Ilustrasi dari: jogja-tribunnews.com |
Politik memang menarik untuk dibahas,
diperbincangkan atau bahkan diperdebatkan. Bukan saja orang-orang yang melek
tentang politik, tetapi rakyat biasa juga ikut membincangkan politik.
Diberbagai tempat yang saya kunjungi di
kota Kendari, perbincangan tentang politik mengemuka. Saya menemukan satu
kepingan yang mengesankan, mulai dari aktivis mahasiswa, para akademisi, masyarakat
nelayan di Purirano yang letaknya dipinggiran kota Kendari, hingga orang-orang
kelas menengah yang mapan ekonomi dengan antusias membincangkan politik. Saya
seringkali membandingkan mereka sebagai komunitas melek politik versus
masyarakat yang awam tentang politik.
Perpolitikan di negeri ini memang bisa
diperbincangkan oleh siapa saja, orang mana saja dan dimana saja. Tak terbatas
pada orang-orang tertentu yang hanya melek politik, menjadi aktor-aktor politik,
para pakar atau ilmuwan politik saja. Rakyat biasa juga perlu membincangkan tentang
politik, meskipun hanya sekedar mengetahui dinamika perpolitikan yang ada. Misalnya
saja, menilai figur politik mana yang mempunyai kapasitas untuk memakmurkan
masyarakat di daerah atau politisi mana yang memiliki gagasan untuk memberikan
kemaslahatan umat dan perbincangan politik yang lainnya.
Dengan demikian, masyarakat memang perlu
gambaran yang paripurna mengenai calon kepala daerah untuk kemudian mengetahui
tracrecordnya. Tidak cukup hanya melihat figur dari efek silau popularitas lewat
baliho semata lalu melupakan hakikat politik itu sendiri. Popularitas bukan segalanya, bisa memimpin atau bisa
memberi gagasan untuk membangun daerah. Calon yang populer belum tentu baik
dalam memimpin. Itu sama sekali belum, masih bersifat abstrak.
Popularitas ibaratnya hanya sebatas
pengenalan persona semata lewat selebaran lalu kita memungutnya. Jalan
popularitas itu bermacam-macam; bisa lewat pabrikasi media massa, media cetak, baliho,
spanduk dan pamflet, lalu menjumpai kita dan kita pungut. Kita mengoleksinya
dan seringkali lupa bahwa pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan. Kita
seperti halnya korban iklan, terjerumus dan percaya saja seperti kata merakyat,
memajukan, dapat memberikan perubahan dan berbagai ramuan konsep lainnya yang
masih abstrak. Kita terpenjara dengan kalimat memberi perubahan, merakyat, memajukan,
sementara kita tak pernah tau ide, gagasan atau konsep seperti apa yang akan
ditawarkan dan rakyat seperti apa ia merakyat.
Seperti halnya memecah air dengan batu:
abstrak, spontan, sementara dan percuma. Tidak merasakan efek untuk hidup dan
kehidupan orang banyak. Isi kampanye manis-manis lalu menghilang setelah
terpilih, sementara masyarakat butuh kebijakan. Ukuran kesejatian berpolitik itu
adalah gagasan yang kemudian dituangkan dalam kebijakan yang memihak pada
penghidupan rakyat banyak, bukan sebaliknya, perebutan kekuasaan semata.
Rakyat yang malang, pikirku. Kita
dihinggapi oleh hiruk-pukuk politik yang tidak mendidik, kalau bukan sengaja
diabaikan. Rakyat hanya punya kewajiban untuk memilih, sementara hak-hak yang
lebih substansi seringkali terabaikan. Dalam konteks ini, lalu masyarakat diberi
dua pilihan kartu dalam memilih; pilihan karena popularitas figur atau memilih
karena gagasan.
Namun, di era yang serba pragmatis ini, semarak
pilkada memang seringkali dipertontonkan dengan lalulintas pertarungan politik
karena popularitas figur dan mengabaikan gagasan. Masyarakat dituntun hanya
melihat figur yang populer karena gagasan tidak tampak, tidak mengemuka. Yang
tampak hanya wajah dan nama, sesuai yang terpampang di jalan-jalan, media cetak
serta media massa. Tetapi, pilihan karena popularitas figur memang bukan
sesuatu yang salah dalam demokrasi elektoral. Rakyat diberi pilihan untuk
menyukai dan tidak menyukai, memilih dan tidak memilih figur-figur tersebut.
Rakyat bebas menentukan pilihannya masing-masing.
Dalam demokrasi elektoral, orang-orang
yang minim gagasan, seorang pengusaha, birokrasi bahkan seorang petani pun memang
bisa menjadi kepala daerah, asalkan punya banyak uang. Mereka bisa cepat
populer dengan topangan finansial, lalu berharap diusung oleh partai politik.
Inilah kenyataan yang ada sekarang, ada ‘pendewaan popularitas’. Partai politik
pun ikut latah, terlibat seperti yang dikatakan Alfan Alfian “perbisnisan
popularitas” lalu kemudian mengabaikan kualitas calon kepala daerah.
Untuk pemilihan wali kota di Kendari,
banyak anak-anak muda yang mendiskusikan seputaran politik gagasan dan
popularitas. Menurut mereka, di pilwali ini seharusnya para calon berpolitik
dengan gagasan, bukan hanya mengandalkan politik popularitas dan uang semata.
Saya melihat hal ini, sebagai bentuk kemajuan berpikir generasi muda bahwa
rakyat bukan hanya sekedar mendapatkan pemimpin, tapi kualitaslah yang menjadi
ukuran. Permasalahan kedepan, kata anak-anak muda itu akan semakin kompleks, masyarakat
butuh figur yang benar-benar berpandangan jauh kedepan, bisa mengatasi
permasalahan yang kian hari, kian rumit.
Saya teringat dengan apa yang dikatakan
Aco, salah satu pemuda masyarakat di Purirano, saat berdiskusi dengannya sebulan
yang lalu. Ia mengungkapkan bahwa, mereka butuh wali kota yang dapat memberikan
solusi akan permasalahan dikampungnya, sebagai masyarakat yang berada dipinggiran
laut kota Kendari. Tentu, solusi yang dimaksudkan disini adalah gagasan, bukan sekedar
popularitas.
Berpolitik memang sejatinya adalah tentang
gagasan. Gagasan itu kemudian dituangkan sebagai kebijakan untuk membangun
daerah. Masyarakat seperti di Purirano sangat membutuhkan ide, gagasan, untuk
menjawab sulitnya permasalahan hidup mereka. Olehnya itu, dalam berpolitik, visi
misi harus ditampakkan, dimunculkan ke masyarakat dan kemudian di uji. Kata, Alfan
Alfian bahwa politik itu kumpulan argumen dan manakala tidak dilandasi argumen,
yang mengemuka hanyalah parodi menyedihkan, sekedar politikotaimen, sebuah
pertunjukan yang tanpa makna.
Intinya, politik itu jangan hanya
sekedar imajinasi bagaimana berkuasa, dengan menghalalkan segala cara.
Berpolitiklah yang santun dan beradab. Jangan juga hanya sebatas politik popularitas
semata, sekedar untuk menjamah kekuasaan. Berpolitik harus diisi dengan
pemikiran yang bisa membangun peradaban. Rakyat kita hari ini sangat
mendambahkan solusi untuk permasalahan yang masih menggerogoti kehidupan
mereka. Jika politik tanpa pemikiran, sekali lagi saya mengitup tulisan Alfan
Alfian, maka politik kita berjalan tanpa kepala.
Sungguh menyedihkan, pikirku. Sementara,
kemaslahatan umat itu tidak turun percuma dari langit, tapi dari kecakapan
pemimpinnya yang menahkodai rakyatnya. Tentu, dengan kecakapannya membaca arah angin
untuk menghindari derasnya ombak yang menerjang. Seperti itulah pemimpin yang
sejati, bisa menahkodai kapal dengan pengetahuan, pemikiran dan gagasan, agar
kapalnya tidak karam dilautan.
Kendari,
8 November 2016
0 komentar:
Posting Komentar