08 April 2016

Tentang Dua Sosok Guru

JIKA setiap orang selalu rendah hati dan terbuka pada setiap orang yang ingin selalu belajar kepadanya, sosok tersebut akan menjadi panutan atau cerminan bagi banyak orang. Dalam hidup, manusia pun ingin selalu mencari sosok-sosok yang diinginkannya, mempelajari kehidupan dalam keseharian mereka, lalu sosok tersebut menjadikannya guru, sebagai penjaga dan inspirasi dalam setiap perjalanan hidup kedepannya.
Saya ingin mengatakan perkataan seperti ini “tidak semua guru dapat menjadi guru, namun seseorang yang tidak menjadi guru dapat menjadi guru”. Kita dapat menemukan orang-orang yang bertitel tinggi dengan bergelarkan Profesor, Doktor, Phd dan gelar tinggi lainnya. Namun apakah mereka dapat menjadi guru? Kita dapat menjawabnya ia dan juga tidak. Jawaban ia, buat mereka yang selalu mendengarkan ceramahnya diruangan-ruangan kelas. Inilah namanya guru ruangan atau kelas. Kita hanya dipertontonkan dan diperdengarkan dengan penjelasan teori diruangan. Dan diluar itu mereka enggan untuk mengeluarkan teori yang bisa memupuk semangat mahasiswa untuk menghadapi realitas kehidupan.
Orang-orang yang bergelar tinggi seperti ini kadang merasa suda sampai dipuncak ilmu pengetahuan. Mereka suda merasa besar dan otak kepala mereka penuh dengan pengetahuan. Sehingga terkadang mereka tidak ingin menjalin komunikasi, berdiskusi, belajar bersama atau mendengarkan apa yang menjadi keluh-kesah seorang mahasiswa. Bahkan hanya sekedar menunjukan jalan untuk mahasiswa pun, ogah untuk dilakukan. Orang-orang seperti ini tidak welcome kepada orang-orang yang tidak sederajat dengannya. Mereka hanya mau menerima orang-orang yang berstatus atau bertitel tinggi dan sepadan dengannya.
Kita dapat menyaksikan sebagian orang-orang seperti ini di kampus-kampus. Mereka berjalan seperti keberatan, terbebani karena banyaknya ilmu pengetahuan. Namun tak satu pun yang kita lihat tulisan bebas atau opini yang wara-wiri di dunia maya atau disampul buku. Mereka adalah orang-orang yang ego dan besar kepala. Mereka hanyalah guru ruangan atau kelas tidak lebih lebih daripada itu. Apalagi menjadi panutan dan cerminan bagi banyak orang, sama sekali tidak. Inilah jawaban untuk tidak, bagi seorang guru tetapi sesungguhnya ia bukan guru pada setiap seseorang.
***

Saya teringat dan selalu terbayangkan tentang dua sosok guru yang selalu memupuk semangatku untuk selalu belajar tentang banyak hal. Yang satu secara langsung dan yang satunya lagi tidak secara langsung. Dua sosok guru itu adalah Syamsul Anam Illahi dan Yusran Darmawan. Dua sosok ini adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai kecerdasan, namun tak pernah besar kepala dan selalu menganggap diri mereka telah berada pada puncak pengetahuan. Mereka adalah orang yang selalu belajar tentang banyak hal, orang yang selalu belajar bersama siapa saja dan kepada siapa saja. Mereka adalah dua sosok guru yang rendah hati dan selalu welcome kepada orang-orang yang ingin belajar bersamanya.

Tengah, Syamsul Anam Ilahi, Kanan Patta Hindi Asis.
Saya cukup mengenal tentang dua sosok guru ini. Bagi mereka ilmu pengetahuan adalah jalan pengabdian akan perubahan sosial dimasyarakat. Pengabdian itu, bukan saja didalam ruangan, tetapi diluar daripada itu. Saya banyak bercerita tentang banyak hal dengan sosok guru Syamsul Anam Ilahi. Salah satunya, ia selalu menyeruhkan kepada kami untuk selalu belajar dan banyak membaca buku-buku. Baginya memupuk mahasiswa agar berkepribadian labih baik dan cerdas adalah salah satu bentuk pengabdiaanya terhadap masyarakat. Ia tidak hanya ingin mengajarkan tentang teori-teori diruangan. Ia mencoba memotivasi dan menginspirasi mahasiswa di luar ruangan agar para mahasiswanya menjadi orang-orang yang berkepribadian cerdas.
Baginya mungkin membincangkan teori diruangan kelas, sama pentingnya memberikan mahasiswa jalan dan motivasi sebagai penggerak mereka dikemudian hari untuk menghadapi kenyataan kehidupan.
Itulah yang ku tangkap dari sosok Syamsul Anam Ilahi. Orang yang selalu memancarkan aura positif, rendah hati dan terbuka kepada siapa pun yang ingin belajar bersamanya. Termasuk pribadi saya sendiri yang bukan siapa-siapa dan mempunyai banyak kekurangan. Saya banyak belajar dari sosok guru yang satu ini. Saya banyak belajar menyerap hikmah, dari setiap diskusi yang kami lakukan dengannya. Saya banyak mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru, tentang bagaimana menyikapi hidup yang penuh dengan hiruk-pikuk perjalanan yang tanpa ujung.
Sosok guru kedua adalah Yusran Darmawan. Seorang penulis yang bertangan dingin, berilmu pengetahuan, tetapi tidak pernah merasakan dirinya berada dipuncak pengetahuan. Ia juga adalah sosok yang rendah hati. Ia adalah seseorang yang haus akan ilmu pengetahuan, dan selalu belajar banyak hal kepada siapa pun dan diaman pun. Ia pernah mengatakan, bahwa semua lingkungan adalah tempat belajar dan setiap orang adalah guru. Di setiap tulisannya, ia selalu mengajak kita untuk selalu belajar menyerap hikmah dan hal-hal baru pada kehidupan.

Yusran Darmwan. Sumber dari: http://www.timur-angin.com.
Saya masih teringat tentang sosok Yusran Darmawan, yang waktu itu berkunjung di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dimana saat ini tempat saya dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi. Saat itu ia datang dengan Syamsul Anam. Dua sosok guru ini adalah teman akrab sejak kuliah di Universitas Hasanudin Makassar. Meskipun kami hanya bertemu dua kali dengan sosok guru Yusran Darmawan, namun saya cukup akrab dengan sosok ini terutama di blog pribadinya. Saya sering membacanya dan tak pernah ketinggalan dalam setiap postingannya.
Banyak hal yang saya pelajari dari sosok Yusran Darmawan terutama dalam dunia kepenulisan. Saya mencoba menyerap hal-hal baru, pengetahuan-pengetahuan baru yang terus menggugah dalam setiap tulisan-tulisannya. Baginya, tanpa banyak membaca, kita tidak bisa menulis. Membaca dan menulis dijadikan sesuatu hal yang tidak terpisahkan. Ia selalu mengajak setiap orang untuk terus banyak belajar, membaca buku-buku dan kemudian menuliskannya.
Di blog pribadinya kita dapat membaca, betapa romantisnya ia merangkai kata-kata tentang menulis. Baginya menulis adalah proses meditasi. Menulis adalah proses menajamkan semua insting dan indra dalam interakasi dengan semesta. Menulis adalah keheningan yang memekakan telinga kita untuk mendengar setiap tetes air dan dawai yang lirih dikesunyian. Menulis adalah proses menyatu dengan alam, proses menagkap gerak spontan semesta dan kemudian dilukis dalam kata. Menulis adalah upaya menangkap makna, mengikatnya, kemudian mengabadikannya. Kata-katanya yang menarik ini dapat dilihat di blog pribadinya di SINI http://www.timur-angin.com.
Secara tidak langsung sosok Yusran Darmawan adalah guru dari semua guru yang mengajarkan saya tentang kejernihan untuk melihat dunia. Kehidupan dunia dipenuhi oleh banyak hal yang perlu kita serap, kita pelajari, lalu kemudian kita mencoba mengaplikasikannya pada masyarakat luas. Harapan kita adalah demi terwujudnya sebuah tatanan yang baik dan perubahan sosial pada kehidupan masyarakat. Inilah, bentuk empati seseorang pada kemanusiaan. Perubahan yang dilakukan dengan gerak yang senyap dalam tetes setiap tulisan.
                                                                                   
                                                                                                Laode Halaidin
                                                                                                Kendari, 8 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar