Akhirnya,
saya kembali melihat wajah bahagia Ibu untuk kedua kalinya. Setelah Ibuku bangga melihat
saya berhasil diwisuda, kini, Ibu kembali tersenyum bahagia saat Nini adikku juga
diwisuda. Saya melihat raut muka Ibu yang mengembang, melukiskan senyum bak
mentari pagi bersinar kala melihat anaknya berhasil dia sekolahkan. Semua Ibu
lalui dengan tak mudah. Dengan tubuhnya yang rentan sakit dan kurus, Ibu terus
berusaha agar anak-anaknya punya pendidikan agar kelak kehidupannya jauh lebih
baik.
Masih tersimpan
di ingatan ucapan Ibu sewaktu saya menelponya, lima tahun yang lalu, saat adikku
Nini akan menamatkan sekolah SMA-nya. Di ujung telfon itu, suara Ibu terdengar
pasrah, tak bisa berbuat apa-apa. Ibu bilang, adikku Nini tak bisa kuliah
karena tak ada biaya. Ibu sudah tak kuat lagi untuk mencari uang. Bapak agak
tak peduli dengan pendidikan kami. Sementara saya, belum juga mendapatkan pekerjaan
untuk membiayai adikku kuliah.
“Hala,
Nini tak bisa kuliah. Biarkan dia hanya sampai tamat SMA. Saya sudah tak ada
uang lagi untuk membiayainya. Saya juga sudah tak kuat untuk cari uang. Kamu
tahu sendiri, semenjak kamu kuliah bapakmu sudah tak peduli dengan pendidikan
kalian berdua”, ucap Ibu kala itu. Mendengar ucapan Ibu, tak terasa ada air
mata jatuh dan membekas di ujung mataku. Saya begitu sedih juga merasa ringkih karena
belum bisa berbuat apa-apa untuk Ibu.
Saya mengingat
usia Ibu dikampung yang kian sepuh. Rambutnya mulai memutih. Ibu sudah nampak
tua. Waktu saya kuliah, bukan sekali atau dua kali mendengar Ibu sakit-sakitan.
Sering. Bahkan saya sering pulang demi merawat Ibu dan membantu mengelola kebun
yang ada.
Dengan suara
datar, saya mencoba menguatkan Ibu. Saya mencoba memberi semangat kepada Ibu bahwa
semua masalah pasti ada jalan keluar. Saya katakan, Nini harus kuliah. Saya akan
membicarakannya sama Kakak pertama sampai kelima untuk membantu Nini kuliah. Dengan
begitu, Ibu tidak akan merasa terbebani. Saya juga akan berusaha mencari uang lalu
membantu membiayai untuk kuliahnya.
Mendengar
penjelasanku, Ibu mengangguk dan menyetujuinya. Ibu kembali menemukan
semangatnya. Ibu begitu paham, bahwa keluarga kami begitu miskin. Diantara 7
bersaudara, hanya saya sendiri yang sarjana. Ibu tidak ingin melihat saya dan adikku
seperti Kakaku yang lain. Untuk sedikit memperbaiki kehidupan kami, salah satu
cara yang juga Ibu pahami, adikku harus kuliah.
Sama
seperti semenjak saya kuliah, Ibu terus membanting tulang untuk membiayai adikku.
Alasan Ibu, ia tak ingin melihat anaknya putus kuliah. Tak mungkin berharap
secara penuh pada Kakak yang lain, sebab mereka sudah menikah dan punya anak. Dengan
keterbatasan itu, Ibu mengakali dengan menanam cabai dan sayur-mayur. Kadang Ibu
menjual kelapa, jagung, kacang tanah, keladi dan terong.
Sebagai
petani, yang Ibu lakukan hanya berjualan karena merupakan sumber pendapatan
satu-satunya. Hasil pertanian kecil-kecilan itu, Ibu jual lalu uangnya dikumpul
sedikit demi sedikit dengan baik. Itulah Ibuku yang sangat ahli menata
keuangan. Saat saya dan Kakaku yang lain memberikan adikku sedikit uang, Ibu
juga ikut mengirimkannya. Kata Ibu, ada sedikit rejeki dari hasil jualannya dan
harus dikirimkan kepadanya. Betapa bangganya saya punya Ibu yang sepintar itu. Ibuku
sangat luar biasa.
Saya dan
adikku memang menjalani kuliah yang tak muda. Orang tua kami bukan pegawai
negeri. Bapak dan Ibu juga tak punya lahan kebun yang cukup luas. Mereka bertani
secara tradisional dan berpindah-pindah tempat. Penghasilan tak tentu tiap
bulannya. Kadang ada uang penghasilan dari kebun untuk disimpan, kadang juga
tidak ada sama sekali. Dari situlah Bapak menolak jika saya dan adikku untuk kuliah.
Bapak merasa tak akan mampu membiayai kami untuk kuliah. Tapi Ibu selalu menyimpan
rasa optimis bahwa segala kesulitan itu bisa ia lewati. Ibu selalu bersikeras
agar saya dan adikku tetap menempuh pendidikan S1.
Ditengah
situasi sulit seperti itu, saya dan adikkku tetap menyayangi Bapak. Saya rasa,
Bapak juga wajar jika tidak menyetujui ketika saya dan adikku mengutarakan
keinginan untuk kuliah. Bapak memahami dirinya yang sudah sepuh, tidak kuat lagi
untuk berkebun. Bapak sudah tak bisa lagi menghasilkan sedikit demi sedikit uang.
Saya dan adikku cukup memahaminya. Bapak juga kala itu sudah mulai sakit-sakitan.
Berkat Ibu
yang kerja membanting tulang, saya dan adikku berhasil menjadi sarjana. Juga tak
terlepas atas bantuan Kakak, yang dengan rela dan ikhlas ikut memberikan rezekinya
untuk kami. Ibu dan Kakak-Kakakku adalah orang-orang hebat. Ibuku adalah mata
air, yang selalu melimpahkan kasih sayangnya pada saya dan adikku yang tak
pernah putus. Ibuku adalah titisan sang pencipta yang telah melahirkan dan membesarkanku
dengan segala upaya, meski penuh dengan keterbatasan. Ibu telah mengajarkan bagaimana
memaknai arti cinta yang sesungguhnya, tanpa menuntut balas. Ibu adalah seseorang
yang penuh cinta. Ia telah memanifestasikan hidupnya untuk kami dengan penuh
cinta.
Ibu
sangat berbahagia dengan keberhasilannya karena telah mengantarkan saya dan
adikku menyelesaikan pendidikan. Ia telah melakukan banyak hal untuk kami. Kadang
orang-orang dikampung merasa tidak percaya, bagaimana Ibu yang hanya seorang
petani bisa membiayai kami untuk kuliah. Uang tak ada. Biaya kuliah hanya
bersumber dari hasil kebun yang tak seberapa. Itulah kehebatan seorang Ibu. Do’anya
bisa menembus lapis-lapis langit, hingga sang pemberi rezeki selalu membukakan
jalan.
Ditengah
melihat kebahagian Ibu saat Nini diwisuda, saya mengingat diriku yang kian kerdil.
Semenjak diwisuda, saya belum bisa memberikan apa-apa untuk Ibu. Saya masih
merasa ringkih, belum bisa berbuat banyak untuk kembali melukiskan senyum di
wajah Ibu. Tapi saya berjanji, kelak saya akan kembali melukis senyum itu lebih
bahagia dari pada sebelumnya. Saya tak ingin melihat Ibu kembali bekerja
membanting tulang, meneteskan keringat peluh di badan dan juga air mata. Cukuplah
segala kesedihan itu Ibu tanggung. Kini, saatnya anakmu akan membahagiakanmu.
Kendari, 7 Agustus 2019