Balai Desa Wantiworo |
Di ujung timur Sulawesi Tenggara
terdapat desa-desa yang memiliki lahan pertanian yang sangat subur. Di setiap
desa, saya menyaksikan betapa suburnya tanaman kebun para petani yang mereka
tanam. Ada berbagai tanaman yang ditanami seperti tanaman jagung, cabai, terong
dan tanaman kacang-kacangan lainnya.
Tetapi dibalik suburnya tanaman mereka, yang
menjadi perhatian kita pada para petani/pekebun adalah kemiskinannya. Pagi,
siang dan malam petani/pekebun merawat dan menjaga tanamannya. Namun, saat
panen tiba mereka tak bisa apa-apa. Hasilnya tak seberapa, karena harga-harga
tanaman yang mereka tanam hanya bernilai ribuan rupiah. Mereka juga sesekali
mengurut dada saat panen tak ada hasil. Kata salah seorang petani yang
mengalami gagal panen bercerita kepadaku, tahun itu, kami sangat kesusahan
untuk makan dan kami juga tak bisa menghasilkan uang yang cukup.
Kebanyakan pendapatan petani hanya
bersumber dari tanaman musiman itu, sehingga hasilnya tidak cukup untuk
mengantarkan anak-anak mereka pada perguruan tinggi. Pendidikan anak-anak
mereka terhenti ditengah jalan karena tak ada biaya. Anak-anak itu lalu memilih
merantau menjadi TKI, TKW atau merantau di kota lainnya di Indonesia dan bekerja
di bidang informal seperti kuli bangunan, pembantu rumah tanggga, buruh
perkebunan, buruh kapal, sopir angkot dan lain sebagainya.
Nama desa ini adalah Desa Wantiworo.
Jumlah kepala keluarganya berkisar sekitar 400-an kepala keluarga (KK).
Mayoritas pekerjaan masyarakatnya rata-rata sebagai petani jagung dan kacang. Tanaman
ini biasanya di tanam pada bulan Oktober masa panen Januari dan Maret masa
panen Juni. Cara bertani mereka juga nomaden, berpinda-pindah tempat dengan membuka
hutan-hutan baru, yang suda sekian tahun ditinggalkan.
Kesederhanaan dan ketertinggalan mereka
sangat nampak di depan mata. Yang di pakai tak ada alat-alat yangg moderen, tak
ada juga tanaman-tanaman yang berpenghasilan cukup yang di tanam. Masyarakat di
sini berkebun dan bekerja hanya sekedar mencari makan, tak lebih dari itu.
Kemiskinan semakin menggurita dan para orang tua menyerah dengan keadaan. Anak-anak
mudanya banyak yang putus sekolah seperti daun yang berguguran di musim panas,
lalu menjadi preman desa, jadi anak-anak nakal.
Dengan keadaan seperti ini, kehidupan
masyarakatnya pun semakin hari, semakin sulit. Kita dapat
membayangkan kemiskinan bercampur dengan pemuda-pemuda yang jadi preman, suka
miras, berkelahi, merampok atau mencuri. Amburadulnya sebuah kehidupan dapat
disaksikan di sini. Para pemuda preman mencuri hasil-hasil pertanian para
petani dan sebagainya. Kehidupan petani semakin terhimpit dan teralienasi oleh
keadaan. Petani/pekebun seperti terpenjara dalam kampungnya sendiri.
***
Banyak hal yang terjadi di sini, seperti
keterbelakangan pengetahuan yang disertai dengan ego individual yang sangat
kental dan tidak bisa bekerjasama. Dari kacamata saya, tak ada modal sosial yang
dibangun di sini, masyarakatnya sangat individualis, jalan sendiri-sendiri. Tak
ada juga rasa peduli sesama.
Yang lebih mengherankan, dibalik
ketidakberdayaan pola pikir, ketidaktahuan, keterbelakangan dan ketertinggalan
masyarakat, justru para elit desa semakin korup dengan memanfaatkan sumber daya
desa untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Banyak masyarakat yang
mendatangiku hanya sekedar bercerita bagaimana mereka dimanfaatkan elit-elit
desa. Elit-elit desa itu bekerja dengan menekan dan membodohi masyarakat,
mengatur berapa luas lahan masyarakat lalu diberikan ganti rugi yang tidak sesuai
dengan luas lahan yang dimiliki. Elit desa menggunakan akal manipulatif,
menekan demi mengeruk keuntungan pribadi dan kroni-kroninya.
