Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

18 Desember 2016

Desaku Sayang, Desaku Malang

Balai Desa Wantiworo
Di ujung timur Sulawesi Tenggara terdapat desa-desa yang memiliki lahan pertanian yang sangat subur. Di setiap desa, saya menyaksikan betapa suburnya tanaman kebun para petani yang mereka tanam. Ada berbagai tanaman yang ditanami seperti tanaman jagung, cabai, terong dan tanaman kacang-kacangan lainnya.
Tetapi dibalik suburnya tanaman mereka, yang menjadi perhatian kita pada para petani/pekebun adalah kemiskinannya. Pagi, siang dan malam petani/pekebun merawat dan menjaga tanamannya. Namun, saat panen tiba mereka tak bisa apa-apa. Hasilnya tak seberapa, karena harga-harga tanaman yang mereka tanam hanya bernilai ribuan rupiah. Mereka juga sesekali mengurut dada saat panen tak ada hasil. Kata salah seorang petani yang mengalami gagal panen bercerita kepadaku, tahun itu, kami sangat kesusahan untuk makan dan kami juga tak bisa menghasilkan uang yang cukup.
Kebanyakan pendapatan petani hanya bersumber dari tanaman musiman itu, sehingga hasilnya tidak cukup untuk mengantarkan anak-anak mereka pada perguruan tinggi. Pendidikan anak-anak mereka terhenti ditengah jalan karena tak ada biaya. Anak-anak itu lalu memilih merantau menjadi TKI, TKW atau merantau di kota lainnya di Indonesia dan bekerja di bidang informal seperti kuli bangunan, pembantu rumah tanggga, buruh perkebunan, buruh kapal, sopir angkot dan lain sebagainya.
Nama desa ini adalah Desa Wantiworo. Jumlah kepala keluarganya berkisar sekitar 400-an kepala keluarga (KK). Mayoritas pekerjaan masyarakatnya rata-rata sebagai petani jagung dan kacang. Tanaman ini biasanya di tanam pada bulan Oktober masa panen Januari dan Maret masa panen Juni. Cara bertani mereka juga nomaden, berpinda-pindah tempat dengan membuka hutan-hutan baru, yang suda sekian tahun ditinggalkan.
Kesederhanaan dan ketertinggalan mereka sangat nampak di depan mata. Yang di pakai tak ada alat-alat yangg moderen, tak ada juga tanaman-tanaman yang berpenghasilan cukup yang di tanam. Masyarakat di sini berkebun dan bekerja hanya sekedar mencari makan, tak lebih dari itu. Kemiskinan semakin menggurita dan para orang tua menyerah dengan keadaan. Anak-anak mudanya banyak yang putus sekolah seperti daun yang berguguran di musim panas, lalu menjadi preman desa, jadi anak-anak nakal.
Dengan keadaan seperti ini, kehidupan masyarakatnya pun semakin hari, semakin sulit. Kita dapat membayangkan kemiskinan bercampur dengan pemuda-pemuda yang jadi preman, suka miras, berkelahi, merampok atau mencuri. Amburadulnya sebuah kehidupan dapat disaksikan di sini. Para pemuda preman mencuri hasil-hasil pertanian para petani dan sebagainya. Kehidupan petani semakin terhimpit dan teralienasi oleh keadaan. Petani/pekebun seperti terpenjara dalam kampungnya sendiri.
***
Banyak hal yang terjadi di sini, seperti keterbelakangan pengetahuan yang disertai dengan ego individual yang sangat kental dan tidak bisa bekerjasama. Dari kacamata saya, tak ada modal sosial yang dibangun di sini, masyarakatnya sangat individualis, jalan sendiri-sendiri. Tak ada juga rasa peduli sesama.
Yang lebih mengherankan, dibalik ketidakberdayaan pola pikir, ketidaktahuan, keterbelakangan dan ketertinggalan masyarakat, justru para elit desa semakin korup dengan memanfaatkan sumber daya desa untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Banyak masyarakat yang mendatangiku hanya sekedar bercerita bagaimana mereka dimanfaatkan elit-elit desa. Elit-elit desa itu bekerja dengan menekan dan membodohi masyarakat, mengatur berapa luas lahan masyarakat lalu diberikan ganti rugi yang tidak sesuai dengan luas lahan yang dimiliki. Elit desa menggunakan akal manipulatif, menekan demi mengeruk keuntungan pribadi dan kroni-kroninya.
Lalu, yang terjadi dengan masyarakat di sini, yang miskin kian terpuruk serta kemelaratan semakin mengungkungi dalam setiap sudut kehidupan mereka. Tak banyak perubahan yang terjadi. Bulir-bulir keringat bercucuran akibat kerja keras yang suda sekian tahun dilakukan namun tak ada hasil. Hanya kemiskinan dan keterbelakangan mental-lah yang dapat disaksikan di sini.
***
Memasuki zaman moderen atau era digital serta teknologi, informasi dan komunikasi yang sangat canggih, kehidupan masyarakat kita seharusnya suda beranjak pada kehidupan yang lebih baik, bukan sebaliknya terus jalan ditempat. Harus ada peningkatan kehidupan dari pra-sejahtera menjadi sejahtera, dari cukup menjadi berkecukupan dan dari ada menjadi berkeadaan.
Masyarakat kita seharusnya sudah dapat mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi, bagaimana kemudian untuk  menjadi petani yang sukses. Selain itu, pemerintah desa juga dapat memberikan pemahaman, bagaimana mengelola lahan pertanian yang efektif agar kemudian dapat menghasilkan panen yang melimpa.
Edukasi yang sifatnya mendidik dan memajukan pola pikir masyarakat tentu harus diutamakan. Tidak bisa pemerintah terus-terusan membiarkan masyarakat berjalan sendiri lalu, membuat masyarakat hidup tercerai-berai, terpisa-pisah. Petani/pekebun harus dibina, didampingi untuk kemudian dijadikan sebagai penggerak ekonomi pedesaan.
Bagaimana cara menggerakan ekonomi desa? Yang dilakukan tidak lain adalah memanfatkan Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014, dengan menggunakan dana desa semaksimal mungkin untuk memajukan ekonomi masyarakat pedesaan. Bagaimana cara memanfaatkannya? Dana desa itu, dapat dipinjamkan kepada petani-petani yang kreatif, yang ingin memulai wirausaha. Namun, pertama yang perlu dilakukan di sini adalah membangun kelompok usaha tani. Dana usaha, bisa bersumber dari dana desa dengan status pinjaman. Desa juga dapat mendirikan bank desa untuk petani melalui APB-Des.
Yang diperlukan tentuya bukan saja membangun infrastruktur jalan pertanian, tetapi kelompok usaha tani pedesaan. Di sini atau mungkin semua wilayah pedesaan tidak bisa hanya bersandar pada jalan pertanian. Bagaimana mungkin ekonomi pedesaan bisa bergerak maju, jika masyarakat petani/pekebun menggunakan jalan itu hanya sekedar mencari makan. Bukan sebaliknya, dijadikan sebagai perintis jalan agar menjadi petani/pekebun yang sukses.
Seperti itulah yang terjadi dengan para petani/pekebun di sini, jalan pertanian hanya di gunakan untuk mencari makan saja. Olenya itu, Petani/pekebun di sini perlu ada upaya transformasi pemikiran, merevolusi desa dengan paradigma membangun dan menggerakan ekonomi desa. Tugas pemerintah desa hanya perlu memfasilitasi, mendampingi atau membimbing agar masyarakat dapat berkreatif dengan baik.
***
Aungan ‘kita kembali ke desa’ merupakan bentuk keprihatinan, bahwa desa kita saat ini masih terbelakang dan tertinggal, dimana masyarakatnya masih banyak yang terkungkung dalam kemiskinan. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah ikut berkontribusi, berpatisipasi dalam menggerakan desa yang maju, desa yang makmur. Sedangkan untuk pemerintah desa perlu ada keterbukaan untuk berdiskusi dengan anak-anak muda, bukan menutup diri sebagaimana yang terjadi di sini. Jalannya bisa berbeda-beda, namun kita tetap mendahulukan kepentingan masyarakat desa kita.
Sekat-sekat dapat dibuang jauh-jauh. Kita perlu berangkulan demi menatap masa depan desa yang makmur nan jaya. Kita harus sejalan beriringan, agar desa tumbuh berkembang dengan senyum dalam keharmonisan. Jika tidak, maka desa hanya akan menjadi racun dan berkembangnya para iblis irasional. Merekalah yang akan mengeruk desa untuk kepentingan pribadi. Jika demikian yang terjadi, maka ‘desaku sayang, desaku malang’ sangat layak untuk diungkapkan.
                                                                                     Muna, 18 Desember 2016

14 November 2016

"Di Pinggir Jalan"

INI adalah Rubrik pojok harian Indonesia Raya yang diasuh oleh Mas Kluyur pada edisi 29 Desember 1973. Mas Kluyur ini adalah sebutan Mochtar Lubis, selain Don Sagundo Asemos Garamos. Saya sangat suka Rubriknya yang menyentuh. Begini..

"Di Pinggir Jalan"

Untuk wanita Indonesia yang cari peruntungan ke luar negeri:
Hujan mas dan perak, negeri orang
Hujan keris dan lembing negeri sendiri.

Untuk polisi yang suka angkutin mahasiswa dan pemuda naik truk:
Guruh bunyi bersayup-sayup
Orang di bumi semua bimbang
Jikalau ada angin bertiup
Apakah bunga mau berkembang?

Untuk mahasiswa dan pemuda yang melakukan aksi-aksi:
Hendak mandi, marilah mandi
Setimba kita berdua
Hendak mati marilah mati
Sekubur kita berdua

Kepada babe-babe yang tidak memperhatikan nasib rakyat:
Malam ini merendang jagung
Malam esok merendang jelai
Malam ini kita berkampung
Malam esok kita bercerai

Kepada cukong-cukong dan babe-babe yang kerjasama dengan mereka:
Permata jatuh di rumput
Kasih umpama embun
Datang matahari hilang

Kepada segala ratuu-ratu kecantikan:
Apa guna pasang pelita
Kalau tidak ada sumbunya
Apa guna main mata
kalau tidak ada sungguhnya

Dan kepada pembaca, sobat, kawan dan lawan:
Kalu ada jarum patah
Jangan simpan dalam peti
Kalau ada salah sepata
Jangan simpan dalam hati.

CATATAN: Rubrik ini saya kutip dari buku "Muchtar Lubis Wartawan Jihad."

Sophie dan Sebuah Negeri Raksasa



Cerita ini saya ceritakan dari sebuah film berjudul The BFG. Cerita di film ini diambil dari buku yang ditulis oleh Roald Dahl’s yang berjudul The BFG (Big Friendly Giant). Ceritanya sangat mengesankan dan menghibur. Begini ceritanya.
***
Gadis kecil itu, tinggal disebuah panti asuhan yang dianggapnya sangat tidak kompeten. Banyak aturan-aturan yang dibuat oleh pihak panti asuhan dan seringkali mereka dihukum diruang bawah tanah. Aturan-aturan ini membuatnya benci terhadap panti asuhan tersebut. Di panti asuhan itu, ia juga tak punya sahabat. Ia merasa sepi dan suatu hari, ia memimpikan sebuah dunia yang bebas, berpetualang pulang dan pergi.
Kegemaran gadis kecil itu adalah membaca, terutama buku karya Nicholas Nickleby. Ia seringkali terjaga sampai pukul 3 pagi. Hal ini dilakukannya untuk mengantisipasi agar ia tak hilang diculik setan. Waktu jam 3 pagi baginya adalah waktu dimana para Boogeyman muncul, lalu membuat orang-orang menghilang entah kemana.
Tapi, ia entah mimpi apa, penculikan itu akhirnya terjadi. Sekiat hampir pukul 4 pagi ia berhasi diculik oleh seorang raksasa,  lalu dibawa pergi di negeri yang bernama, negeri raksasa. Di negeri raksasa itu, dihuni oleh sepuluh raksasa. Ada 9 raksasa jahat pemakan manusia dan 1 raksasa baik pemakan sayur-sayuran dan buah. Gadis kecil itu cukup beruntung. Ia diculik oleh raksasa yang baik, bukan kanibal pemakan manusia.
Keseharian raksasa baik itu cukup unik. Ia menangkap mimpi-mimpi, lalu ia tiupkan ke anak-anak yang terlelap hingga menemukan mimpi indah dalam mimpi anak-anak. Dalam bukunya katanya, ia ingin memberikan mimpi gemerlap. Mimpi yang memberi si pemimpi saat-saat indah.
Ketika si gadis kecil itu berada dalam gua tempat tinggal raksasa, ia memohon agar tidak memakannya. Si raksasa baik kemudian mengatakan bahwa walaupun ia seorang raksasa, ia bukan kanibal pemakan manusia. Ia tidak pernah melakukannya. Ia menculiknya, karena khawatir akan menceritakannya ke banyak orang, banyak orang mencarinya, ditangkap, lalu menjadi tontonan seluruh dunia.
Itulah yang menjadi kekhawatirannya, dan kemudian dibawanya gadis kecil itu di negeri raksasa. Ia tidak akan memakannya, tapi hanya menyembunyikannya. Sementara itu, 9 raksasa lainnya, pembunuh, kanibal pemakan manusia. Sembilan raksasa itu, katanya akan menelannya jika kedapatan suatu waktu.
Nama gadis kecil adalah Sophie. Sophie bukanla gadis kecil yang penakut. Ia seorang anak pemberani dan tak kenal rasa takut, termasuk melawan 9 raksasa-raksasa kanibal itu. Saat Sophie dengan raksasa baik itu hendak pergi menangkap mimpi-mimpi di sebuah puncak, mereka terhalang oleh 9 raksasa yang kejam. Raksasa baik itu kemudian ditangkap dan dipermainkan seperti pingpong, dilempar kemudian ditangkap dan dilempar lagi oleh raksasa yang lainnya. Saat raksasa baik itu handak dibuang pada raksasa yang lainnya, Sophie bertemu muka dan membisikin agar raksasa baik melakukan sesuatu. Dan yang terjadi, mereka tak bisa melakukan apa-apa, pasrah dan hanya menunggu turunnya hujan. Saat hujan turun, raksasa baik pun dilepas, karena 9 raksasa kanibal sangat takut dikena dengan air.
Dalam perjalanan menuju sebuah puncak, Sophie mengatakan pada si raksasa baik bahwa seharusnya ia tidak diperlakukan seperti itu. Sophie menganjurkan bahwa si raksasa baik harus melawan terhadap raksasa-raksasa jahat itu. Namun, si raksasa baik tidak bisa melakukannya. Ia hidup dan dikelilingi oleh 9 raksasa jahat pemakan manusia. Katanya, 9 raksasa itu mengambil kehidupan mereka dari manusia dan ia mengembalikan kembali, berupa mimpi-mimpi indah itu. Itulah yang dilakukan oleh si raksasa baik selama ini, menangkap mimpi-mimpi.
***
Di puncak itu, si raksasa baik diberinya nama sebuah negeri mimpi. Ada sebuha pohon besar yang dibawanya air mengalir ke tempat yang paling rendah. Di pohon itu, terdapat berbagai macam mimpi, ada mimpi baik dan juga buruk.
Si raksasa baik kemudian bercerita bahwa di negeri mimpi ia mendengar apa saja; suara musik dari bintang-bintang di langit, semut kecil yang berbicara satu sama lain, para ulat bulu yang berbicara sepanjang waktu  tentang siapa yang akan jadi kupu-kupu paling cantik dan lain sebagainya. Bahkan, ia juga suda mendengar segala hal yang baik dan buruk di negeri mimpi, semua bisikan-bisikan dari dunia, katanya.
Raksasa baik itu bernama BFG. Nama itu diberikan oleh Sophie setelah mereka pulang menangkap mimpi-mimpi dari negeri mimpi. Saat itu mereka berteman, dan masuk ke kota untuk memberikan mimpi-mimpi baik pada anak-anak. Namun setelah hendak ke negeri raksasa, Sophie mendengar ratapan seorang anak. Begitupun BFG, ia juga mendengar seseorang yang menangisi orang yang dia sayangi.
Sophie kemudian melihat 9 raksasa itu dan mengatakan, monster, kita harus menghentikan mereka. Kau tidak bisa seperti ini BFG, kata Sophie. Lagi-lagi mereka tak bisa melakukan apa-apa. Dan semua itu terjadi karena selimut yang dipakai Sophie berada ditangan 9 raksasa kanibal itu.
***
Sejak itu, BFG kemudian mengembalikan Sophie di panti asuhan. Ia tidak mau terulang ke dua kali dengan kejadian yang sama, saat ia menculik seorang anak laki-laki. Konon, kata BFG, anak laki-laki itu meninggal di makan oleh 9 raksasa kanibal. Ia tidak bisa melindunginya. Maka, disaat 9 raksasa itu mengetahui bahwa BFG punya teman manusia Sophie, ia mengembalikannya agar tidak terjadi hal yang sama. Ia trauma, karena tak bisa menjaga anak laki-laki itu.
Apa yang terjadi dengan Sophie? Ia tetap ingin di negeri raksasa. Bersama BFG ia ingin menghentikan para raksasa kanibal itu. Namun, BFG tetap saja menolak. Sophie menanyakan, apakah anak laki-laki itu merasa takut? BFG mengatakan, ia, pada akhirnya ia takut. Mendengar itu, lalu Sophie mengatakan bahwa ia tidak takut dengan raksasa itu. Tetapi, tetap saja BFG tidak membawanya ke negeri raksasa itu lagi.
Sophie kecewa dengan BFG dan masuk ke dalam panti asuhan. Ia teringat dengan ucapan BFG bahwa BFG dapat mendengar suara apapun. Sophie kemudian mencoba berkata-kata dengan bsikian kepada BFG. Tidak lama kemudian BFG muncul, lalu membawa Sophie ke negeri raksasa.
Di negeri raksasa itu, Sophie dan BFG mencoba menyusun rencana untuk menghentikan 9 raksasa kanibal. Belum sempat ide melintas dipikiran, 9 raksasa itu datang mencari Sophie untuk menjadi santapannya. Sophie berusaha disembunyikan oleh BFG. Saat Sophie menemukan tempat yang aman, ia mendapatkan foto Ratu Inggris. Di sinilah ia mendapatkkan ide untuk mengentikan 9 raksasa itu, melaporkannya ke Ratu Inggris.
Sophie dan BFG kemudian berusaha memberikan mimpi buruk kepada Ratu Inggris. Ratu Inggris akan bermimpi bahwa 9 raksasa itu berada di Inggris dan mereka memakan anak-anak kecil. Dan menjelang pagi, Ratu Inggris bermimpi bahwa 9 raksasa itu berada di Inggris dan menculik anak-anak kecil. Ratu Inggris kemudian terbangun dan melihat Sophie berada di jendela. Ratu berkata bahwa apa yang dialami sama seperti mimpinya. Lalu, Sophie mengatakan bahwa yang membuat mimpi itu temannya BFG. Ratu Inggris pun menanyakan maksud kedatangan Sophie dan BFG.

Kenapa kau dan raksasamu datanag menemuiku, kata Ratu Inggrsi. Kurasa anda bisa mengingat alasannya, yang mulia, jawab Sophie. Ratu pun mengingatnya bahwa kedatangan mereka membutuhkan bantuan. Ia benar, kata Sophie dan sekarang saya akan memanggil teman saya BFG. Saat Sophie memanggil, BFG tak kunjung muncul. Sophie pun berteriak agar BFG memberanikan diri. BFG muncul dan memberikan penghormatan kepada Ratu Inggris “Yang Mulia, saya adalah pelayan anda yang rendah hati”. Ratu pun menerimanya.


Saat itu BFG pun menjadi pelayan Ratu Inggris, lalu bekerja sama untuk menangkap 9 raksasa kanibal. Bersama dengan pasukan Ratu Inggris, Sophie dan BFG pergi ke negeri raksasa. Pasukan Ratu Inggris pun berhasil menangkap 9 raksasa kanibal, lalu diangkutnya untuk diasingkan di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Di pengasingan itu, 9 raksasa berusaha diberi makan dan benih buah snozzcumber, buah yang tidak mereka sukai. Walaupun 9 raksasa itu tidak menyukai buah snozzcumber, mereka harus terbiasa memakannya.
Terasingnya 9 raksasa kanibal, merupakan kemenangan atas Sophie dan BFG. Tetapi Sophie dan BFG harus terpisah. Sophie tinggal dengan Ratu Inggris dan BFG tetap di negeri raksasa yang sekarang penuh dengan kedamaian dan berbagai macam tanaman dan sayur-sayuran. Keduanya hidup bahagia, Sophie tidak lagi tinggal disebuah panti asuhan, sementara BFG tidak lagi memakan buah snozzcumber yang busuk.
Perpisahan mereka, bukan berarti tidak bisa lagi saling menyapa. BFG tetap mendengar bisikan rahasia dari dunia. Saat Sophie menyapa, good morning, BFG? BFG pun mendengarnya, lalu ia tersenyum dengan penuh kebahagiaan.
Saya kutip sedikit kata-kata dalam buku Roald Dahl, The BFG (Big Friendly Giant). Katanya, “mimpi tidak membutuhkan apa-apa. Jika itu mimpi indah, mimpi itu akan menunggu dengan tenang, selamanya hingga dilepaskan dan diizinkan melakukan tugas. Jika itu mimpi buruk, mimpi itu akan berusaha keras keluar”.
Hmmm….nama Sophie dalam film The BFG ini mengingatkan saya pada buku Dunia Sophie karya Jostein Gaarder saja. Sama-sama berfilsafat. Sangat mengesankan dan menghibur.

                                                                                    Kendari, 14 November 2016

                                                                                    Laode Halaidin

08 November 2016

Pilwali Kota Kendari: Antara Politik Gagasan dan Popularitas

Ilustrasi dari: jogja-tribunnews.com
Politik memang menarik untuk dibahas, diperbincangkan atau bahkan diperdebatkan. Bukan saja orang-orang yang melek tentang politik, tetapi rakyat biasa juga ikut membincangkan politik.
Diberbagai tempat yang saya kunjungi di kota Kendari, perbincangan tentang politik mengemuka. Saya menemukan satu kepingan yang mengesankan, mulai dari aktivis mahasiswa, para akademisi, masyarakat nelayan di Purirano yang letaknya dipinggiran kota Kendari, hingga orang-orang kelas menengah yang mapan ekonomi dengan antusias membincangkan politik. Saya seringkali membandingkan mereka sebagai komunitas melek politik versus masyarakat yang awam tentang politik.
Perpolitikan di negeri ini memang bisa diperbincangkan oleh siapa saja, orang mana saja dan dimana saja. Tak terbatas pada orang-orang tertentu yang hanya melek politik, menjadi aktor-aktor politik, para pakar atau ilmuwan politik saja. Rakyat biasa juga perlu membincangkan tentang politik, meskipun hanya sekedar mengetahui dinamika perpolitikan yang ada. Misalnya saja, menilai figur politik mana yang mempunyai kapasitas untuk memakmurkan masyarakat di daerah atau politisi mana yang memiliki gagasan untuk memberikan kemaslahatan umat dan perbincangan politik yang lainnya.
Dengan demikian, masyarakat memang perlu gambaran yang paripurna mengenai calon kepala daerah untuk kemudian mengetahui tracrecordnya. Tidak cukup hanya melihat figur dari efek silau popularitas lewat baliho semata lalu melupakan hakikat politik itu sendiri. Popularitas  bukan segalanya, bisa memimpin atau bisa memberi gagasan untuk membangun daerah. Calon yang populer belum tentu baik dalam memimpin. Itu sama sekali belum, masih bersifat abstrak.
Popularitas ibaratnya hanya sebatas pengenalan persona semata lewat selebaran lalu kita memungutnya. Jalan popularitas itu bermacam-macam; bisa lewat pabrikasi media massa, media cetak, baliho, spanduk dan pamflet, lalu menjumpai kita dan kita pungut. Kita mengoleksinya dan seringkali lupa bahwa pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan. Kita seperti halnya korban iklan, terjerumus dan percaya saja seperti kata merakyat, memajukan, dapat memberikan perubahan dan berbagai ramuan konsep lainnya yang masih abstrak. Kita terpenjara dengan kalimat memberi perubahan, merakyat, memajukan, sementara kita tak pernah tau ide, gagasan atau konsep seperti apa yang akan ditawarkan dan rakyat seperti apa ia merakyat.
Seperti halnya memecah air dengan batu: abstrak, spontan, sementara dan percuma. Tidak merasakan efek untuk hidup dan kehidupan orang banyak. Isi kampanye manis-manis lalu menghilang setelah terpilih, sementara masyarakat butuh kebijakan. Ukuran kesejatian berpolitik itu adalah gagasan yang kemudian dituangkan dalam kebijakan yang memihak pada penghidupan rakyat banyak, bukan sebaliknya, perebutan kekuasaan semata.
Rakyat yang malang, pikirku. Kita dihinggapi oleh hiruk-pukuk politik yang tidak mendidik, kalau bukan sengaja diabaikan. Rakyat hanya punya kewajiban untuk memilih, sementara hak-hak yang lebih substansi seringkali terabaikan. Dalam konteks ini, lalu masyarakat diberi dua pilihan kartu dalam memilih; pilihan karena popularitas figur atau memilih karena gagasan.
Namun, di era yang serba pragmatis ini, semarak pilkada memang seringkali dipertontonkan dengan lalulintas pertarungan politik karena popularitas figur dan mengabaikan gagasan. Masyarakat dituntun hanya melihat figur yang populer karena gagasan tidak tampak, tidak mengemuka. Yang tampak hanya wajah dan nama, sesuai yang terpampang di jalan-jalan, media cetak serta media massa. Tetapi, pilihan karena popularitas figur memang bukan sesuatu yang salah dalam demokrasi elektoral. Rakyat diberi pilihan untuk menyukai dan tidak menyukai, memilih dan tidak memilih figur-figur tersebut. Rakyat bebas menentukan pilihannya masing-masing.
Dalam demokrasi elektoral, orang-orang yang minim gagasan, seorang pengusaha, birokrasi bahkan seorang petani pun memang bisa menjadi kepala daerah, asalkan punya banyak uang. Mereka bisa cepat populer dengan topangan finansial, lalu berharap diusung oleh partai politik. Inilah kenyataan yang ada sekarang, ada ‘pendewaan popularitas’. Partai politik pun ikut latah, terlibat seperti yang dikatakan Alfan Alfian “perbisnisan popularitas” lalu kemudian mengabaikan kualitas calon kepala daerah.
Untuk pemilihan wali kota di Kendari, banyak anak-anak muda yang mendiskusikan seputaran politik gagasan dan popularitas. Menurut mereka, di pilwali ini seharusnya para calon berpolitik dengan gagasan, bukan hanya mengandalkan politik popularitas dan uang semata. Saya melihat hal ini, sebagai bentuk kemajuan berpikir generasi muda bahwa rakyat bukan hanya sekedar mendapatkan pemimpin, tapi kualitaslah yang menjadi ukuran. Permasalahan kedepan, kata anak-anak muda itu akan semakin kompleks, masyarakat butuh figur yang benar-benar berpandangan jauh kedepan, bisa mengatasi permasalahan yang kian hari, kian rumit.
Saya teringat dengan apa yang dikatakan Aco, salah satu pemuda masyarakat di Purirano, saat berdiskusi dengannya sebulan yang lalu. Ia mengungkapkan bahwa, mereka butuh wali kota yang dapat memberikan solusi akan permasalahan dikampungnya, sebagai masyarakat yang berada dipinggiran laut kota Kendari. Tentu, solusi yang dimaksudkan disini adalah gagasan, bukan sekedar popularitas.
Berpolitik memang sejatinya adalah tentang gagasan. Gagasan itu kemudian dituangkan sebagai kebijakan untuk membangun daerah. Masyarakat seperti di Purirano sangat membutuhkan ide, gagasan, untuk menjawab sulitnya permasalahan hidup mereka. Olehnya itu, dalam berpolitik, visi misi harus ditampakkan, dimunculkan ke masyarakat dan kemudian di uji. Kata, Alfan Alfian bahwa politik itu kumpulan argumen dan manakala tidak dilandasi argumen, yang mengemuka hanyalah parodi menyedihkan, sekedar politikotaimen, sebuah pertunjukan yang tanpa makna.
Intinya, politik itu jangan hanya sekedar imajinasi bagaimana berkuasa, dengan menghalalkan segala cara. Berpolitiklah yang santun dan beradab. Jangan juga hanya sebatas politik popularitas semata, sekedar untuk menjamah kekuasaan. Berpolitik harus diisi dengan pemikiran yang bisa membangun peradaban. Rakyat kita hari ini sangat mendambahkan solusi untuk permasalahan yang masih menggerogoti kehidupan mereka. Jika politik tanpa pemikiran, sekali lagi saya mengitup tulisan Alfan Alfian, maka politik kita berjalan tanpa kepala.
Sungguh menyedihkan, pikirku. Sementara, kemaslahatan umat itu tidak turun percuma dari langit, tapi dari kecakapan pemimpinnya yang menahkodai rakyatnya. Tentu, dengan kecakapannya membaca arah angin untuk menghindari derasnya ombak yang menerjang. Seperti itulah pemimpin yang sejati, bisa menahkodai kapal dengan pengetahuan, pemikiran dan gagasan, agar kapalnya tidak karam dilautan.
                                                                                     Kendari, 8 November 2016