Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

26 Agustus 2017

Anggun Kekasihku

Sumber Gambar: Pixabay

Wahai angin, sampaikanlah salamku kepada permatahatiku
Tanyakan padanya, apakah dia mau berjumpa denganku?
Apakah dia mau menyatu bersamaku dengan cinta?
Aku rela berkorban demi kebahagiaan dirinya
Hingga disini terlunta-lunta, sengsara bersama kepedihan

Wahai awan pagi yang indah dan cerah
Maukah engkau menyampaikan kata cinta kepada pujaanku!
Berikanlah bunga-bunga yang semerbaknya mewangi
Hingga menembus hati yang tertutup rapat
Bukalah pintu hatinya, lalu
sampaikanlah dahaga cinta yang memenuhi hatiku

Wahai bulan yang memiliki ratu segala keindahan
Berikanlah cahaya rembulan kepada pujaanku
Aku tak ingin ia berada dalam selubung kegelapan,
ditelan bumi terlelap selamanya
Aku ingin melihatnya lebih cerah, ceria, bangkit
Mengangkasa bersama pusaka kecantikannya

Aku merindu disini, wahai pujaanku
Gelora cinta memenuhi sanubariku
Duhai Anggun, dengarkanlah bisikan hati ini
Sudikah engkau menjadi kekasihku?
Aku telah melepaskan ke‘aku’anku, untuk menjadikan kita satu
Betapa pedih hatiku jika aku tak memilikimu
Membuatku tak kuat lagi menanggung beban kehidupan ini
Andai kau tahu
Aku begitu tulus mencinta

Wahai kesedihan yang membelenggu jiwa
Janganlah engkau lilitkan kesengsaraan didalam tubuh dan hatiku
Sudah-sudahlah engaku putuskan pengharapanku akan cinta
Aku sudah begitu remuk, redup
Hinggah bertali-tali kemalangan hidup menimpahku

Kekasihku, taukah engkau….
Sejak bertemu denganmu semua terasa berubah
Engkau laksana dewi dalam gelimang cahaya, yang memancarkan keharuman bunga surga
Kecantikanmu, membahagiakan hati yang memandang
Parasmu selalu muncul dalam pandangan
Siang maupun malam, aku selalu mengingat namamu

Duhai kekasihku, hanya engkaulah pengobat jiwa dan penawar kalbuku
Tubuhkan yang mulai lenyap, mencoba bangkit
Melintasi padang pasir yang tandus
Mata yang kering dan gelap, kini mulai terang
Mencoba mengepakkan sayap-sayap yang patah
Terbang melampaui cakrawala yang biru
Aku tak kemana, duhai pujaanku
Hanya menuju pengabdianku
Cinta sucimu

Duhai embun pagi, muarakanlah dahagaku
untuk mengairi ladang-ladang cinta yang telah lama mengering
Bukalah gerbang hatinya yang tertutup rapat
Sampaikanlah dengan lembut salamku

Sampaikanlah pesanku ini;
Aku merindu ingin disampaingmu
Duhai Anggun, terimalah hati yang tulus-bersih ini
Engkaulah semangatku, mencari keberuntungan hidup
Di bawah tanah, aku bagai benih dan engkaulah musimnya
Di atas bumi, aku bagai akar dan engkaulah pohonnya
Hanya bersama, kita dapat berdiri tegak
melawan pusaran badai

Wahai Anggun, pujaan hatiku….
Mari minum bersamaku cawan kehidupan
Akan kuisikan anggur dalam gelas agar kita menyatu
Dalam dirimulah segenap angan-anganku terbentang luas
Bersamamu mengarungi lautan
Menuju keabadian cinta

Tahukah engkau, bahwa hadirmu adalah mimpiku
Aku begitu mencintamu
Demi rasa cintaku yang begitu mendalam
Aku rela berjalan dipadang pasir tanpa air, panas dan tandus
Demi mencari kebahagiaan kita
Wahai pujaanku, marilah kita genggam bersama
asa kehidupan
Aku ingin menjadi bagian hidupmu dan
kamu bagian hidupku
Kau akan menjadi awal dan akulah akhir
Bersama
Selamanya

                                                                                 La Ode Halaidin
                                                                                Kendari, 27 Agustus 2017

10 Agustus 2017

Zaman Topeng

Sumber gambar: Pixabay

Setiap zaman terus berubah. Generasi pun demikian. Generasi yang pertama muncul apa yang disebut dengan generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964. Kedua, generasi X, yang lahir 1965-1980. Ketiga, generasi Y alias milenial, lahir 1981-1994. Keempat, generasi Z, yang lahir 1995-2010. Dan kelima, kita juga akan kelahiran generasi baru bernama generasi Alpha, yang kelahirannya tahun 2011-2025.

Setiap generasi yang lahir selalu berevolusi. Generasi yang paling terkenal dibahas saat ini adalah munculnya generasi Z. Tetapi sebelum itu, kita kelahiran generasi Y alias milenial, yang mana generasi ini juga terkenal karena merasakan atau telah melewati masa milenium kedua.
Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam dunia yang serba cepat. Taknologi, bagi generasi Z adalah dunianya. Mereka dikenal sebagai generasi yang melek teknologi. Dalam kehidupannya, generasi Z dapat melakukan berbagai hal dengan sangat muda dan cepat seperti bersosialisasi, dan mengontrol jalannya pemerintahan lewat media sosial. Atau bisa melakukan hal lainya yang bisa berpengaruh terhadap ekonomi, politik dan sosial.
Di Indonesia, zaman ternyata terus mengalami perubahan. Dimasa kerajaan, kita mengenal dengan nama zaman Kutai. Zaman ini merupakan zaman yang pertama kali menampilkan nilai-nilai sosial politik dan ketuhanan. Setelah itu, ada zaman Sriwijaya yaitu sebuah zaman yang ingin membangun cita-cita sebuah Negara yang adil dan makmur.
Kemudian munculah zaman-zaman lainnya seperti zaman kerajaan sebelum Majapahit, zaman kerajaan Majapahit, zaman penjajahan dan zaman merebut kemerdekaan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, dimana Negara dipimpin oleh presiden Soekarno, munculah sebuah zaman yang disebut zaman Orde Lama. Lalu, di bawah rezim kepemimpinan Soeharto, di Indonesia kemudian muncul sebuah zaman baru, bernama zaman Orde Baru.
Tetapi kekuasaan itu ternyata tidak abadi, tapi fana. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto berhasil dijungkalkan dari kekuasaannya 21 Mei 1998. Zaman Orde Baru tumbang. Lalu, dengan semangat reformasi, banyak kalangan saat itu menginginkan sebuah zaman dengan harapan dan perubahan baru. Zaman itu (sampai saat ini masih disebut) sebagai zaman reformasi.
***
Tetapi sebelum itu, di zaman Orde Lama, Soe Hok Gie pernah menyinggung tentang manusia-manusia baru. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang lapisan atau generasi baru, tetapi manusia-manusia baru. Dalam buku Daniel Dhakidae “Menerjang Badai Kekuasaan” Soe Hok Gie menyebutkan, mereka yang saat itu lahir setelah kemerdekaan─disebut manusia-manusia baru adalah mereka yang mengalami sesuatu yang baru, harapan baru, pengalaman politik dan sosial baru dan semangat baru yang mungkin menjadi keprihatinan dan ketakutan baru pula.
Pemikiran Soe Hok Gie itu tentu bukan hanya sekadar teori. Hal itu merupakan fakta pahit yang ia saksikan, tetapi tentu dengan kritikannya. Dibalik yang serba baru itu, kekuasaan ternyata tidak mengandung kebaruan. Ia justru banyak menemukan kepingan-kepingan fakta keruntuhan demi keruntuhan.
Kekuasaan Soekarno pasca proklamasi kemerdekaan ia anggap sebagai kebijaksanaan politik kemewahan dan kesewenang-wenangan. Korupsi bermain dilingkar istana, sementara rakyat diluar hidup melarat, bahkan ada yang kelaparan lalu memakan kulit mangga. Orde Lama, tak lain adalah sebuah harapan baru yang menjelma menjadi sebuah ketakutan baru pula.
Setelah jatuhnya Orde Lama, banyak pihak yang lalu kemudian menunggu sebuah zaman baru dengan harapan baru. Soeharto saat itu mengambil alih kekuasaan dengan zaman baru, yakni sebuah zaman Orde Baru. Tetapi dalam perjalanannya, zaman ini ternyata bukanlah obat mujarab, tetapi justru mengekang rakyat dengan hukum yang sewenang-wenang.
Orang-orang yang kritik terhadap pemerintahannya ia penjarakan bahkan diculik dan dibunuh. Ia mencoba bertopeng dibalik pancasila. Dengan dalih pelaksanaan pancasila secara murni dan konsekuen, maka setiap warga tidak boleh ada tafsir yang berbeda dan mengkritik. Yang berbeda pandangan, dianggap sebagai penghianat pancasila, subversif dan makar terhadap pemerintahan yang sah.
Pemerintahan Soeharto berusaha memaki berbagai instrument terhadap pancasila, untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Pengelolaan Negara terlihat sangat sentralistik bahkan otoriter. Budaya KKN mengakar dan terjadi dari level bawah hingga di pucuk kekuasaan. Kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah serta antara kaum kaya dan miskin sangat menganga lebar.
Pada titik ini, zaman Orde Baru justru tidak mendatangkan sebuah harapan dan perubahan baru. Ia justru berubah dengan wajah yang sangat seram dan menakutkan rakyat banyak. Zaman dengan harapan dan perubahan baru itu, ternyata hanyalah menjadi sebuah keprihatinan dan ketakutan baru pula.
Lalu, bagaimana dengan zaman reformasi?
Zaman ini bagi sebagian orang, dianggap sebagai zaman ‘juru selamat bangsa.’ Di zaman reformasi ini kita dapat menemukan suatu keterbukaan baru, pasar baru, birokrasi dengan model kerja baru, kapitalisme baru dan semua yang baru-baru. Rakyat dijanjikan dengan ruang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam memajukan negeri.
Juga atas nama demokrasi, rakyat berhak memilih pemimpinnya yang baru, wakilnya yang baru dan juga semua yang baru-baru. Rakyat juga seringakali dijanjikan dengan surga-surga yang baru pula. Entah surga yang seperti apa!
Dari semua kebaru-baruan itu, bangsa ini sepertinya jalan ditempat. Zaman berubah tetapi kelakuan manusianya tidak berubah. Bangsa ini memiliki banyak pengalaman sosial, ekonomi dan politik yang pahit, tetapi para pengambil kebijakan hanyalah berpangku tangan, sambil menunggu datangnya keajaiban. Hasilnya jelas nihil. Dan petani bangsa kita tetap dalam kungkungan kemiskinan.
Rakyat miskin seperti sedang melihat sebuah parade pertunjukan topeng. Ada yang bertopengkan emas dengan jabatan, yang ketika berjalan diluar, dimuka umum memiliki niat baik, hatinya suci dan bersih, tetapi dilingkungan kelompoknya berhati busuk. Mereka kadang bekerjsama, kongkalingkong dengan pengusaha untuk menjarah uang rakyat.
Ada juga yang bertopengkan hitam, tetapi setia kepada bangsanya. Ia hendak menumpas banyak kejahatan yang terjadi, termasuk kepada orang-orang yang bertopeng emas. Topeng hitam hendak memberangus mereka yang menghianat kepada cita-cita bangsanya. Ia hanya menginginkan bangsanya bebas dari korupsi dan kemiskinan. Namun bagi topeng emas, topeng hitam adalah musuh besar utama. Ia harus dilenyapkan karena menganggu gurita yang sedang lapar, untuk melahap uang rakyat.
Seperti inilah pertunjukan di Indonesia. Indeks korupsi di bangsa kita, hampir memuncak. Lalu, lihatlah kinerja para birokrasi pemerintah kita dari tingkat pusat, daerah/kota dan desa. Dari para menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, hingga kepala Desa terjerat korupsi. Lihatlah wakil rakyat kita yang hanya pandai bersilat lidah, lapor-melapor dan bertengkar di media sosial, tetapi sangat minim dengan hasil kerja. Baru berapa Undang-undang yang diselesaikan selama hampir tiga tahun ini!
Lihatlah para penegak hukum kita; polisi/TNI dan para Hakim. Lihatlah partai politik, baik yang berideologikan islam maupun nasionalis. Lihatlah para politisi yang sering wara-wiri di media sosial. Mereka seperti bak pendekar penumpas kejahatan yang ingin menyelamatkan bangsanya. Tetapi dibalik itu, mereka sepertinya ingin memberangus orang-orang miskin dari kehidupannya.
Zaman reformasi ini, tak ubahnya hanyalah metamorfosis dari zaman-zaman sebelumnya. Korupsi kian menyubur, partai hanya unjuk gigi untuk merebut kekuasaan, wakil rakyat bermain-main dengan uang rakyat, pemerintah pusat sibuk dengan agenda sendiri di pulau Jawa dan Sumatra, APBN/APBD dibagi-bagi dengan menciptakan berbagai proyek, tanah dirampas bekerjsama dengan para pengusaha. Semua bertopeng atas nama agama dan nasionalisme, demi pembangunan dan kesejahteraan.
 Soe Hok Gie memang benar. Zaman yang diyakini bisa membawa harapan dan perubahan yang lebih besar, ternyata berubah menjadi sebuah keprihatinan dan ketakutan baru pula. Prihatin saat menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan ini. Dan takut, saat melihat kemiskinan kian membelenggu rakyat. Lalu apa lagi!
***
Saat ini, rakyat memang hidup di zaman topeng. Ini tidak bisa dinafikan lagi. Kita disuguhkan dengan dua pendekar yang bertopeng, seperti yang saya sebutkan diatas. Satu pendekar topeng hitam, yang identik dengan ilmu hitam untuk menebar kejahatan. Kedua, pendekar topeng emas, yang identik dengan golongan putih penumpas kejahatan.
Namun, taukah mana pendekar yang berjubah dibalik topeng itu! Pengalaman mengatakan, kejahatan dan niat busuk selalu bersembunyi dibalik topeng kebaikan, bertopengkan emas. Ia hanya pandai beretorika, menebar janji-janji untuk kemaslahatan umat. Pendekar topeng emas juga pandai menebar pesona, lalu menarik perhatian banyak orang. Ia dianggap baik dan pintar, bisa mensejahterakan rakyat miskin. Tetapi dibalik itu, ia hendak menggusur orang-orang miskin, melenyapkan mereka yang dianggap menghalangi.
Sementara topeng hitam, hanyalah orang biasa. Ia sama sekali tidak doyan jabatan dan tidak punya jabatan. Ia juga tidak menginginkan sebuah kekayaan. Ia bertopeng hitam hanya karena tidak ingin dikenal rakyat banyak, bahwa sebenarnya ia hendak menumpas kejahatan. Orang-orang seperti pendekar topeng hitam, adalah mereka yang menyusuri jalan sunyi dan terjal demi membumikan kemaslahatan umat.
Kita menyaksikan zaman reformasi berubah, menjadi sebuah zaman topeng. Orang-orang yang berniat busuk selalu bersembunyi dibalik topeng emasnya. Sementara orang-orang yang berniat baik, demi menjaga bangsanya, mereka menggunakan topeng hitam. Bukan ia memiliki ilmu hitam lalu menebar kejahatan, tetapi ia hanya tidak ingin disanjung, disebut pahlawan. Ia hanya mendedikasikan dirinya untuk bangsanya. Baginya, kesejahteraan bangsanya adalah nyawanya yang harus ia pertaruhkan.
Zaman topeng adalah zaman yang penuh dengan tipu-daya muslihat kebaikan.

                                                                                L. Halaidin
                                                                              Kendari, 11 Agustus 2017

02 Agustus 2017

Teten Masduki: Panglima Legiun Domba Yang Melawan Korupsi

Teten Masduki:Dok. Pribadi

Pagi itu, awan terlihat cukup cerah. Secerah cat tembok gedung Istana Merdeka Jakarta yang berwarnah keputihan itu. Ini menandakan cuaca pagi itu sangat baik untuk beraktivitas.
Namun, cuaca hati dan suara sumbang dari para petani pegunungan Kendeng, ternyata menggambarkan sebaliknya. Bagi mereka, awan pagi itu memang cerah, namun jiwa mereka seperti sedang direnggut oleh kekuasaan. Para sedulur itu sedang berhadapan dengan pemerintah.
Mereka sedang ditimpah sebuah kemalangan akibat ulah pemerintah dan kompradornya, PT. Semen Indonesia. Tanah yang sudah dianggap sebagai Ibu pertiwi, diserahkan kepada PT. Semen Indonesia oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah sebagai pertambangan pabrik semen.
Alih-alih mematuhi keputusan Mahkama Konstitusi (MK) dan perintah Presiden dengan menunda semua izin pertambangan untuk kemudian dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Ganjar Pranowo malah mengeluargan izin lingkungan baru untuk PT. Semen Indonesia. Ganjar Pranowo, seperti memberi keleluasan pada korporasi kapital itu karena alasan investasi yang bernilai triliunan.
Maka, cuaca cerah itu─yang seharusnya baik untuk beraktivitas di sawah dan ladang, kini berubah menjadi sebuah aksi demonstrasi. Para sedulur Kendeng, datang di gedung Istana Merdeka Jakarta, membawa tuntutan penolakan pabrik semen dengan menyemen kaki dengan semen. Aksi ini adalah bagian dari penolakan yang berkaitan dengan masalah direnggutnya kehidupan, lingkungan/Ibu pertiwi dan juga hak-hak masyarakat pegunungan Kendeng.
Di depan gedung Istana Merdeka Jakarta itu, para sedulur Kendeng rela berpanas-panasan, karena keinginannya bertemu dan menyampaikan langsung tuntutan mereka kepada sang Presiden Jokowi. Tetapi kali itu, mereka disambut dan diterima oleh seorang Kepala Staf Kepresidenan. Ia bernama Teten Masduki. Ia menjabat sebagai Kepala Staf Presiden Jokowi sejak 2 September 2015, menggantikan Luhut Binsar Panjaitan.
Bagaimana kisah perjalanan kehidupan seorang Teten Masduki, hingga menjadi Kepala Staf Presiden?
***
Tetan Masduki lahir di Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963. Semasa kecilnya, ia termasuk orang yang berkecukupan, berasal dari keluarga mapan. Ayahnya, bernama Masduki seorang pengusaha tapioka di Limbangan, Garut, yang memiliki tiga pabrik pembuatan tepung. Sedangkan Ibunya, Ena Hindasyah seorang Ibu rumah tangga, namun ia juga sesekali kadang terlibat dalam mengatur pekerjaan dipabrik.
Seorang Tetan remaja adalah Teten yang kritis dan suka melawan terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Pernah suatu kali Teten dan sahabat-sahabatnya memprotes guru mengajinya, lantaran cara mengajarnya terlalu keras, tidak adil dan suka menebar teror. Mereka sering dipukul dan dijewer oleh guru ngaji tersebut.
Dengan adanya protes itu, guru mengaji tersebut berhasil diganti atau kembali mengajar dengan cara lembut, bukan lagi dengan kekerasan. Mereka berhasil mengubah keadaan, meskipun tergolong muda. Bagi Teten, ketidakadilan ternyata bisa dilawan. Tentu ini dilakukan dengan strategi yang tepat, kebersamaan, dan kekompakan. Dipesantren inilah yang kemudian mempengaruhi kehidupan Teten kemudian.
Setelah tamat di SMAN 349 Cicalengka, Teten kemudian memilih untuk kuliah di Bandung, di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, jurusan Kimia Minor Matematika. Saat itu, ia memilih untuk menjadi guru, karena keterpukauan dan ketertarikannya pada guru Fisika di SMA-nya. Ia merasakan guru tersebut mengajar sangat cerdas, bisa membuat para siswa dapat menguasai pelajaran dengan baik.
Namun, perjalanan kehidupan mahasiswa Teten di Bandung, bukan fokus pada kuliah formal, tetapi ia lebih memilih dengan aktivitas hiruk-pikuk gerakan. Ia merasa terpukau dengan atmosfir gerakan intelektualisme dan aktivisme di Bandung. Teten sadar bahwa ia sedang berada di Kota yang memang menjadi pusat gerakan mahasiswa.
Dalam aktivitasnya di Bandung, ia banyak menemukan inspirasi dari kelompok diskusi dan tokoh-tokoh sosial dan demokrasi. Sebut saja misalnya seperti Dawam Rahardjo, Mulyana W. Kusuma, Adi Sasono dan lainnya. Para aktivis senior itu berhasil membuka pikiran Teten dan mahasiswa lain, yang selama ini haus akan pencerahan. Ia kemudian semakin masuk dalam gerakan, dengan mengikuti diskusi masalah sosial di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bandung.
Pertama kali pembelaan rakyat yang dimasuki Teten adalah perampasan tanah di Badega, Garut yang dilakukan PT. Citrin. Disusul kemudian dengan kasus-kasus yang lain, seperti penyerobotan tanah di Cimacan, Cianjur, yang dilakukan PT. Bandung Asri Mulia (BAM). Saat itu, ia mulai aktif sebagai volunter di LSM seperti di Institut Studi dan Informasi Hak Asasi Manusia (INSAN) lalu, di Lembaga Bantuan Huku (LBH).
Kesibukan Teten sudah mulai terbagi-bagi. Ia seringkali sebisa mungkin mengatur waktunya dengan baik. Setelah selesai kuliah di IKIP Bandung, Teten diangkat menjadi seorang guru, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kesibukan mengajar dan aktif di LSM sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Pagi mengajar, sementara sore ia aktif di LSM INSAN. Di LSM INSAN, ia mendapat tugas yang tidak ringan. Ia membuat dokumentasi kliping berbagai media tentang berita pelanggaran HAM dikalangan para petani, buruh, nelayan dan juga hak-hak politik warga.
Di INSAN-lah awal Teten tertarik untuk menggeluti dunia aktivis. Ia mulai tertarik dengan masalah petani dan perburuhan. Juga membaca berbagai refrensi buku sosial, ekonomi dan politik serta terlibat berdiskusi banyak dengan para aktivis buruh. Ia juga mulai menyelami kehidupan para buruh di pabrik-pabrik. Ia terjun kelapangan untuk melihat secara nyata kehidupan para buruh, di bawah tekanan rezim Orde Baru.
Masalah perburuhan ini cukup menarik keterlibatan Teten lebih dalam lagi, untuk memperjuangkan nasib para buruh. Ia berani merubah haluan dari PNS menjadi aktivis perburuhan. Pilihan itu memang tidak gampang, bahkan melawan harapan orang tuanya, Ena Hindasyah yang menginginkan agar Teten berkarir sebagai guru PNS. Namun seorang Teten, punya mimpi lain―ia hendak bercita-cita memperjuangkan perubahan lewat kerja-kerja sosial lewat LSM.
***
Teten Masduki mulai terlibat secara penuh setelah mengundurkan diri sebagai guru. Di YLBHI, ia dipercaya sebagai Kepala Divisi Perburuhan menggantikan Fauzi Abdullah. Disinilah ia mulai secara intens mengadvokasi para buruh untuk memperjuangkan hak-hak para buruh. Baginya, masalah buruh tidak bisa hanya mengandalkan dengan pendekatan hukum, tapi persoalan buruh merupakan bagian dari persoalan politik, sosial dan juga ekonomi.
Dari sini, aksi Teten Masduki dalam memperjuangkan hak-hak buruh tidak bisa terbendung lagi. Ia membela buruh PT. Gajah Tunggal (GT) Group dengan aksi pemogokan terbesar di masa Orde Baru. Ia juga terlibat dalam pengusutan pembunuhan kematian seorang buruh perempuan bernama Marsina.
Marsina, perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 10 April 1969 itu, merupakan buruh yang bekerja sebagai karyawan di pabrik PT. Catur Putra Surya (CTS). Marsina adalah salah satu orang yang melakukan aksi unjuk rasa dan pemogokan pada Mei 1993. Ia dan teman-temannya menuntut pemenuhan kesejahteraan buruh, sesuai dengan surat edaran Gubernur Jawa Timur tentang kenaikan gaji.
Namun, nahas yang menimpa Marsina cukup tragis. Tanggal 8 Mei, ia ditemukan tewas di sebuah gubuk di pinggir hutan jati di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Ia tewas dengan cara menggenaskan; tulang panggul dan leher remuk, perut terluka tusuk dan badan penuh memar. Kematian ini bagi banyak pihak dicurigai terkait dengan pemogokan buruh, tak terkecuali bagi Teten dan teman-temannya di YLBHI.
Kematian Marsina sangat menggoncang aktivis perburuhan di Indonesia. Banyak pihak yang kemudian bersimpati dan terlibat untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan ini. Teten di YLBHI mencoba mengadvokasi untuk membongkar kasus ini. Begitupun aktivis Munir di LBH Surabaya, juga ikut terlibat, yang kemudian mempererat perkenalannya dengan Teten.
Dalam penanganan kasus Marsina, Teten dan Munir selalu berbeda pendapat. Meskipun begitu,  mereka tetap memiliki tujuan yang sama, berusaha mengadvokasi dan menginvestigasi kasus pembunuhan Marsina. Mereka kemudian membentuk sebuah komite untuk membongkar kasus tersebut. Teten membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsina (KSUM). Sementara Munir, membentuk Komite Aksi Solidaritas Untuk Marsina (KASUM).
Dalam perjalanannya, kasus ini masih diliputi misteri, belum ditemukan titik terang siapa pembunuh sebenarnya. Namun bagi aktivis perburuhan, kasus ini merupakan langkah awal untuk menyadarkan publik akan masalah perburuhan. YLBHI berhasil mengadvokasi kasus Marsina, yang kemudian tumbuh benih-benih kekuatan bagi gerakan perburuhan di Indonesia. Dan Teten Masduki, kian tersadarkan bahwa politik buruh yang dikembangkan rezim Orde Baru merupakan duri-duri dalam kerangkeng kehidupan para buruh. Ini tidak bisa dibiarkan dan harus dilawan.
***
Melalui YLBHI, Teten dan aktivis lainnya mencoba melawan rezim otoriter itu. Puncaknya rezim diktator Soeharto berhasil dijungkalkan dari kursi kekuasannya pada 21 Mei 1998. Bersama dengan para aktivis demokrasi, kedudukan mahasiswa semakin kuat untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Gedung parlemen MPR/DPR RI berhasil di duduki. Para mahasiswa meminta Soeharto mundur dari kekuasannya. Dan pada 21 Mei 1998, Soeharto benar-benar jatuh. Ia menyatakan mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie.
Namun bagi Teten, jatuhnya rezim Soeharto masih membuatnya gelisah. Ia sadar bahwa Orde Baru sudah pupus. Tetapi ia masih mencium adanya gelagat orang-orang lama dalam era reformasi. Mereka masih rentan bermain dengan prilaku KKN. Hal inilah yang kemudian menghantui Teten Masduki.
Bersama temannya, Robertus Robet, mereka memikirkan bagaimana cara untuk mendorong pemerintahan yang bersih. Mereka membutuhkan alat perjuangan baru. Bersama sejumlah tokoh, mereka kemudian mendirikan sebuah gerakan sipil untuk melawan korupsi. Awalnya, Robet mengusulkan sebuah nama Komisi Masyarakat Independen untuk Penyelidikan Korupsi (KMPK). Sementara Daniel Dakhidae dengan nama Corruption Watch. Dua nama ini kemudian disandingkan, untuk selanjutnya terlibat dalam pengawasan, penyelidikan tindak pidana korupsi dan pembentukan sebuah pemerintahan yang bersih. KMPK kemudian lebih dikenal dengan nama Indonesia Corruption Watch (ICW).
Di ICW, Teten mulai menelusuri adanya harta kekayaan Soeharto beserta kasus-kasus lainnya seperti Pengembangan Buku dan Minat Baca yang di biayai Bank Dunia, penggelapan pajak, dugaan korupsi (PDAM) Jaya dan kasus suap Jaksa Agung Andi M. Ghalib.
Tetan Masduki dan ICW-nya mulai populer ketika ia berhasil mengusut kasus suap seorang Jenderal aktif yang menjabat sebagai Jaksa Agung, Andi M. Ghalib. Andi Ghalib lalu dicopot dari jabatannya oleh Presiden BJ Habibie. Meskipun tidak diadili, Teten dan ICW-nya merasa memenangi perkara itu. Mereka telah berhasil menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi. Kata Teten, yang paling penting, bagaimana menumbuhkan keberanian masyarakat untuk mengontrol pemerintahan.
Perhatian Teten dalam melawan korupsi kian menyubur, tatkala melihat pejabat-pejabat banyak yang terlibat korupsi. Perseteruan antara KPK versus Polri yang berawal dari penyadapan KPK terhadap Susno Duadji, seorang Kepala Bareskrim Polri, terkait pencairan dana nasabah Bank Century, membuat Teten dan kawan-kawannya terus intens melakukan perlawanan untuk membela KPK. KPK saat itu tengah diolok-olok Susno Duadji dengan sebutan cicak sementara Polri buaya. Atau dalam bahasa Susno Duadji, “cicak versus buaya.”
Bagi Teten, hal ini sangat menyakitkan. Ia melihat ada pihak-pihak yang merevitalisasi rezim korup. Maka, sebagai aktivis antikorupsi, ia menghimbau agar KPK diselamatkan. Ia juga mengatakan bahwa KPK harus dikawal. Banyak pihak yang kemudian terlibat mengawal dan mendukung KPK, termasuk Happy Salma, Slank, Erwin Gutawa dan lain-lain. Lalu dalam perkembangannya, Susno Duadji dicopot dari jabatannya. Dan cicak-lah yang menjadi pemenangnya.
***
Sebagai aktivis antikorupsi, Teten juga memulai dengan kegiatan baru yaitu selain menanam berbagai tanaman, ia juga memelihara domba. Inilah yang menarik dari sisi kehidupannya. Ia menitipkan domba-dombanya kepada petani. Bagi Teten, memelihara domba bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bisa dipakai untuk memberdayakan ekonomi rakyat.
Teten memang menitipkan domba-dombanya kepada para petani kecil yang tidak mempunyai lahan pertanian. Ia selalu mengatakan, jika dikelola dengan baik, dengan memberi bibit unggul, ternak domba bisa menjanjikan bagi petani. Ia ingin membangun ekonomi petani lewat ternak domba. Sekitar 150 indukan domba berhasil dititipkan ke lima puluh kelompok tani dengan sistem bagi hasil.
Selain itu, bagi Teten, domba juga bisa menjadi sebuah gerakan politik. Ia pernah menyampaikan untuk menyumbangkan dombanya ketika ICW menggalang dukungan rakyat untuk dana pembangunan gedung KPK. Disinilah ia kemudian selain dikenal aktivis buruh, antikorupsi juga dikenal sebagai juragan domba. Atau teman-temannya sering menjulukinya sebagai “Panglima Legiun Domba.”
Di tahun 2013 lalu, Teten hijrah kekampung halamannya untuk maju bersama Rieke dipilkada Jawa Barat. Ia hendak masuk dipemerintahan untuk melakukan perubahan. Ia menyadari sudah banyak berkecimpung diluar dengan berjuang melakukan perubahan di kehidupan masyarakat melalui LSM.
Kini, ia ingin berjuang lebih efektif dengan masuk ke struktur pemerintah. Baginya, kepemimpinan eksekutif bisa menjadi salah satu jalur untuk mendorong perubahan. Sebagai aktivis antikorupsi, ia bertekad dapat membersihkan birokrasi dari praktik korupsi.
Rieke dan Teten kemudian diusung oleh PDI-P pada pilkada Jawa Barat. Namun dalam perjalanannya, Rieke-Teten kalah dengan meraih poling suara terbanyak ke dua setelah Aher-Deddi. Namun bagi Teten,  kalah pun bukan berarti dia rusak.  Ia tidak akan jatuh nama baik, karena ia tidak mengeluarkan banyak uang.
Meskipun kalah, namun nama Teten kian dilirik oleh partai dan politisi. Saat Pilpres 2014, Teten menjadi ketua pemenangan Jokowi-JK. Ia kemudian berhasil membawa Jokowi-JK dikursi kekuasaan. Dari sinilah ia kemudian didapuk menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
***
Apa yang saya lihat adalah rentetan perjalanan perjuangan seorang Teten Masduki memang tergolong panjang. Ia berawal saat menjadi volunter di LSM INSAN, menjadi guru, masuk sebagai aktivis perburuhan di LBH kemudian di YLBHI, ICW, peternak domba, lalu mencoba masuk dipemerintahan namun gagal.
Semangatnya begitu menggelora dan ia tak pernah putus asa bahkan berbagai teror pun yang ia alami. Ia mempunyai cita-cita perubahan dengan kerja-kerja sosialnya. Ia ingin melihat buruh dan petani di Indonesia lebih baik tanpa kemiskinan. Ia ingin melihat Indonesia lebih baik tanpa korupsi. Ia ingin melihat Indonesia lebih demokratis.
Sekarang ia duduk di Istana sebagai Kepala Staf Presiden Jokowi. Jabatan ia diembannya hampir setara dengan wakil presiden Jusuf Kalla. Dari buku yang saya baca ini, saya ingin menantikan langkah-langkag kerja nyata, sebagaimana yang ia cita-citakan untuk melakukan perubahan. Minimal ia berhasil selalu mengkomunikasikan kepada Jokowi, apa yang menjadi keinginan para buruh dan petani.
Dari pengalamannya yang saya baca, ia banyak mengetahui apa yang menjadi keinginan para buruh dan petani. Namun, apakah ia bisa mewujudkan apa yang dicita-citakan dulu!
Entalah……

                                                                                                L. Halaidin
                                                                                                Kendari, 03 Agustus 2017