Ilustrasi Gambar dari Bbm.com
Tulisan ini hanya bagian dari curhatan
hati saya yang kian hari kian tebal memenuhi benakku, dan otakku terus berdenyut,
membuat saya berpikir keras mempertanyakan bagaimana kehidupanku kedepannya.
Meskipun kita tahu bahwa masa depan memang abu-abu dan tak nampak tapi kita
bukan berarti tidak diperbolehkan menyusun anak-anak tangga itu untuk menuju ke
bintang kehidupan.
Masa
depanku. Mungkin kebanyakan orang yang seusia denganku, yang sekarang lagi
dalam proses atau tahap untuk melajukan diri ke kerikil-kerikil kehidupan yang
sangat tajam, kejam, dan susah akan mempertanyakan hal yang sama. Bagaimana
masa depanku kedepannya? Apakah akan lebih baik atau buruk?. Atau pertanyaan
lain, setelah menyelesaikan study, apa yang perlu saya lakukan? Cari kerja,
ataukah melanjutkan study kejenjang yang lebih tinggi lagi. Tentu masih banyak
lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dilontarkan mengenai masa depan itu.
Yuupsss…marilah
kita kaji pertanyaan-pertanyaan itu dengan seksama. Tentu pertanyaan diatas
adalah pertanyaan penulis pribadi yang sedang membunca dan bergejolak dalam
benakku.
Saya selalu percaya
bahwa masa lalu akan menjelaskan masa depan. Percaya atau tidak, suka atau
tidak suka apa yang kita tekuni, apa yang menjadi kegemaran, hobi dan keahlian
kita hari ini akan menjadi cermin untuk masa depan. Sejarah peradaban juga
seperti itu. Sejarah peradaban masa lalu juga akan menjelaskan sejarah peradaban
masa kini. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya skill atau
kegemaran? Apakah dia akan mempunyai cermin untuk masa depannya! Jawabannya: jika
dia tidak berusaha merubah dirinya, untuk mempunyai skill atau mengasa keterampilannya
maka kemungkinan besar cermin itu akan buram dan tak akan dapat melihat bayangannya.
Intinya adalah minat dan hasrat kita hari ini. Untuk itu disini yang kita
perlukan adalah sesuatu pembelajaran yang tiada henti.
Tak perlu merendahkan
diri, selalu melihat ke-bawah dan tak pernah melihat ke-atas. Menyerahkan
segalanya ke-maha yang kuasa tanpa mau berusaha dan bekerja keras untuk
mewujudkan mimpi-mimpi itu, merupakan hal yang konyol.. Rezeki memang Tuhan
yang tentukan, tapi Tuhan melihat usaha, keikhlasan, kesabaran, dan kerja keras
kita lalu memberikan rezekinya yang terbaik. Tuhan selalu hadir ketika
seseorang melakukan perbuatan baik, keikhlasan untuk memperbaiki diri walaupun
sebentar. Tuhan juga hadir ketika keindahan itu mencekam. Bukankah Tuhan tak
dapat merubah nasib seseorang, jika bukan kita sendiri yang mau merubahnya. Kita
sesekali untuk menengada keatas, bahwa kehidupan menyimpan berbagai misteri
yang bahkan manusia pun tak dapat untuk hanya sekedar mendeteksi misteri itu.
Adalah sudah menjadi
kewajaran jika semua orang mengidamkan masa depan yang lebih baik atau sukses,
lebih mapan (bergemilang materi), labih bahagia dan yang lebih-lebih lagi. Namun
ukuran untuk menjelaskan semua itu tentu sangat berbeda-beda. Apa yang menjadi
ukuran sesoarang untuk menjadi orang sukses? Bergelimang harta atau tidak,
namun dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Tentu esensi dari kesuksesan
adalah kerja keras bukan seseorang yang seperti menunggu rezeki turun dari
langit atau menunggu keajaiban malam untuk menurunkan kesuksesan.
Bagiku, sukses merupakan
wadah untuk meluangkan diri dengan penuh kerendahan hati, dengan kerja keras, yang
kemudian terus-menerus bertransformasi demi memetik hasil dari bibit yang telah
ditanaminya. Sukses akan bertranformasi menjadi bahagia. Sukses dan bahagia bagiku
sangat sederhana, yaitu jika berhasil mendaki puncak tertinggi gunung Everest.
Hehehe…tinggi sekali mimpiku….tapi itulah mimpi yang nanitnya akan berubah
menjadi suatu kekuatan untuk kemudian menjinakan hal-hal yang dianggap mustahil
tersebut.
Sukses bagi orang-orang
tertentu memang sederhana. Sukses jika apa yang di impikannya telah berhasil
dipetik kemudian diluapkannya kepada banyak orang. Seperti seorang penulis
misalnya akan mengatakan dirinya sukses dan bahagia jika dia telah berhasil
menyusun atau merangkaikan kata-katanya diatas kertas meskipun itu tak setebal
seperti karya novel J.K Rowling tentang
Harry Potter atau The Casual Vacancy lalu diterbitkan
dalam sebuah buku. Buku-buku itu lalu disebarkan untuk dijual di tokoh-tokoh
buku meskipun kadang omzet penulis itu sangat kecil jika di bandingkan dengan
penerbit. Dan sebagian penulis juga kadang tak akan mempersoalkan hal itu.
Karena tujuan sebagian penulis bukan untuk menjadi orang kaya tapi hanya
sekedar menebar benih gagasan-gagasannya melalui pemikirannya dan kerja
kerasnya.
Lain halnya dengan
orang-orang kapital bahwa dirinya akan dikatakan sukses apabila dapat
menghasilkan uang yang bernilai ratusan juta rupiah tiap harinya. Lalu dia akan
mengatakan dirinya bahagia, mempunyai status social yang tinggi dll. Sah-sah
saja jika seseorang mengatakan hal demikian karena manusia merupakan mahluk
kapital (baca: mahluk yang kesehariannya hanya untuk mengumpulkan uang/kekayaan)
karena seperti dalam nadu lagu dangdut “Ada
uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang”. Namun jika hidup kita
hanya mengisinya dengan hal-hal seperti itu, bisa saja kita terjebak dalam
hal-hal yang nista, rakus, dan segala hal bisa kita halalkan.
Saya teringat dengan
bacaan saya tentang mitos Sisyphus yang dikisahkan oleh Albert Camus dalam buku
The Myt Of Sisyphus bahwa Sisyphus setiap hari terus melakukan pekerjaan yang
tak bermakna. Mendorong batu raksasa yang diatas puncak lalu setelah tiba
dipuncaknya batu tersebut akan menggelinding jatuh kebawah. Hal ini akan
dilakukan terus menerus mendorong batu raksasa itu, lalu menggelinding kebawah
lalu didorong lagi. Menurut Albert Camus fakta yang menarik dari kisah Sisyphus
adalah bahwa manusia kadang melakukan seperti apa yang dilakukan Sisyphus.
Tentu disini saya ingin
mengatakan bahwa tak seharusnya kita menjadi mahluk capital yang hanya
mengumpulkan kekayaan tanpa berkarya untuk kemudian menebar benih-benih gagasan
itu. Berkarya bisa jadi akan menjadi kekuatan yang akan menggairahkan dan akan
punya makna untuk diri sendiri dan juga orang lain. Lihatlah penulis seperti sastrawan
sekaligus budayawan Pramoedya Ananta Toer tak bergelimang harta namun
bergelimang ide-ide dan gagasan-gagasan. Dan tentu mewariskan suatu pengetahuan
tentang masa lalu kepada jutaan manusia dan bukan kekayaan. Sama seperti halnya
Sisyphus meskipun melakukan pekerjaan yang sama mendorong batu raksasa di atas
puncak namun dengan batu yang berbeda, itu mungkin bermanfaat baginya dan akan
menjadi kekuatan dan motivasi buat dirinya. Dan orang lain dapat menangkap
makna dari itu yaitu bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang terlupakan dan bahkan
yang sulit dipahami orang yakni kesungguhan dan kerja kerasnya.
Hidup memang pilihan,
begitulah ungkapan oleh orang-orang di lingkungan sekitar kita. Hidupku adalah
hidupku dan bukan hidup seseorang dan bukan juga hidupmu. Kesuksesan hidupku
itu tergantung pada diri saya sendiri. Orang lain merupakan jembatan penghubung
untuk mencapai daratan satu ke-daratan yang lain. Kita hanya perlu membangun
jaringan, lalu mengkoneksikan diri kita dengan jaringan orang lain. Dan jika
kita ingin memenanginya maka kita harus memperjuangkanya. Seperti kata
Friederich Schiller bahwa “hidup yang tidak di perjuangkan, tidak layak untuk
di menangkan”. Jika kita ingin merubah nasib kita berarti kita harus
memperbaiki diri, merubah diri kita dengan apa yang menjadi kelebihan kita
sekarang. Menghindari kelemahan dan terus mencoba mendorong kelebihan itu. Intinya
kita harus terus memberikan saluran atas kelebihan dan kekurangan itu. Kalau
memperbaiki diri, iya memperbaiki diri tak perlu menunggu orang untuk datang
lalu memperbaiki diri kita. Karena memang tak akan ada.
Banyak orang-orang
tertentu yang mengeluh dalam hidupnya karena tak sesukses orang lain dan
hidupnya seperti itu-itu saja. Keterpurukan dalam ekonomi, pekerjaan, uang, dll.
Orang-orang ini selalu memberikan jawaban yang pasrah bahwa inilah nasib saya,
seolah memasrahkan semuanya bahwa inilah hidup. Kita akan berusaha pun, toh
saya suda ditakdirkan oleh Tuhan seperti ini. Inilah jawaban-jawaban terburuk
yang pernah saya dengar kepada orang-orang, lalu tanpa berusaha dan bekerja
keras untuk merubah haluan hidupnya. Nasib yang tentukan adalah diri kita
sendiri, lalu setelah nasib itu sudah kita genggam atau kita melepaskannya baru
akan menjadi takdir. Tugas kita adalah bagaimana menjaga dan bertanggung jawab
terhadap takdir tersebut.
Meskipun kadang, impian
dan yang kita capai selalu bersebrangan. Yang kita impikan misalnya ini, namun
yang kita dapatkan adalah itu. Itulah bagian dari misteri kehidupan ini. Yang
terpenting, kita suda bekerja keras dan memberikan yang terbaik kepada impian
itu.
Seandainya nasib adalah
manusia yang bernyawa, yang dapat memberikan jawaban tentang kehidupan saya
kedepannya maka aku akan menanyainya. Seperti apakah nasib hidupku kedepannya?
Seandainya nasib dapat menentukan apa yang terbaik buatku! maka saya akan
mengatakan berikanlah nasibmu yang terbaik, karena saya tak menginginkan
kehidupan yang susah dan buruk di bumi ini. Tapi itulah nasib sesuatu yang
misteri. Kita tak tahu. Semua tergantung pada diri kita sendiri. Kita hanya
butuh ketegaran, dan terus bekerja keras untuk mengubah nasib kita hari ini.
Tulisan ini merupakan
bagian dari motivasi buat diriku sendiri dan bukan untuk orang lain bagi yang
tidak termotivasi. Karena pada dasarnya saya berada pada dunia ciptaanku yaitu
tulisan. Seperti yang dikatakan oleh Hosillos (1997,237) bahwa setiap “Penulis
itu berada dalam ciptaannya”.
La
Ode Halaidin
Kendari,
25 Mei 2015