Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

18 Februari 2017

Habis Ayah, Berkuasalah Anak

Tugu Religi Sultra di kota Kendari

08 Februari 2017

Imajinasi

Pixabay.com
Apakah anda saat berbaring ditempat tidur, langsung memejamkan mata, lalu terlelap? Saya adalah sesuatu yang lain. Kadang saya tak bisa tidur. Pikiranku terbang melayang-layang entah kemana.
Saat itu saya sedang berimajinasi. Memikirkan sesuatu hal yang entah tak bisa ku tembus dan kugapai. Pikiranku tergerak, melampaui apa yang menjadi kemampuanku.
Saat memperhatikan keadaan lingkungan sosial dan ada yang menyentu, pikiranku tersusun bergumpal-gumpal ingin melakukan sesuatu. Tentu saja dengan menuliskannya. Menuliskan tentang kisahnya, keadaan yang dialaminya dan lain sebagainya.
Inilah yang kualami. Apakah ini penyakit? Entahlah. Tapi ini bukan penyakit sosial, tentunya. Saya sangat jauh dari itu. Justru saya sangat simpati dengan keadaan lingkungan sosial yang ada.
Inilah imajinasi. Merenggut segala dayaku, lalu menuntunku untuk berbuat sesutu. Imajinasi membuat kita bisa terbang, meskipun kita tak punya sayap.
Sayap kita bukan berupa kepakan, seperti sayap Garuda itu. Tapi yang membawa kita adalah pikiran, otak yang tersusun dalam daya ingatan. Kita terbang dengan pikiran yang membawa kita kemana saja. Sosial-politik dan ekonomi pun bisa. Atau mungkin dengan sastra, fiksi.

                                                                                    Laode Halaidin

07 Februari 2017

Tokoh

Pahlawan
Sumber Gambar: americamagazine.org

Ini bukan tentang Tokoh yang ada dijalan-jalan. Tapi tentang Tokoh-Tokoh yang baru-baru ini muncul dilubang-lubang yang tak dikenal.
Sekarang ini banyak yang bermunculan sosok tokoh-tokoh. Selama ini mereka tak bermunculan. Entah dimana rimbahnya.
Menjelang Pilkada mereka bermunculan, seperti dihantui sesuatu. Ada yang muncul dilubang tikus, lubang buaya dan lubang-lubang lainnya.
Banyak permasalahan, yang menyangkut persoalan orang banyak/masyarakat kecil , tak ada juga yang saya temukan untuk sekedar berkomentar. Atau memberikan pemikiran. Atau menuliskan esainya. Diberbagai media, mereka tak muncul. Mereka nyenyak, entah tidur dikasur apa.
Namun saat ini, mereka bermunculan bagai hantu yang tengah gentayangan. Mereka muncul dengan berbagai label, Tokoh-lah, anula-lah dan label-label lainnya.
Saya bukan tidak setujuh dengan penempatan label itu. Namun penempatan seseorang yang dikatakan tokoh, bukan pada sembarang orang. Ia harus tepat.
Kita tidak bisa mempolitisasi penempatan nama tokoh, untuk kepentingan politik praktis. Bukan soal memang. Tapi bagi saya itu sama sekali tidak etis kalau hanya untuk kepentingan politik, yang seakan-akan merepresentasikan orang-orang atau etnik tertentu.
Seseorang yang dikatakan tokoh adalah orang-orang yang terkemuka dan punya kenamaan. Dia bukan saja punya kekuasaan, jabatan dan kekayaan tapi juga pemikiran, intelektualitas, karisma dan profesionalitas. Dia juga harus menjadi panutan, dari buah kelakukan dan kerendahan hati yang baik pada banyak orang.
Misalnya kalau ia tokoh politik, ia seperti Dr. R. Sutomo, Ir. Soekarno, Gusdur, M. Hatta, H. Agus Salim dan tokoh-tokoh lainnya. Jika ia  tokoh masyarakat , ia seperti Raden Mas Panji Sosrokartono, Raden Ngabehi Ronggowarsito III, Suryomentaram dan lain sebagainya.
Mereka adalah sosok yang punya kontribusi terhadap peradaban bangsa. Bukan tokoh karbitan yang seperti saat ini muncul ditengah-tengah masyarakat, atas nama kepentingan politik semata.

                                                                                                               La Ode Halaidin
                                                                                                               7 Februari 2017

03 Februari 2017

Kendari Dan Politik Identitas Etnik

Tugu Persatuan. Foto: Laode Halaidin
KENDARI merupakan Kota yang majemuk, yang dihuni sekitar 28 etnik, terdapat 4 etnik mayoritas dan 24 etnik minoritas. Etnik-etnik mayoritas itu seperti etnik Tolaki, Buton, Muna dan Bugis. Sementara itu, untuk etnik minoritas pendatang dari luar Sulawesi Tenggara seperti etnik Jawa, Tator, Tionghoa, dan etnik-etnik lainnya.
Etnik-etnik mayoritas dan minoritas tersebut biasanya terkonsentrasi pada titik-titik tertentu  di 64 kelurahan. Namun untuk sekarang ini, baik etnik mayoritas dan minoritas mereka sudah tersebar di sepuluh kecamatan dan di 64 kelurahan yang ada.
Pada sisi yang lain, dulu sebelum kemerdekaan, Kendari merupakan kota yang tidak populer. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku Sofyan Sjaf, Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari, bahwa sebelum Indonesia merdeka hingga penghujung kekuasaan Orde Lama, Kendari bukanlah kota yang dikenal di daratan pulau Sulawesi. Saat itu yang dikenal hanyalah di pusat kerajaan-kerajaan tradisional seperti Konawe (dengan kerajaan Konawe), Muna (dengan kerajaan Muna), dan Buton (dengan kerajaan Buton).
Ada yang menarik, ketika kita mencoba menelusuri mengapa Kendari menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Banyak yang beranggapan bahwa penetapan ibu kota Sulawesi Tenggara di Kendari terjadi karena adanya dominasi kelompok etnik tertentu. Pembentukan daerah administrasi itu, seperti yang tertulis dalam penelitian Sofyan Sjaf, sarat dengan identitas etnik. Ada symbolic power yang digunakan oleh kelompok etnik tertentu untuk mengonstruksi pembentukan daerah administrasi.
Hal ini bisa dibuktikan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan atau sudah menjadi bagian dari NKRI. Saat itu, Sulawesi Tenggara hanyalah daerah Kabupaten yang dibawah pemerintahan Sulawesi Selatan. Daerah kekuasaannya terdiri dari afdeling Buton dan Laiwoi dengan ibu kotanya Baubau. Buton berada di Kepulauan Buton sementara Laiwoi berada di daratan Sulawesi Tenggara.
Lalu, apa yang terjadi ketika penempatan ibu kota Kabupaten Sulawesi Tenggara ditempatkan di pulau Buton tepatnya di Kota Baubau? Yang terjadi adalah timbulnya berbagai polemik antardaerah yang kemudian menuntut dan mempertanyakan eksistensi kedaulatan kerajaannya masing-masing. Misalnya Muna, yang menuntut (eksistensi kedaulatan kerajaan Muna), Moronene (eksistensi kedaulatan kerajaan Moronene), dan Tolaki (eksistensi kedaulatan kerajaan Konawe, Laiwoi dan Mekongga).
Tuntutan akan eksistensi kedaulatan kerajaan tersebut sebagai akibat dari kekecewaan dari etnik-etnik tertentu. Etnik-etnik itu lalu mencoba untuk melakukan perlawanan serta mendeklarasikan untuk membentuk Kabupaten baru, Sulawesi Timur. Yang menyetujui adanya pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur ini seperti kerajaan Konawe, Laiwoi dan Mekongga (Poleang Bugis, Poleang Moronene, Rumbia) dan kerajaan Muna.
Tetapi, hal itu tidak terwujud karena Kolaka menarik diri lalu menginginkan untuk membentuk Kabupaten baru diluar Sulawesi Timur. Menurut Tamburaka et. al. 2004, hal ini dikarenakan sikap Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur di Kendari telah mengeluarkan pernyataan pada suatu rapat tanpa mengundang perwakilan dari Kolaka (Sjaf, 2014).
Namun pada tahun 1964, tepatnya pada tanggal 27 April Sulawesi Tenggara kemudian terbentuk sebagai Daerah Otonom Tingkat I, dimana ibu kotanya ditempatkan di daerah Kendari yang berada didaratan Sulawesi Tenggara. Ada salah satu alasan, mengapa Kendari ditempatkan sebagai ibu kota provinsi. Kendari pada saat itu sudah dikenal sebagai kota dagang yang sangat strategis.
Lalu kita bertanya-tanya, mengapa bukan di pulau Buton tepatnya di Kota Baubau? Ada alasan politis, yang kemudian secara perlahan-lahan berusaha menggeser Baubau sebagai ibu kota Provinsi. Alasan itu dibangun dengan adanya doxa tentang konstruksi kejayaan atas kerajaan-kerajaan tradisional masa lalu.
Menurut catatan Tamburaka et. al (2004), ada enam kerajaan tradisional yang ada di Sulawesi Tenggara, seperti  Moronene, Konawe, Mekongga, Muna, Buton dan Laiwoi. Kerajaan-kerajaan ini terpisah-pisah antara kepulauan dan daratan serta terbagi beberapa etnik. Kerajaan Moronene berada di pulau Kabaena (etnik Moronene), kerajaan Konawe, Mekongga dan Laiwoi berada di daratan Sulawesi Tenggara (etnik Tolaki), kerajaan Muna berada di pulau Muna (etnik Muna) dan kerajaan Buton berada di pulau Buton (etnik Buton).
Dengan konstruksi atas kerajaan-kerajaan tradisional ini, maka bagi Tamburaka, etnik Tolaki memiliki kekuasaan simbolik karena memiliki tiga kerajaan tradisional yang kuat di daratan Sulawesi Tenggara yaitu Konawe, Mekongga dan Laiwoi
Tokoh Pemersatu. Foto Laode Halaidin
Hal itu kemudian berpengaruh terhadap penetapan ibu kota Provinsi yang saat itu dilakukan di Kendari. Muna dan Moronene ikut menyetujui dan bergabung dengan etnik Tolaki. Maka Kendari sebagai ibu kota Provinsi, bukan sesuatu hal yang musthail terjadi.
Atas dominasi etnik-etnik tersebut, kemudian kota Baubau disingkirkan sebagai ibu Kota Sulawesi Tenggara. Meskipun Baubau saat itu dianggap tempat persinggahan dan lalu lalangnya para pedagang, bukan berarti Baubau akan menjadi ibu kota Provinsi. Ada etnik mayoritas disana. Ibarat pengambilan voting yang didasarkan pada suara terbanyak, maka yang menjadi pemenang itu sudah pasti suara mayoritas.
Dengan penonjolan-penonjolan identitas etnik ini, kemudian berpengaruh terhadap dinamika perebutan kekuasaan pada aras Pilgub Sulawesi Tenggara dan Pilwali kota Kendari.
Politik Identitas Etnik
Dalam perebutan kekuasaan politik lokal di Kendari, juga tidak terlepas dengan doxa atas kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional  dimasa lalu. Kita dapat melihat dalam perebutan kekuasaan pada aras di Pilwali kota Kendari dari tahun 2007 hinggah 2012.
Kekuasaan simbolik, sengaja terus dibangun untuk mempertahankan legitimasi dan kekuasaan politik yang ada. Politik identitas etnik menjadi senjata pamungkas sang aktor, yang lalu berusaha mengikis etnik-etnik lainnya. Jadi, kekuasaan identitas etnik sama dengan dominasi atas etnik tertentu. Inilah wajah Kendari.
Tetapi, bukan hal yang mustahil, jika politik identitas etnik banyak menimbulkan kecurigaan, ketimpangan dan adanya ketidakadilan ditengah masyarakat. Politik yang dibangun dengan identitas etnik (meskipun mustahil untuk dihilangkan di Kendari), tergerus dalam pusaran ego individuaitas etnik, yang kemudian hanya menempatkan etniknya pada jabatan-jabatan penting.
Sama halnya dalam hal alokasi dana pembangunan, misalnya pendidikan dan pekerjaan umum. Suda menjadi jelas, bahwa hanya daerah yang menjadi basis etniknya, eks tim sukses dan kerabat dekatnya yang mendapatkan penganggaran paling banyak.
Menurut catatan dalam penelitian Sofyan Sjaf, setelah pilkada di Kendari yang dimenangkan Asrun-Musaddar Mappasomba (berasal dari etnik Tolaki dan Bugis Makassar) penempatan pejabat penting pemerintahan di kota Kendari sangat  terkesan bias etnik.
Dari 126 aktor yang menjabat dari tingkat kelurahan, eksekutif dan legislatif etnik Tolaki terkesan mendominasi jabatan penting. Dari 64 kelurahan, Tolaki memiliki 27 lurah, Muna 18 dan Bugis 16 lurah. Sedangkan dari 22 jabatan kepala dinas/kepala badan, etnik Tolaki memiliki 12 orang Kadis/kepala badan, etnik Bugis 7 orang dan Muna hanya 1 orang.
Sementara itu, untuk jabatan Camat, dari 10 kecamatan, etnik Tolaki memiliki 5 Camat, Bugis 3  Camat dan Muna hanya 1 Camat. Sedangkan untuk legislatif, Etnik Tolaki memiliki 14 anggota DPRD yang salah satunya menjadi ketua, Bugis 9 orang, Muna 5 orang dan Buton hanya 1 orang.
Jadi, dari jabatan-jabatan itu ada keterkesanan mendominasi dan terdominasi, berdasarkan etnik mayoritas dan minoritas di daratan Sulawesi Tenggara. Ini sangat tampak dari tingkat penguasa (Walikota) yang berasal dari etnik Tolaki lalu mempengaruhi penempatan jabatan dari Lurah, Camat dan para Kepala Dinas yang juga didominasi oleh etnik Tolaki. Sementara itu, untuk Buton adalah etnik yang terdominasi di kota Kendari, yang disusul Muna dan etnik-etnik lainnya.
Selain dominasi jabatan, yang menjadi perhatian kita atas politik identitas etnik ini adalah adanya ketimpangan etnisitas. Atas praktik-praktik dominasi oleh etnik-etnik tertentu, kesejahteraan tidak pernah menetes ke bawah, dalam hal ini pada rakyat kecil.
Yang sejahtera justru oleh elit-elit atau aktor yang mempunyai relasi, satu etnik, kerabat, eks tim sukses dan keluarga dari penguasa. Pangkuan kekuasaan dan jabatan penting suda berada pada mereka yang dominan mayoritas etnik. Maka tak salah jika kesejahteraan suda menjadi komoditas aktor.
Inilah wajah Kendari, wajah yang unik namun suram dalam hal kekuasaan dan kesejahteraan. Mereka yang berkuasa adalah mereka yang dominan atas etnik yang lalu menggeser etnik-etnik minoritas.
Mereka yang sejahtera adalah mereka yang mempunyai kedekatan dan berafiliasi dengan penguasa. Kadis, Camat, Lurah dan proyek-proyek pembangunan diakumulasi oleh mereka yang dominan etnik. Lalu, buat apa kita memperhitungkan kualitas jika kuantitas etnik diutamakan disini!
Wajah Kendari yang terpampang berbagai etnik, seharusnya dirawat dan disamakan derajatnya. Etnik bukan simbolis belaka, tapi keberagaman yang mesti dijaga. Beribu etnik bukan berarti beribu kepentingan, tapi satu kepentingan yaitu kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.


                                                                                  La Ode Halaidin
                                                                                  Kendari, 3 Februari 2017