Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

23 Mei 2017

Tsamara Amany dan Bangkitnya Perempuan Muda dalam Politik

hai.grid.id
SEJARAH perjuangan, tidak hanya diisi oleh para kaum lelaki. Sejak zaman penjajahan, para perempuan-perempuan muda juga berperan sentral dalam melahirkan perubahan sosial. Perempuan-perempuan itu, berjuang dan berpartisipasi dalam dunia pers, menjadi wartawan atau bergabung dalam organisasi-organisasi sosial maupun politik.
Keterlibatan mereka dimulai dari keresahan-keresahan terhadap keadaan bangsanya. Terutama, adanya pemberlakuan politik etis yang dilakukan pihak kolonial Belanda dalam bidang pendidikan. Kaum pribumi perempuan dimarjinalkan, dimana keseharian mereka hanya mengisi kegiatan dapur. Dalam kondisi ini, banyak perempuan yang buta huruf, tidak pandai menulis dan membaca. Mereka buta akan keadaan, dan tak tahu apa yang sedang dialami oleh bangsanya.
Tahun 1912, lahirlah organisasi perempuan pertama, yang bernama Putri Mardika. Organisasi ini didirikan oleh P.A Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini dan Sadikun Tondokukumo. Putri Mardika merupakan organisasi bagian dari Budi Utomo yang bertujuan untuk memberikan bantuan berupa bimbingan dan pengetahuan kepada perempuan-perempuan pribumi dalam menuntut pelajaran.
Kelahiran organisasi perempuan tidak hanya berhenti sampai disitu. Setelah Putri Mardika, lahirlah organisasi-organisasi sosial dan politik lainnya, yang dijadikan sebagai wadah perjuangan dalam melakukan perubahan. Selain itu, para perempuan muda juga ikut berjuang lewat pers, dengan menuangkan pemikiran lewat tulisan.
Semua itu lahir berawal dari pergumulan akan keadaan bangsa. Mereka prihatin dan resah. Mereka memasuki rimba raya kebodohan warga bangsa akibat penjajahan kolonialis. Wanita-wanita muda, kemudian membangun kepedulian terhadap kaumnya dengan mendirikan sekolah-sekolah pendidikan dan kerajinan lainnya. Mereka berpartisipasi dengan konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai perempuan.
Kita mengenal kegigihan Rohana Koedoes, pemimpin surat kabar Perempuan Bergerak, yang sebelumnya tahun 1919 dipimpin  oleh Parada Harahap. Perempuan Bergerak menjadi surat kabar perempuan pertama di kota Medan, sejak 1919. Apa yang menjadi tujuan surat kabar ini adalah mengangkat derajat kaum perempuan untuk berperan aktif dalam kemajuan zaman. Selain itu, surat kabar Perempuan Bergerak mendorong agar kaum perempuan untuk hidup setara, demokratis, tidak di diskriminatif dan tidak subordinatif.
Perempuan muda lainnya yang juga berjuang dalam bidang pers dan politik adalah S.K. Tarimurti. Ia adalah sosok yang melegenda dalam dunia jurnalistik Indonesia. Dengan sikap kepedulianya terhadap masyarakat, ia berani mengkritik pemerintahan kolonial Belanda dengan tulisan-tulisannya lewat berbagai majalah.
Watak keras kepala dan keberanian SK Trimurti seperti yang ditulis di Koran Suluh Indonesia, sudah terlihat sejak masih remaja. Tulisannya yang berisi tentang perjuangan dan kemerdekaan, menyebabkan ia ditangkap dan dipenjarah penjajah kolonial belanda pada tahun 1934. Tidak hanya sampai disitu, ia menjalani hidup di bui sampai tahun 1943 karena idealisme dan karya-karya jurnalistiknya.
Namun, apakah hal itu dapat membuatnya jera? Tentu tidak.
SK Tarimurti selain tetap aktif di pers, ia kemudian memilih jalur perjuangannya lewat dunia politik dan masuk sebagai kader Partindo di Bandung. Ia masuk menjadi kader Partindo bersama Wikana, Sukarni dan Asmara Hadi dibawah pimpinan Soekarno. Disnilah ia memulai aktivitas-aktivitas politiknya.
Dengan luasnya persahabat dan perkenalan sesama aktivis, ia kemudian masuk dalam Gabungan Serikat Buruh Partikelir Indonesia (GASPI), Barisan Buruh Indonesia (BBI), Buruh Wanita Indonesia, Partai Buruh Indonesia (PBI) dan juga membidani lahirnya Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis).
Yang menjadi agenda politik SK Tarimuri menurut Noor Yanto adalah menyuarakan bahwa perempuan memiliki kepentingan dalam perjuangan anti-penjajahan. Dalam organisasi Gerwis, ia mencoba menggerakan lapisan tenaga wanita, terutama buruh dan tani untuk melepaskan diri dari perbudakan dan penindasan antar sesama manusia. Di dalam tulisan-tulisannya di Api Kartini, ia juga menyuarakan dan menuntut kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki.
Rangkayo Rasuna Said, juga merupakan salah satu perempuan yang berjuang lewat pers dan politik. Tahun 1935 ia pemimpin redaksi majalah Raya yang dikenal sangat radikal. Di tahun 1937 ia membuat majalah mingguan Menara Putri, yang banyak berbicara mengenai perempuan.
Noor Yanto, dalam tulisannya di Koran Suluh Indonesia mengatakan, sasaran pokok koran Menara Putri adalah ingin membangun kesadaran pergerakan antikolonialisme di tengah-tengah dada kaum perempuan. Sementara dalam politik, Rangkayo Rasuna Said bergabung di Sarekat Islam dan menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.
Kehadiran perempuan dalam dunia pers dan politik pada saat itu dapat memberikan gambaran bagaimana perempuan menunjukan dirinya. Mereka tidak memilih diam dan apatis, tetapi bergerak dan melebur terhadap permasalahan bangsa.
Semua itu dapat dilihat dari gagasan dan tulisan-tulisan mereka, yang memikirkan tentang adanya sistem adat dan budaya yang mendiskriminasi. Bukan saja itu, para perempuan juga mencoba mengkritisi kebijakan-kebijakan politik kolonialis Belanda, yang seringkali mendiskreditkan warga pribumi.
Ini salah satu bukti nyata bahwa saat itu para perempuan muda hadir dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi. Mereka terus mencoba membangun kepedulian dengan tekad untuk melakukan perubahan sosial disekelilingnya.
Lalu, bagaimana dengan keterlibatan perempuan muda saat ini, terutama di dunia politik?
Disini, saya bukan mengabaikan keterlibatan perempuan muda di dunia pers. Saat ini, ada banyak perempuan yang terlibat untuk ikut melakukan perubahan sosial melalui tulisan. Saya tidak perlu menyebutkan siapa saja, karena di media sosial internet, tulisan-tulisan mereka sangat banyak kita temukan.
Apa yang menjadi perhatian saya, mengenai keterlibatan wanita-wanita muda dalam dunia politik. Saya melihat, (meskipun belum ada data yang bisa dibuktikan) keterlibatan perempuan muda dalam politik di zaman yang serba modern ini, boleh dibilang sangat kurang. Itu terlihat, dimana kader-kader partai politik banyak diisi oleh mereka yang sudah tergolong tua. Sementara perempuan muda, sebagian hanya menyuarakan pikiran lewat media sosial, lewat layar belakang politik, bukan terjun langsung di dunia politik praktis.
Fenomena ini, tentu merupakan suatu kemunduran partisipasi perempuan dalam dunia politik. Dari hasil wawancara kecil-kecilan yang saya lakukan, biasanya perempuan tidak mau terlibat karena; pertama, kebanyakan wanita-wanita muda menganggap bahwa masuk di dunia politik bukanlah pekerjaan yang dapat menjamin masa depan. Yang kedua, dunia politik dipenuhi dengan hiruk-pikuk permainan korupsi, sehingga menyebabkan mereka apatis dan tidak mau terlibat. Ketiga, kurangnya akses wanita-wanita muda di dalam partai politik. Keempat, tidak adanya pemahaman mereka dalam dunia politik.
Namun, semua itu bukanlah kendala untuk Tsamara Amany. Ia adalah perempuan muda yang mempunyai keberanian memutuskan untuk ikut membangun kepedulian perempuan dalam dunia politik. Disalah satu wawancara dengan KBR, ia mengatakan keberhasilan suatu bangsa juga ditentukan oleh perempuan, bagaimana ia mendidik anak-anaknya. Ia melanjutkan bahwa isu perempuan akan diabaikan jika perempuan mengabaikannya. Sementara itu, hanya perempuanlah yang paling mengerti apa yang mereka mau, ungkap Tsamara.
Tsamara Amany Alatas adalah perempuan muda millenial yang memutuskan terjun ke politik praktis. Ia lahir di Jakarta pada 24 Juni 1996. Ketertarikannya dalam dunia politik, membuatnya bergabung dan menjadi ketua Dewan Pimpinan Pusat(DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Yang membuat saya terkesan adalah ketika banyak perempuan muda apatis terhadap masalah politik, ia memilih untuk menyentuh ranah itu. Bagi sebagian anak-anak muda, dunia politik sama halnya dengan jalan terjal yang sangat sulit untuk ditembus. Di dalamnya juga penuh dengan kepentingan pragmatis yang justru membawa mereka pada masalah korupsi. Idealis tergadaikan dan inilah yang dihindari oleh anak-anak muda.
Pandangan itu tentu tidak bagi Tsamara Amany. Baginya, dalam berpolitik anak-anak muda dapat melakukan cara-cara yang baik dan sehat. Jika politik dipahami sebagai panggilan, maka perempuan-perempuan muda dapat ikut melakukan perubahan sosial dikehidupan masyarakat banyak. Sikap tersebut harus terus digemahkan, agar para perempuan muda terus peduli dengan dunia politik.
Pemikiran Tsamara Amany bisa dilihat dari tulisan-tulisannya, dimedia sosial internet, blog dan sejumlah portal online. Ia seringkali menulis tentang artikel politik, serta mengutarakan pemikiran lainnya di media sosial tentang isu-isu yang sedang memanas. Ia juga selalu menyeruhkan agar para perempuan muda peduli sdan tidak memilih diam dalam melihat isu permasalahan bangsa.
Dengan itu, ia mendirikan sebuah LSM Perempuan Politik. LSM ini bertujuan untuk mengedukasi dan menyebarkan pentingnya kesadaran berpolitik bagi perempuan dan generasi millenial di Indonesia. Saya hanya mengedukasi perempuan muda agar mau terjun di politik, kata Tsamara Amany di (Kumparan. Com). LSM Perempuan Politik adalah wadah perjuangan untuk merangkul generasi-generasi muda agar memiliki kesadaran politik.
Seperti kata Tsamara Amany, semakin cepat kesadaran politik dibentuk, maka maikn cepat pula perubahan itu terbentuk. Inilah bentuk keseriusan Tsamara, menyebarkan virus itu untuk kemudian menjangkau kesadaran pemikiran anak-anak muda. Tak hanya itu, virus buah pemikiran Tsamara bisa dibaca di bukunya yang berjudul “Curhat Perempuan”.
Dilihat dari sejarah perjuangan perempuan, Tsamara Amany memang bukan sesuatu yang baru dalam membangun kepedulian terhadap kaumnya. Dulu banyak, termasuk salah satunya seperti yang saya sebutkan diatas, SK Trimurti, Rohana Koedoes, Rangkayo Rasuna Sadi dan perempuan-perempuan lainnya.
Namun, aksi Tsamara saat ini memiliki sesuatu kebaruan. Ia hendak membangkitnya semangat anak muda dan perempuan untuk masuk dalam gelanggang perpolitikan di negeri ini. Tidak hanya ingin tampil dibelakang panggung, tapi ia menginginkan agar perempuan muda tampil dimuka, masuk dipemerintahan untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pengagum Jokowi dan Ahok ini, menginginkan agar ia tidak dibiarkan sendiri. Ia menginginkan agar anak muda dan perempuan ikut bersama memiliki kesadaran dan terlibat dalam memengaruhi perubahan sosial. Salah satunya, ikut masuk berpolitik di pemerintahan. Karena baginya, di salah satu wawancara dengan jurnalis Beritagar.id baru-baru ini bahwa politik bukan sesuatu yang kotor, tapi ia bisa dipakai untuk membangun jalan dan memberantas korupsi.
Ah....pemikirannya memang melampaui generasi millenial sekarang, yang hobinya cuman curhat cowok ganteng dan selfi-selfi. Mungkin pemikirannya cukup cepat berkembang karena hidup di Ibu Kota negara, dimana selama ini sudah menjadi corong perpolitikan nasional.
Saya hanya ingin dekat bersahabat dan berdiskusi banyak hal. Tapi, sayangnya ia tidak lagi lajang dan beda dukungan bola. Ia Real Madrid sementara saya fans berat Barcelona. Jika bertemu, saya khawatir kita hanya akan diskusi banyak mengenai bola, dukungan siapa yang paling hebat. Sementara ia orang hebat, bak politik kawakan. Saya akan merasa minder.
Selamat Tsamara, selamat berjuang dalam dunia politik. Alirkanlah idealisme yang kamu miliki untuk kepentingan bangsa yang lebih luas. Kamulah perempuan muda, yang hari ini mulai meletakan fondasi awal untuk kebangkitan perempuan muda dalam politik.
Kelak, sejarah akan mengukir namamu, dalam lembar keabadian. Majulah anak muda, majulah perempuan.

                                                                                    Kendari, 23 Mei 2017
                                                                                    Laode Halaidin

18 Mei 2017

Meluruskan Makna Demokrasi

Sumber Gambar: Pixabay.com

Pergeseran makna demokrasi dalam politik akhir-akhir ini sangat terasa. Sejak pilpres tahun 2014
silam, hingga pilkada beberapa bulan yang lalu, demokrasi sepertinya dimaknai hanyalah sebuah “pesta”. Melalui kata-kata, ucapan, informasi serta tulisan-tulisan di media sosial atau televisi banyak kita temukan—demokrasi dimaknai dalam arti sempitpesta pemungutan suara dibilik pemilihan. Pergeseran makna ini kemudian mempengaruhi partai politik dan mesin politiknya bahwa pertarungan politik hanya mencari suara rakyat sebanyak-banyaknya.
Dalam pandangan Coen Husain Pontoh, pada tahap ini yang mengemuka adalah demokrasi prosedural yang kemudian merubah makna dari pemerintahan rakyat (government of the people) menjadi pemerintahan para politisi (government of the politicians). Rakyat melakukan pemilihan, namun bukan lagi memilih karena program tetapi memilih karena figur—popularitas elit. Sementara itu, partai dan mesin politiknya disibukan dengan menjual program, melakukan marketing politik yang seringkali tak dipahami oleh warga.
Dari situ, Coen Husain Pontoh menyimpulkan bahwa demokrasi yang demikian dapat memberikan fakta, bahwa elit seperti itu berwatak oligarkis. Pertarungan elit hanya untuk merebut kekuasaan semata, bukan dalam kerangka untuk dapat memberdayakan masyarakat kecil. Dalam konteks ini, makna demokrasi tersandera oleh kepentingan elit yang kemudian berusaha membelokan makna demokrasi itu sendiri. Demokrasi bagi mereka bukan lagi berarti kekuasaan, kehendak rakyat, tetapi kekuasaan elit—para oligarkis itu sendiri.
Tetapi, tak bisa dipungkiri, didalam demokrasi semua elit maupun pemilih terbagi dalam kelompok-kelompok atau sekat-sekat. Masing-masing kelompok itu mempunyai atau mempertaruhkan apa yang menjadi keinginan dan kepentingannya.
Josep A. Schumpeter dalam bukunya mengenai Kapitalisme, Sosialisme dan Demokrasi tampaknya dapat menganalisa hal tersebut. Schumpeter mengatakan, dalam demokrasi politik seringakli muncul dalam berbagai macam kelompok-kelompok dan semua itu merupakan sifat alamia manusia dalam politik. Mereka merupakan kelompok yang teridiri dari politikus profesional atau eksponen dari suatu kepentingan ekonomi, para idealis atau sekedar kelompok masyarakat yang tertarik dalam pementasan serta pengelolaan pertunjukan politik.

Mereka kelompok-kelompok itu, menurut Schumpeter, umumnya mempunyai keinginan untuk menjadi apa, dan didalam batas-batas yang sangat luas mereka mampu untuk menciptakan kehendak rakyat. Pada titik ini, partai dan mesin politiknya seringkali mencoba membombardir rakyat dengan memproduksi berbagai keinginanapa yang menjadi keinginan rakyatnya. Mereka mengklaim mampu untuk mewujdukan keinginan rakyat itu, meskipun hanya sekedar tutur kata seperti para penjual obatmanis tapi seringkali tak berefek. Dengan demikian, Schumpeter mengemukakan, jika demikian adanya, maka apa yang menjadi kehendak rakyat hanyalah produk dan bukan kekuatan motif dari proses politik.
Sumber Gambar: Pixabay.com

Namun di dalam demokrasi, segala perbedaan-perbedaan keinginan itu dikehendaki. Keberagaman merupakan sesuatu yang universal untuk dapat menjaga sebuah keutuhan bangsa. Perbedaan keinginan itu perlu ada. Tetapi bukan kemudian perbedaan itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik diri sendiri dan kelompok. Segala perbedaan keinginan didalam demokrasi harus dikelola untuk kepentingan bersama bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan lainnya.

