JIKA setiap orang
selalu rendah hati dan terbuka pada setiap orang yang ingin selalu belajar
kepadanya, sosok tersebut akan menjadi panutan atau cerminan bagi banyak orang.
Dalam hidup, manusia pun ingin selalu mencari sosok-sosok yang diinginkannya,
mempelajari kehidupan dalam keseharian mereka, lalu sosok tersebut menjadikannya
guru, sebagai penjaga dan inspirasi dalam setiap perjalanan hidup kedepannya.
Saya ingin mengatakan
perkataan seperti ini “tidak semua guru dapat menjadi guru, namun seseorang
yang tidak menjadi guru dapat menjadi guru”. Kita dapat menemukan orang-orang
yang bertitel tinggi dengan bergelarkan Profesor, Doktor, Phd dan gelar tinggi
lainnya. Namun apakah mereka dapat menjadi guru? Kita dapat menjawabnya ia dan
juga tidak. Jawaban ia, buat mereka yang selalu mendengarkan ceramahnya
diruangan-ruangan kelas. Inilah namanya guru ruangan atau kelas. Kita hanya dipertontonkan
dan diperdengarkan dengan penjelasan teori diruangan. Dan diluar itu mereka
enggan untuk mengeluarkan teori yang bisa memupuk semangat mahasiswa untuk menghadapi
realitas kehidupan.
Orang-orang yang
bergelar tinggi seperti ini kadang merasa suda sampai dipuncak ilmu
pengetahuan. Mereka suda merasa besar dan otak kepala mereka penuh dengan
pengetahuan. Sehingga terkadang mereka tidak ingin menjalin komunikasi,
berdiskusi, belajar bersama atau mendengarkan apa yang menjadi keluh-kesah
seorang mahasiswa. Bahkan hanya sekedar menunjukan jalan untuk mahasiswa pun,
ogah untuk dilakukan. Orang-orang seperti ini tidak welcome kepada orang-orang
yang tidak sederajat dengannya. Mereka hanya mau menerima orang-orang yang
berstatus atau bertitel tinggi dan sepadan dengannya.
Kita dapat menyaksikan sebagian
orang-orang seperti ini di kampus-kampus. Mereka berjalan seperti keberatan,
terbebani karena banyaknya ilmu pengetahuan. Namun tak satu pun yang kita lihat
tulisan bebas atau opini yang wara-wiri di dunia maya atau disampul buku.
Mereka adalah orang-orang yang ego dan besar kepala. Mereka hanyalah guru
ruangan atau kelas tidak lebih lebih daripada itu. Apalagi menjadi panutan dan
cerminan bagi banyak orang, sama sekali tidak. Inilah jawaban untuk tidak, bagi
seorang guru tetapi sesungguhnya ia bukan guru pada setiap seseorang.
***
Saya teringat dan selalu
terbayangkan tentang dua sosok guru yang selalu memupuk semangatku untuk selalu
belajar tentang banyak hal. Yang satu secara langsung dan yang satunya lagi
tidak secara langsung. Dua sosok guru itu adalah Syamsul Anam Illahi dan Yusran
Darmawan. Dua sosok ini adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai
kecerdasan, namun tak pernah besar kepala dan selalu menganggap diri mereka
telah berada pada puncak pengetahuan. Mereka adalah orang yang selalu belajar
tentang banyak hal, orang yang selalu belajar bersama siapa saja dan kepada
siapa saja. Mereka adalah dua sosok guru yang rendah hati dan selalu welcome
kepada orang-orang yang ingin belajar bersamanya.
Tengah, Syamsul Anam Ilahi, Kanan Patta Hindi Asis. |
Saya cukup mengenal
tentang dua sosok guru ini. Bagi mereka ilmu pengetahuan adalah jalan pengabdian
akan perubahan sosial dimasyarakat. Pengabdian itu, bukan saja didalam ruangan,
tetapi diluar daripada itu. Saya banyak bercerita tentang banyak hal dengan
sosok guru Syamsul Anam Ilahi. Salah satunya, ia selalu menyeruhkan kepada kami
untuk selalu belajar dan banyak membaca buku-buku. Baginya memupuk mahasiswa
agar berkepribadian labih baik dan cerdas adalah salah satu bentuk
pengabdiaanya terhadap masyarakat. Ia tidak hanya ingin mengajarkan tentang
teori-teori diruangan. Ia mencoba memotivasi dan menginspirasi mahasiswa di
luar ruangan agar para mahasiswanya menjadi orang-orang yang berkepribadian
cerdas.
Baginya mungkin
membincangkan teori diruangan kelas, sama pentingnya memberikan mahasiswa jalan
dan motivasi sebagai penggerak mereka dikemudian hari untuk menghadapi kenyataan
kehidupan.
Itulah yang ku tangkap
dari sosok Syamsul Anam Ilahi. Orang yang selalu memancarkan aura positif,
rendah hati dan terbuka kepada siapa pun yang ingin belajar bersamanya.
Termasuk pribadi saya sendiri yang bukan siapa-siapa dan mempunyai banyak
kekurangan. Saya banyak belajar dari sosok guru yang satu ini. Saya banyak belajar
menyerap hikmah, dari setiap diskusi yang kami lakukan dengannya. Saya banyak
mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru, tentang bagaimana menyikapi hidup
yang penuh dengan hiruk-pikuk perjalanan yang tanpa ujung.
Sosok guru kedua adalah
Yusran Darmawan. Seorang penulis yang bertangan dingin, berilmu pengetahuan,
tetapi tidak pernah merasakan dirinya berada dipuncak pengetahuan. Ia juga
adalah sosok yang rendah hati. Ia adalah seseorang yang haus akan ilmu
pengetahuan, dan selalu belajar banyak hal kepada siapa pun dan diaman pun. Ia
pernah mengatakan, bahwa semua lingkungan adalah tempat belajar dan setiap
orang adalah guru. Di setiap tulisannya, ia selalu mengajak kita untuk selalu belajar
menyerap hikmah dan hal-hal baru pada kehidupan.
Yusran Darmwan. Sumber dari: http://www.timur-angin.com. |
Saya masih teringat
tentang sosok Yusran Darmawan, yang waktu itu berkunjung di Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, dimana saat ini tempat saya dalam menyelesaikan tugas akhir
skripsi. Saat itu ia datang dengan Syamsul Anam. Dua sosok guru ini adalah
teman akrab sejak kuliah di Universitas Hasanudin Makassar. Meskipun kami hanya
bertemu dua kali dengan sosok guru Yusran Darmawan, namun saya cukup akrab
dengan sosok ini terutama di blog pribadinya. Saya sering membacanya dan tak
pernah ketinggalan dalam setiap postingannya.
Banyak hal yang saya pelajari
dari sosok Yusran Darmawan terutama dalam dunia kepenulisan. Saya mencoba
menyerap hal-hal baru, pengetahuan-pengetahuan baru yang terus menggugah dalam setiap
tulisan-tulisannya. Baginya, tanpa banyak membaca, kita tidak bisa menulis. Membaca
dan menulis dijadikan sesuatu hal yang tidak terpisahkan. Ia selalu mengajak
setiap orang untuk terus banyak belajar, membaca buku-buku dan kemudian menuliskannya.
Di blog pribadinya kita
dapat membaca, betapa romantisnya ia merangkai kata-kata tentang menulis. Baginya
menulis adalah proses meditasi. Menulis adalah proses menajamkan semua insting
dan indra dalam interakasi dengan semesta. Menulis adalah keheningan yang
memekakan telinga kita untuk mendengar setiap tetes air dan dawai yang lirih
dikesunyian. Menulis adalah proses menyatu dengan alam, proses menagkap gerak
spontan semesta dan kemudian dilukis dalam kata. Menulis adalah upaya menangkap
makna, mengikatnya, kemudian mengabadikannya. Kata-katanya yang menarik ini
dapat dilihat di blog pribadinya di SINI http://www.timur-angin.com.
Secara tidak langsung
sosok Yusran Darmawan adalah guru dari semua guru yang mengajarkan saya tentang
kejernihan untuk melihat dunia. Kehidupan dunia dipenuhi oleh banyak hal yang
perlu kita serap, kita pelajari, lalu kemudian kita mencoba mengaplikasikannya
pada masyarakat luas. Harapan kita adalah demi terwujudnya sebuah tatanan yang
baik dan perubahan sosial pada kehidupan masyarakat. Inilah, bentuk empati
seseorang pada kemanusiaan. Perubahan yang dilakukan dengan gerak yang senyap
dalam tetes setiap tulisan.
Laode
Halaidin
Kendari,
8 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar