Sumber gambar: Pixabay |
Setiap zaman terus berubah. Generasi pun demikian. Generasi yang pertama muncul apa yang disebut dengan generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964. Kedua, generasi X, yang lahir 1965-1980. Ketiga, generasi Y alias milenial, lahir 1981-1994. Keempat, generasi Z, yang lahir 1995-2010. Dan kelima, kita juga akan kelahiran generasi baru bernama generasi Alpha, yang kelahirannya tahun 2011-2025.
Setiap generasi yang lahir selalu berevolusi. Generasi yang paling terkenal dibahas saat ini adalah munculnya generasi Z. Tetapi sebelum itu, kita kelahiran generasi Y alias milenial, yang mana generasi ini juga terkenal karena merasakan atau telah melewati masa milenium kedua.
Generasi
Z adalah generasi yang lahir dalam dunia yang serba cepat. Taknologi, bagi
generasi Z adalah dunianya. Mereka dikenal sebagai generasi yang melek
teknologi. Dalam kehidupannya, generasi Z dapat melakukan berbagai hal dengan
sangat muda dan cepat seperti bersosialisasi, dan mengontrol jalannya pemerintahan
lewat media sosial. Atau bisa melakukan hal lainya yang bisa berpengaruh
terhadap ekonomi, politik dan sosial.
Di
Indonesia, zaman ternyata terus mengalami perubahan. Dimasa kerajaan, kita
mengenal dengan nama zaman Kutai. Zaman ini merupakan zaman yang pertama kali
menampilkan nilai-nilai sosial politik dan ketuhanan. Setelah itu, ada zaman
Sriwijaya yaitu sebuah zaman yang ingin membangun cita-cita sebuah Negara yang
adil dan makmur.
Kemudian
munculah zaman-zaman lainnya seperti zaman kerajaan sebelum Majapahit, zaman kerajaan
Majapahit, zaman penjajahan dan zaman merebut kemerdekaan.
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, dimana Negara dipimpin oleh presiden
Soekarno, munculah sebuah zaman yang disebut zaman Orde Lama. Lalu, di bawah rezim
kepemimpinan Soeharto, di Indonesia kemudian muncul sebuah zaman baru, bernama
zaman Orde Baru.
Tetapi
kekuasaan itu ternyata tidak abadi, tapi fana. Selama 32 tahun berkuasa,
Soeharto berhasil dijungkalkan dari kekuasaannya 21 Mei 1998. Zaman Orde Baru
tumbang. Lalu, dengan semangat reformasi, banyak kalangan saat itu menginginkan
sebuah zaman dengan harapan dan perubahan baru. Zaman itu (sampai saat ini masih
disebut) sebagai zaman reformasi.
***
Tetapi
sebelum itu, di zaman Orde Lama, Soe Hok Gie pernah menyinggung tentang manusia-manusia
baru. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang lapisan atau generasi baru,
tetapi manusia-manusia baru. Dalam buku Daniel Dhakidae “Menerjang Badai Kekuasaan” Soe Hok Gie menyebutkan, mereka yang
saat itu lahir setelah kemerdekaan─disebut manusia-manusia baru adalah mereka
yang mengalami sesuatu yang baru, harapan baru, pengalaman politik dan sosial
baru dan semangat baru yang mungkin menjadi keprihatinan dan ketakutan baru
pula.
Pemikiran
Soe Hok Gie itu tentu bukan hanya sekadar teori. Hal itu merupakan fakta pahit
yang ia saksikan, tetapi tentu dengan kritikannya. Dibalik yang serba baru itu,
kekuasaan ternyata tidak mengandung kebaruan. Ia justru banyak menemukan kepingan-kepingan
fakta keruntuhan demi keruntuhan.
Kekuasaan
Soekarno pasca proklamasi kemerdekaan ia anggap sebagai kebijaksanaan politik
kemewahan dan kesewenang-wenangan. Korupsi bermain dilingkar istana, sementara
rakyat diluar hidup melarat, bahkan ada yang kelaparan lalu memakan kulit
mangga. Orde Lama, tak lain adalah sebuah harapan baru yang menjelma menjadi
sebuah ketakutan baru pula.
Setelah
jatuhnya Orde Lama, banyak pihak yang lalu kemudian menunggu sebuah zaman baru
dengan harapan baru. Soeharto saat itu mengambil alih kekuasaan dengan zaman baru,
yakni sebuah zaman Orde Baru. Tetapi dalam perjalanannya, zaman ini ternyata
bukanlah obat mujarab, tetapi justru mengekang rakyat dengan hukum yang
sewenang-wenang.
Orang-orang
yang kritik terhadap pemerintahannya ia penjarakan bahkan diculik dan dibunuh.
Ia mencoba bertopeng dibalik pancasila. Dengan dalih pelaksanaan pancasila
secara murni dan konsekuen, maka setiap warga tidak boleh ada tafsir yang
berbeda dan mengkritik. Yang berbeda pandangan, dianggap sebagai penghianat
pancasila, subversif dan makar terhadap pemerintahan yang sah.
Pemerintahan
Soeharto berusaha memaki berbagai instrument terhadap pancasila, untuk terus
melanggengkan kekuasaannya. Pengelolaan Negara terlihat sangat sentralistik
bahkan otoriter. Budaya KKN mengakar dan terjadi dari level bawah hingga di
pucuk kekuasaan. Kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah serta antara
kaum kaya dan miskin sangat menganga lebar.
Pada
titik ini, zaman Orde Baru justru tidak mendatangkan sebuah harapan dan
perubahan baru. Ia justru berubah dengan wajah yang sangat seram dan menakutkan
rakyat banyak. Zaman dengan harapan dan perubahan baru itu, ternyata hanyalah
menjadi sebuah keprihatinan dan ketakutan baru pula.
Lalu,
bagaimana dengan zaman reformasi?
Zaman
ini bagi sebagian orang, dianggap sebagai zaman ‘juru selamat bangsa.’ Di zaman
reformasi ini kita dapat menemukan suatu keterbukaan baru, pasar baru, birokrasi
dengan model kerja baru, kapitalisme baru dan semua yang baru-baru. Rakyat
dijanjikan dengan ruang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam memajukan
negeri.
Juga
atas nama demokrasi, rakyat berhak memilih pemimpinnya yang baru, wakilnya yang
baru dan juga semua yang baru-baru. Rakyat juga seringakali dijanjikan dengan
surga-surga yang baru pula. Entah surga yang seperti apa!
Dari
semua kebaru-baruan itu, bangsa ini sepertinya jalan ditempat. Zaman berubah
tetapi kelakuan manusianya tidak berubah. Bangsa ini memiliki banyak pengalaman
sosial, ekonomi dan politik yang pahit, tetapi para pengambil kebijakan
hanyalah berpangku tangan, sambil menunggu datangnya keajaiban. Hasilnya jelas nihil.
Dan petani bangsa kita tetap dalam kungkungan kemiskinan.
Rakyat
miskin seperti sedang melihat sebuah parade pertunjukan topeng. Ada yang
bertopengkan emas dengan jabatan, yang ketika berjalan diluar, dimuka umum
memiliki niat baik, hatinya suci dan bersih, tetapi dilingkungan kelompoknya
berhati busuk. Mereka kadang bekerjsama, kongkalingkong dengan pengusaha untuk menjarah
uang rakyat.
Ada
juga yang bertopengkan hitam, tetapi setia kepada bangsanya. Ia hendak menumpas
banyak kejahatan yang terjadi, termasuk kepada orang-orang yang bertopeng emas.
Topeng hitam hendak memberangus mereka yang menghianat kepada cita-cita
bangsanya. Ia hanya menginginkan bangsanya bebas dari korupsi dan kemiskinan.
Namun bagi topeng emas, topeng hitam adalah musuh besar utama. Ia harus
dilenyapkan karena menganggu gurita yang sedang lapar, untuk melahap uang
rakyat.
Seperti
inilah pertunjukan di Indonesia. Indeks korupsi di bangsa kita, hampir memuncak.
Lalu, lihatlah kinerja para birokrasi pemerintah kita dari tingkat pusat, daerah/kota
dan desa. Dari para menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, hingga kepala Desa
terjerat korupsi. Lihatlah wakil rakyat kita yang hanya pandai bersilat lidah,
lapor-melapor dan bertengkar di media sosial, tetapi sangat minim dengan hasil
kerja. Baru berapa Undang-undang yang diselesaikan selama hampir tiga tahun ini!
Lihatlah
para penegak hukum kita; polisi/TNI dan para Hakim. Lihatlah partai politik, baik
yang berideologikan islam maupun nasionalis. Lihatlah para politisi yang sering
wara-wiri di media sosial. Mereka seperti bak pendekar penumpas kejahatan yang
ingin menyelamatkan bangsanya. Tetapi dibalik itu, mereka sepertinya ingin
memberangus orang-orang miskin dari kehidupannya.
Zaman
reformasi ini, tak ubahnya hanyalah metamorfosis dari zaman-zaman sebelumnya. Korupsi
kian menyubur, partai hanya unjuk gigi untuk merebut kekuasaan, wakil rakyat
bermain-main dengan uang rakyat, pemerintah pusat sibuk dengan agenda sendiri
di pulau Jawa dan Sumatra, APBN/APBD dibagi-bagi dengan menciptakan berbagai
proyek, tanah dirampas bekerjsama dengan para pengusaha. Semua bertopeng atas
nama agama dan nasionalisme, demi pembangunan dan kesejahteraan.
Soe Hok Gie memang benar. Zaman yang diyakini
bisa membawa harapan dan perubahan yang lebih besar, ternyata berubah menjadi
sebuah keprihatinan dan ketakutan baru pula. Prihatin saat menyaksikan
keruntuhan demi keruntuhan ini. Dan takut, saat melihat kemiskinan kian
membelenggu rakyat. Lalu apa lagi!
***
Saat
ini, rakyat memang hidup di zaman topeng. Ini tidak bisa dinafikan lagi. Kita
disuguhkan dengan dua pendekar yang bertopeng, seperti yang saya sebutkan
diatas. Satu pendekar topeng hitam, yang identik dengan ilmu hitam untuk
menebar kejahatan. Kedua, pendekar topeng emas, yang identik dengan golongan
putih penumpas kejahatan.
Namun,
taukah mana pendekar yang berjubah dibalik topeng itu! Pengalaman mengatakan,
kejahatan dan niat busuk selalu bersembunyi dibalik topeng kebaikan,
bertopengkan emas. Ia hanya pandai beretorika, menebar janji-janji untuk
kemaslahatan umat. Pendekar topeng emas juga pandai menebar pesona, lalu
menarik perhatian banyak orang. Ia dianggap baik dan pintar, bisa
mensejahterakan rakyat miskin. Tetapi dibalik itu, ia hendak menggusur
orang-orang miskin, melenyapkan mereka yang dianggap menghalangi.
Sementara
topeng hitam, hanyalah orang biasa. Ia sama sekali tidak doyan jabatan dan
tidak punya jabatan. Ia juga tidak menginginkan sebuah kekayaan. Ia bertopeng
hitam hanya karena tidak ingin dikenal rakyat banyak, bahwa sebenarnya ia
hendak menumpas kejahatan. Orang-orang seperti pendekar topeng hitam, adalah
mereka yang menyusuri jalan sunyi dan terjal demi membumikan kemaslahatan umat.
Kita menyaksikan
zaman reformasi berubah, menjadi sebuah zaman topeng. Orang-orang yang berniat
busuk selalu bersembunyi dibalik topeng emasnya. Sementara orang-orang yang
berniat baik, demi menjaga bangsanya, mereka menggunakan topeng hitam. Bukan ia
memiliki ilmu hitam lalu menebar kejahatan, tetapi ia hanya tidak ingin
disanjung, disebut pahlawan. Ia hanya mendedikasikan dirinya untuk bangsanya. Baginya,
kesejahteraan bangsanya adalah nyawanya yang harus ia pertaruhkan.
Zaman
topeng adalah zaman yang penuh dengan tipu-daya muslihat kebaikan.
L.
Halaidin
Kendari, 11
Agustus 2017
0 komentar:
Posting Komentar