20 Oktober 2015

Mengapa Kita Terlalu Suka Kemudahan!



                                                                           Ilustrasi
 
Jika kita menanyakan kepada semua orang, apakah engkau suka kemudahan dan berpaling pada sesuatu yang terlalu sukar/kesusahan? Jawabannya kira-kira sekitar 85 persen semua orang akan menjawab, mereka suka kemudahan. Orang-orang seperti ini akan beranggapan bahwa dengan kemudahan mereka akan mencapai sesuatu dengan muda alias gampang, instan dan tidak membikin pusing kepala ini sampai akhirnya kita tak bisa tidur. Dengan kemudahan waktunya tak akan banyak terbuang dengan yang susah itu dan bisa menikmatinya dengan bersenang-senang.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengambil beberapa contoh misalnya pencarian judul skripsi. Kita terkadang tidak menginginkan judul yang terlalu menyusahkan kita atau mungkin pembimbing yang tidak memaukan itu karena mungkin dianggap kita tak mampu untuk menyelesaikannya. Akhirnya kita diberikan jalan pintas atau kemudahan dengan diberikan judul yang gampang/mudah agar nanti tak banyak yang menghalangi atau menyusahkan jalan kita untuk mencapai yang bernama wisuda itu.

Bagi saya, berjalan lancarnya untuk penyelesaian sebuah skripsi tergantung pada ukuran metedologi penelitiannya. Jika ukuran metedologi untuk penelitian itu jelas dan terarah maka yang kita perjuangkan juga jelas dan tak akan mengarah pada tempat lain. Apabila ukuran meteodolgi yang kita gunakan salah maka kita telah memperjuangkan sesuatu yang salah. Saya kira selama judul skripsi mempunyai meteodologi yang jelas untuk di ukur yang kemudian dapat menghasilkan suatu penelitian yang bermanfaat, mengapa tidak. Jika hal itu misalnya menyusahkan kita, itulah sebuah proses untuk kemudian mencarikan jalan menyelesaikannya. Titik…..

Pada konteks lain misalnya mahasiswa yang menjadi benalu. Mahasiswa seperti ini mudah sekali terkurung dengan kenyamanan yang dimiliki, tak berjiwa sosial dan biasanya anak-anak mami yang berumah diatas angin. Mereka suka kemudahan dan tak mau berproses. Mereka menginnginkan hidupnya serba instan. Kesusahan bagi mereka merupakan benteng penghalang yang seringkali menggerogoti nafsu manja mereka untuk ber-foya-foya.

Mahasiswa seperti ini terkadang suka menyusu, mengharapkan Bokap dan Nyokap yang mencarikan jalan hidupnya. Bagi mahasiswa ini, hidup itu jangan dibuat kesusahan toh kita suda diberikan sesuatu yang jelas oleh Bokap dan Nyokap dan tinggal duduk dan menikmatinya saja. Hidup bagi mereka bukan sebuah perjuangan, bukan juga sebuah proses untuk kemudian akan mematangkan diri kita di kemudian hari. Kesusahan bagi mereka adalah ironis, yang diperutungkan bagi mereka-mereka yang tidak bernasib baik dan kemudahan adalah hanyalah ruang mereka pada setiap jejak langka kehidupannya.

Inilah sebuah realitas yang sampai hari ini masih banyak kita temukan pada masyarakat Indonesia. Mahasiswa yang merupakan sebuah generasi muda penunjuk jalan terang sebuah bangsa tak terlepas dari budaya kemudahan ini. Oleh generasi tua dikampus dalam hal ini dosen-dosen, muda sekali mengkonstruktivis ini bahwa semua mahasiswa suka sekali dengan kemudahan.

Budaya ini turun-temurung berlanjut, dan generasi tua (dalam hal ini dosen-dosen) di kampus-kampus membudayakan kemudahan ini. Di berikan judul, atau di susunkan skripsinya suda menjadi pemandangan yang biasa di kampus-kampus. Saya menyaksikan dan mengalaminya sendiri, namun saya tetap pada sikap saya dan menolak hal ini.

***
Ketika seorang sahabat menyuruh saya untuk menerima judul yang diberikan oleh dosen pembimbing, saya katakan saya tetap menolak. Saya mengatakan bahwa di sini saya ingin berproses dan mau belajar untuk menyelesaikan sebuah penelitian dan itu harus judul yang saya usulkan. Selanjtnya saya katakan, judul yang saya usulkan mempunyai meteodologi yang jelas dan itu layak untuk dijadikan sebuah penelitian skripsi. Seorang sahabat mengatakan, tapi teman-teman yang lain banyak yang seperti itu, dikasikan judul. Saya jawab, iya itu mereka dan mereka berbeda dengan saya.

Pada akhirnya godaan budaya kemudahan atau yang serba instan itu, tak pernah lepas dari perjalanan hidup seseorang. Semua terkungkung dalam mental-mental yang muda kropos, yang gampang pecah alias menyerah. Mental mahasiswa hari ini adalah mental kerupuk bercampur cabe yang tak tahan akan susahnya dalam berproses dan suka mendambakan kemudahan dalam setiap jejak langka perjalanannya. Mereka tak punya sikap daya kritis dan menolak, mengiyakan dalam setiap omongan yang tua-tua ini dan akhirnya kita seperti sebuah obyek yang kosong dan tak punya isi.

Sedangkan generasi tua hari ini adalah generasi yang di didik dan lahir dengan mental cabe yang kelihatan pedis, warnah merah seperti sikap pemberani namun setelah lepas dari pohonnya cepat layu dan lama-lama busuk. Yang lebih parah lagi cabe ini akan mengajarkannya pada cabe-cabe yang lain hingga turun-temurun. Inilah yang dianggap sebagai pembudayaan mental-mental cabe hingga budaya seperti ini sampai kapanpun tak akan pernah habis terkikis oleh zaman.

Ia, hari ini memang kita terlahir dari generasi yang suka serba instan, tak menghargai sebuah proses dan tak tahan banting. Dari generasi ke generasi sampai hari ini kita sering dihidangkan dengan cerita-cerita keberhasilan, kepahlawanan, kecerdasan seseorang serta motivasi-motivasi seperti Mario Teguh yang heroik. Namun, terkadang orang-orang lupa bahwa mereka mencapai segalanya bukan dengan kemudahan-kemudahan seperti yang dipikirkan. Mereka berani berbenturan dengan kesusahan, menyelam dan berjalan bersama kesusahan demi mencapai setitik cahaya yang kelak dapat meneranginya digubuk kehidupannya.
Kemudahan bagi mereka seperti jalan terang yang mengarahkannya pada kesenangan-kesenangan kecil di kehidupannya dan sering mereka agungkan sedangkan kesusahan seperti suasana gelap yang mempunyai jerat-jerat penyiksa dan jurang lumpur yang pekat dan mereka hindari. Mereka seringkali terbiasa dengan kemudahan itu sehingga ketika kesusahan melingkupi, menghindari adalah jalan terbaik dan tak mau bertarung dengan kesusahan itu.

Menghindari memang sesuatu yang baik, namun kita miskin proses pembelajaran hidup yang kelak menjadi tameng-tameng yang akan membuat kita kokoh dan tak gampang roboh. Kesusahan adalah bagian dari titik balik kemudahan. Dengan kesusahan kita punya kekebalan dan tak akan kropos dan bahwa hal-hal yang susah adalah bagian dari proses di kehidupan ini. 

Jadi generasi tua, tak perlu membudayakan mental-mental cabe yang justru akan memperlemah generasi muda saat ini. Rhenald Kasali bilang Pendidik bukanlah hanya menyampaikan teori namun dengan kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan karakter dan membentuk masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan mempraktikan teori”. 
                                   

                                                                                                La ode Halaidin
                                                                                                Kendari, 20 Oktober 2015
Sumber Gambar : zonanesia.com



0 komentar:

Posting Komentar