Filososfi Dana
Desa : Meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui
peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi
kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai
subjek dari pembangunan.
Kami
menyambut dengan baik dan mengapresiasi dengan mencairnya dana desa ini namun
kami kelimpungan karena sampai hari ini kami masih kebingungan untuk menerapkannya.
Seperti itulah ungkapan inti dari permasalahan masing-masing daerah Kabupaten
di Sulawesi Tenggara dalam pertemuan Sosialisasi: Optimalisasi Penggunaan Dana
Desa Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Pada BPK Perwakilan
Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diadakan di Hotel Clarion Kendari pada tanggal
25 Juni 2015.
Undang-Undang
nomor 6 tahun 2014 tentang desa memang mempunyai momentum untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam melakukan berbagai pembangunan yang menjadi
prioritas di wilayah-wilayah pinggiran. Pemberlakuan Undang-Undang tersebut
juga merupakan bagian dari penguatan desa, sebagai desa yang otonom dalam
melakukan pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan ekonomi
masyarakatnya. Undang-Undang desa ini tentu sejalan dengan visi dan misi pemerintah
yang tercakup dalam program Nawa Cita yaitu membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat pembangunan daerah utamnya daerah perbatasan dan desa.
Namun
yang menjadi pertanyaan di sini bagi saya adalah sesukses apakah pemerintah
desa ketika akan menjalankan apa yang di instruksikan oleh Undang-Undang
tersebut?. Apakah ini akan efektif? Saya percaya Undang-Undang atau aturan itu.
Apalagi aturan tersebut mengenai hajat hidup untuk mengangkat ekonomi
masyarakat miskin yang ada di pedesaan.
Tetapi yang perlu dicatat bahwa seringkali Undang-Undang tersebut selalu kalah
ketika berbenturan dengan kepentingan elit politik dan para koorporasi besar di
negeri ini. Dan tentunya pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang pesimis,
karena mengingat kemampuan pemerintah desa memang sangat terbatas. Pertanyaan
ke dua adalah akan seberapa efektifkah pemerintah desa ketika akan melakukan
pengelolaan dana desa? Lagi-lagi ini merupakan pertanyaan yang pesimis karena
mengingat kemampuann aparat desa didalam melakukan pengelolaan dana desa memang
sangat minim dan tentu ini sangat mengkhawatirkan.
Mungkin
kita semua akan sepakat bahwa dana desa, ujung jalannya atau muara akhirnya
adalah kesejahteraan masyarakat pedesaan. Saya setujuh dengan apa yang
dikatakan oleh nara sumber Abdul Rahman Farisi bahwa dengan banyaknya
kemiskinan yang terjadi dipedesaan dari tahun 1970-an sampai sekarang maka dana
desa tersebut sudah mempunyai relevansi untuk kemudian dialokasikan kepada masyarkat
pedesaan karena dana desa tersebut memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
pedesaan. Dengan banyaknya kemiskinan yang ada di pedesaan tersebut maka
pemerintah mengeluarkan berbagai program yang hanya sekedar melompatkan masyarakat
untuk menuju ke-keadaan yang sejahtera baik dibidang ekonomi maupun pendidikan.
Tak
bisa dipungkiri banyak berbagai program pemerintah untuk hanya sekedar
menegakan dada yang telah terlunta-lunta karena derita kemiskinan telah banyak dicanangkan
selama ini. Program yang telah dicanangkan atau dilaksanakan mislanya seperti
IDT, P2KP, PNPM, dan PEMP. Namun program-program ini tak banyak mengisahkan
keberhasilan untuk mengangkat kesejahteraan masyarkat pedesaan di Indonesia
tetapi yang terjadi sebaliknya “Banyak Kegagalan”. Saya memang tak mempunyai
banyak bukti untuk menguraikan satu persatu program tersebut. Contoh yang
paling mendekat dengan program yang gagal itu adalah Program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Muna.
Program
PEMP yang ada di Kabupaten Muna tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Tujuan yang digemahkan oleh program tersebut memang cukup indah jika didengar,
seperti yang selama ini di paparkan oleh setiap penyelenggara sosialisasi di hotel-hotel
termegah namun masyarakat selalu menelan luda pahit karena tak menuai hasil.
Permasalahan
dalam pelaksanaan program PEMP ini adalah tidak memadainya atau tidak
berkelanjutannya dalam proses pedampingan. Meskipun pelatihannya banyak
dibiayai dari dana pendampingan namun dana itu tidak dipergunakan sesuai dengan
kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan. Inilah yang disebut dengan permainan
kepentingan oleh para “Elit Desa”, yang selama ini selalu di motovasi untuk
memburu rente. Selain itu, dibuktikan juga dengan tidak berjalannya pengawasan
dan evaluasi mengenai aktivitas atau kegiatan ekonomi pemberdayaan itu karena
tidak ada yang terlibat didalalamnya. Dan banyak lagi permasalahan lain
silahkan baca di (https://s2ppuns12.wordpress.com/).
Ia,
kita setujuh bahwa desa identik dengan keterbelakangan pengetahuan namun
mempunyai sumber-sumber penghasilan ekonomi. Keterbelakangan disini yang
dimaksud adalah keterbatasan SDM seperti ketidak-tahuan mengenai teknologi atau
pengoperaisan komputer yang dikarenakan minimnya lembaga pendidikan, informasi
dan komunikasi dll. Tentunya hal ini, akan menjadi kendala yang sangat serius
dalam pengoptimalisasian dana desa.
Di
dalam sosialisasi itu, ada salah satu perwakilan dari Kabupaten Wakatobi
bercerita bahwa pada saat itu perangkat di desanya disuruh untuk membuat
pelaporan mengenai belanja keuangan desa, ternyata perangkat desa tersebut
tidak bisa mengoperasikan komputer, akhirnya saya suruh saja untuk tulis tangan.
Selain itu, perwakilan dari Kabupaten Kolaka Utara memberikan penjelasan bahwa
kami sangat mengapresiasi Undang-Undang tersebut, tetapi dengan cairnya dana
desa hari ini kami masih kebingunan untuk menerpakannya meskipun kami dan rata-rata
semua Kabupaten tadi suda pada tahap pelaksanaan. Olehnya itu kami membutuhkan
kejelasan yang disertai dengan proses sosialisasi di desa-desa , pelatihan dan
pendampingan. Karena seperti yang di ungkapkan oleh perwakilan dari Kabupaten
Muna tersebut jika salah kami menerapknya maka tentu ini akan berhadapan dengan
proses hukum.
***
Saya
menyimak dari semua yang dipertanyakan oleh masing-masing perwakilan dari
kabupaten tersebut terkesan ada kekhawatiran dan ketidaksiapan untuk mencairkan
dana desa itu ke-masing-masing desa. Ketidaksiapan itu antara lain, belum
adanya pengetahuan perangkat desa mengenai penyusunan BUM-Desa, RPJM-Desa, Renstra-Desa
dan persoalan-persoalan lain. Hal ini dikarenakan belum adanya sosialisasi pendampingan
atau pelatihan yang dilakukan secara kesinambungan. Inilah yang menjadi polemik
bagi pemerintah daerah bahwa aparat desa dalam mengelolah dana desa, memang
sangat mengkhawatirkan dan muara akhirnya akan ke persoalan hukum. Apalagi
permainan politik di desa sangat kuat. Bisa saja para “Elit Desa” akan
memainkan dana desa yang berorientasi proyek sehingga akan mendorong rent seeker dan lebih dominan akan
memanfaatkan program-program desa tersebut.
Memang
dana desa ini membutuhkan suatu pengawasan bersama. Ketika Undang-Undang desa
di gemahkan di senayan untuk secepatnya diberlakukan atau disahkan, banyak
rakyat yang menunggu hal itu. Dengan senang hati rakyat terutama masyarakat
pedesaan gembira dengan diberlakukannya Undang-Undang desa tersebut. Karena desa
akan mempunyai otonom untuk mengelola segala sumber dayanya yang ada dengan
dana dari negara. Desa akan melakukan pemberdayaan ekonomi dan pembangunan yang
tentu untuk mengangkat taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera, mengurangi
kemiskinan desa, dll Ketika hari ini dana desa dicairkan malah pemerintah
daerah dan seluruh aparat desa khawatir karena akan berhadapan dengan masaalah
yang sangat urgen. Salah satu nara sumber dalam sosialisasi tersebut mengatakan
bahwa dana suda di desa dan membutuhkan kualitas sumber daya manusia untuk
pengelolaanya karena akan mempengaruhi keefektifan dalam penggunaan dana desa
tersebut.
Sebagai
penutup saya ingin mengutip beberapa pendapat pemimpin-pemimpin dunia yang
melegenda.
“Ditengah
arus deras globalisasi banyak penduduk yang terpenjarah oleh “The Prison Of
Poverty (Nelson Mandela). Namun ada cara untuk mengurangi atau sekedar
meniadakan kemiskinan itu seperti yang dikatakan oleh Hugo Chaves “Jika kita
hendak memberantas kemiskinan, kita harus memberi simiskin akses kekuasaan,
pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi”. Itulah satu-satunya untuk
mengakhiri kemiskinan.
La ode Halaidin
Kendari 28 juni 2015
0 komentar:
Posting Komentar