Lalu, yang terjadi dengan masyarakat di
sini, yang miskin kian terpuruk serta kemelaratan semakin mengungkungi dalam setiap
sudut kehidupan mereka. Tak banyak perubahan yang terjadi. Bulir-bulir keringat
bercucuran akibat kerja keras yang suda sekian tahun dilakukan namun tak ada
hasil. Hanya kemiskinan dan keterbelakangan mental-lah yang dapat disaksikan di
sini.
***
Memasuki zaman moderen atau era digital
serta teknologi, informasi dan komunikasi yang sangat canggih, kehidupan masyarakat
kita seharusnya suda beranjak pada kehidupan yang lebih baik, bukan sebaliknya
terus jalan ditempat. Harus ada peningkatan kehidupan dari pra-sejahtera
menjadi sejahtera, dari cukup menjadi berkecukupan dan dari ada menjadi
berkeadaan.
Masyarakat kita seharusnya sudah dapat
mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi, bagaimana kemudian untuk menjadi petani yang sukses. Selain itu,
pemerintah desa juga dapat memberikan pemahaman, bagaimana mengelola lahan
pertanian yang efektif agar kemudian dapat menghasilkan panen yang melimpa.
Edukasi yang sifatnya mendidik dan
memajukan pola pikir masyarakat tentu harus diutamakan. Tidak bisa pemerintah
terus-terusan membiarkan masyarakat berjalan sendiri lalu, membuat masyarakat hidup
tercerai-berai, terpisa-pisah. Petani/pekebun harus dibina, didampingi untuk
kemudian dijadikan sebagai penggerak ekonomi pedesaan.
Bagaimana cara menggerakan ekonomi desa?
Yang dilakukan tidak lain adalah memanfatkan Undang-Undang Desa nomor 6 tahun
2014, dengan menggunakan dana desa semaksimal mungkin untuk memajukan ekonomi masyarakat
pedesaan. Bagaimana cara memanfaatkannya? Dana desa itu, dapat dipinjamkan
kepada petani-petani yang kreatif, yang ingin memulai wirausaha. Namun, pertama
yang perlu dilakukan di sini adalah membangun kelompok usaha tani. Dana usaha,
bisa bersumber dari dana desa dengan status pinjaman. Desa juga dapat
mendirikan bank desa untuk petani melalui APB-Des.
Yang diperlukan tentuya bukan saja
membangun infrastruktur jalan pertanian, tetapi kelompok usaha tani pedesaan. Di
sini atau mungkin semua wilayah pedesaan tidak bisa hanya bersandar pada jalan
pertanian. Bagaimana mungkin ekonomi pedesaan bisa bergerak maju, jika
masyarakat petani/pekebun menggunakan jalan itu hanya sekedar mencari makan.
Bukan sebaliknya, dijadikan sebagai perintis jalan agar menjadi petani/pekebun
yang sukses.
Seperti itulah yang terjadi dengan para
petani/pekebun di sini, jalan pertanian hanya di gunakan untuk mencari makan
saja. Olenya itu, Petani/pekebun di sini perlu ada upaya transformasi pemikiran,
merevolusi desa dengan paradigma membangun dan menggerakan ekonomi desa. Tugas
pemerintah desa hanya perlu memfasilitasi, mendampingi atau membimbing agar
masyarakat dapat berkreatif dengan baik.
***
Aungan ‘kita kembali ke desa’ merupakan bentuk
keprihatinan, bahwa desa kita saat ini masih terbelakang dan tertinggal, dimana
masyarakatnya masih banyak yang terkungkung dalam kemiskinan. Tugas kita
sebagai anak bangsa adalah ikut berkontribusi, berpatisipasi dalam menggerakan
desa yang maju, desa yang makmur. Sedangkan untuk pemerintah desa perlu ada
keterbukaan untuk berdiskusi dengan anak-anak muda, bukan menutup diri
sebagaimana yang terjadi di sini. Jalannya bisa berbeda-beda, namun kita tetap
mendahulukan kepentingan masyarakat desa kita.
Sekat-sekat dapat dibuang jauh-jauh.
Kita perlu berangkulan demi menatap masa depan desa yang makmur nan jaya. Kita
harus sejalan beriringan, agar desa tumbuh berkembang dengan senyum dalam
keharmonisan. Jika tidak, maka desa hanya akan menjadi racun dan berkembangnya
para iblis irasional. Merekalah yang akan mengeruk desa untuk kepentingan
pribadi. Jika demikian yang terjadi, maka ‘desaku sayang, desaku malang’ sangat
layak untuk diungkapkan.
Muna,
18 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar