18 Desember 2019

PILKADES

Warga dan mahasiswa Muna Barat dipelabuhan Raha.
SAAT TIBA di pelabuhan kapal malam Kendari untuk pulang ke Muna, saya merasa tercengang melihat suasana di pelabuhan itu. Sangat ramai, antrian tiket cukup panjang. Yang membuatku heran adalah membludaknya penumpang kapal malam. Yang saya tau, biasanya membludaknya penumpang terjadi pada saat-saat momen Pilkada, bulan puasa dan lebaran.
Menyaksikan mereka, membuatku ingin bertanya pada salah satu penumpang. Saya dekati beberapa orang, lalu bertanya. Kepulangan para mahasiswa/i itu ternyata karena ada momen Pilkades di Muna Barat. Mereka ingin menyalurkan hak politiknya untuk memilih kepala desa, di desanya masing-masing. Pikirku, antusiasme warga untuk pemilihan kepala desa ternyata sudah cukup besar. Berbeda dengan lima belas atau dua pulu tahun lalu, antusiasme warga terhadap Pilkades sangat kecil.
Yang menarik, tentu bukan saja antusiasme yang besar, namun jumlah kandidat calon-calon kepala desa yang ikut berkompetisi. Rata-rata kandidat yang mencalonkan diri di setiap desa, terdapat paling banyak lima Cakades. Salah satu mahasiswa mengatakan kepada saya bahwa, banyaknya Cakades yang ikut berkompetisi tak terlepas dari adanya dana desa. Tak main-main, setiap desa mendapat kucuran dana desa sekira satu miliyar per desa dari APBN. Jika dulu sangat jarang yang ingin jadi kepala desa, kini semakin banyak peminat.
Bagi saya ini sangat wajar, jika saat ini banyak orang yang ingin jadi kepala desa. Saya tak ingin memberi stereotip kepada mereka yang mencalonkan diri kepala desa karena tergiur dengan dana desa. Tentu, masih banyak orang yang berpikiran rasional, mencalonkan diri karena ingin memanfaatkan dana desa untuk kesejahteraan warganya. Tapi tak salah juga jika sebagian warga mengeneralisasi, mereka yang mencalonkan diri kepala desa hanya karena mencari pekerjaan atau tergiur karena besaran dana desa.
Di kapal malam itu, saya coba mewawancarai beberapa orang terkait kepulangannya di desanya masing-masing. Apakah diberi uang transportasi oleh salah satu Cakades? Beberapa yang saya temui membenarkan, mereka pulang karena diberi uang transportasi. Tak tanggung-tanggung, ada calon kepala desa yang mengeluarkan uang sejumlah ratusan ribu per orang. “Salah satu calon kepala desa di desaku, relah mengeluarkan uang lima ratus ribu per orang demi memenangi Pilkades, kata mahasiswa itu. Tapi bukan Cakades yang saya pilih” mahasiswa itu melanjutkan.
.
Saya benar-benar tercengang mendengar cerita itu. Tentunya terlepas apakah itu fakta atau bukan, itu bisa diperdebatkan. Namun, informasi itu tentu menjadi pertanyaan mendasar kita, mengapa seorang calon kepala desa rela mengeluarkan uang sebanyak itu? Bahkan, ada yang mengeluarkan uang sekitar ratusan juta rupiah.
Tentu bagi saya ini memprihatinkan. Ongkos politik kian mahal mulai dari pemilu, pilgub, pilbup, pilwakot sampai pilkades. Demi memenangi kompetisi, masing-masing calon termasuk calon kepala desa, harus mengeluarkan ongkos politik yang begitu banyak. Di sisi yang lain, masyarakat juga disebut-sebut lebih proaktif, tak malu-malu lagi untuk meminta uang kepada para calon.
Inilah pola pragmatisme-transaksional yang banyak terjadi dilapangan politik. “Ada uang, saya pilih. Tak ada uang, saya pilih yang sedikit uangnya.” Atau jika tak menyukai calon yang menghambur-hamburkan uang akan mengatakan begini “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya” dan lain sebagainya.
Pola-pola seperti ini bukan lagi hal yang tabu, untuk kita temukan dilingkungan masyarakat kita. Coba sediakan waktumu, berbaur dengan warga lalu tanyakan siapa yang mereka pilih. Sebagian akan mengatakan, “Saya akan memilih yang ada uangnya”. Antara masyarakat dan calon, sudah sama-sama memiliki keberanian untuk memberi dan meminta. Yang punya banyak uang, tentu memiliki peluang besar untuk memenangi kompetisi. Yang irit uang, jangan berharap banyak untuk menang. Sementara yang keluar ongkos banyak, tetapi tetap kalah itu hanya sebuah anomali dalam politik.
.
Dalam demokrasi, “kaum penjahat” dan “kaum orang baik” memang punya kesempatan yang sama dalam berebut kekuasaan. Dua-duanya bisa jadi pemimpin. Kata Nurcholish Madjid, bahkan “setan gundul” pun bisa jadi pemimpin. “Kaum penjahat” dan “kaum orang baik” dua-duanya karena dipilih oleh orang banyak. Namun, tak menutup kemungkinan, “kaum orang baik” tak berubah jadi “kaum penjahat.” Semua bisa berubah, tergantung motif dan kepentingan disekelilingnya.
Hal ini bisa terjadi pada semua tingkatan kepemimpinan, baik Presiden, Gubernur, Bupati, Wali kota dan Kepala Desa. “Kaum penjahat” dan “kaum orang baik’ bisa berkuasa pada semua tingkatan kepemimpinan itu. Potret kepala daerah yang terjerat korupsi adalah cerminan dimana “kaum penjahat” itu bisa berkuasa karena sistem demokrasi liberal seperti sekarang ini. Korupsi itu bisa jadi karena telah mengeluarkan ongkos politik yang mahal pada saat pencalonan.
Dalam kepemimpinan tingkat desa atau kepala desa, juga bisa melahirkan “kaum penjahat” dan “kaum orang baik.” Sudah banyak fakta dimana kepala desa menjadikan dana desa sebagai lahan basah untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015- 2018 sudah ada 214 kepala desa yang terjerat korupsi.
Dengan ongkos politik yang semakin mahal dalam pemilihan kepala desa, bagi saya, ini justru akan semakin memperbesar jumlah kepala desa yang terjerat korupsi. Para kepela desa yang terpilih, tentu akan dengan mudah memanfaatkan kuasanya untuk menilap dana desa. Apalagi dengan besarnya dana desa yang dialokasikan ke setiap desa, tentu itu dapat membuka celah kepala desa untuk melakukan korupsi. Dengan berbagai motif, mereka menginginkan uang balik dan untung.
Begitulah wajah politik kepemimpin kita. Kepala daerah dan kepala desa sama, sama-sama dipilih oleh orang banyak dan dengan ongkos yang banyak. Yang saya tidak sepakat bukan soal dipilih oleh orang banyak tapi soal politik uang. Jika dulu politik uang hanya banyak terjadi dalam pemilu atau pemilihan kepala daerah, kini terjadi dalam pemilihan kepala desa. Bisa jadi, para calon kepala desa belajar dari pemilu atau pilkada dalam memenangi kompetisi secara tidak sehat. Siapa yang tahu!
Pada akhirnya, budaya politik uang ini sangat sulit untuk dihilangkan, karena telah mengakar kuat. Juga dipengaruhi oleh calon-calon yang tak memiliki program, sehingga politik uang telah menjadi salah satu instrument untuk memenangi kompetisi. Ke depan, bisa jadi korupsi dana desa akan semakin masif terjadi karena dipengaruhi oleh ongkos politik Pilkades ini. Semoga saya salah.
                        Muna, 18 Desember 2019

0 komentar:

Posting Komentar