Inilah esensi dalam hidup berdemokrasi. Dan penyempitan makna demokrasi, bukan saja dapat membawa bangsa dalam sekat-sekat, permusuhan, tetapi terjadinya degradasi sosial yang kemudian berujung pada chaos kekuasaan. Ini semua tentu akan mengancam kedaulatan bangsa. Olehnya itu, perlu pedalaman makna demokrasi itu sendiri secara komprehensif, agar negara-bangsa berada pada tataran yang seimbang, damai.
Dalam tulisan Kristian Ginting di koran Suluh Indonesia dengan judul Demokrasi Mahal Menindas Rakyat, ia mengutip pendapat sejarawan profesor Ellen Meiksins Wood mengenai makna demokrasi. Bagi Wood, kita harus tau apa itu demokrasi sejati.
Mengutip tulisan Kristian Ginting, Wood mencoba memberikan arti apa itu demokrasi sejati. Dalam bahasa Yunani kuno demos adalah rakyat, pendudukdan tidak hanya pengertian politik yang mengawang-ngawang, tetapi juga sebagai kategori sosial: orang-orang biasa atau bahkan orang-orang miskin. Sementara kratos berarti kekuatan, kekuasaan, pemerintahan.
Dalam hal ini, bagi Wood demokrasi tidak lebih tidak kurang adalah kekuasaan rakyat, bahkan kekuasaan dari rakyat biasa atau rakyat jelata. Atau kata Wood lagi, makna asli demokrasi sejati dapat disamakan dengan apa yang disebut dengan kekuasaan proletariat.
Dengan pengertian ini, kini kian jelas, bahwa dalam demokrasi kekuasaan ada dipundak rakyat, atau kekuasaan rakyat jelata yang identik dengan keadilan sosial, sebagaimana yang ditulis oleh Kristian Ginting.  Pemerintah pusat dan daerah serta wakil-wakil rakyat harus mengambil kebijakan serta membuat Undang-Undang berdasarkan kepentingan rakyat banyak, bukan golongan. Mereka, presiden beserta menteri-menterinya, kepala daerah dan wakil rakyat yang terpilih lewat pemilihan umum, juga harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat. Karena itulah sesungguhnya, rakyatlah yang memegang kendali kekuasaan dalam alam demokrasi.
Pelajaran penting yang kita ambil dari pilkada DKI Jakarta 2017 ini adalah adanya perebutan kekuasaan yang kemudian membawa demokrasi pada sisi gelap, yang dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan kelompok. Kepentingan rakyat sepertinya tergadai yang lalu melahirkan kelompok-kelompok intoleran dan anarkis. Kelompok-kelompok ini membawa gelombang penegasan identitas keagamaan dalam berpolitik. Isu-isu keagamaan digoreng sedemikian rupa, untuk kemudian mendapatkan simpati untuk pemilihnya, sesama muslim. Pro dan kontra pemilih seringakli berseteru, saling menghujat, mencaci-maki bahkan menyebarkan kebencian di media sosial internet.
Pada skala ini, para pemilih, tidak lagi berbicara mengenai calon mana yang mempunyai program yang baik, dimana secara kualitas terukur. Tetapi, menyibukan diri dengan membincangkan sesuatu yang membuat energi kita terkurassesuatu yang tidak masuk dalam esensi berpolitik. Demokrasi kita dirong-rong, dimana yang mayoritas selalu merasa bahwa tafsirannya selalu benar. Merujuk pada pandangan Foucault (1991), bahwa kehendak manusia yang ingin selalu benar sebenarnya identik dengan kehendak untuk berkuasa.
Kekalahan dan dipenjaranya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap telah menista agama Islam, bagi sebagian orang adalah ujian bagi demokrasi di Indonesia. Politik identitas agama, suku dan ras atau etnik akan menjadi isu sentral dalam setiap perebutan kekuasaan baik di pusat maupun di daerah. Tak memungkiri, akan banyak elit-elit politisi yang terus menghembuskan isu-isu anti-keberagaman ini, sebagai langkah untuk merebut suara-suara para pemilih. Pada titik nadir inilah ruang sisi gelap demokrasi hadir di Indonesia. Ia akan kembali muncul, menghadirkan sesuatu yang mengerikan, membuat perut kita mual setiap saat.
Sementara itu, kita memang tahu dan memahami bahwa demokrasi bukanlah sistem yang telah selesai. Ia berbenah dan terus berbenah. Ia adalah sistem yang secara terus menerus dilengkapi dan disempurnakan. Silahkan saja para elit berkuasa, karena semua itu merupakan nafsu yang terus bersemayam dalam setiap individu atau kelompok. Tapi, kekuasaan itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sehat, rasional, profesional, dengan tidak menimbulkan bersitegangnya antar warga-bangsa pemilih.
Apa yang menjadi tugas kita sebagai anak bangsa adalah mencoba untuk terus meluruskan makna demokrasi sejati itu sendiri. Didalam demokrasi, kekuasaan merupakan bukan tujuan, tapi ia adalah jembatan untuk mengantarkan warga-masyarakat pada kesejahteraan dan keadilan sosial. Didalam demokrasi, tidak ada pemaksaan kehendak untuk benar; semua benar, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, minimal menurut dirinya sendiri.
Maka dari itu, demokrasi menyediakan dialog, untuk menghindari sifat-sifat intoleran. Setiap individu dan kelompok dituntut untuk membuka diri bahwa di atas kebenaran sepihak ada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa.  Merujuk pada Caputo (2001) yang dikutip Acep Iwan Saidi di kompas (18/4/2017), pada akhirnya yang benar adalah bersatunya semua kebenaran. Dan semua ini akan membawa makna demokrasi bukan saja perebutan kekuasaan semata, tetapi pengelolaan negara-pemerintahan yang merujuk pada keadilan sosial yang lebih besar.


                                                                                Kendari, 19 Mei 2017
                                                                                L. Halaidin

17 Mei 2017

Hari Buku Nasional, 17 Mei 2017

Sebagian buku koleksi

Ada yang bertanya kepada saya mengenai buku bacaan. Kamu suka baca buku apa sebenarnya? Buku-buku kamu ini banyak macamnya. Padahal kamu orang ekonomi, tapi bacaanmu ada buku politik, budaya, sejarah, tentang agama, filsafat dan buku-buku novel. Mengapa kamu tidak konsisten hanya satu buku, fokus pada keilmuanmu?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini banyak kudengar saat bertemu dengan sahabat-sahabat. Mereka bertanya kritik, tentang buku yang kukoleksi. Pada saat yang sama, saya hanya mengatakan bahwa saya suka semua buku bacaan. Saya suka baca buku apa saja, yang tentu mempunyai nutrisi-nutrisi untuk mengembangkan pengetahuanku.
Saya percaya, bahwa ilmu itu tidak berdiri sendiri. Masing-masing kajian ilmu saling menopang untuk kemudian mencoba untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang lain. Misalnya ilmu-ilmu sosial. Jika kita mempelajari hal ini, penjalaran ilmu kita harus menyentuh dimensi-dimensi ilmu lain, seperti politik, ekonomi, budaya dan semacamnya.
Itulah pengetahuan. Maka, dalam memperingati hari buku saya hanya mengatakan bahwa buku itu penting, karena;

Buku adalah lentera, dikala kegelapan menyelimuti pikiran.
Buku adalah jendela, untuk melihat dunia yang lebih luas.
Buku dalah aksara pengetahuan, yang kemudian membawa kita pada setiap peradaban.

Dengan buku, kita senag, kita tenang.
Dengan buku, kita dapat menjelajah dari waktu ke waktu.
Karena itulah, bahwa buku adalah kompas pengetahuan.

Maka dari itu, rawatlah buku dengan baik.
Sebagaimana kita merawat kehidupan.
Dengan merawat buku, kita sama halnya dengan merawat peradaban.


                                                                                Kendari, 17 Mei 2017
                                                                                Laode Halaidin

13 Mei 2017

Warga Kendari Kebanjiran, Bantuan Logistik Tak Kunjung Datang

Beberapa Pengungsi di Dalam Mesjid: Foto Laode Halaidin

Sejak diterjang banjir besar pada tahun 2013 silam, hari ini di beberapa wilayah Kota Kendari kembali mengalami kebanjiran. Hujan yang turun sejak dua hari lalu, Kamis dan Jumat (11/05/2017 dan 12/05/2017), mengakibatkan beberapa kelurahan mengalami kebanjiran yang cukup parah. Salah satunya seperti yang terjadi di Kelurahan Lepo-lepo, Kecamatan Baruga, tepatnya di jalan. H. Lamuse.

Kebanjiran ini dipengaruhi karena meluapnya air sungai Kali Wanggu. Informasi dari beberapa warga mengatakan, banjir tersebut merupakan air limpasan dari sungai di Konawe Selatan.
Sejak Jumat (12/05/2017) kemarin, terlihat ada beberapa warga yang mulai mengungsi. Rumah warga terendam hingga ketinggian setinggi paha orang dewasa. Dari informasi yang berhasil saya wawancarai, ketua RT-13 Rustam mengatakan, saat ini rumah yang terkena banjir sekitar 120 rumah. Dari catatan yang terlihat disalah satu kertasnya, ada 28 kepala keluarga yang terendam banjir. Untuk RT-13 yang saya urus ada 28 kepala keluarga, ini belum yang lain kata Rustam, sambil memperlihatkan catatannya.
***
Saat saya mengunjungi lokasi banjir hari ini, ada beberapa tenda-tenda darurat yang didirikan untuk tempat mengungsi para warga yang terkena banjir. Beberapa warga terlihat beraktivitas didalam tenda. Sementara itu pihak TNI-Polri, BPBD Kendari, Basarnas, PMI dan TBM FK UHO terlihat beraktivitas diluar, berjaga-jaga sebagian melayani warga.
Warga Mengungsi di Tenda-tenda; Foto Laode Halaidin
Rumah Warga Yang Terendam Banjir: Foto Laode Halaidin
Namun, sampai pukul 11.04 pagi, aktivitas terlihat kembali sepi. Tak banyak yang dilakukan. Rustam ketua RT-13 mengeluh tentang tidak adanya bantuan logistik dari pemerintah kota. Hingga sampai jam sekarang, tidak ada bantuan apapun dari pemerintah kota. Jika pemerintah kota mengatakan banjir tidak parah, sebaiknya mereka meninjau sekarang, lihat keadaan kami sekarang, kata Rustam.
Menurut Rustam, persoalan banjir bukan persoalan sepele. Sejak kemarin warga saya disana terisolasi, bahkan ada yang longsor. Warga sangat membutuhkan bantuan, berupa logistik dan yang lainnya. Kalau tidak percaya kata Rustam, mari kita kesana, melihat keadaan warga. Sejenak, Rustam memanggil seorang pemuda yang membawa sebuah perahu bantuan. Pertualangan pun kami mulai.
Sepanjang jalan Kali Wanggu, terlihat beberapa rumah terendam banjir. Kami menyisir sekitar ½ kilo meter jalan. Setelah mencapai titik dataran terendah banjir, Rustam mengajak saya untuk mengunjungi pengungsi di dalam mesjid. Silahkan wawancarai pengungsi di dalam mesjid, apakah mereka mendapatkan bantuan atau tidak, kata Rustam.
Saya berhasil bertemu pengungsi di dalam mesjid yang bernama Arham. Ia adalah salah satu warga yang mengeluh karena tidak adanya bantuan logistik yang datang dari pemerintah kota. Menurut Arham, apa yang dikatakan Pak Rustam itu benar. Disini, sampai dengan pukul 12.00, bantuan belum ada sampai sekarang. Kami tidak terlalu berharap, tapi setidaknya kami diperhatikan. Mereka yang berada didekat jalan, tidak ada masalah, tidak kesusahan, tapi kami kesusahan. Perahu bantuan hanya satu. Bagaimana bisa kami belanja dengan warga yang berjumlah 25 kepala keluarga ini, kata pak Arham.
Luapan Sungai Kali Wanggu: Foto Laode Halaidin
Senada dengan Arham, saya kemudian mewawancarai seorang Ibu yang tidak disebutkan namanya. Ibu itu mengatakan, kejadian ini sama dengan tahun 2013 silam. Pemerintah kota juga mengatakan tidak parah, namun setelah air sudah sampai diatap rumah, baru mereka mengirim bantuan. Itu pun disini kurang diperhatikan, kecuali didekat jalan, kata Ibu itu.
Diluar mesjid, terlihat Ibu-ibu sedang sibuk memasak. Salah seorang Ibu juga mengeluh tidak adanya bantuan. Mereka memasak makanan hasil sisa yang diselamatkan dari banjir. Disini tidak ada bantuan pak, kami memakai beras dan sisa lainnya yang berhasil kami selamatkan, kata Ibu itu.
Apa yang menjadi harapan warga adalah perhatian, terutama warga yang letaknya cukup jauh dengan jalan raya. Pemukiman mereka yang sudah menjadi langganan banjir saat hujan deras, meminta pemerintah kota serius untuk bisa menangani masalah ini. Rustam mengemukakan, seharusnya mereka turun langsung ke-lokasi, mengunjungi warga ditempat banjir, bukan saja berkomentar ditempat aman lalu mengatakan tidak terlalu parah. Kami yang merasakan, bukan mereka, ungkap Rustam.
Inilah potret pemerintah kita. Tersebarnya informasi di media sosial yang tidak aktual dan tidak menyajikan fakta-fakta dilapangan membuat kita tergelitik untuk menelusurinya. Disalah satu media sosial lokal, wakil walikota Kendari mengatakan bahwa banjir ini tidak terlalu parah. Setelah saya turun kelapangan dan berdiskusi dengan warga, kondisi mereka sungguh miris. Hampir separuh tinggi rumah mereka terendam air. Dan hal yang mengejutkan, pemerintah kota seperti terlihat abai dengan kondisi warga.
Rustam benar, bahwa yang merasakan dia dan warganya, bukan mereka.


                                                                         Kendari, 13 Mei 2017
                                                                         Laode Halaidin

01 Mei 2017

Membangun Kewirausahaan Sosial; Lebih dari Sekadar Mengurangi Kemiskinan

Beberapa hasil kreatif  warga desa Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin
Kemiskinan bukanlah masalah baru di negeri ini. Kemiskinan merupakan masalah klasik yang sudah tertanam mengakar, sebelum Indonesia menjadi negara. Setelah bangsa Indonesia merdeka dan beralih kepemerintahan Orde Lama, Orde Baru hingga massa reformasi, banyak pihak-pihak yang menyumbangkan gagasannya untuk mengatasi kemiskinan bangsa.

Dari perjalanan sejarah yang panjang itu, sampai hari ini kemiskinan belum mampu untuk dientaskan ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Kemiskinan muncul dan terus muncul dengan berbagai macam karikatur. Pengemis, pengangguran, pemungut sampah, banyaknya anak putus sekolah/pendidikan serta kejahatan-kejahatan seperti begal, jambret, pencurian, serta premanisme merupakan bagian dari karikatur masalah kemiskinan itu sendiri.
Indonesia dalam angka yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, tahun 2016 angka garis kemiskinan semakin tinggi. Meskipun angka kemiskinan menurun sebesar 250 ribu jiwa menjadi 27,76 juta penduduk, namun masyarakat yang berada digaris kemiskinan semakin meningkat rata-rata sekitar 2,15 persen. Ini terlihat dari rata-rata pengeluaran per kapita per bulan, dimana sumbangan kemiskinan dari komoditas makanan sangat besar berada dikisaran 73,19 %.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang selama ini menjadi target utama pemerintah ternyata tidak dapat mengatasi persoalan kemiskinan. Banyak masyarakat yang mulai merasakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin bagaikan bumi dan langit. Penguasaan kue ekonomi tidak merata, hanya terkonsentrasi pada segelintir orang dan korporasi-korporasi besar.
Seperti yang ditulis Katadata, dari hasil survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Diantara beberapa negara yang disurvei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, Indonesia menempati urutan keempat dengan disparitas kekayaan tertinggi, disusul negara Thailand, India dan Rusia. Berikut ekonografiknya;
Katadata.co.id
Berdasarkan rasio gini, yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur ketimpangan pendapatan menunjukan trend tersebut. Data statistik merilis, rasio gini selama tahun 2007-2011 terus  mengalami peningkatan yang signifikan, berkisar antara 0,35-0,38. Sementara itu, selama tahun 2012 terus merangkak naik dan stagnan hingga mencapai 0,4 sampai dengan September tahun 2015. Penurunan rasio gini terjadi baru pada bulan Maret-September 2016 yang berada dikisaran 0,397-0,394. Itu artinya, jurang ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin di tanah air masih cukup tinggi.

Hal yang sama juga terjadi pada sektor perbankan. Kesenjangan yang terjadi menjadi sangat nampak ketika orang-orang kaya menguasai sektor perbankan. Data statistik yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, dana Bank Indonesia didominasi oleh mereka yang memiliki rekening diatas RP 2-5 miliar. Masyarakat yang memiliki simpanan dibawah 100 juta pada bulan Agustus 2016 hanya mencapai RP 672,85 triliun. Sementara itu, simpanan dengan nominal diatas 2-5 miliar mencapai RP 2.136,7 triliun. Artinya, orang kaya masih mendominasi simpanan pada sektor perbankan, terutama oleh para pemodal—pengusaha-pengusaha besar.
Kesenjangan ini memperkuat bukti bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan kemakmuran bersama dalam arti yang riil. Resiko besar dengan adanya ketimpangan dan kesenjangan tersebut, bukan hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, tetapi memperlambat pengentasan rakyat untuk keluar dari kemiskinan.
***
Pembangunan yang selama ini diadopsi oleh pemerintah, juga banyak menimbulkan ketimpangan antar daerah yang berakumulasi pada rendahnya kesejahteraan masyarakat kecil, baik yang ada dipedesaan maupun dipinggiran perkotaan. Hasil laporan Word Economic Forum (WEF) yang tertuang dalam peringkat Inclusive Development Indeks (IDI), yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, dari 79 negara berkembang Indonesia menempati peringkat ke-22 dari indeks pemerataan pembangunan. Indonesia masih tertinggal dikawasan Asia Tenggara, dimana indeks pemerataan pembangunannya berada diskor 4,29, masih di bawah negara Malaysia dan Thailand dengan skor 4,39 dan 4,42.
Menurut laporan ketimpangan Indonesia, yang diterbitkan oleh Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Oxfam, penyebab memburuknya ketimpangan di Indonesia sangat kompleks dan berlapis, mulai dari fakor struktural hingga pilihan-pilihan kebijakan (Kompas, 24 Februari 2017).
Juru bicara Oxfam Dini Widiastuti di (Kompas, 24 Februari 2017) mengatakan, fundamentalisme pasar atau kuasa pasar lebih membuka peluang pada mekanisme pasar dan korporasi. Inilah yang melahirkan memburuknya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Pintu masuknya terbuka melalui resep penyehatan ekonomi yang diinisiasi oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1997, seperti privatisasi pelayanan publik, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi tenaga kerja dan penghapusan subsidi untuk komoditas mendasar.
Penyebab ketimpangan pendapatan memburuk lainnya, masih menurut Dini Widiastuti karena meningkatnya kuasa politik, ketidaksetaraan gender, ketimpangan akses layanan kesehatan dan kualitas pendidikan, ketimpangan akses terhadap infrastruktur dan lahan, pasar tenaga kerja dan upah buruh murah serta sistem pajak yang tidak adil. Semua ini berkelindan dengan adanya kuasa pasar, yang memungkinkan banyak kepentingan kelompok tertentu untuk meraup keuntungan yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Lalu, solusi apakah yang tersisa untuk bisa mengentaskan kemiskinan? Adakah pilihan-pilihan lain yang lebih ampuh untuk bisa mengangkat kualitas kehidupan masyarakat?
***
Di setiap pemerintahan, baik pusat hingga pemerintah daerah, dengan segala upaya selalu memunculkan program kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan. Program-program dan kebijakan yang mereka canangkan tersebut, ada yang berhasil tapi tidak sedikit juga yang gagal. Kegagalan program serta kebijakan tersebut, tak pernah luput dari intervensinya yang juga gagal, hingga menimbulkan birokrasi korup dan tidak efisien.
Dengan kata lain, dalam mengentaskan kemiskinan perlu keterlibatan pihak-pihak seperti swasta, organisasi-organisasi non pemerintah, yayasan-yayasan sosial, gerakan-gerakan sosial (social ventures) dan penggalangan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan besar (Supratikno, 2011). Pemerintah perlu bergandengan tangan dengan pihak-pihak swasta untuk mengurai adanya kemskinan dan ketimpangan pendapatan.
Dalam hal ini, ada sebersik harapan yang menurut Prof. Hendrawan Supratikno, dapat memadukan insentif pasar dengan upaya untuk mengatasi kemiskinan. Dalam pandangan CK Prahalad (2005:4) bahwa membangun kewirausahaan sosial yang luas dan menyebar merupakan jantung pemecahan masalah kemiskinan. Dengan demikian, negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, titik berat usaha yang perlu ditekankan adalah memindahkan pertumbuhan ekonomi tinggi menuju pada usaha-usaha yang lebih mengangkat kualitas kehidupan masyarakat.
Fokus utama yang perlu dibangun yaitu usaha-usaha yang secara khusus menitiberatkan pada masalah mempercepat target pertumbuhan penghasilan kelompok masyarakat yang rentan dengan kemiskinan. Biasanya, kelompok-kelompok masyarakat miskin ini, terdapat di daerah pedesaan dan dipinggiran perkotaan. Mereka perlu dirangkul dengan baik. Mereka bisa menghasilkan karya ekonomi kreatif, mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), jika ada topangan dana pembiayaan yang lebih murah serta perhatian untuk dapat menyalurkan daya kreatifnya.
Kita bisa mengambil contoh klasik seperti Grameen Bank atau Bank Desa di Bangladesh yang mempolopori pembiayaan mikro (micro finance) dan dapat menjangkau sekitar 8,54 juta pengguna kredit pada tahun 2013. Langkah ini sangat progresif dan mampu mengatasi kemiskinan yang sangat besar dipedesaan Bangladesh. Dengan bantuan dana kredit macet di bawah 1,5 persen, para wanita pedesaan Bangladesh mampu mendirikan usaha-usaha atau menghasilkan produk-produk yang bernilai jual untuk dipasarkan.
Contoh lainnya seperti Hindustan Unilever Limited (HUL). Jaringan penyalur produk ini telah mampu menciptakan kewirausahaan lokal secara massal dengan melahirkan “Shakti Amma” (empowered mother) bagi wanita pedesaan India dengan pendapatan antara USD60-150 per bulan. Daya ekonomi kreatif mereka tertopang, sehingga banyak menghasilkan produk-produk kewirausahaan yang mampu mengangkat kualitas kehidupan mereka.
Di Indonesia, untuk dapat mengembangkan kewirausahaan lokal, pemerintah pusat dan daerah juga perlu bekerjasama dengan pihak swasta, organisasi non-pemerintah, perusahaan besar yang memiliki tanggung jawab sosial, yayasan sosial dan gerakan sosial untuk dapat memacu Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) dan ekonomi kreatif lainnya. Langka ini bukan saja untuk menyerap tenaga kerja, namun bisa mengurangi tingkat kemiskinan di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan.
***
Saya melihat dibeberapa daerah di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara, banyak masyarakat desa yang memiliki daya ekonomi kreatif untuk menciptakan produk-produk lokal. Mereka bisa mengembangkan kewirausahaan lokal yang kemudian dapat menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional
Kain Tenun Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin
Talak Koghaghe (Bahasa Muna): Foto Laode Halaidin
Hal ini dapat terlihat pada acara Halo Sultra, ulang tahun Sulawesi Tenggara yang ke-53 tahun ini. Dalam setiap stand Kabupaten/Kota banyak produk-produk lokal yang ditampilkan, untuk kemudian dipertunjukan kepada pengunjung. Semua hasil ekonomi kreatif tersebut berasal dari desa-desa, baik dibuat dalam bentuk kelompok maupun secara perseorangan.
Dari hasil wawancara saya dengan penjaga stand Kabupaten Muna, Ibu Mariati mengatakan, semua produk yang didatangkan merupakan hasil kreatif masyarakat dari pedesaan. Misalnya kain tenun khas Muna dari desa Masalili, ukiran asbak dan kuda dari Tampo, dan Talak koghaghe (dalam bahasa daerah Muna) dari desa Korihi. Sama halnya dengan daerah Kabupaten Buton, yang juga memiliki hasil produk UKM kreatif dari warga desa. Seperti produk olahan teri asap (kaholeo, dalam bahasa daerah Buton dan Muna), rumput laut, kerupuk udang, teri nasi dan ketan hitam.
Hasil ukiran kuda dari Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin
Produk lokal hasil UKM kreatif warga desa Kolaka: Foto Laode Halaidin
Daerah Kabupaten Muna Barat dan Kolaka juga memiliki produk yang melimpa dari hasil alam. Semua dikembangkan berdasarkan kelompok, perseorangan dan juga atas bantuan pemerintah daerah setempat. Daerah Muna Barat warga desanya bisa menghasilkan produk kerupuk udang dari desa Wanseriwu, rumput laut dari desa Galai, dan pilus rumput laut yang dikembangkan bersama darma wanita dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Muna Barat.
Sementara itu, daerah Kolaka juga bisa menghasilkan produk lokal yang bisa dikembangkan melalui kewirausahaan. Ibu Maharani salah satu yang melayani stand Kabupaten Kolaka mengatakan, Kolaka memiliki sumber daya yang mumpuni untuk menghasilkan produk-produk lokal yang bernilai jual. Dari hasil pengamatan saya, warga desa di daerah Kolaka bisa menghasilkan berbagai macam produk. Produk-produk tersebut seperti Bagea kangkung, Bagea kacang hijau, Dodol coklat mente, Sambal Aoila, Abon ikan pari dari desa Laloeya, gula dan asbak dari bambu dari desa Kali.
Artinya, di setiap desa banyak tersimpan sumber daya yang perlu untuk dikembangkan, baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusianya. Kita tidak bisa lagi mengabaikan desa, yang selama ini hanya dijadikan sebagai sumber penyedia tenaga kerja murah dan pangan. Warga Desa perlu diberdayakan--mereka punya keterampilan yang memadai untuk menghasilkan Usaha Kecil Menengah (UKM). Daya ekonomi kratif perlu didorong yang kemudian disediakan dengan dana pembiayaan yang lebih murah. Inilah satu-satunya usaha untuk bisa mengangkat kualitas kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, daya kreatif tersebut bisa menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Hasil produk lokal warga desa di Kab. Buton: Foto Laode Halaidin
Hasil olahan warga desa Kab. Muna Barat: Foto Laode Halaidin
Maka dari itu, sudah saatnya penyebaran kewirausahaan lokal perlu didorong dengan massif, agar kemiskinan dan ketimpangan dapat teratasi dengan baik di semua desa dan daerah. Seperti yang dihimpun oleh Katadata, selama tahun 2015 jumlah usaha mikro kecil selama ini hanya terpusat di Jawa, terutama Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, antara sekitar 480-1 juta usaha. Sementara daerah Sulawesi Selatan 118 ribu usaha, Bali 103 ribu usaha dan NTB hanya 94 ribu usaha. Artinya, kewirausahaan lokal belum tersebar dengan luas dan menyebar tetapi masih terfokus dibeberapa daerah. Selama ini masih terjadi, maka kesenjangan dan kemiskinan masih akan sulit untuk dientaskan.
Membangun kewirausahaan sosial bukanlah solusi yang paling utama untuk bisa mengatasi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Masih banyak langkah-langkah lain yang perlu diambil oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Begitupun pihak swasta, yayasan dan organisasi sosial lainnya. Kewirausahaan sosial hanyalah gerbang untuk memberikan harapan bagi lahirnya transformasi sosial (Supratikno, 2011).
Dengan demikian, membangun kewirausahaan sosial, itu hanya lebih dari sekedar mengurangi kemiskinan. Tapi ini perlu dan perlu untuk terus digemahkan di nusantara.

Refrensi Utama






Refrensi Tambahan

Supratikno Hendrawan, 2011. “Ekonomi Nurani vs Ekonomi Naluri”. Cetakan pertama. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Ketimpangan Masih Lebar. Kompas, 24 Februari 2017.