|
Teten Masduki:Dok. Pribadi |
Pagi
itu, awan terlihat cukup cerah.
Secerah cat tembok gedung Istana Merdeka Jakarta yang berwarnah keputihan itu. Ini menandakan cuaca pagi itu sangat baik
untuk beraktivitas.
Namun,
cuaca hati dan suara sumbang dari para petani pegunungan Kendeng, ternyata
menggambarkan sebaliknya. Bagi mereka, awan pagi itu memang cerah, namun jiwa
mereka seperti sedang direnggut oleh
kekuasaan. Para sedulur itu sedang
berhadapan dengan pemerintah.
Mereka
sedang ditimpah sebuah kemalangan akibat ulah pemerintah dan kompradornya, PT.
Semen Indonesia. Tanah yang sudah dianggap sebagai Ibu pertiwi, diserahkan
kepada PT. Semen Indonesia oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah sebagai
pertambangan pabrik semen.
Alih-alih
mematuhi keputusan Mahkama Konstitusi (MK) dan perintah Presiden dengan menunda
semua izin pertambangan untuk kemudian dilakukan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS), Ganjar Pranowo malah mengeluargan izin lingkungan baru untuk
PT. Semen Indonesia. Ganjar Pranowo, seperti memberi keleluasan pada korporasi
kapital itu karena alasan investasi yang bernilai triliunan.
Maka,
cuaca cerah itu─yang seharusnya baik untuk beraktivitas di sawah dan ladang,
kini berubah menjadi sebuah aksi
demonstrasi. Para sedulur Kendeng, datang di gedung Istana Merdeka Jakarta, membawa tuntutan penolakan pabrik semen dengan menyemen kaki dengan semen. Aksi ini adalah bagian dari
penolakan yang berkaitan dengan masalah direnggutnya kehidupan, lingkungan/Ibu
pertiwi dan juga hak-hak masyarakat pegunungan Kendeng.
Di
depan gedung Istana Merdeka Jakarta itu, para sedulur Kendeng rela
berpanas-panasan, karena keinginannya bertemu dan menyampaikan langsung tuntutan mereka kepada sang Presiden Jokowi. Tetapi kali itu, mereka disambut dan
diterima oleh seorang Kepala Staf
Kepresidenan.
Ia bernama Teten Masduki. Ia menjabat sebagai Kepala Staf Presiden
Jokowi sejak 2 September 2015, menggantikan Luhut Binsar Panjaitan.
Bagaimana kisah perjalanan kehidupan seorang Teten Masduki,
hingga menjadi Kepala Staf Presiden?
***
Tetan Masduki lahir di Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963.
Semasa kecilnya, ia termasuk orang yang berkecukupan,
berasal dari keluarga mapan. Ayahnya, bernama Masduki
seorang pengusaha tapioka di Limbangan, Garut, yang memiliki tiga pabrik pembuatan
tepung. Sedangkan Ibunya, Ena Hindasyah seorang Ibu rumah tangga, namun ia juga
sesekali
kadang terlibat dalam mengatur pekerjaan dipabrik.
Seorang
Tetan remaja adalah Teten yang kritis dan suka melawan
terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Pernah suatu kali Teten dan
sahabat-sahabatnya memprotes guru mengajinya, lantaran cara mengajarnya terlalu
keras, tidak adil dan suka menebar teror. Mereka sering dipukul dan dijewer
oleh
guru ngaji tersebut.
Dengan adanya protes itu, guru mengaji tersebut berhasil diganti atau kembali
mengajar dengan cara lembut, bukan lagi dengan kekerasan. Mereka berhasil
mengubah keadaan, meskipun tergolong muda. Bagi Teten, ketidakadilan ternyata
bisa dilawan. Tentu ini dilakukan dengan strategi yang tepat, kebersamaan, dan
kekompakan. Dipesantren inilah yang kemudian mempengaruhi kehidupan Teten
kemudian.
Setelah
tamat di SMAN 349 Cicalengka, Teten kemudian memilih untuk kuliah di Bandung,
di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, jurusan Kimia Minor Matematika. Saat
itu, ia memilih untuk menjadi guru, karena keterpukauan dan ketertarikannya
pada guru Fisika di SMA-nya. Ia merasakan guru tersebut mengajar sangat cerdas,
bisa membuat para siswa dapat menguasai pelajaran dengan baik.
Namun,
perjalanan kehidupan mahasiswa Teten di Bandung, bukan fokus pada kuliah
formal, tetapi ia lebih memilih dengan aktivitas hiruk-pikuk gerakan. Ia merasa
terpukau dengan atmosfir gerakan intelektualisme dan aktivisme di Bandung.
Teten sadar bahwa ia sedang berada di Kota yang memang menjadi pusat gerakan
mahasiswa.
Dalam
aktivitasnya di Bandung, ia banyak menemukan inspirasi dari kelompok diskusi
dan tokoh-tokoh sosial dan demokrasi. Sebut saja misalnya seperti Dawam
Rahardjo, Mulyana W. Kusuma, Adi Sasono dan lainnya. Para aktivis senior itu
berhasil membuka pikiran Teten dan mahasiswa lain, yang selama ini haus akan
pencerahan. Ia kemudian semakin masuk dalam gerakan, dengan mengikuti diskusi
masalah sosial di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bandung.
Pertama
kali pembelaan rakyat yang dimasuki Teten adalah perampasan tanah di Badega,
Garut yang dilakukan PT. Citrin. Disusul kemudian dengan kasus-kasus yang lain,
seperti penyerobotan tanah di Cimacan, Cianjur, yang dilakukan PT. Bandung Asri
Mulia (BAM). Saat itu, ia mulai aktif sebagai volunter di LSM seperti di
Institut Studi dan Informasi Hak Asasi Manusia (INSAN) lalu, di Lembaga Bantuan
Huku (LBH).
Kesibukan
Teten sudah mulai terbagi-bagi. Ia seringkali sebisa mungkin mengatur waktunya dengan
baik. Setelah selesai kuliah di IKIP Bandung, Teten diangkat menjadi seorang
guru, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kesibukan mengajar dan aktif di LSM
sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Pagi mengajar, sementara sore ia aktif di
LSM INSAN. Di LSM INSAN, ia mendapat tugas yang tidak ringan. Ia membuat
dokumentasi kliping berbagai media tentang berita pelanggaran HAM dikalangan
para petani, buruh, nelayan dan juga hak-hak politik warga.
Di
INSAN-lah awal Teten tertarik untuk menggeluti dunia aktivis. Ia mulai tertarik
dengan masalah petani dan perburuhan. Juga membaca berbagai refrensi buku
sosial, ekonomi dan politik serta terlibat berdiskusi banyak dengan para
aktivis buruh. Ia juga mulai menyelami kehidupan para buruh di pabrik-pabrik.
Ia terjun kelapangan untuk melihat secara nyata kehidupan para buruh, di bawah
tekanan rezim Orde Baru.
Masalah
perburuhan ini cukup menarik keterlibatan Teten lebih dalam lagi, untuk
memperjuangkan nasib para buruh. Ia berani merubah haluan dari PNS menjadi
aktivis perburuhan. Pilihan itu memang tidak gampang, bahkan melawan harapan
orang tuanya, Ena Hindasyah yang menginginkan agar Teten berkarir sebagai guru
PNS. Namun seorang Teten, punya mimpi lain―ia hendak bercita-cita
memperjuangkan perubahan lewat kerja-kerja sosial lewat LSM.
***
Teten
Masduki mulai terlibat secara penuh setelah mengundurkan diri sebagai guru. Di
YLBHI, ia dipercaya sebagai Kepala Divisi Perburuhan menggantikan Fauzi
Abdullah. Disinilah ia mulai secara intens mengadvokasi para buruh untuk
memperjuangkan hak-hak para buruh. Baginya, masalah buruh tidak bisa hanya
mengandalkan dengan pendekatan hukum, tapi persoalan buruh merupakan bagian
dari persoalan politik, sosial dan juga ekonomi.
Dari
sini, aksi Teten Masduki dalam memperjuangkan hak-hak buruh tidak bisa
terbendung lagi. Ia membela buruh PT. Gajah Tunggal (GT) Group dengan aksi
pemogokan terbesar di masa Orde Baru. Ia juga terlibat dalam pengusutan
pembunuhan kematian seorang buruh perempuan bernama Marsina.
Marsina,
perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 10 April 1969 itu, merupakan buruh
yang bekerja sebagai karyawan di pabrik PT. Catur Putra Surya (CTS). Marsina
adalah salah satu orang yang melakukan aksi unjuk rasa dan pemogokan pada Mei
1993. Ia dan teman-temannya menuntut pemenuhan kesejahteraan buruh, sesuai
dengan surat edaran Gubernur Jawa Timur tentang kenaikan gaji.
Namun,
nahas yang menimpa Marsina cukup tragis. Tanggal 8 Mei, ia ditemukan tewas di
sebuah gubuk di pinggir hutan jati di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan,
Nganjuk. Ia tewas dengan cara menggenaskan; tulang panggul dan leher remuk,
perut terluka tusuk dan badan penuh memar. Kematian ini bagi banyak pihak
dicurigai terkait dengan pemogokan buruh, tak terkecuali bagi Teten dan
teman-temannya di YLBHI.
Kematian
Marsina sangat menggoncang aktivis perburuhan di Indonesia. Banyak pihak yang
kemudian bersimpati dan terlibat untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan ini.
Teten di YLBHI mencoba mengadvokasi untuk membongkar kasus ini. Begitupun
aktivis Munir di LBH Surabaya, juga ikut terlibat, yang kemudian mempererat
perkenalannya dengan Teten.
Dalam
penanganan kasus Marsina, Teten dan Munir selalu berbeda pendapat. Meskipun
begitu, mereka tetap memiliki tujuan
yang sama, berusaha mengadvokasi dan menginvestigasi kasus pembunuhan Marsina.
Mereka kemudian membentuk sebuah komite untuk membongkar kasus tersebut. Teten
membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsina (KSUM). Sementara Munir, membentuk
Komite Aksi Solidaritas Untuk Marsina (KASUM).
Dalam
perjalanannya, kasus ini masih diliputi misteri, belum ditemukan titik terang
siapa pembunuh sebenarnya. Namun bagi aktivis perburuhan, kasus ini merupakan
langkah awal untuk menyadarkan publik akan masalah perburuhan. YLBHI berhasil
mengadvokasi kasus Marsina, yang kemudian tumbuh benih-benih kekuatan bagi
gerakan perburuhan di Indonesia. Dan Teten Masduki, kian tersadarkan bahwa
politik buruh yang dikembangkan rezim Orde Baru merupakan duri-duri dalam
kerangkeng kehidupan para buruh. Ini tidak bisa dibiarkan dan harus dilawan.
***
Melalui
YLBHI, Teten dan aktivis lainnya mencoba melawan rezim otoriter itu. Puncaknya
rezim diktator Soeharto berhasil dijungkalkan dari kursi kekuasannya pada 21
Mei 1998. Bersama dengan para aktivis demokrasi, kedudukan mahasiswa semakin
kuat untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Gedung parlemen MPR/DPR RI berhasil di
duduki. Para mahasiswa meminta Soeharto mundur dari kekuasannya. Dan pada 21
Mei 1998, Soeharto benar-benar jatuh. Ia menyatakan mengundurkan diri dan
digantikan oleh wakilnya BJ Habibie.
Namun
bagi Teten, jatuhnya rezim Soeharto masih membuatnya gelisah. Ia sadar bahwa
Orde Baru sudah pupus. Tetapi ia masih mencium adanya gelagat orang-orang lama
dalam era reformasi. Mereka masih rentan bermain dengan prilaku KKN. Hal inilah
yang kemudian menghantui Teten Masduki.
Bersama
temannya, Robertus Robet, mereka memikirkan bagaimana cara untuk mendorong
pemerintahan yang bersih. Mereka membutuhkan alat perjuangan baru. Bersama
sejumlah tokoh, mereka kemudian mendirikan sebuah gerakan sipil untuk melawan
korupsi. Awalnya, Robet mengusulkan sebuah nama Komisi Masyarakat Independen
untuk Penyelidikan Korupsi (KMPK). Sementara Daniel Dakhidae dengan nama
Corruption Watch. Dua nama ini kemudian disandingkan, untuk selanjutnya
terlibat dalam pengawasan, penyelidikan tindak pidana korupsi dan pembentukan
sebuah pemerintahan yang bersih. KMPK kemudian lebih dikenal dengan nama Indonesia Corruption Watch (ICW).
Di ICW,
Teten mulai menelusuri adanya harta kekayaan Soeharto beserta kasus-kasus
lainnya seperti Pengembangan Buku dan Minat Baca yang di biayai Bank Dunia,
penggelapan pajak, dugaan korupsi (PDAM) Jaya dan kasus suap Jaksa Agung Andi
M. Ghalib.
Tetan
Masduki dan ICW-nya mulai populer ketika ia berhasil mengusut kasus suap
seorang Jenderal aktif yang menjabat sebagai Jaksa Agung, Andi M. Ghalib. Andi
Ghalib lalu dicopot dari jabatannya oleh Presiden BJ Habibie. Meskipun tidak
diadili, Teten dan ICW-nya merasa memenangi perkara itu. Mereka telah berhasil
menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi. Kata Teten, yang
paling penting, bagaimana menumbuhkan keberanian masyarakat untuk mengontrol
pemerintahan.
Perhatian
Teten dalam melawan korupsi kian menyubur, tatkala melihat pejabat-pejabat
banyak yang terlibat korupsi. Perseteruan antara KPK versus Polri yang berawal
dari penyadapan KPK terhadap Susno Duadji, seorang Kepala Bareskrim Polri,
terkait pencairan dana nasabah Bank Century, membuat Teten dan kawan-kawannya
terus intens melakukan perlawanan untuk membela KPK. KPK saat itu tengah
diolok-olok Susno Duadji dengan sebutan cicak sementara Polri buaya. Atau dalam
bahasa Susno Duadji, “cicak versus buaya.”
