Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

25 Mei 2015

Mencoba Menanyakan Pada Nasib

                                                                Ilustrasi Gambar dari Bbm.com

Tulisan ini hanya bagian dari curhatan hati saya yang kian hari kian tebal memenuhi benakku, dan otakku terus berdenyut, membuat saya berpikir keras mempertanyakan bagaimana kehidupanku kedepannya. Meskipun kita tahu bahwa masa depan memang abu-abu dan tak nampak tapi kita bukan berarti tidak diperbolehkan menyusun anak-anak tangga itu untuk menuju ke bintang kehidupan.

Masa depanku. Mungkin kebanyakan orang yang seusia denganku, yang sekarang lagi dalam proses atau tahap untuk melajukan diri ke kerikil-kerikil kehidupan yang sangat tajam, kejam, dan susah akan mempertanyakan hal yang sama. Bagaimana masa depanku kedepannya? Apakah akan lebih baik atau buruk?. Atau pertanyaan lain, setelah menyelesaikan study, apa yang perlu saya lakukan? Cari kerja, ataukah melanjutkan study kejenjang yang lebih tinggi lagi. Tentu masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dilontarkan mengenai masa depan itu.

Yuupsss…marilah kita kaji pertanyaan-pertanyaan itu dengan seksama. Tentu pertanyaan diatas adalah pertanyaan penulis pribadi yang sedang membunca dan bergejolak dalam benakku.

Saya selalu percaya bahwa masa lalu akan menjelaskan masa depan. Percaya atau tidak, suka atau tidak suka apa yang kita tekuni, apa yang menjadi kegemaran, hobi dan keahlian kita hari ini akan menjadi cermin untuk masa depan. Sejarah peradaban juga seperti itu. Sejarah peradaban masa lalu juga akan menjelaskan sejarah peradaban masa kini. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya skill atau kegemaran? Apakah dia akan mempunyai cermin untuk masa depannya! Jawabannya: jika dia tidak berusaha merubah dirinya, untuk mempunyai skill atau mengasa keterampilannya maka kemungkinan besar cermin itu akan buram dan tak akan dapat melihat bayangannya. Intinya adalah minat dan hasrat kita hari ini. Untuk itu disini yang kita perlukan adalah sesuatu pembelajaran yang tiada henti.

Tak perlu merendahkan diri, selalu melihat ke-bawah dan tak pernah melihat ke-atas. Menyerahkan segalanya ke-maha yang kuasa tanpa mau berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, merupakan hal yang konyol.. Rezeki memang Tuhan yang tentukan, tapi Tuhan melihat usaha, keikhlasan, kesabaran, dan kerja keras kita lalu memberikan rezekinya yang terbaik. Tuhan selalu hadir ketika seseorang melakukan perbuatan baik, keikhlasan untuk memperbaiki diri walaupun sebentar. Tuhan juga hadir ketika keindahan itu mencekam. Bukankah Tuhan tak dapat merubah nasib seseorang, jika bukan kita sendiri yang mau merubahnya. Kita sesekali untuk menengada keatas, bahwa kehidupan menyimpan berbagai misteri yang bahkan manusia pun tak dapat untuk hanya sekedar mendeteksi misteri itu.

Adalah sudah menjadi kewajaran jika semua orang mengidamkan masa depan yang lebih baik atau sukses, lebih mapan (bergemilang materi), labih bahagia dan yang lebih-lebih lagi. Namun ukuran untuk menjelaskan semua itu tentu sangat berbeda-beda. Apa yang menjadi ukuran sesoarang untuk menjadi orang sukses? Bergelimang harta atau tidak, namun dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Tentu esensi dari kesuksesan adalah kerja keras bukan seseorang yang seperti menunggu rezeki turun dari langit atau menunggu keajaiban malam untuk menurunkan kesuksesan.

Bagiku, sukses merupakan wadah untuk meluangkan diri dengan penuh kerendahan hati, dengan kerja keras, yang kemudian terus-menerus bertransformasi demi memetik hasil dari bibit yang telah ditanaminya. Sukses akan bertranformasi menjadi bahagia. Sukses dan bahagia bagiku sangat sederhana, yaitu jika berhasil mendaki puncak tertinggi gunung Everest. Hehehe…tinggi sekali mimpiku….tapi itulah mimpi yang nanitnya akan berubah menjadi suatu kekuatan untuk kemudian menjinakan hal-hal yang dianggap mustahil tersebut.

Sukses bagi orang-orang tertentu memang sederhana. Sukses jika apa yang di impikannya telah berhasil dipetik kemudian diluapkannya kepada banyak orang. Seperti seorang penulis misalnya akan mengatakan dirinya sukses dan bahagia jika dia telah berhasil menyusun atau merangkaikan kata-katanya diatas kertas meskipun itu tak setebal seperti karya novel J.K Rowling tentang Harry Potter atau The Casual Vacancy lalu diterbitkan dalam sebuah buku. Buku-buku itu lalu disebarkan untuk dijual di tokoh-tokoh buku meskipun kadang omzet penulis itu sangat kecil jika di bandingkan dengan penerbit. Dan sebagian penulis juga kadang tak akan mempersoalkan hal itu. Karena tujuan sebagian penulis bukan untuk menjadi orang kaya tapi hanya sekedar menebar benih gagasan-gagasannya melalui pemikirannya dan kerja kerasnya.

Lain halnya dengan orang-orang kapital bahwa dirinya akan dikatakan sukses apabila dapat menghasilkan uang yang bernilai ratusan juta rupiah tiap harinya. Lalu dia akan mengatakan dirinya bahagia, mempunyai status social yang tinggi dll. Sah-sah saja jika seseorang mengatakan hal demikian karena manusia merupakan mahluk kapital (baca: mahluk yang kesehariannya hanya untuk mengumpulkan uang/kekayaan) karena seperti dalam nadu lagu dangdut “Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang”. Namun jika hidup kita hanya mengisinya dengan hal-hal seperti itu, bisa saja kita terjebak dalam hal-hal yang nista, rakus, dan segala hal bisa kita halalkan.

Saya teringat dengan bacaan saya tentang mitos Sisyphus yang dikisahkan oleh Albert Camus dalam buku The Myt Of Sisyphus bahwa Sisyphus setiap hari terus melakukan pekerjaan yang tak bermakna. Mendorong batu raksasa yang diatas puncak lalu setelah tiba dipuncaknya batu tersebut akan menggelinding jatuh kebawah. Hal ini akan dilakukan terus menerus mendorong batu raksasa itu, lalu menggelinding kebawah lalu didorong lagi. Menurut Albert Camus fakta yang menarik dari kisah Sisyphus adalah bahwa manusia kadang melakukan seperti apa yang dilakukan Sisyphus.

Tentu disini saya ingin mengatakan bahwa tak seharusnya kita menjadi mahluk capital yang hanya mengumpulkan kekayaan tanpa berkarya untuk kemudian menebar benih-benih gagasan itu. Berkarya bisa jadi akan menjadi kekuatan yang akan menggairahkan dan akan punya makna untuk diri sendiri dan juga orang lain. Lihatlah penulis seperti sastrawan sekaligus budayawan Pramoedya Ananta Toer tak bergelimang harta namun bergelimang ide-ide dan gagasan-gagasan. Dan tentu mewariskan suatu pengetahuan tentang masa lalu kepada jutaan manusia dan bukan kekayaan. Sama seperti halnya Sisyphus meskipun melakukan pekerjaan yang sama mendorong batu raksasa di atas puncak namun dengan batu yang berbeda, itu mungkin bermanfaat baginya dan akan menjadi kekuatan dan motivasi buat dirinya. Dan orang lain dapat menangkap makna dari itu yaitu bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang terlupakan dan bahkan yang sulit dipahami orang yakni kesungguhan dan kerja kerasnya.

Hidup memang pilihan, begitulah ungkapan oleh orang-orang di lingkungan sekitar kita. Hidupku adalah hidupku dan bukan hidup seseorang dan bukan juga hidupmu. Kesuksesan hidupku itu tergantung pada diri saya sendiri. Orang lain merupakan jembatan penghubung untuk mencapai daratan satu ke-daratan yang lain. Kita hanya perlu membangun jaringan, lalu mengkoneksikan diri kita dengan jaringan orang lain. Dan jika kita ingin memenanginya maka kita harus memperjuangkanya. Seperti kata Friederich Schiller bahwa “hidup yang tidak di perjuangkan, tidak layak untuk di menangkan”. Jika kita ingin merubah nasib kita berarti kita harus memperbaiki diri, merubah diri kita dengan apa yang menjadi kelebihan kita sekarang. Menghindari kelemahan dan terus mencoba mendorong kelebihan itu. Intinya kita harus terus memberikan saluran atas kelebihan dan kekurangan itu. Kalau memperbaiki diri, iya memperbaiki diri tak perlu menunggu orang untuk datang lalu memperbaiki diri kita. Karena memang tak akan ada.

Banyak orang-orang tertentu yang mengeluh dalam hidupnya karena tak sesukses orang lain dan hidupnya seperti itu-itu saja. Keterpurukan dalam ekonomi, pekerjaan, uang, dll. Orang-orang ini selalu memberikan jawaban yang pasrah bahwa inilah nasib saya, seolah memasrahkan semuanya bahwa inilah hidup. Kita akan berusaha pun, toh saya suda ditakdirkan oleh Tuhan seperti ini. Inilah jawaban-jawaban terburuk yang pernah saya dengar kepada orang-orang, lalu tanpa berusaha dan bekerja keras untuk merubah haluan hidupnya. Nasib yang tentukan adalah diri kita sendiri, lalu setelah nasib itu sudah kita genggam atau kita melepaskannya baru akan menjadi takdir. Tugas kita adalah bagaimana menjaga dan bertanggung jawab terhadap takdir tersebut.

Meskipun kadang, impian dan yang kita capai selalu bersebrangan. Yang kita impikan misalnya ini, namun yang kita dapatkan adalah itu. Itulah bagian dari misteri kehidupan ini. Yang terpenting, kita suda bekerja keras dan memberikan yang terbaik kepada impian itu.

Seandainya nasib adalah manusia yang bernyawa, yang dapat memberikan jawaban tentang kehidupan saya kedepannya maka aku akan menanyainya. Seperti apakah nasib hidupku kedepannya? Seandainya nasib dapat menentukan apa yang terbaik buatku! maka saya akan mengatakan berikanlah nasibmu yang terbaik, karena saya tak menginginkan kehidupan yang susah dan buruk di bumi ini. Tapi itulah nasib sesuatu yang misteri. Kita tak tahu. Semua tergantung pada diri kita sendiri. Kita hanya butuh ketegaran, dan terus bekerja keras untuk mengubah nasib kita hari ini.

Tulisan ini merupakan bagian dari motivasi buat diriku sendiri dan bukan untuk orang lain bagi yang tidak termotivasi. Karena pada dasarnya saya berada pada dunia ciptaanku yaitu tulisan. Seperti yang dikatakan oleh Hosillos (1997,237) bahwa setiap “Penulis itu berada dalam ciptaannya”.


                                                                                                 La Ode Halaidin
                                                                                            Kendari, 25 Mei 2015

15 Mei 2015

Bahasa Merupakan Tempat Tinggal Manusia

                                                                    Ilustrasi

Bahasa merupakan satu-satunya pilihan untuk menampakkan realitas yang kitapun tak dapat memendamnya. Dengan bahasa kitapun bebas mengungkapkan apapun yang kita inginkan. Dengan bahasa makna hadir dengan bebasnya kedalam atmosfir kesadaran kita.

Bahasa ibarat rumah hati dan jiwa kita. Bahasa ibarat fondasi rumah kita yang kokoh dengan bangunan yang utuh, di sanalah kita bisa menampakkan apapun yang kita inginkan. Ide-ide, gagasan-gagasan serta pemikiran yang terangkum dalam otak kita bebas untuk mengalirkannya dengan bahasa-bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Dengan bahasa kita bebas untuk hanya sekedar berceloteh, atau membumikan hal-hal yang masih tersembunyi di jagad raya ini. Mengungkap ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang selama ini dibungkam oleh pihak-pihak yang berkuasa. Ini merupakan suda menjadi penyakit kronis masyarakat selama orde lama dan juga orde baru dan bahkan juga bisa saya katakan pada orde reformis sekarang ini.

Pembungkaman terjadi kepada masyarakat karena kerasnya tekanan yang dilakukan oleh birokrat dan pejabat-pejabat lingkup pemerintahan, DPR, Gubernur, dan Bupati. Inilah yang saya dapatkan dari beberapa daerah. Penekanannya bervariasi, berupa tekanan psikologis, ancaman, peneroran dengan jasa preman dll. Masyarakat akan dijadikan sebagai objek yang seperti batu karang diam seribu bahasa. Tak mampu berucap, tak mampu berkata-kata, bagai orang lata yang mulutnya agak kesusahan ketika menyusun bahasa dan hanya akan mengulangi satu bahasa itu.

Dengan penekanan itu, rakyat seperti diajak diam dirumahnya sendiri, diam di alamnya yang seharusnya mempunyai kebebasan mengungkapkan seluruh isi hati, uneg-uneg dan seluruh permasaalahan dalam rumah tangga pemerintahnya dan dengan wakil rakyatnya. Pemerintah dan wakil rakyat seperti itu berarti tak lagi mempunyai respon, suara dengan bahasa yang penuh dengan uluran tangan, suara dengan bahasa yang penuh pengharapan, suara dengan bahasa yang penuh derita, suara dengan bahasa yang penuh darah dan nanah tak lagi di dengar. Telingan mereka tertutup oleh ke-egoisan, status quo, dan hausnya kekuasaan untuk hanya sekedar memburu rente. Sungguh sadis kan.. ketika negeri ini tidak mendengarkan bahasa-bahasa minoritas!

Bahasa ibarat pedang yang dapat memenggal kesunyian kita yang kian pekat, yang dapat memenggal oknum-oknum penguasa yang otoriter atau yang bahkan diktator sekalipun. Cobalah tengok kebelakang, bagaimana jatuhnya Orde Baru yang dimotori oleh seluruh pergerakan mahasisiwa Indonesia tahun 1996, yang dimulai dengan protes, suara yang lantang serta bahasa yang memanaskan kuping-kuping penguasa yang dictator sampai akhirnya tumbang.

Bahasa dapat mengaktifkan seluruh indra kita, lalu menuntun kita untuk kemudian mengungkapkannya dengan hati, mulut dan juga tangan-tangan kita. Bahasa dapat membuat nadi-nadi kita berdenyut dan dapat mengalirkan peredaran darah yang tertahan akibat kekakuan kita dalam mengkomunikasikan bahasa itu.

Bahasa ibarat tubuh, yang akan terus bergerak ketika kita mengaktifkan seluruh komponen sel-sel yang terdapat dalam tubuh itu. Otak merupakan terminal bahasa itu. Disanalah semua terkumpul ide-ide, gagasan-gagasan dan segala pemikiran yang kemudian kita mengungkapkannya dengan bahasa lisan maupun tulisan. Informasi terbuka, keadilan yang seimbang, kesewenag-wenangan musna karena kita mempunyai satu suara dengan bahasa yang sama, menuntut negeri ini untuk berjalan pada koridor yang ada. Itulah bahasa. Bukankah bahasa menurut Haidegger merupakan tempat tinggal manusia (The house of being). Tempat tinggal rakyat yang bebas mengungkapkan segala kebenaran dan realitas yang ada.

Maaf tulisan saya kali ini mungkin pendek, tapi itulah proses dan saya saat ini sedang pada tahap itu. Dengan proses maka dapat memberi kita kesalahan dan juga pelajaran untuk menjadi yang lebih baik dan lebih baik lagi sampai menjadi yang terbaik. Terimah kasih bagi orang-orang yang telah membaca blogger saya.
                                                                                                                         

                                                                                                 La ode Halaidin
                                                                                            Kendari 16 Mei 2015

07 Mei 2015

Tradisi Ataukah Hanya Pelampiasan Kesenangan!

