga di pucuk kekuasaan. Kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah serta antara kaum kaya dan miskin sangat menganga lebar.
Pada titik ini, zaman Orde Baru justru tidak mendatangkan sebuah harapan dan perubahan baru. Ia justru berubah dengan wajah yang sangat seram dan menakutkan rakyat banyak. Zaman dengan harapan dan perubahan baru itu, ternyata hanyalah menjadi sebuah keprihatinan dan ketakutan baru pula.
Lalu, bagaimana dengan zaman reformasi?
Zaman ini bagi sebagian orang, dianggap sebagai zaman ‘juru selamat bangsa.’ Di zaman reformasi ini kita dapat menemukan suatu keterbukaan baru, pasar baru, birokrasi dengan model kerja baru, kapitalisme baru dan semua yang baru-baru. Rakyat dijanjikan dengan ruang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam memajukan negeri.
Juga atas nama demokrasi, rakyat berhak memilih pemimpinnya yang baru, wakilnya yang baru dan juga semua yang baru-baru. Rakyat juga seringakali dijanjikan dengan surga-surga yang baru pula. Entah surga yang seperti apa!
Dari semua kebaru-baruan itu, bangsa ini sepertinya jalan ditempat. Zaman berubah tetapi kelakuan manusianya tidak berubah. Bangsa ini memiliki banyak pengalaman sosial, ekonomi dan politik yang pahit, tetapi para pengambil kebijakan hanyalah berpangku tangan, sambil menunggu datangnya keajaiban. Hasilnya jelas nihil. Dan petani bangsa kita tetap dalam kungkungan kemiskinan.
Rakyat miskin seperti sedang melihat sebuah parade pertunjukan topeng. Ada yang bertopengkan emas dengan jabatan, yang ketika berjalan diluar, dimuka umum memiliki niat baik, hatinya suci dan bersih, tetapi dilingkungan kelompoknya berhati busuk. Mereka kadang bekerjsama, kongkalingkong dengan pengusaha untuk menjarah uang rakyat.
Ada juga yang bertopengkan hitam, tetapi setia kepada bangsanya. Ia hendak menumpas banyak kejahatan yang terjadi, termasuk kepada orang-orang yang bertopeng emas. Topeng hitam hendak memberangus mereka yang menghianat kepada cita-cita bangsanya. Ia hanya menginginkan bangsanya bebas dari korupsi dan kemiskinan. Namun bagi topeng emas, topeng hitam adalah musuh besar utama. Ia harus dilenyapkan karena menganggu gurita yang sedang lapar, untuk melahap uang rakyat.
Seperti inilah pertunjukan di Indonesia. Indeks korupsi di bangsa kita, hampir memuncak. Lalu, lihatlah kinerja para birokrasi pemerintah kita dari tingkat pusat, daerah/kota dan desa. Dari para menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, hingga kepala Desa terjerat korupsi. Lihatlah wakil rakyat kita yang hanya pandai bersilat lidah, lapor-melapor dan bertengkar di media sosial, tetapi sangat minim dengan hasil kerja. Baru berapa Undang-undang yang diselesaikan selama hampir tiga tahun ini!
Lihatlah para penegak hukum kita; polisi/TNI dan para Hakim. Lihatlah partai politik, baik yang berideologikan islam maupun nasionalis. Lihatlah para politisi yang sering wara-wiri di media sosial. Mereka seperti bak pendekar penumpas kejahatan yang ingin menyelamatkan bangsanya. Tetapi dibalik itu, mereka sepertinya ingin memberangus orang-orang miskin dari kehidupannya.
Zaman reformasi ini, tak ubahnya hanyalah metamorfosis dari zaman-zaman sebelumnya. Korupsi kian menyubur, partai hanya unjuk gigi untuk merebut kekuasaan, wakil rakyat bermain-main dengan uang rakyat, pemerintah pusat sibuk dengan agenda sendiri di pulau Jawa dan Sumatra, APBN/APBD dibagi-bagi dengan menciptakan berbagai proyek, tanah dirampas bekerjsama dengan para pengusaha. Semua bertopeng atas nama agama dan nasionalisme, demi pembangunan dan kesejahteraan.
 Soe Hok Gie memang benar. Zaman yang diyakini bisa membawa harapan dan perubahan yang lebih besar, ternyata berubah menjadi sebuah keprihatinan dan ketakutan baru pula. Prihatin saat menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan ini. Dan takut, saat melihat kemiskinan kian membelenggu rakyat. Lalu apa lagi!
***
Saat ini, rakyat memang hidup di zaman topeng. Ini tidak bisa dinafikan lagi. Kita disuguhkan dengan dua pendekar yang bertopeng, seperti yang saya sebutkan diatas. Satu pendekar topeng hitam, yang identik dengan ilmu hitam untuk menebar kejahatan. Kedua, pendekar topeng emas, yang identik dengan golongan putih penumpas kejahatan.
Namun, taukah mana pendekar yang berjubah dibalik topeng itu! Pengalaman mengatakan, kejahatan dan niat busuk selalu bersembunyi dibalik topeng kebaikan, bertopengkan emas. Ia hanya pandai beretorika, menebar janji-janji untuk kemaslahatan umat. Pendekar topeng emas juga pandai menebar pesona, lalu menarik perhatian banyak orang. Ia dianggap baik dan pintar, bisa mensejahterakan rakyat miskin. Tetapi dibalik itu, ia hendak menggusur orang-orang miskin, melenyapkan mereka yang dianggap menghalangi.
Sementara topeng hitam, hanyalah orang biasa. Ia sama sekali tidak doyan jabatan dan tidak punya jabatan. Ia juga tidak menginginkan sebuah kekayaan. Ia bertopeng hitam hanya karena tidak ingin dikenal rakyat banyak, bahwa sebenarnya ia hendak menumpas kejahatan. Orang-orang seperti pendekar topeng hitam, adalah mereka yang menyusuri jalan sunyi dan terjal demi membumikan kemaslahatan umat.
Kita menyaksikan zaman reformasi berubah, menjadi sebuah zaman topeng. Orang-orang yang berniat busuk selalu bersembunyi dibalik topeng emasnya. Sementara orang-orang yang berniat baik, demi menjaga bangsanya, mereka menggunakan topeng hitam. Bukan ia memiliki ilmu hitam lalu menebar kejahatan, tetapi ia hanya tidak ingin disanjung, disebut pahlawan. Ia hanya mendedikasikan dirinya untuk bangsanya. Baginya, kesejahteraan bangsanya adalah nyawanya yang harus ia pertaruhkan.
Zaman topeng adalah zaman yang penuh dengan tipu-daya muslihat kebaikan.

                                                                                L. Halaidin
                                                                              Kendari, 11 Agustus 2017

0 komentar:

Posting Komentar