15 Oktober 2015

CATATAN ANAK DESA : Negeri Ini Suda di Ujung Tanduk




Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih untuk tidak peduli lagi.

Di Negeri di Ujung Tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang menjadi teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.

Di Negeri di Ujung Tanduk setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir, demi membela kehormatan. (Tere Liye, Dalam Buku; Negeri Di Ujung Tanduk).

***


Untuk para anak-anak muda, Putra-Putri yang saat ini masih berdiam diri dan yang berumah di atas angin dengan menikmati kemewahan kekayaan dari orang tua. Untuk para pemuda dan pemudi yang tengah sibuk mencari kekayaan, bagi yang tengah mempercantik diri dengarkanlah keluhan-keluhan dan terikan-teriakan kami anak dari desa ini yang tengah memperhatikan ke-amburadulan negeri ini dari jauh.
Pertanyaan yang perlu diajukan atau mungkin yang ada dibenak kita adalah Dimanakah keadilan di negeri ini? Mengapa keadilan hanya milik mereka yang punya kuasa atau segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan? Keadilan Sosial yang selama ini tercantum dalam pancasila hanyalah simbolik belaka. Kita membacanya dalam setiap 17 Agustus dengan sikap siaga, mata menatap kedepan dengan tajam, tapi ucapan-ucapan itu hanya lalu lalang dan sekejap hilang tanpa ada pemaknaan dan pem-wujudan dalam realitas kehidupan masyarakat. 
Lalu apa yang kita inginkan yang lahir dari Timur dan Tengah Indonesia? Aceh, Papua, Sulawesi dan Kalimantan, NTT, NTB, yang tergolong masyarakat bawah/miskin tengah bertarung dengan sendirinya tanpa merasakan kehadiran negara dalam hal ini pemerintah dan wakilnya di DPR itu. Apalagi informasi hangat yang saat ini beredar adalah bahwa Indonesia bagian Timur mempunyai kekayaan sumber daya yang melimpah. Sehingga para Tuan dan Jenderal Istana cepat-cepat memalingkan mukanya ke Timur dan juga Tengah Indonesia dengan memanggil para investor untuk menanamkan investasinya. Apakah kita juga membutuhkan kemerdekaan seperti Catalunya di Negara Spanyol itu? 

Masyarakat miskin di desa-desa saat ini tengah bertarung dengan kehidupannya untuk memenuhi sesuap nasi, sementara koorporasi besar terus menghantuinya setiap saat. Koorporasi akan bermunculan dimana-mana dan kapan saja. Mereka bermunculan untuk mengusir masyarakat dari tanahnya sendiri, dengan alasan bahwa pemerintah telah diberi kewenangan dengan telah mengantongi izin untuk mengeksploitasi kekayaan di desa-desa tersebut untuk pembangunan industri-industri.

***
Kejadian di Lumajang adalah bagian dari kejadian kecil di Negeri ini. Banyak hal yang menimpa di Timur dan Tengah Indonesia seperti Lumajang bahkan mungkin di sini akan lebih para lagi. Kematian Seperti Salim Kancil kemungkinan besar akan lebih banyak lagi ketika Tuan-Tuan dan Para Jendral di Istana sana kian doyan mempermuda izin untuk pembangunan Industri-Industri koorporasi bangsat.
Di sini tak ada media untuk kemudian memunculkannya di depan Publik atau mungkin Media sengaja tidak menggalinya karena atas dasar kepentingan. Di sini tak ada wartawan yang berkunjung seperti Metro TV, TV One atau Teve lain untuk kemudian mengangkat isu-isu yang tengah memperpuruk kehidupan masyarakat akibat ulah pemerintah dan koorporasi. Di sini hanya ada para aktivis kecil untuk memperjuangkan negaranya.
Di sini hanya ada para aktivias kecil yang tidak populer dan tidak pernah disokong oleh dana pemerintah. Di sini hanyalah ada aktivis yang merupakan anak Negara yang menolak kekayaan negaranya di eksploitasi oleh koorporasi bangsat. Di sini hanya ada para aktivis yang ingin melihat negaranya indah, berjuang untuk demi kebaikan dan kemaslahatan bersama tanpa mengharapkan kehadiran Negara.
Di sini hanya ada aktivis yang memperjuangkan terciptanya kedamayaan dilingkungannya, hidup bersama tanpa penindasan, tanpa ada penguasaan dan tanpa ada yang namanya dominasi. Lalu pertanyaannya, Apakah ini bukan bagian dari bentuk Bela Negara! Lalu, mengapa Negara dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah dan juga si DPR itu membiarkan koorporasi bangsat membiarkannya? Bukankah jika hal demikian mereka tak punya sikap Bela Negara? Mengapa……..Jangan-jangan mereka tak pernah mengerti dengan sejarah perjuangan rakyat! Jangan-jangan para Tuan dan Jenderal Istana itu, saat ini tengah memperjuangkan proyek itu untuk bisa lolos, kemudian mereka dengan senang akan menikmati uang proyek miliyaran itu dan menyaksikan masyarakat kian terpuruk dengan kehidupannya. Jangan-jangan……… 
Inilah ulah-ulah para Tuan dan Jendral Istana dengan alasan doktrin pembangunan. Inilah ulah para korporasi bangsat, yang mengeruk kekayaan Negara, sementara rakyat semakin hari semakin sengsara. Kematian Salim Kancil adalah potret kita hari ini bahwa negara tak pernah hadir jika masyarakat kecil tengah ditimpah masaalah-masaalah yang memperpuruk kehidupan mereka. Kematian Salim Kancil adalah bentuk ke-kurang-perhatiannya Negara terhadap masyarakat kecil, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah dengan institusi negaranya (Kepolisian dan para Tentara) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan masyarakat. Lalu pertanyaanya, mengapa Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR itu hadir, ketika suda ada korban nyawa? Saya kira ini menjadi renungan kita tentang pemerintah saat ini dan kedepan.

***
Hari ini bukan Bela Negara atau Wajib Militer yang seharusnya digemahkan, melainkan BELA DESA. BELA DESA adalah bentuk Inisiatif dari perjuangan rakyat akibat ulah dari para Tuan Istana dan Jenderal Feodal yang mengandalkan kekuatan Institusi tentara dan kepolisian untuk kemudian mengusir masyarakat kecil dari tanahnya sendiri. Bela Desa adalah bentuk dari perjuangan rakyat yang lahir dari kesadaran rakyat untuk melawan penjajah di negeri sendiri. Bela Desa adalah perjuangan rakyat yang menginginkan revolusi akibat ketidakadilan dan kesewenag-wenagan akibat ulah Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR itu, melalui investor dengan doktrinisasi bangsatnya yang bernama demi kesejahteraan rakyat. Iya,, sekarang kita perlu ‘Bela Desa’ untuk memperjuangkan desa-desa kita dari kuasa korporasi dan demi nama pembangunan.
Saya kira negeri ini perlu Revolusi, Revolusi atas dasar penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh “anak kandung negara” sendiri. Rakyat harus mempertajam mata untuk melihat bagaimana Tuan-Tuan Istana dan Para Jendral mempermudah izin indusri dan mengawal para Investor untuk mencaplok kekayaan desa-desa. Rakyat harus punya kekuatan persatuan untuk kemudian melawan penindasan dan ketidakadilan itu.
Cara ini adalah cara Feodal, Rakyat miskin yang makin melarat sementara Tuan Istana, para Jendral dan orang-orang yang dekat dengan Istana duduk dikursi empuknya menikmati hasil proyek Korporasi. Pembangunan seakan hanya milik mereka yang di Jakarta sana, sementara masyarakat kita di Sulawesi, Aceh, Papua, Kalimantan, NTT, NTB hanya menikmati ampas dari pembangunan. Iya, kita hanya ampasnya sedangkan mereka adalah isinya yang penuh gizi-gizi baik.
Jika Negeri ini perlu Revolusi, maka marilah kita bersatu, bersatu untuk menentang bentuk penindasan melalui doktrin pembangunan, ynag dilakukan oleh para Tuan dan Jenderal Istana sana melalui peran investasi untuk kemudian mencaplok kekayaan di desa-desa yang dilakukan oleh Koorporasi Besar. Tentunya ini adalah lewat kemudahan yang dilakukan oleh pemerintah, melalui izin-izin pembebasan tanah, yang selama ini sudah menjadi sumber penghidupan masyarakat petani.

Jika negeri ini perlu perubahan dengan sebuah revolusi maka marilah anak-anak muda, putra dan putri bangsa kita bersatu untuk menentang bentuk penindasan dan kesewang-wenangan ini. Menolak berbagai hal yang akan menyengsarakan rakyat miskin terutama mereka yang hidup di desa-desa. Petani, nelayan, para buruh dan mereka yang tengah berjuang saat ini membutuhkan uluran tangan kita.
Jika kita hanya duduk diam dengan menikmati fasilitas dari Bapak/Ayah/Bokap atau Nyokap dengan penghasilan yang tinggi karena kerja dilingkup pemerintahan, sungguh tak bergunanya hidup kita jika tak memperhatikan kehidupan masyarakat miskin yang berjuang di luar sana. Sungguh tak bergunannya jika mata, telinga, tangan dan mulut kita tertutupi oleh kemewahan orang tua, sementara masyarakat tengah memperjuangkan hak-haknya yang akan di caplok oleh para koorporasi bangsat di negeri ini. Sungguh buta hati nuranimu jika tak ada ketukan dalam hatimu untuk ikut memperjuangkan hak-hak rakyat miskin akibat jajahan dari “anak kandung Negara” sendiri sementara kalian menikmati kemewahan dan berumah diatas angin.
Saya hanya mengutip satu kalimat seperti ini, “Sejarah perjuangan manusia/rakyat adalah sejarah perjuangan kelas, dan perjuangan kelas menjadi kekuatan pokok yang mendorong perkembangan masyarakat”. Iya, marilah gunakan kekuatan dan kemampuan intelek kita untuk memperjuangkan masyarakat miskin yang teralienasi di desa-desa di negeri kita ini.

                                                                                                   La ode Halaidin
                                                                                                   Kendari, 15 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar