08 November 2016

Pilwali Kota Kendari: Antara Politik Gagasan dan Popularitas

Ilustrasi dari: jogja-tribunnews.com
Politik memang menarik untuk dibahas, diperbincangkan atau bahkan diperdebatkan. Bukan saja orang-orang yang melek tentang politik, tetapi rakyat biasa juga ikut membincangkan politik.
Diberbagai tempat yang saya kunjungi di kota Kendari, perbincangan tentang politik mengemuka. Saya menemukan satu kepingan yang mengesankan, mulai dari aktivis mahasiswa, para akademisi, masyarakat nelayan di Purirano yang letaknya dipinggiran kota Kendari, hingga orang-orang kelas menengah yang mapan ekonomi dengan antusias membincangkan politik. Saya seringkali membandingkan mereka sebagai komunitas melek politik versus masyarakat yang awam tentang politik.
Perpolitikan di negeri ini memang bisa diperbincangkan oleh siapa saja, orang mana saja dan dimana saja. Tak terbatas pada orang-orang tertentu yang hanya melek politik, menjadi aktor-aktor politik, para pakar atau ilmuwan politik saja. Rakyat biasa juga perlu membincangkan tentang politik, meskipun hanya sekedar mengetahui dinamika perpolitikan yang ada. Misalnya saja, menilai figur politik mana yang mempunyai kapasitas untuk memakmurkan masyarakat di daerah atau politisi mana yang memiliki gagasan untuk memberikan kemaslahatan umat dan perbincangan politik yang lainnya.
Dengan demikian, masyarakat memang perlu gambaran yang paripurna mengenai calon kepala daerah untuk kemudian mengetahui tracrecordnya. Tidak cukup hanya melihat figur dari efek silau popularitas lewat baliho semata lalu melupakan hakikat politik itu sendiri. Popularitas  bukan segalanya, bisa memimpin atau bisa memberi gagasan untuk membangun daerah. Calon yang populer belum tentu baik dalam memimpin. Itu sama sekali belum, masih bersifat abstrak.
Popularitas ibaratnya hanya sebatas pengenalan persona semata lewat selebaran lalu kita memungutnya. Jalan popularitas itu bermacam-macam; bisa lewat pabrikasi media massa, media cetak, baliho, spanduk dan pamflet, lalu menjumpai kita dan kita pungut. Kita mengoleksinya dan seringkali lupa bahwa pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan. Kita seperti halnya korban iklan, terjerumus dan percaya saja seperti kata merakyat, memajukan, dapat memberikan perubahan dan berbagai ramuan konsep lainnya yang masih abstrak. Kita terpenjara dengan kalimat memberi perubahan, merakyat, memajukan, sementara kita tak pernah tau ide, gagasan atau konsep seperti apa yang akan ditawarkan dan rakyat seperti apa ia merakyat.
Seperti halnya memecah air dengan batu: abstrak, spontan, sementara dan percuma. Tidak merasakan efek untuk hidup dan kehidupan orang banyak. Isi kampanye manis-manis lalu menghilang setelah terpilih, sementara masyarakat butuh kebijakan. Ukuran kesejatian berpolitik itu adalah gagasan yang kemudian dituangkan dalam kebijakan yang memihak pada penghidupan rakyat banyak, bukan sebaliknya, perebutan kekuasaan semata.
Rakyat yang malang, pikirku. Kita dihinggapi oleh hiruk-pukuk politik yang tidak mendidik, kalau bukan sengaja diabaikan. Rakyat hanya punya kewajiban untuk memilih, sementara hak-hak yang lebih substansi seringkali terabaikan. Dalam konteks ini, lalu masyarakat diberi dua pilihan kartu dalam memilih; pilihan karena popularitas figur atau memilih karena gagasan.
Namun, di era yang serba pragmatis ini, semarak pilkada memang seringkali dipertontonkan dengan lalulintas pertarungan politik karena popularitas figur dan mengabaikan gagasan. Masyarakat dituntun hanya melihat figur yang populer karena gagasan tidak tampak, tidak mengemuka. Yang tampak hanya wajah dan nama, sesuai yang terpampang di jalan-jalan, media cetak serta media massa. Tetapi, pilihan karena popularitas figur memang bukan sesuatu yang salah dalam demokrasi elektoral. Rakyat diberi pilihan untuk menyukai dan tidak menyukai, memilih dan tidak memilih figur-figur tersebut. Rakyat bebas menentukan pilihannya masing-masing.
Dalam demokrasi elektoral, orang-orang yang minim gagasan, seorang pengusaha, birokrasi bahkan seorang petani pun memang bisa menjadi kepala daerah, asalkan punya banyak uang. Mereka bisa cepat populer dengan topangan finansial, lalu berharap diusung oleh partai politik. Inilah kenyataan yang ada sekarang, ada ‘pendewaan popularitas’. Partai politik pun ikut latah, terlibat seperti yang dikatakan Alfan Alfian “perbisnisan popularitas” lalu kemudian mengabaikan kualitas calon kepala daerah.
Untuk pemilihan wali kota di Kendari, banyak anak-anak muda yang mendiskusikan seputaran politik gagasan dan popularitas. Menurut mereka, di pilwali ini seharusnya para calon berpolitik dengan gagasan, bukan hanya mengandalkan politik popularitas dan uang semata. Saya melihat hal ini, sebagai bentuk kemajuan berpikir generasi muda bahwa rakyat bukan hanya sekedar mendapatkan pemimpin, tapi kualitaslah yang menjadi ukuran. Permasalahan kedepan, kata anak-anak muda itu akan semakin kompleks, masyarakat butuh figur yang benar-benar berpandangan jauh kedepan, bisa mengatasi permasalahan yang kian hari, kian rumit.
Saya teringat dengan apa yang dikatakan Aco, salah satu pemuda masyarakat di Purirano, saat berdiskusi dengannya sebulan yang lalu. Ia mengungkapkan bahwa, mereka butuh wali kota yang dapat memberikan solusi akan permasalahan dikampungnya, sebagai masyarakat yang berada dipinggiran laut kota Kendari. Tentu, solusi yang dimaksudkan disini adalah gagasan, bukan sekedar popularitas.
Berpolitik memang sejatinya adalah tentang gagasan. Gagasan itu kemudian dituangkan sebagai kebijakan untuk membangun daerah. Masyarakat seperti di Purirano sangat membutuhkan ide, gagasan, untuk menjawab sulitnya permasalahan hidup mereka. Olehnya itu, dalam berpolitik, visi misi harus ditampakkan, dimunculkan ke masyarakat dan kemudian di uji. Kata, Alfan Alfian bahwa politik itu kumpulan argumen dan manakala tidak dilandasi argumen, yang mengemuka hanyalah parodi menyedihkan, sekedar politikotaimen, sebuah pertunjukan yang tanpa makna.
Intinya, politik itu jangan hanya sekedar imajinasi bagaimana berkuasa, dengan menghalalkan segala cara. Berpolitiklah yang santun dan beradab. Jangan juga hanya sebatas politik popularitas semata, sekedar untuk menjamah kekuasaan. Berpolitik harus diisi dengan pemikiran yang bisa membangun peradaban. Rakyat kita hari ini sangat mendambahkan solusi untuk permasalahan yang masih menggerogoti kehidupan mereka. Jika politik tanpa pemikiran, sekali lagi saya mengitup tulisan Alfan Alfian, maka politik kita berjalan tanpa kepala.
Sungguh menyedihkan, pikirku. Sementara, kemaslahatan umat itu tidak turun percuma dari langit, tapi dari kecakapan pemimpinnya yang menahkodai rakyatnya. Tentu, dengan kecakapannya membaca arah angin untuk menghindari derasnya ombak yang menerjang. Seperti itulah pemimpin yang sejati, bisa menahkodai kapal dengan pengetahuan, pemikiran dan gagasan, agar kapalnya tidak karam dilautan.
                                                                                     Kendari, 8 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar