|
Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari |
MALAM SASTRA yang diselenggarakan oleh Kelola bekerjasama dengan Kedutaaan Besar
Denmark Indonesia merupakan suatu pementasan komunitas sastra muda. Item
kegiatan yang dilaksanakan adalah dengan melakukan Pertunjukan Teater Parodi
dan Pameran Gambar, dengan bertemakan Let art brings peace; Kedewasaan
Berpolitik.
Saya
menyaksikan ini tanggal 30 Juli malam di Taman Kota Kendari. Selain pertunjukan
parodi, ada pameran gambar yang merupakan hasil karya seni lukis anak-anak muda
di sini yang berbakat. Gambar tersebut bagi saya merupakan sebuah kritikan
terhadap kondisi perpolitikan di bangsa ini terutama di Kota Kendari. Karena sebagian
besar anak-anak Kendari, maka objek hasil lukisan mereka memperlihatkan nuansa politik
yang tengah berlangsung di Kota Kendari. Diantaranya seperti wajah-wajah para
politisi yang tengah memperbutkan kursi Walikota, ada gambar tante Besse yang
sedang menerima telepon dari seorang calon legislatif yang bernama La Bio, ada
gambar tentang genggaman warna, dimana tangan-tangan tersebut mewakili warna
dari berbagai partai politik yang saling tarik-menarik untuk mempengaruhi
tangan rakyat dalam menentukan pilihannya dan ada juga tentang gambar di balik topeng
sang calon pemimpin, dimana sang calon sedang berpidato tentang kejujuran,
namun dibalik itu, bayangan calon sedang berencana untuk melakukan korupsi.
|
Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari |
|
Hasil Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari |
Kita
tinggalkan pameran gambar sejenak dan mari kita menuju pada pertunjukan teater
parodi yang dilakukan anak-anak muda ini. Pertunjukan teater parodi yang
dilakukan merupakan sebuah drama antara kakek dan nenek-nenek yang membahas
tentang pilihan calon pemimpin. Mereka membahas dan mendebatkan tentang calon pemimpin
yang ingin mereka pilih. Si kakek dan si nenek Madona membincangkan bagaimana
dinamika dalam konstelasi politik perebutan kekuasaan di daerah Kota Kendari. Ada
calon pemimpin yang berkemauan mengebu-ngebu ingin mensejahterakan rakyat,
namun ia berasal dari kalangan minoritas. Ada juga orang-orang yang mencalonkan
diri yang hanya sekedar memburu rente, tetapi ia berasal dari kalangan
mayoritas, banyak dukungan yang tentu dilakukan dengan propaganda. Pada
akhirnya yang mayoritas-lah yang memiliki kekuasaan, sementara minoritas
terbelenggu karena tidak adanya dukungan lalu kemudian tersingkir secara
perlahan-lahan. Yang minoritas menanggung kekalahan karena kurangnya finansial
dalam mendukung poltiknya.
Seperti
itulah model perpolitikan, mayoritas selalu menggeser dan menggusur yang
minoritas. Dengan itu si kakek ingin memilih nomor 98 dengan nama calon nenek Madona
yang minoritas, yang mempunyai cita-cita besar untuk memakmurkan rakyat,
sementara nenek-nenek lainnya yang merupakan istri-istri si kakek ini ingin
memilih nomor 97 dan 96. Namun tidak di tau, entah siapa calon pemimpinnya.
Dalam
pertunjukan teater parodi itu ada kesan bahwa para politisi perlu kedewasaan
dalam berpolitik. Demokrasi menjadikan mereka sebagai tuan-tuan yang ingin
berebut kuasa, tetapi bukan hanya sekedar kuasa, namun bagaimana kekuasaan itu
dijadikan sebagai landasan atau pijakan yang kemudian dapat memakmurkan rakyat
jelata. Berpolitik juga bukan hanya sekedar menyebarkan kaus oblong bergambar
dengan memuat wajah/muka mereka, memasang spanduk/baliho atau lebih idelanya
hanya mencari popularitas semata demi kuasa. Tetapi, berpolitik seharunya dengan
menumbuhkan sebuah gagasan, berpolitik dengan program, visi, nilai dan
kebijakan, dengan memuarakannya untuk kesejahteraan masyarakat. Intinya
melahirkan kebijakan itu sendiri demi kepentingan rakyat jelata.
Jadi
sejatinya kesan yang dipertunjukan dalam teater parodi tersebut, bahwa para
politisi seharusnya berpolitik dengan gagasan, berupa program, visi, nilai dan
kebijakan agar memenangkan pertarungan politik secara demokratis bukan dengan
money politik, membeli suara rakyat dengan uang. Hal lainnya bahwa politisi
harus mengetahui bahwa politik bukan hanya sekedar kekuasaan dengan
mengumpulkan puing-puing kekayaan, namun politik adalah sebuah pelayanan publik.
Tentunya ini sejalan dengan apa yang saya tulis beberapa minggu yang lalu. Anda
bisa baca di sini: https://gunung-pendaki.blogspot.co.id/2016/07/politik-perang-antar-baliho.html.
|
Sedang Menunjuk Lukisan |
|
Inilah para seniman Kendari |
Saya
selalu khawatir dengan para politisi yang dibesarkan apa yang disebut Budiman
Sudjatmiko realitas lampu sorot, realitas media seluas layar komputer, atau
realitas yang dibesarkan lewat baliho/spanduk dan halaman-halaman Koran. Ini
terlihat instan dan tak ada kerlibatan langsung pada masyarakat diakar rumput.
Politisi-politisi demikian merupakan politisi yang menginginkan kemudahan
dengan instan bukan dilalui dengan sebuah proses. Politik seharusnya tidak
seperti itu, perlu keterlibatan langsung untuk kemudian memahami permasalahan
masyarakat diakar rumput. Kata Budiman Sudjatmiko, seharusnya kemudahan
diperoleh karena kita suda melewati proses. Bukan kemudian disediakan dengan
memberi mereka karpet merah yang justru hanya akan menciptakan
politisi-politisi yang apolitis, pragmatis, meskipun seolah-olah mereka
berpolitik.
Selain
kedewasaan berpolitik yang ditunjukan kepada para politisi, ada juga kedewasaan
berpolitik untuk masyarakat itu sendiri. Parodi ini berkesan bahwa kita harus
menghargai pilihan masing-masing anggota masyarakat, maupun pilihan didalam
keluarga itu sendiri. Parodi ini menggambarkan realitas sosial lingkungan
masyarakat saat ini, dimana perbedaan itu sangat tidak dihargai sama sekali. Bahkan
perbedaan pilihan dapat menimbulkan permusuhan, perkelahian, pembunuhan,
penistaan dan pemfitnahan baik dalam lingkungan maupun dalam hubungan keluarga.
Pelajaran yang bisa dipetik yaitu dengan menghargai pilihan masing-masing anggota
keluarga maupun anggota masyarakat dilingkungan itu sendiri agar kemudian tidak
terjadi adanya konflik.
***
Saya
ikut menyaksikan dengan kekaguman dalam pertunjukan teater parodi tersebut
karena menonton secara langsung. Meskipun tempatnya sederhana, namun sebagian
masyarakat Kota Kendari ikut antusias untuk menyaksikan pertunjukan teater parodi
tersebut. Sebelumnya hal-hal yang seperti ini hanya terjadi di Solo, Yogyakarta,
Bandung dan daerah-daerah Jawa lainnya. Sekarang kita dapat menyaksikan di
daerah sendiri, di Kendari. Tentu hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri
dan perlu dukungan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara, untuk kemudian dapat
mempertunjukan teater parodi-parodi lainnya yang berkaitan dengan budaya kita
di nusantara.
|
Pertunjukan Teater Parodi tentang Kedewasaan Berpolitik |
|
ParaSeniman Berkumpul |
Dalam
tontonan yang berlangsung sekitar satu jam itu, saya selalu berpikir, pertunjukan
teater parodi ini berupa kritikan yang dikemas dalam seni, baik dalam
pertunjukan teater parodi maupun dalam bentuk lukisan. Saya teringat dengan
buku bacaan saya karya Marvin Perri tentang: Peradaban Barat; Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global. Dalam
buku ini yang sebagian membahas tentang Sejarah Seni; 1600 hinggah kini, ingin
memperlihatkan bahwa kekecewaan dan kegelisahan dapat digemahkan lewat seni,
baik tulisan maupun lukisan.
Setelah
revolusi, kaum intelektual dan para seniman setelah tahun 1918 sedang mengalami kesukaran dan berada dalam
masa-masa tersulitnya. Kesukaran ekonomi selama depresi, juga
mendisorientasikan pikiran orang Eropa secara mendalam. Orang-orang Eropa tidak
lagi memiliki suatu kerangka acuan, suatu sudut pandang bersama untuk memahami
diri mereka sendiri. Hingga akhirnya sejumlah intelaktual yang telah kehilangan
keyakinan pada makna hakiki peradaban Barat mencoba memalingkan diri atau
menemukan pelarian diri mereka di dalam seni.
Ada
ungkapan Marvin Perri yang mengatakan bahwa para seniman, seperti penulis dan
pelukis mengungkapkan suara hati sosial. Para pekerja seni bergumul dalam
keseharian mereka untuk menghasilkan suatu karya seni yang kritik yang lalu
mewakili suara masyarakat terhadap keadaan bangsanya. Mereka bukan lagi melihat
adanya rasional tetapi irasionalitas yang meremukan peradaban karena kepentingan
ekonomi dan politik. Dengan itu, maka para seniman melakukan kritik lewat seni
lukis dan tulisan.
Kita
dapat melihat setelah perang dunia satu, ketika kekuatan fasisme kian mulai
tumbuh ditambah lagi dengan digerakannya penderitaan yang mengerikan akibat depresi.
Para seniman seperti penulis dan pelukis kemudian bertekad untuk menggarap
masalaah-masaalah politik. Misalnya kita dapat melihat karya John Steinbeck,
dalam The Grapes Of Wrath (1939),
menangkap penderitaan para petani Amerika yang diusir dari tanahnya oleh
Mangkuk Debu dan penyitaan selama depresi akibat kekuatan fasisme. For Whom the Bell Tolls (1940) karya
Ernest Hemingway, yang mengungkap perang saudara Spanyol dan banyak di antara
mereka yang sukarela bertempur bersama kaum republiken Spanyol melawan kaum
fasis. Dan karya lukisan-lukisan Max Beckman (1884-1950) yang mengungkapkan
kekecewaan dan kegelisahan spiritual yang merundung Jerman pascaperang. Dalam
lukisan The Night (1918-1919), Max
Beckman juga melukiskan pria brutal yang terlibat di dalam kekerasan yang
mengerikan.
***
Saya
melihat anak-anak muda yang bergerak lewat seni tak terkecuali di Kota Kendari,
memiliki kebebasan penuh untuk mengurai gagasan dan pemikiran mereka.
Kebebasanlah yang membawa mereka pada arus kritik, yang meskipun ada bentrokan
pada orang-orang yang tidak tahan kritis sama sekali. Sama halnya dengan
penulis John Steinbeck, Ernest Hemingway, Frans Kafka dan pelukis Max Beckman,
Auguste Rodin dan J.M.W Turner. Atau misalnya penulis sastra Pramoedya Ananta
Toer, Chairil Anwar, Rendra dan pelukis Rusli di Indoensia. Kebebasanlah yang
melahirkan kreatifitas mereka yang kemudian telah membawa mereka pada
lembaran-lembaran sejarah peradaban di dunia dan di nusantara ini.
|
Seniman Kendari |
Kebebasan
ini mengingatkan saya pada kebebasan seperti para seniman dan penulis yang
kemudian mendirikan gerakan Dada (atau Dadais bagi para pengikutnya yang
beristilahkan, tidak bermakna) pada tahun 1915 di Zurich. Gerakan itu digunakan
untuk mengungkapkan kemuakan mereka terhadap perang dan peradaban yang
membiakannya. Para Dadais mengekspresikan kemuakan kepada standar-standar seni
dan sastra serta menolak Tuhan dan juga akal. Kata seorang Dadais “Melalui akal
manusia menjadi yang tragis dan buruk” dan “keindahan telah mati” kata Dadais
lainnya.
Seorang
pendiri Dadais sekaligus juru bicara utamanya Trinstan Tzara menyatakan:
Apa kebaikan yang dilakukan
teori-teori para filsuf kepada kita? Apakah mereka membantu kita untuk
mengambil satu langkah pun ke depan atau ke belakang?.....kita mempunyai
gerakan-gerakan cukup cerdas yang telah merentang melampaui kadar sifat muda
percaya kita pada faedah ilmu. Kini yang kita inginkan adalah
spontanitas…..karena segalanya yang keluar secara bebas dari diri kita tanpa
intervensi ide-ide spekulatif, menggambarkan kita.
Untuk
Kelola yang merupakan organisasi yang memberi perhatian terhadap seni dan
budaya, “Semua ucapan yang hebat” seperti yang diungkapkan oleh D.H. Lawrence
yang dibuat tak berguna untuk generasi ini perlu ditenggelamkan di dasar
lautan. Bergeraklah dalam kebebasanmu, mengayunlah dengan untayan
kalimat-kalimatmu yang mungkin menggegerkan mereka para politisi yang tidak
tahan kritik. Torehkanlah cet-cetmu disebuah kanvas yang kosong itu dan buatlah
sesuatu yang mungkin dapat menggerakan hati para politisi untuk kebaikan dan
lukiskanlah sesuatu yang kritik dengan lukisanmu.
Karena
perubahan yang besar selalu berawal dari hal-hal yang kecil dan sederhana.
Bukankanh begitu wahai pembaca yang budiman..
La
Ode Halaidin
Kendari,
1 Agustus 2016