Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

27 Agustus 2016

Belajar Dari Kasus Nur Alam

Nur Alam yang saat ini ditersangkakan oleh KPK

NUR ALAM JADI TERSANGKA. Inilah berita beberapa hari ini. Menjadi berita hangat, mungkin boleh dibilang kontroversial di republik medsos. Awal berita yang paling kontroversial mulai dari naiknya harga rokok yang merupakan berita hoax, yang banyak dipelintir oleh para penguasa yang kemudian dijadikan sebagai putusan/kebijakan, sampai dengan pemberian tersangka oleh KPK orang nomor satu di Sultra, Gubernur Nur Alam.
Saat ini khususnya di Kendari memang ada berita kontroversial, yang banyak diperdebatkan oleh para penghuni republik medsos. Apa itu! Penggeledahan ruang kerja Gubernur Nur Alam di kantor Guberur, rumah pribadinya di jalan Wua-Wua, rumahnya yang megah di Jakarta dan kantor dinas ESDM Provinsi Sultra. Semua ikut diperikasa terkait kasus Nur Alam itu.
Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga dilakukan penggeledahan? Yang jelas dibalik tugas-tugas berat mereka sebagai pemimpin, dibalik niat baik mereka sebagai pemimpin, tetap saja ada masaalah dalam sebuah kekuasaan, maksud saya dengan kebijakan yang dibuatnya. Banyak “penyetan” yang kemudian ikut membisiki kuping, pada akhirnya membengkokan niat lurus dengan membuat kebijakan yang salah kaprah. Maksud saya, ada kebijakan pragmatis-transaksional, dengan mengeluarkan kebijakan untuk memperkaya diri sendiri, untuk kolega, relasi bisnis atau mungkin ada niatan untuk memburu rente. Untuk itulah mungkin KPK melakukan penggeledahan.
Kasus yang menimpa orang nomor satu di Sulawesi Tenggara ini memang masuk pada kasus yang besar. Saya tidak ingin menilai nominal seberapa besar yang menjadi kerugian negara, yang dihitung-hitung secara kuantitatif dimana kebanyakan orang menilai. Ini suda menjadi tugas mulia KPK dengan PPATK untuk menghitungnya. Namun dengan itu, penilaian saya hanya pada seberapa banyak orang-orang yang terjerat dalam kasus ini.
Mengapa demikian! Karena Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang mempunyai lumbung tambang (bukan lumbung padi ya), yang mungkin juga suda masuk kategori besar di Indonesia. Dalam kasus Nur Alam ada beberapa orang yang disebut-sebut terlibat seperti Bupati Buton dan Bombana dan juga beberapa orang yang lain. Sejumlah nama pun akan ikut diperiksa oleh KPK, termasuk akhir-akhir ini muncul nama wakil Rektor III bidang akademik Universitas Halu Oleo.
Ada banyak perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara yang terdiri dari pertambangan nikel, emas, aspal dan batu bara seperti PT. Adaro Energi, PT. Aneka Tambang, PT. Wijaya Kusuma (Wika), PT. Inamco Varia Jasa, PT. Anugrah Harisma Barakah (AHB) dan masih banyak lagi.
Banyaknya perusahaan-perusahaan itu tentu, membuat elit-elit di daerah ikut campur yang hanya sekedar memburu rente. Mereka bisa saja politisi-pengusaha, akademisi-pengusaha atau mungkin juga penguasa-pengusaha. Campur tangan elit-elit inilah yang kemudian mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin atau penguasa di daerah. Yang menjadi masaalah, kebijakan yang tidak memuarakannya untuk memakmurkan daerah, tetapi kebijakan yang mempengaruhi yang lalu mengakumulasi kekayaan bersama para elit, lalu membuat daerah terkungkung dengan kemiskinannya.
***
Jangan pernah membayangkan daerah Sulawesi Tenggara itu maju, meskipun tambangnya cukup kaya, banyak. Jika anda pemuja dan pemuji data statistik maka silahkan anda bersorak-sorai, mempunyai kebanggaan yang tiada tara bahwa kita ternyata masuk daerah yang maju atau berpotensi maju, pertumbuhan ekonomi tinggi. Atau mungkin anda ikut merayakannya dengan pesta pora, meletuskan kembang api terbesar seperti yang dilakukan oleh Nur Alam pada tahun baru yang lalu.
Namun coba kita merenungkan nasib masyarakat kita yang jauh dari Ibu Kota Sultra, atau di dekat kota Kendari, tanyakanlah indeks kebahagiaan mereka, tanyakanlah kepuasan mereka, berselancarlah di seluruh pelosok daerah Sulawesi Tenggara. Maka jangan heran jika anda melihatnya dengan “nyingir” mengeluarkan kata “kasian daerah ini” ternyata orang-orangnya masih miskin.
“Kondisinya memang timpang” begitulah konklusi jika saya berdiskusi dengan para pakar atau akademisi di Kendari. Maksudnya pembangunan kita itu tidak merata, tidak menetes ke masyarakat bawah. Perkembangan ekonomi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah yang selalu dibanggakan itu ternyata berjalan “di atas bara api”. Kebanggan dengan pertumbuhan ekonomi kita itu “tumbuh diatas penderitaan orang lain”. Yang tersentuh kebijakan itu kelas menengah-atas, bukan kelas menengah-bawah atau kelas bawah.
Untuk itulah perlu suatu paradigma baru dalam membangun daerah. Politik transaksional perlu dihilangkan. Jika susah kita perlu mencobanya secara perlahan-lahan. Pemilu juga perlu diperbaiki, partai politik juga begitu. Jangan sampai kita masih memelihara paradigma lama, bahwa pemilu dianggap hanya sekedar untuk mendapatkan penguasa. Partai politik juga seperti itu, jangan sampai memberi dukungan terhadap calon hanya sekedar untuk menang-menangan saja. Partai politik adalah mercusuar perubahan, maka dari itu dalam menentukan calon harus jeli, disaring sebaik mungkin agar memperoleh kandidat seorang petarung (bukan bertinju), yang mepunyai politik gagasan, berpolitik dengan argumen.
Namun jika tidak, maka siap-siaplah kita menyaksikan kebijakan pragmatis-transaksional, yang akan mempuruk daerah. Tapi tunggu dulu, bicara politik itu tidak melulu bicara kebijakan kecuali sebaliknya.
Jika kita bicara kebijakan, memang mau tidak mau kita akan berbicara politik. Jika kita berbicara tentang politik, jangan disalahtafsirkan dulu karena makna politik itu banyak macamnya: dari politik sebagai seni kemungkinan merebut dan mempertahankan kekuasaan sebagai upaya untuk menanamkan kebaikan, juga politik sebagai ilmu. Kata Aristoteles ini tentu berkaitan dengan kebijakan publik.
Jika kita membaca buku Machiavelli dalam II Principe kita akan menemukan sebuah pengibaratan tentang seorang penguasa dengan kekuasaannya. Dalam buku M Alfan Alfian (Bandit-Bandit Segala Bidang) dia menulis seperti ini: karena seorang raja terpaksa mengetahui cara bertindak seperti binatang, ia meniru rubah dan singa: karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap, dan rubah dapat membela diri terhadap srigala. Karena orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa untuk menakuti srigala.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa seorang politisi penguasa yang hanya bersikap seperti singa adalah bodoh. Sehingga seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji karena dengan demikian ia hanya merugikan diri sendiri, dan karena alasan yang mengikat tidak ada lagi.
Lain Machiavelli, lain seorang filosof Immanuel Kant yang menyebut adanya dua binatang dalam tiap diri politikus yaitu ular yang ada di dada kiri dan burung merpati di dada kanan. Ular menyimbolkan kelicikan, tetapi jahat. Ular itu sangat lincah, bisa bergerak kekiri dan kekanan semua bisa diembat. Sedangkan burung merpati menyimbolkan ketulusan dan kejernihan hati nurani.
Politisi dalam pengibaratan seperti Immanuel Kant ini selalu bimbang: mau licik seperti ular atau tulus seperti merpati. Namun politisi bisa berbadan ular berkepala merpati atau bisa berkepala merpati berbadan ular.
Tetapi, tentunya saya tidak mengibaratkan Nur Alam seperti seorang politisi dalam pengibaratan dua binatang diatas. Gubernur Nur Alam adalah pemimpin yang mempunyai hati nurani, bukan sosok seperti ular seperti yang diibaratkan oleh Immanuel Kant atau singa seperti yang di contohkan oleh Machiavelli. Ia seorang penguasa yang mempunyai tugas berat untuk memakmurkan masyarakatnya.
Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan pemimpin kita, Gubernur Nur Alam yang hari ini sedang ditersangkakan oleh KPK. Jika memang terbukti, maka ini bagian dari pelajaran kita sebagai generasi saat ini. Nur Alam hanya akan menjadi masa lalu.

                                                                                     Kendari, 27 Agustus 2016
                                                                                     La Ode Halaidin

16 Agustus 2016

Ayo Merdeka, Sekali Lagi Merdeka!

ilustrasi

Beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi rumah salah seorang sahabat. Dari jauh saya melihat ada beberapa bendera merah putih yang dikibarkan dengan menggunakan bambu dan kayu-kayu. Wajar saja jika bendera bertebaran karena kita tengah memperingati hari proklamasi kemerdekaan tepatnya tanggal 17 Agustus. Setiap sekali setahun kita memperingati hari kemerdekaan ini, menghormati dan mengingat para pahlawan kita yang gugur dalam memperjuangkan Indonesia dari penjajah kolonialisme dan imperialis.
Saya kemudian mengatakan kepada sahabat itu; saya bilang, ternyata bendera disini banyak sekali! Lalu sahabat itu langsung menangkap cepat kata-kata saya itu; iya, ini kan 17 Agustus, hari proklamasi kemerdekaan, kita harus memperingatinya. Kita harus merayakannya, kita harus bangga dan itu pertanda kita punya nasionalisme.
Mendengar jawaban sahabat itu saya terdiam sejenak. Iya juga ya. Tapi apakah logis jika kita memasang bendera, merayakan dan memperingati yang kemudian membumbuhi tanda bahwa kita punya nasionalisme!. Saya memang tidak memasang bendera karena tak ada kamar, dan tempat tinggal. Tapi jangan menganggap bahwa saya tidak nasionalis. Saya hidup dengan melalangbuana, dari kamar teman ke kamar teman, dari rumah sahabat ke rumah sahabat lainnya. Masa saya harus memasang bendera di jalanan sana lantaran saya, punya nasionalisme yang tinggi. Tetangga rumah sahabat saya pun tidak memasang bendera. Boro-boro katanya memasang bendera, bendera kan hanya bagian dari nasionalisme simbolik belaka. Saya punya nasionalisme, tapi bukan dalam artian dengan hanya memasang bendera.
Saya kemudian mengajukan pernyataan ke sahabat itu; jika kamu ingin mengetahui nasionalisme seseorang, tidak bisa hanya dengan mengibarkan bendera didepan pagar rumah. Itu absurd Bung. Kamu ingin mengetahui nasionalisme saya! Nasionalisme saya itu ada dihati dan pikiran saya sendiri, bukan ditunjukan dengan sesuatu yang simbolik semata. Itu namanya nasionalisme pagaran. Apa penting orang seperti kita yang tidak punya kekuasaan dan uang punya nasionalisme. Kita mau apa! Suda seberapa sering kita melihat tanah-tanah rakyat kecil dirampok dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Kita memperjuangkan mereka, tapi akan sampai dimana! Sementara mereka dilindungi oleh negara dengan produk hukumnya. Kita sering dibuat meringis kesakitan karena tak bisa berbuat apa-apa.
Banyak yang mengatakan dirinya nasionalisme, tapi dalam tindakannya justru tidak menunjukan demikian. Proyek diakumulasi untuk kepentingan keluarga, kelompok, kerabat dan mitra bisnis di partai. Tidak percaya! Lihatlah partai-partai, politisinya sering berkoar-koar tentang nasionalisme mementingkan kepentingan dalam negeri, tetapi ikut kongkalingkong berebut proyek, untuk memperkaya diri dan ujung-ujungnya korupsi dan jeruji besi.
***
Perdebatan tentang nasionalisme memang selalu menarik perhatian berbagai kalangan baik cendekiawan, intelaktual, akademisi, dan para politisi. Jika kita tidak pro dengan kebijakan nasional untuk kepentingan dalam negeri, kita akan dianggap lliberal, kapitalis dan mungkin juga dianggap pro Barat. Sebaliknya jika pro, maka kita dianggap nasionalis, pendukung kepentingan dalam negeri. Namun, melihat kelakuan para politisi dan pemimpin kita beberapa tahun terakhir ini. selalu diperhadapkan dengan berbagai paradoksal tentang hal ini. Kepentingan dalam negeri, tapi masyarakat kita tak makmur-makmur, bangsa kita tak besar- besar (hanya wilayahnya yang besar). Pertanyaannya, kepentingan dalam negeri yang seperti apa yang dikedepankan? Jangan-jangan kepentingan itu hanya untuk para elit pengusaha dalam negeri, partai politik dan oknum-oknum tertentu yang selalu mengumbar nasionalisme.
Lalu ada lagi pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran, kalau nasionalisme, lalu nasionalisme yang seperti apa? Para bandit juga punya nasionalisme yaitu nasionalisme untuk kepentingan bisnis, memperkaya keluarga dan kolega, kelompok dan juga partai politik di dalam negeri. Bukan untuk kepentingan Barat kan, tapi kepentingan dalam negeri. Lalu buat siapakah kepentingan dalam negeri itu! Buat wong cilik, boro-boro. Masyarakat kecil kita makan saja susah. Kita punya kekayaan alam yang begitu besar, namun dimanakah hasil kekayaan alam semua itu dialirkan!
***
Tulisan ini bukan bentuk propaganda atau doktrinisasi agar sebagian wilayah Indonesia memerdekakan diri. Ini tentunya sangat sulit, karena ada doktrin yang suda melekat dalam darah daging elit dan tokoh politik kita sendiri yaitu NKRI. Tulisan ini hanya bentuk refleksi karena bertepan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini. Kemerdekaan yang terlepas dari belenggu penjajahan kolonialis dan imperialisme. Bung Karno bilang; bahwa kemerdekaan saat itu adalah jembatan emas. Ia, bentuk kemerdekaan saat itu hanya ingin terlepas dari belenggu penjajah, bukan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Dari kemerdekaan itulah, saat ini kita membutuhkan kemerdekaan lagi dalam arti yang sesungguhnya. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari ketidakadilan, merdeka dari ketakutan dan merdeka dari bandit-bandit yang terus mengekang dan mengangkangi demokrasi.
Dalam buku M Alfan Alfian Bandit-Bandit Segala Bidang (2016) kita dapat menemukan pencerahan mengapa bangsa ini tidak bangkit-bangkit. Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa ada tujuh jerat yang membuat bangsa kita sekarang ini belum bangkit-bangkit; pertama, jeratan korupsi, kedua, pragmatisme-kekuasaan dan jalan pintas, ketiga, ketergantungan, keempat, konsumerisme, kelima, feodalisme, keenam, primordialisme dan ketujuh, simbolis-mitologis. Semua ini tentunya akan bermuara pada ketidakmerdekaannya masayarakat kecil kita diakar rumput yang  terus terkungkung pada kemiskinan dan kemelaratan.
Dalam tulisan lain M Alfan Alfian mengutip pendapat Ignatius Wibowo yang mengulas tentang fenomena bandit demokrasi. Dalam buku Ignatius Wibowo itu tentang Negara dan Bandit Demokrasi (2011) ia meminjam tesis Mancur Olson dalam Power and Prosperty (2000). Ada dua jenis bandit yang menyebabkan kemiskinan dan tak kunjung datangnya kemakmuran dalam suatu negara yaitu adanya  roving bandit atau bandit yang mengembara dan stationary bandit atau bandit yang menetap. Satu lagi ditambahkan oleh M Alfan Alfian sendiri yaitu in between bandit atau bandit yang setengah menetap setengah mengembara.
Masih menurut M Alfan Alfian bahwa demokrasi kita bisa kolaps oleh tingkah laku para bandit seperti ini. Ia mencatat pendapat Ignatius Wibowo bahwa roving bandit lebih buas dari pada stationary bandit, meskipun sama-sama berpikiran menjarah, merampas kekayaan negara, roving bandit lebih leluasa, atraktif dalam mengerahkan aji mumpung bahwa mumpung masih berkuasa, ia akan menjarah dengan sepuasnya. Sementara stationary bandit ia menjarah secara pelan-pelan tetapi daya rusaknya tidak kalah mengerikan. Sementara between in bandit ia lebih luwes dalam berpraktik.
Tiga bandit diatas adalah bandit-bandit disegala bidang (meminjam sitilah M Alfan Alfian) yang mebuat masarakat kecil bangsa ini dimiskinkan. Sistem dikangkangi sehingga tidak terjadi perbaikan, politik disandera demi kepentingan kelompok. Hak hidup mereka secara layak dirampas meskipun dalam sistem demokrasi seperti hari ini. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah seperti sinyalemen Hobsbawm bahwa perbanditan akan selalu ada dan berkembang, dengan menjarah dan terus menjarah.
Pada akhirnya kita tidak bisa terus terlelap dalam tidur pulas kita sebagai bangsa. Mental bangsa harus terus diperbaiki dari berbagai penjuru. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh presiden Jokowi pada penyampaian sidang MPR kemarin bahwa negara kita bisa menjadi negara yang besar dan maju jika kita bisa keluar dari zona nyaman. Namun kita tidak hanya perlu inovasi namun juga paradigma berpikir yang lalu menghilangkan mental pelancung anak-anak bangsa.
Kita perlu bangun dari keterlelapan kita (meminjam istilah Nurcholish Madjid) “terowongan gelap sejarah”. Demokrasi harus menjadi sistem yang dapat bermuara pada kemakmuran masyarakat kecil dan bukan sebaliknya dikangkangi atau dijadikan sandra untuk mengakumulasi kekayaan. Demokrasi perut (meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif dalam buku M Alfan Alfian) perlu dihilangkan karena menjadi politisi bukan sekedar hanya untuk mencari pekerjaan tetapi dengan melayani rakyat. Sehingga dengan demikian kemerdekaan yang sesungguhnya dapat terwujud dan dinikmati oleh masyarakat kecil dibangsa ini.
Ayo merdeka, sekali lagi merdeka!