Bagi
Teten, hal ini sangat menyakitkan. Ia melihat ada pihak-pihak yang
merevitalisasi rezim korup. Maka, sebagai aktivis antikorupsi, ia menghimbau
agar KPK diselamatkan. Ia juga mengatakan bahwa KPK harus dikawal. Banyak pihak
yang kemudian terlibat mengawal dan mendukung KPK, termasuk Happy Salma, Slank,
Erwin Gutawa dan lain-lain. Lalu dalam perkembangannya, Susno Duadji dicopot dari
jabatannya. Dan cicak-lah yang menjadi pemenangnya.
***
Sebagai
aktivis antikorupsi, Teten juga memulai dengan kegiatan baru yaitu selain
menanam berbagai tanaman, ia juga memelihara domba. Inilah yang menarik dari
sisi kehidupannya. Ia menitipkan domba-dombanya kepada petani. Bagi Teten,
memelihara domba bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bisa dipakai untuk
memberdayakan ekonomi rakyat.
Teten
memang menitipkan domba-dombanya kepada para petani kecil yang tidak mempunyai
lahan pertanian. Ia selalu mengatakan, jika dikelola dengan baik, dengan
memberi bibit unggul, ternak domba bisa menjanjikan bagi petani. Ia ingin
membangun ekonomi petani lewat ternak domba. Sekitar 150 indukan domba berhasil
dititipkan ke lima puluh kelompok tani dengan sistem bagi hasil.
Selain
itu, bagi Teten, domba juga bisa menjadi sebuah gerakan politik. Ia pernah
menyampaikan untuk menyumbangkan dombanya ketika ICW menggalang dukungan rakyat
untuk dana pembangunan gedung KPK. Disinilah ia kemudian selain dikenal aktivis
buruh, antikorupsi juga dikenal sebagai juragan domba. Atau teman-temannya
sering menjulukinya sebagai “Panglima Legiun Domba.”
Di tahun
2013 lalu, Teten hijrah kekampung halamannya untuk maju bersama Rieke dipilkada
Jawa Barat. Ia hendak masuk dipemerintahan untuk melakukan perubahan. Ia
menyadari sudah banyak berkecimpung diluar dengan berjuang melakukan perubahan
di kehidupan masyarakat melalui LSM.
Kini,
ia ingin berjuang lebih efektif dengan masuk ke struktur pemerintah. Baginya,
kepemimpinan eksekutif bisa menjadi salah satu jalur untuk mendorong perubahan.
Sebagai aktivis antikorupsi, ia bertekad dapat membersihkan birokrasi dari
praktik korupsi.
Rieke
dan Teten kemudian diusung oleh PDI-P pada pilkada Jawa Barat. Namun dalam
perjalanannya, Rieke-Teten kalah dengan meraih poling suara terbanyak ke dua
setelah Aher-Deddi. Namun bagi Teten,
kalah pun bukan berarti dia rusak.
Ia tidak akan jatuh nama baik, karena ia tidak mengeluarkan banyak uang.
Meskipun
kalah, namun nama Teten kian dilirik oleh partai dan politisi. Saat Pilpres
2014, Teten menjadi ketua pemenangan Jokowi-JK. Ia kemudian berhasil membawa
Jokowi-JK dikursi kekuasaan. Dari sinilah ia kemudian didapuk menjadi Kepala
Staf Kepresidenan.
***
Apa
yang saya lihat adalah rentetan perjalanan perjuangan seorang Teten Masduki
memang tergolong panjang. Ia berawal saat menjadi volunter di LSM INSAN, menjadi
guru, masuk sebagai aktivis perburuhan di LBH kemudian di YLBHI, ICW, peternak
domba, lalu mencoba masuk dipemerintahan namun gagal.
Semangatnya
begitu menggelora dan ia tak pernah putus asa bahkan berbagai teror pun yang ia
alami. Ia mempunyai cita-cita perubahan dengan kerja-kerja sosialnya. Ia ingin
melihat buruh dan petani di Indonesia lebih baik tanpa kemiskinan. Ia ingin melihat
Indonesia lebih baik tanpa korupsi. Ia ingin melihat Indonesia lebih
demokratis.
Sekarang
ia duduk di Istana sebagai Kepala Staf Presiden Jokowi. Jabatan ia diembannya
hampir setara dengan wakil presiden Jusuf Kalla. Dari buku yang saya baca ini,
saya ingin menantikan langkah-langkag kerja nyata, sebagaimana yang ia
cita-citakan untuk melakukan perubahan. Minimal ia berhasil selalu
mengkomunikasikan kepada Jokowi, apa yang menjadi keinginan para buruh dan
petani.
Dari
pengalamannya yang saya baca, ia banyak mengetahui apa yang menjadi keinginan
para buruh dan petani. Namun, apakah ia bisa mewujudkan apa yang dicita-citakan
dulu!
Entalah……
L.
Halaidin
Kendari,
03 Agustus 2017