                                                                             Ilustrasi

Suda empat tahun saya tinggal ngekos di depan kampus Universitas Halu Oleo. Namun itu suda empat tahun juga saya menyaksikan setiap kali mahasiswa selesai di wisuda, sorenya sampai pagi mereka seperti melakukan kegiatan pesta, memutar musik dengan suara besar-besar sambil bernyanyi dan menenggak minuman-minuman keras.

Saya tak mengerti dengan semua itu. Apakah ini yang di namakan sebagai sebuah tradisi masyarakat kampus. Ataukah hanya bagian dari pelampiasan karena kesenangan mereka telah melalui masa-masa sulit pada saat kuliah atau kesenangan mereka karena telah berhasil menghadapi dosen-dosen yang ngiler yang membantai mereka pada saat ujian skripsi.

Entalah,….kalau mereka beranggapan demikian, saya kira itu hanya bagian dari kenangan pergulatan kita di dunia kampus dan setelah keluar kampus masaalah-masaalah yang akan kita hadapi mungkin sangat sulit. Kita hanya butuh penguatan diri untuk menghadapi dunia luar, butuh refleksi dan tak menganggap bahwa masa-masa sulit itu hanya di dunia kampus. Di dunia luar sana menunggu, kita hanya butuh sekuat seperti batu karang yang ada ditengah laut, biarpun diterjan ombak keras iya tak akan pernah goyah.

Jika kita melihat proses belajar mahasiswa-mahasiswanya sepertinya biasa-biasa saja. Tidak seperti di kampus-kampus terbesar didalam dan luar negeri. Tak ada yang keluyuran keluar-masuk perpustakaan Universitas Halu Oleo. Karena memang miskin buku-buku bahan bacaan (nanti lain kali saya akan tunjukan foto-fotonya, rak-rak atau lemari yang tak mempunyai buku bacaan apapun). Tak pernah juga saya dapatkan mahasiswa-mahasiswanya sekedar duduk-duduk dibawah pohon yang di temani sebuah buku, kemudian tenggelam dalam bacaannya. Karena kebanyakan mahasiswa maupun mahasiswinya bukanlah buku-buku yang dibawanya tapi make-up, Aipet dll.

Kemarin tanggal 4 dan 5 Mei 2015 ada acara wisuda di Universitas Halu Oleo. Saya menyaksikannya dengan penuh semangat, melihat senior-senior telah di wisuda. Saya mengucapkan selamat kepada teman-teman itu dan mereka tersenyum bangga dan penuh semangat.

Tepat tanggal 5 sore hari, kemudian saya sempatkan diriku untuk ke fakultas ekonomi. Ehh…ada teman yang panggil untuk datang ke acaranya. Teman ini mengatakan bahwa acarnya cuman makan-makan, kemudian saya mengiyakan saja tetapi dalam hati, saya tak akan datang karena saya suda menduga pasti pesta miras lagi sambil karaokean.

Tak ada hal lain, selain pesta miras sambil karaokean. Selama saya melihat acara selesai wisuda sahabat-sahabatku dalam kurung waktu empat tahun ini semuanya sama, saat malam pasti miras dan karaokean. Saya tak suka akan hal ini dan saya selalu menghindari acara-acara seperti ini. Dan yang paling mengerikan lagi, ketika mabuk malah baku hantam sama-sama mereka. Wwaaa….kan lucu ini….tapi itulah orang mabuk segala kemungkinan pasti akan terjadi. Dan orang-orang Indonesia timur memang miras di nomor satukan ketika ada momen acara seperti ini.

Malam ini, di samping kiri-kanan asrama bunyi dentuman music itu sangat menganggu dalam gendang telinga saya. Menghindari panggilan teman-teman, malah di samping asrama ternyata ada yang pesta miras dan karaokean. Tak kenal laki-laki atau perempuan mereka berkumpul sama-sama menikmatai acara pesta miras itu. Hhhmmm….sepertinya ini mungkin suda bagian dari tradisi sekaligus pelampiasan kesenangan itu…


                                                                                                  La ode Halaidin
                                                                                              Kendari 6 Mei 2015
Saat tengah malam menunggu pertandingan Bola Liga Champion Barcelona VS Bayern Munchen dan yang saya dukung adalah Barcelona.