                                                                                    Kendari, 17 Agustus 2016
                                                                                    Laode Halaidin

08 Agustus 2016

Aku Yang Tengah Menjadi Manusia Gagal

Diriku di puncak Katulamende Buton Selatan

BICARA kegagalan, hal ini banyak orang-orang yang mengalaminya. Penyebab kegagalan mereka karena adanya berbagai faktor, misalnya kepandaian yang tidak dimiliki, dukungan finansial dan lain sebagainya. Kegagalan-kegagalan itu bukan saja membuat kehidupan suram dan putus asa, tetapi melihat dunia seolah-olah bukan lagi sebuah tempat yang mempunyai banyak makna dan rasional. Namun dengan demikian, manusia gagal tidak langsung berhenti begitu saja tetapi terus melakukan berbagai macam eksperimen, mencari pengalaman dan banyak belajar banyak hal dikehidupan ini.
Saya teringat tentang kisah Michael Faraday yang cukup fenomenal dikalangan para ilmuwan kala itu. Michael Faraday sang penemu generator ini tak banyak memiliki kepandaian dan juga dukungan finansial. Ia hidup miskin dibelantara kehidupan yang banyak dihuni orang-orang pandai, bangsawan dan borjuis. Ia hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) yang kemudian bekerja sebagai tukang jilid buku. Karena kebaikan sang Profesor Humphrey Davy yang kemudian menjadi mentornya dikemudian hari, Faraday dipekerjakan sebagai asisten dilaboratoriumnya.
Dikehidupannya menjadi asisten kian menjadi terhimpit. Kali ini bukan karena kemiskinannya tetapi ia seringkali diejek sebagai sarjana idiot karena tak pandai matematika. Ketika melanjutkan penelitian Oersted tentang hubungan listrik dan magnet, penemuannya menjadi kontroversial karena Prof. Humphrey Davy menuduh Faraday mencuri idenya. Disinilah perseteruan terjadi, apakah Faraday betul mencuri ide Prof. Davy atau tidak.
Ditengah pekerjaanya sebagai tukang jilid buku dan juga asisten, ia banyak meringkas dan mencoba menganalisis buku-buku yang ia jilid. Ia banyak belajar dan menemani mentornya kelaboratorium. Disinlah keberuntungan Michael Faraday terjadi ketika persiapan yang luar biasa tekun bertemu dengan kesempatan semesta mendukung (Mestakung). Michael Faraday yang belajar secara otodidak banyak memanfaatkan kesempatan itu, ketika mentornya banyak menemui kegagalan dalam eksperimennya.
Ketika mentornya meninggal, Faraday kemudian mencoba mengembangkan eksperimen itu yang lalu menemui keberhasilan. Ia kemudian menjadi ilmuwan dan dengan hukum Faradaynya, baterai, generator kemudian tercipta. Dan itu artinya tercipta jugalah alat-alat telekomunikasi dan internet.
***
Kisah ini bisa dibaca di buku karya Prof. Yohanes Surya bersama dengan Ellen Conny dan Sylvia Lim yang berjudul TOFI; Perburuan Bintang Sirius (Bagian 2). Saat membaca buku ini terutama tentang “Debat Faraday” saya membayangkan diriku saat ini yang tengah menjadi manusia gagal. Tentu bukan gagal dalam sebuah eksperimen untuk menjadi ilmuwan, tetapi gagal dalam sebuah pekerjaan untuk menuju ke ilmu pengetahuan itu. Gagal menjadi jurnalis di salah satu media Koran di Kendari dan gagal menjadi asisten. Dan pada akhirnya saya gagal untuk mengumpulkan finansial dan gagal untuk memahami metode-metode penelitian dalam ilmu ekonomi.
Dari sini saya sama seperti yang dialami oleh Faraday dalam hal, tidak memiliki kepandaian dan hidup miskin, tidak punya finansial untuk mendukung pendidikanku kedepannya. Namun Faraday adalah Faraday yang hidup di zamannya. Dan saya tidak bisa menjadi Faraday yang jenius itu, yang banyak belajar secara otodidak.
Dengan demikian, saya hanya mempelajari semangat belajarnya, dengan membuka lembar-perlembar buku-buku. Meskipun itu saya tau, tidak ada mimpi atau harapan untuk menjadi seorang ilmuwan. Karena saya yakin setiap orang seperti penulis, ilmuwan, cendekiawan atau pakar-pakar dilahirkan oleh zamannya masing-masing. Dan saya lahir dengan zaman yang berbeda dan kian berubah yang telah mengesampingkan intelektual dan banyak memuja kapitalisme. Bahkan ada juga orang-orang intelektual-kapitalis.
Manusia yang gagal seperti saya memang menyakitkan dan melihat dunia seakan tidak adil. Namun mencari keadilan di bawah matahari adalah sesuatu yang sangat mustahil. Keadilan dan juga kebenaran adanya hanyalah dilangit. Dengan semua itu, saya hanya belajar dari pengalaman-pengalaman ini. Saya cukup belajar dari kegagalan-kegagalan ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Benyamin Franklin bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik, sekaligus guru yang paling keras. Namun apapun itu, saya hanya perlu kuat dan banyak belajar tentang banyak hal untuk menjalani kehidupan ini.
Stalin pernah mengatakan “Rubalah hidumu, jika tidak ingin dikalah dengan hidup”. Mungkin pantas saya menuliskan hal dibawah ini:
Tidak ada setiap manusia yang lahir langsung berdiri tegak. Ia perlu jatuh, kemudian bangkit, jatuh lagi dan bangkit, lalu menegakan dirinya dengan menancapkan akarnya di bumi kehidupan. Seperti itulah juga adanya kehidupan manusia.
Tulisan ini bagian dari refleksi kegagalan-kegagalanku beberapa bulan yang lalu. Gagal menjadi Jurnalis dan asisten peneliti. Maaf, tulisan ini hanyalah uneg-uneg dan saya tidak bermaksud untuk meminta dikasihani.
Salam dari saya, La Ode Halaidin.
                                                                                   Kendari, 8 Agustus 2016
                                                                                   Laode Halaidin

01 Agustus 2016

Saat Politik di Kritik Lewat Seni

Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari

MALAM SASTRA yang diselenggarakan oleh Kelola bekerjasama dengan Kedutaaan Besar Denmark Indonesia merupakan suatu pementasan komunitas sastra muda. Item kegiatan yang dilaksanakan adalah dengan melakukan Pertunjukan Teater Parodi dan Pameran Gambar, dengan bertemakan Let art brings peace; Kedewasaan Berpolitik.
Saya menyaksikan ini tanggal 30 Juli malam di Taman Kota Kendari. Selain pertunjukan parodi, ada pameran gambar yang merupakan hasil karya seni lukis anak-anak muda di sini yang berbakat. Gambar tersebut bagi saya merupakan sebuah kritikan terhadap kondisi perpolitikan di bangsa ini terutama di Kota Kendari. Karena sebagian besar anak-anak Kendari, maka objek hasil lukisan mereka memperlihatkan nuansa politik yang tengah berlangsung di Kota Kendari. Diantaranya seperti wajah-wajah para politisi yang tengah memperbutkan kursi Walikota, ada gambar tante Besse yang sedang menerima telepon dari seorang calon legislatif yang bernama La Bio, ada gambar tentang genggaman warna, dimana tangan-tangan tersebut mewakili warna dari berbagai partai politik yang saling tarik-menarik untuk mempengaruhi tangan rakyat dalam menentukan pilihannya dan ada juga tentang gambar di balik topeng sang calon pemimpin, dimana sang calon sedang berpidato tentang kejujuran, namun dibalik itu, bayangan calon sedang berencana untuk melakukan korupsi.
Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari
Hasil Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari
Kita tinggalkan pameran gambar sejenak dan mari kita menuju pada pertunjukan teater parodi yang dilakukan anak-anak muda ini. Pertunjukan teater parodi yang dilakukan merupakan sebuah drama antara kakek dan nenek-nenek yang membahas tentang pilihan calon pemimpin. Mereka membahas dan mendebatkan tentang calon pemimpin yang ingin mereka pilih. Si kakek dan si nenek Madona membincangkan bagaimana dinamika dalam konstelasi politik perebutan kekuasaan di daerah Kota Kendari. Ada calon pemimpin yang berkemauan mengebu-ngebu ingin mensejahterakan rakyat, namun ia berasal dari kalangan minoritas. Ada juga orang-orang yang mencalonkan diri yang hanya sekedar memburu rente, tetapi ia berasal dari kalangan mayoritas, banyak dukungan yang tentu dilakukan dengan propaganda. Pada akhirnya yang mayoritas-lah yang memiliki kekuasaan, sementara minoritas terbelenggu karena tidak adanya dukungan lalu kemudian tersingkir secara perlahan-lahan. Yang minoritas menanggung kekalahan karena kurangnya finansial dalam mendukung poltiknya.
Seperti itulah model perpolitikan, mayoritas selalu menggeser dan menggusur yang minoritas. Dengan itu si kakek ingin memilih nomor 98 dengan nama calon nenek Madona yang minoritas, yang mempunyai cita-cita besar untuk memakmurkan rakyat, sementara nenek-nenek lainnya yang merupakan istri-istri si kakek ini ingin memilih nomor 97 dan 96. Namun tidak di tau, entah siapa calon pemimpinnya.
Dalam pertunjukan teater parodi itu ada kesan bahwa para politisi perlu kedewasaan dalam berpolitik. Demokrasi menjadikan mereka sebagai tuan-tuan yang ingin berebut kuasa, tetapi bukan hanya sekedar kuasa, namun bagaimana kekuasaan itu dijadikan sebagai landasan atau pijakan yang kemudian dapat memakmurkan rakyat jelata. Berpolitik juga bukan hanya sekedar menyebarkan kaus oblong bergambar dengan memuat wajah/muka mereka, memasang spanduk/baliho atau lebih idelanya hanya mencari popularitas semata demi kuasa. Tetapi, berpolitik seharunya dengan menumbuhkan sebuah gagasan, berpolitik dengan program, visi, nilai dan kebijakan, dengan memuarakannya untuk kesejahteraan masyarakat. Intinya melahirkan kebijakan itu sendiri demi kepentingan rakyat jelata.
Jadi sejatinya kesan yang dipertunjukan dalam teater parodi tersebut, bahwa para politisi seharusnya berpolitik dengan gagasan, berupa program, visi, nilai dan kebijakan agar memenangkan pertarungan politik secara demokratis bukan dengan money politik, membeli suara rakyat dengan uang. Hal lainnya bahwa politisi harus mengetahui bahwa politik bukan hanya sekedar kekuasaan dengan mengumpulkan puing-puing kekayaan, namun politik adalah sebuah pelayanan publik. Tentunya ini sejalan dengan apa yang saya tulis beberapa minggu yang lalu. Anda bisa baca di sini: https://gunung-pendaki.blogspot.co.id/2016/07/politik-perang-antar-baliho.html.
Sedang Menunjuk Lukisan
Inilah para seniman Kendari
Saya selalu khawatir dengan para politisi yang dibesarkan apa yang disebut Budiman Sudjatmiko realitas lampu sorot, realitas media seluas layar komputer, atau realitas yang dibesarkan lewat baliho/spanduk dan halaman-halaman Koran. Ini terlihat instan dan tak ada kerlibatan langsung pada masyarakat diakar rumput. Politisi-politisi demikian merupakan politisi yang menginginkan kemudahan dengan instan bukan dilalui dengan sebuah proses. Politik seharusnya tidak seperti itu, perlu keterlibatan langsung untuk kemudian memahami permasalahan masyarakat diakar rumput. Kata Budiman Sudjatmiko, seharusnya kemudahan diperoleh karena kita suda melewati proses. Bukan kemudian disediakan dengan memberi mereka karpet merah yang justru hanya akan menciptakan politisi-politisi yang apolitis, pragmatis, meskipun seolah-olah mereka berpolitik.
Selain kedewasaan berpolitik yang ditunjukan kepada para politisi, ada juga kedewasaan berpolitik untuk masyarakat itu sendiri. Parodi ini berkesan bahwa kita harus menghargai pilihan masing-masing anggota masyarakat, maupun pilihan didalam keluarga itu sendiri. Parodi ini menggambarkan realitas sosial lingkungan masyarakat saat ini, dimana perbedaan itu sangat tidak dihargai sama sekali. Bahkan perbedaan pilihan dapat menimbulkan permusuhan, perkelahian, pembunuhan, penistaan dan pemfitnahan baik dalam lingkungan maupun dalam hubungan keluarga. Pelajaran yang bisa dipetik yaitu dengan menghargai pilihan masing-masing anggota keluarga maupun anggota masyarakat dilingkungan itu sendiri agar kemudian tidak terjadi adanya konflik.
***
Saya ikut menyaksikan dengan kekaguman dalam pertunjukan teater parodi tersebut karena menonton secara langsung. Meskipun tempatnya sederhana, namun sebagian masyarakat Kota Kendari ikut antusias untuk menyaksikan pertunjukan teater parodi tersebut. Sebelumnya hal-hal yang seperti ini hanya terjadi di Solo, Yogyakarta, Bandung dan daerah-daerah Jawa lainnya. Sekarang kita dapat menyaksikan di daerah sendiri, di Kendari. Tentu hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan perlu dukungan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara, untuk kemudian dapat mempertunjukan teater parodi-parodi lainnya yang berkaitan dengan budaya kita di nusantara.
Pertunjukan Teater Parodi tentang Kedewasaan Berpolitik
ParaSeniman Berkumpul
Dalam tontonan yang berlangsung sekitar satu jam itu, saya selalu berpikir, pertunjukan teater parodi ini berupa kritikan yang dikemas dalam seni, baik dalam pertunjukan teater parodi maupun dalam bentuk lukisan. Saya teringat dengan buku bacaan saya karya Marvin Perri tentang: Peradaban Barat; Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global. Dalam buku ini yang sebagian membahas tentang Sejarah Seni; 1600 hinggah kini, ingin memperlihatkan bahwa kekecewaan dan kegelisahan dapat digemahkan lewat seni, baik tulisan maupun lukisan.
Setelah revolusi, kaum intelektual dan para seniman setelah tahun 1918  sedang mengalami kesukaran dan berada dalam masa-masa tersulitnya. Kesukaran ekonomi selama depresi, juga mendisorientasikan pikiran orang Eropa secara mendalam. Orang-orang Eropa tidak lagi memiliki suatu kerangka acuan, suatu sudut pandang bersama untuk memahami diri mereka sendiri. Hingga akhirnya sejumlah intelaktual yang telah kehilangan keyakinan pada makna hakiki peradaban Barat mencoba memalingkan diri atau menemukan pelarian diri mereka di dalam seni.
Ada ungkapan Marvin Perri yang mengatakan bahwa para seniman, seperti penulis dan pelukis mengungkapkan suara hati sosial. Para pekerja seni bergumul dalam keseharian mereka untuk menghasilkan suatu karya seni yang kritik yang lalu mewakili suara masyarakat terhadap keadaan bangsanya. Mereka bukan lagi melihat adanya rasional tetapi irasionalitas yang meremukan peradaban karena kepentingan ekonomi dan politik. Dengan itu, maka para seniman melakukan kritik lewat seni lukis dan tulisan.
Kita dapat melihat setelah perang dunia satu, ketika kekuatan fasisme kian mulai tumbuh ditambah lagi dengan digerakannya penderitaan yang mengerikan akibat depresi. Para seniman seperti penulis dan pelukis kemudian bertekad untuk menggarap masalaah-masaalah politik. Misalnya kita dapat melihat karya John Steinbeck, dalam The Grapes Of Wrath (1939), menangkap penderitaan para petani Amerika yang diusir dari tanahnya oleh Mangkuk Debu dan penyitaan selama depresi akibat kekuatan fasisme. For Whom the Bell Tolls (1940) karya Ernest Hemingway, yang mengungkap perang saudara Spanyol dan banyak di antara mereka yang sukarela bertempur bersama kaum republiken Spanyol melawan kaum fasis. Dan karya lukisan-lukisan Max Beckman (1884-1950) yang mengungkapkan kekecewaan dan kegelisahan spiritual yang merundung Jerman pascaperang. Dalam lukisan The Night (1918-1919), Max Beckman juga melukiskan pria brutal yang terlibat di dalam kekerasan yang mengerikan.
***
Saya melihat anak-anak muda yang bergerak lewat seni tak terkecuali di Kota Kendari, memiliki kebebasan penuh untuk mengurai gagasan dan pemikiran mereka. Kebebasanlah yang membawa mereka pada arus kritik, yang meskipun ada bentrokan pada orang-orang yang tidak tahan kritis sama sekali. Sama halnya dengan penulis John Steinbeck, Ernest Hemingway, Frans Kafka dan pelukis Max Beckman, Auguste Rodin dan J.M.W Turner. Atau misalnya penulis sastra Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Rendra dan pelukis Rusli di Indoensia. Kebebasanlah yang melahirkan kreatifitas mereka yang kemudian telah membawa mereka pada lembaran-lembaran sejarah peradaban di dunia dan di nusantara ini.
Seniman Kendari
Kebebasan ini mengingatkan saya pada kebebasan seperti para seniman dan penulis yang kemudian mendirikan gerakan Dada (atau Dadais bagi para pengikutnya yang beristilahkan, tidak bermakna) pada tahun 1915 di Zurich. Gerakan itu digunakan untuk mengungkapkan kemuakan mereka terhadap perang dan peradaban yang membiakannya. Para Dadais mengekspresikan kemuakan kepada standar-standar seni dan sastra serta menolak Tuhan dan juga akal. Kata seorang Dadais “Melalui akal manusia menjadi yang tragis dan buruk” dan “keindahan telah mati” kata Dadais lainnya.
Seorang pendiri Dadais sekaligus juru bicara utamanya Trinstan Tzara menyatakan:
Apa kebaikan yang dilakukan teori-teori para filsuf kepada kita? Apakah mereka membantu kita untuk mengambil satu langkah pun ke depan atau ke belakang?.....kita mempunyai gerakan-gerakan cukup cerdas yang telah merentang melampaui kadar sifat muda percaya kita pada faedah ilmu. Kini yang kita inginkan adalah spontanitas…..karena segalanya yang keluar secara bebas dari diri kita tanpa intervensi ide-ide spekulatif, menggambarkan kita.
Untuk Kelola yang merupakan organisasi yang memberi perhatian terhadap seni dan budaya, “Semua ucapan yang hebat” seperti yang diungkapkan oleh D.H. Lawrence yang dibuat tak berguna untuk generasi ini perlu ditenggelamkan di dasar lautan. Bergeraklah dalam kebebasanmu, mengayunlah dengan untayan kalimat-kalimatmu yang mungkin menggegerkan mereka para politisi yang tidak tahan kritik. Torehkanlah cet-cetmu disebuah kanvas yang kosong itu dan buatlah sesuatu yang mungkin dapat menggerakan hati para politisi untuk kebaikan dan lukiskanlah sesuatu yang kritik dengan lukisanmu.
Karena perubahan yang besar selalu berawal dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Bukankanh begitu wahai pembaca yang budiman..
                                                                                       La Ode Halaidin
                                                                                       Kendari, 1 Agustus 2016