Di
Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat
semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih untuk tidak peduli lagi.
Di
Negeri di Ujung Tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi
pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang menjadi teladan, tapi mereka
memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.
Di Negeri di Ujung Tanduk
setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis
seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling
akhir, demi membela kehormatan. (Tere Liye, Dalam Buku; Negeri Di Ujung Tanduk).
***
Untuk
para anak-anak muda, Putra-Putri yang saat ini masih berdiam diri dan yang
berumah di atas angin dengan menikmati kemewahan kekayaan dari orang tua. Untuk
para pemuda dan pemudi yang tengah sibuk mencari kekayaan, bagi yang tengah
mempercantik diri dengarkanlah keluhan-keluhan dan terikan-teriakan kami anak
dari desa ini yang tengah memperhatikan ke-amburadulan negeri ini dari jauh.
Pertanyaan
yang perlu diajukan atau mungkin yang ada dibenak kita adalah Dimanakah
keadilan di negeri ini? Mengapa keadilan hanya milik mereka yang punya kuasa
atau segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan? Keadilan Sosial yang selama
ini tercantum dalam pancasila hanyalah simbolik belaka. Kita membacanya dalam
setiap 17 Agustus dengan sikap siaga, mata menatap kedepan dengan tajam, tapi
ucapan-ucapan itu hanya lalu lalang dan sekejap hilang tanpa ada pemaknaan dan
pem-wujudan dalam realitas kehidupan masyarakat.
Lalu
apa yang kita inginkan yang lahir dari Timur dan Tengah Indonesia? Aceh, Papua,
Sulawesi dan Kalimantan, NTT, NTB, yang tergolong masyarakat bawah/miskin
tengah bertarung dengan sendirinya tanpa merasakan kehadiran negara dalam hal
ini pemerintah dan wakilnya di DPR itu. Apalagi informasi hangat yang saat ini
beredar adalah bahwa Indonesia bagian Timur mempunyai kekayaan sumber daya yang
melimpah. Sehingga para Tuan dan Jenderal Istana cepat-cepat memalingkan
mukanya ke Timur dan juga Tengah Indonesia dengan memanggil para investor untuk
menanamkan investasinya. Apakah kita juga membutuhkan kemerdekaan seperti
Catalunya di Negara Spanyol itu?
Masyarakat
miskin di desa-desa saat ini tengah bertarung dengan kehidupannya untuk
memenuhi sesuap nasi, sementara koorporasi besar terus menghantuinya setiap
saat. Koorporasi akan bermunculan dimana-mana dan kapan saja. Mereka
bermunculan untuk mengusir masyarakat dari tanahnya sendiri, dengan alasan
bahwa pemerintah telah diberi kewenangan dengan telah mengantongi izin untuk
mengeksploitasi kekayaan di desa-desa tersebut untuk pembangunan
industri-industri.
***
Kejadian
di Lumajang adalah bagian dari kejadian kecil di Negeri ini. Banyak hal yang
menimpa di Timur dan Tengah Indonesia seperti Lumajang bahkan mungkin di sini
akan lebih para lagi. Kematian Seperti Salim Kancil kemungkinan besar akan
lebih banyak lagi ketika Tuan-Tuan dan Para Jendral di Istana sana kian doyan
mempermuda izin untuk pembangunan Industri-Industri koorporasi bangsat.
Di
sini tak ada media untuk kemudian memunculkannya di depan Publik atau mungkin
Media sengaja tidak menggalinya karena atas dasar kepentingan. Di sini tak ada
wartawan yang berkunjung seperti Metro TV, TV One atau Teve lain untuk kemudian
mengangkat isu-isu yang tengah memperpuruk kehidupan masyarakat akibat ulah
pemerintah dan koorporasi. Di sini hanya ada para aktivis kecil untuk
memperjuangkan negaranya.
Di
sini hanya ada para aktivias kecil yang tidak populer dan tidak pernah disokong
oleh dana pemerintah. Di sini hanyalah ada aktivis yang merupakan anak Negara
yang menolak kekayaan negaranya di eksploitasi oleh koorporasi bangsat. Di sini
hanya ada para aktivis yang ingin melihat negaranya indah, berjuang untuk demi
kebaikan dan kemaslahatan bersama tanpa mengharapkan kehadiran Negara.
Di
sini hanya ada aktivis yang memperjuangkan terciptanya kedamayaan
dilingkungannya, hidup bersama tanpa penindasan, tanpa ada penguasaan dan tanpa
ada yang namanya dominasi. Lalu pertanyaannya, Apakah ini bukan bagian dari
bentuk Bela Negara! Lalu, mengapa Negara dalam hal ini pemerintah pusat dan
daerah dan juga si DPR itu membiarkan koorporasi bangsat membiarkannya?
Bukankah jika hal demikian mereka tak punya sikap Bela Negara?
Mengapa……..Jangan-jangan mereka tak pernah mengerti dengan sejarah perjuangan
rakyat! Jangan-jangan para Tuan dan Jenderal Istana itu, saat ini tengah
memperjuangkan proyek itu untuk bisa lolos, kemudian mereka dengan senang akan
menikmati uang proyek miliyaran itu dan menyaksikan masyarakat kian terpuruk
dengan kehidupannya. Jangan-jangan………
Inilah
ulah-ulah para Tuan dan Jendral Istana dengan alasan doktrin pembangunan.
Inilah ulah para korporasi bangsat, yang mengeruk kekayaan Negara, sementara
rakyat semakin hari semakin sengsara. Kematian Salim Kancil adalah potret kita
hari ini bahwa negara tak pernah hadir jika masyarakat kecil tengah ditimpah
masaalah-masaalah yang memperpuruk kehidupan mereka. Kematian Salim Kancil
adalah bentuk ke-kurang-perhatiannya Negara terhadap masyarakat kecil, dalam
hal ini pemerintah pusat dan daerah dengan institusi negaranya (Kepolisian dan
para Tentara) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan masyarakat.
Lalu pertanyaanya, mengapa Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR itu hadir,
ketika suda ada korban nyawa? Saya kira ini menjadi renungan kita tentang
pemerintah saat ini dan kedepan.
***
Hari
ini bukan Bela Negara atau Wajib Militer yang seharusnya digemahkan, melainkan
BELA DESA. BELA DESA adalah bentuk Inisiatif dari perjuangan rakyat akibat ulah
dari para Tuan Istana dan Jenderal Feodal yang mengandalkan kekuatan Institusi
tentara dan kepolisian untuk kemudian mengusir masyarakat kecil dari tanahnya
sendiri. Bela Desa adalah bentuk dari perjuangan rakyat yang lahir dari
kesadaran rakyat untuk melawan penjajah di negeri sendiri. Bela Desa adalah
perjuangan rakyat yang menginginkan revolusi akibat ketidakadilan dan
kesewenag-wenagan akibat ulah Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR itu,
melalui investor dengan doktrinisasi bangsatnya yang bernama demi kesejahteraan
rakyat. Iya,, sekarang kita perlu ‘Bela Desa’ untuk memperjuangkan desa-desa
kita dari kuasa korporasi dan demi nama pembangunan.
Saya
kira negeri ini perlu Revolusi, Revolusi atas dasar penindasan dan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh “anak kandung negara” sendiri. Rakyat
harus mempertajam mata untuk melihat bagaimana Tuan-Tuan Istana dan Para
Jendral mempermudah izin indusri dan mengawal para Investor untuk mencaplok
kekayaan desa-desa. Rakyat harus punya kekuatan persatuan untuk kemudian
melawan penindasan dan ketidakadilan itu.
Cara
ini adalah cara Feodal, Rakyat miskin yang makin melarat sementara Tuan Istana,
para Jendral dan orang-orang yang dekat dengan Istana duduk dikursi empuknya
menikmati hasil proyek Korporasi. Pembangunan seakan hanya milik mereka yang di
Jakarta sana, sementara masyarakat kita di Sulawesi, Aceh, Papua, Kalimantan,
NTT, NTB hanya menikmati ampas dari pembangunan. Iya, kita hanya ampasnya
sedangkan mereka adalah isinya yang penuh gizi-gizi baik.
Jika
Negeri ini perlu Revolusi, maka marilah kita bersatu, bersatu untuk menentang
bentuk penindasan melalui doktrin pembangunan, ynag dilakukan oleh para Tuan
dan Jenderal Istana sana melalui peran investasi untuk kemudian mencaplok
kekayaan di desa-desa yang dilakukan oleh Koorporasi Besar. Tentunya ini adalah
lewat kemudahan yang dilakukan oleh pemerintah, melalui izin-izin pembebasan
tanah, yang selama ini sudah menjadi sumber penghidupan masyarakat petani.
Jika
negeri ini perlu perubahan dengan sebuah revolusi maka marilah anak-anak muda,
putra dan putri bangsa kita bersatu untuk menentang bentuk penindasan dan
kesewang-wenangan ini. Menolak berbagai hal yang akan menyengsarakan rakyat
miskin terutama mereka yang hidup di desa-desa. Petani, nelayan, para buruh dan
mereka yang tengah berjuang saat ini membutuhkan uluran tangan kita.
Jika
kita hanya duduk diam dengan menikmati fasilitas dari Bapak/Ayah/Bokap atau
Nyokap dengan penghasilan yang tinggi karena kerja dilingkup pemerintahan,
sungguh tak bergunanya hidup kita jika tak memperhatikan kehidupan masyarakat
miskin yang berjuang di luar sana. Sungguh tak bergunannya jika mata, telinga,
tangan dan mulut kita tertutupi oleh kemewahan orang tua, sementara masyarakat
tengah memperjuangkan hak-haknya yang akan di caplok oleh para koorporasi
bangsat di negeri ini. Sungguh buta hati nuranimu jika tak ada ketukan dalam
hatimu untuk ikut memperjuangkan hak-hak rakyat miskin akibat jajahan dari
“anak kandung Negara” sendiri sementara kalian menikmati kemewahan dan berumah
diatas angin.
Saya
hanya mengutip satu kalimat seperti ini, “Sejarah perjuangan manusia/rakyat
adalah sejarah perjuangan kelas, dan perjuangan kelas menjadi kekuatan pokok
yang mendorong perkembangan masyarakat”. Iya, marilah gunakan kekuatan dan
kemampuan intelek kita untuk memperjuangkan masyarakat miskin yang teralienasi
di desa-desa di negeri kita ini.
La ode Halaidin
Kendari, 15 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar