28 Juni 2015

Dana Desa Dan Kesejahteraan


Filososfi Dana Desa : Meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

Kami menyambut dengan baik dan mengapresiasi dengan mencairnya dana desa ini namun kami kelimpungan karena sampai hari ini kami masih kebingungan untuk menerapkannya. Seperti itulah ungkapan inti dari permasalahan masing-masing daerah Kabupaten di Sulawesi Tenggara dalam pertemuan Sosialisasi: Optimalisasi Penggunaan Dana Desa Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Pada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diadakan di Hotel Clarion Kendari pada tanggal 25 Juni 2015.

Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa memang mempunyai momentum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam melakukan berbagai pembangunan yang menjadi prioritas di wilayah-wilayah pinggiran. Pemberlakuan Undang-Undang tersebut juga merupakan bagian dari penguatan desa, sebagai desa yang otonom dalam melakukan pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakatnya. Undang-Undang desa ini tentu sejalan dengan visi dan misi pemerintah yang tercakup dalam program Nawa Cita yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat pembangunan daerah utamnya daerah perbatasan dan desa.

Namun yang menjadi pertanyaan di sini bagi saya adalah sesukses apakah pemerintah desa ketika akan menjalankan apa yang di instruksikan oleh Undang-Undang tersebut?. Apakah ini akan efektif? Saya percaya Undang-Undang atau aturan itu. Apalagi aturan tersebut mengenai hajat hidup untuk mengangkat ekonomi masyarakat miskin yang ada  di pedesaan. Tetapi yang perlu dicatat bahwa seringkali Undang-Undang tersebut selalu kalah ketika berbenturan dengan kepentingan elit politik dan para koorporasi besar di negeri ini. Dan tentunya pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang pesimis, karena mengingat kemampuan pemerintah desa memang sangat terbatas. Pertanyaan ke dua adalah akan seberapa efektifkah pemerintah desa ketika akan melakukan pengelolaan dana desa? Lagi-lagi ini merupakan pertanyaan yang pesimis karena mengingat kemampuann aparat desa didalam melakukan pengelolaan dana desa memang sangat minim dan tentu ini sangat mengkhawatirkan.

Mungkin kita semua akan sepakat bahwa dana desa, ujung jalannya atau muara akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat pedesaan. Saya setujuh dengan apa yang dikatakan oleh nara sumber Abdul Rahman Farisi bahwa dengan banyaknya kemiskinan yang terjadi dipedesaan dari tahun 1970-an sampai sekarang maka dana desa tersebut sudah mempunyai relevansi untuk kemudian dialokasikan kepada masyarkat pedesaan karena dana desa tersebut memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan. Dengan banyaknya kemiskinan yang ada di pedesaan tersebut maka pemerintah mengeluarkan berbagai program yang hanya sekedar melompatkan masyarakat untuk menuju ke-keadaan yang sejahtera baik dibidang ekonomi maupun pendidikan.

Tak bisa dipungkiri banyak berbagai program pemerintah untuk hanya sekedar menegakan dada yang telah terlunta-lunta karena derita kemiskinan telah banyak dicanangkan selama ini. Program yang telah dicanangkan atau dilaksanakan mislanya seperti IDT, P2KP, PNPM, dan PEMP. Namun program-program ini tak banyak mengisahkan keberhasilan untuk mengangkat kesejahteraan masyarkat pedesaan di Indonesia tetapi yang terjadi sebaliknya “Banyak Kegagalan”. Saya memang tak mempunyai banyak bukti untuk menguraikan satu persatu program tersebut. Contoh yang paling mendekat dengan program yang gagal itu adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Muna.

Program PEMP yang ada di Kabupaten Muna tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Tujuan yang digemahkan oleh program tersebut memang cukup indah jika didengar, seperti yang selama ini di paparkan oleh setiap penyelenggara sosialisasi di hotel-hotel termegah namun masyarakat selalu menelan luda pahit karena tak menuai hasil.

Permasalahan dalam pelaksanaan program PEMP ini adalah tidak memadainya atau tidak berkelanjutannya dalam proses pedampingan. Meskipun pelatihannya banyak dibiayai dari dana pendampingan namun dana itu tidak dipergunakan sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan. Inilah yang disebut dengan permainan kepentingan oleh para “Elit Desa”, yang selama ini selalu di motovasi untuk memburu rente. Selain itu, dibuktikan juga dengan tidak berjalannya pengawasan dan evaluasi mengenai aktivitas atau kegiatan ekonomi pemberdayaan itu karena tidak ada yang terlibat didalalamnya. Dan banyak lagi permasalahan lain silahkan baca di  (https://s2ppuns12.wordpress.com/).

Ia, kita setujuh bahwa desa identik dengan keterbelakangan pengetahuan namun mempunyai sumber-sumber penghasilan ekonomi. Keterbelakangan disini yang dimaksud adalah keterbatasan SDM seperti ketidak-tahuan mengenai teknologi atau pengoperaisan komputer yang dikarenakan minimnya lembaga pendidikan, informasi dan komunikasi dll. Tentunya hal ini, akan menjadi kendala yang sangat serius dalam pengoptimalisasian dana desa.

Di dalam sosialisasi itu, ada salah satu perwakilan dari Kabupaten Wakatobi bercerita bahwa pada saat itu perangkat di desanya disuruh untuk membuat pelaporan mengenai belanja keuangan desa, ternyata perangkat desa tersebut tidak bisa mengoperasikan komputer, akhirnya saya suruh saja untuk tulis tangan. Selain itu, perwakilan dari Kabupaten Kolaka Utara memberikan penjelasan bahwa kami sangat mengapresiasi Undang-Undang tersebut, tetapi dengan cairnya dana desa hari ini kami masih kebingunan untuk menerpakannya meskipun kami dan rata-rata semua Kabupaten tadi suda pada tahap pelaksanaan. Olehnya itu kami membutuhkan kejelasan yang disertai dengan proses sosialisasi di desa-desa , pelatihan dan pendampingan. Karena seperti yang di ungkapkan oleh perwakilan dari Kabupaten Muna tersebut jika salah kami menerapknya maka tentu ini akan berhadapan dengan proses hukum.

***
Saya menyimak dari semua yang dipertanyakan oleh masing-masing perwakilan dari kabupaten tersebut terkesan ada kekhawatiran dan ketidaksiapan untuk mencairkan dana desa itu ke-masing-masing desa. Ketidaksiapan itu antara lain, belum adanya pengetahuan perangkat desa mengenai penyusunan BUM-Desa, RPJM-Desa, Renstra-Desa dan persoalan-persoalan lain. Hal ini dikarenakan belum adanya sosialisasi pendampingan atau pelatihan yang dilakukan secara kesinambungan. Inilah yang menjadi polemik bagi pemerintah daerah bahwa aparat desa dalam mengelolah dana desa, memang sangat mengkhawatirkan dan muara akhirnya akan ke persoalan hukum. Apalagi permainan politik di desa sangat kuat. Bisa saja para “Elit Desa” akan memainkan dana desa yang berorientasi proyek sehingga akan mendorong rent seeker dan lebih dominan akan memanfaatkan program-program desa tersebut.

Memang dana desa ini membutuhkan suatu pengawasan bersama. Ketika Undang-Undang desa di gemahkan di senayan untuk secepatnya diberlakukan atau disahkan, banyak rakyat yang menunggu hal itu. Dengan senang hati rakyat terutama masyarakat pedesaan gembira dengan diberlakukannya Undang-Undang desa tersebut. Karena desa akan mempunyai otonom untuk mengelola segala sumber dayanya yang ada dengan dana dari negara. Desa akan melakukan pemberdayaan ekonomi dan pembangunan yang tentu untuk mengangkat taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera, mengurangi kemiskinan desa, dll Ketika hari ini dana desa dicairkan malah pemerintah daerah dan seluruh aparat desa khawatir karena akan berhadapan dengan masaalah yang sangat urgen. Salah satu nara sumber dalam sosialisasi tersebut mengatakan bahwa dana suda di desa dan membutuhkan kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaanya karena akan mempengaruhi keefektifan dalam penggunaan dana desa tersebut.

Sebagai penutup saya ingin mengutip beberapa pendapat pemimpin-pemimpin dunia yang melegenda.

“Ditengah arus deras globalisasi banyak penduduk yang terpenjarah oleh “The Prison Of Poverty (Nelson Mandela). Namun ada cara untuk mengurangi atau sekedar meniadakan kemiskinan itu seperti yang dikatakan oleh Hugo Chaves “Jika kita hendak memberantas kemiskinan, kita harus memberi simiskin akses kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi”. Itulah satu-satunya untuk mengakhiri kemiskinan.

                                                                                               
La ode Halaidin
Kendari 28 juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar