Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

25 Agustus 2019

Saat Mengikuti Pelatihan Enumerator Dan Jurnalis Di Makassar


“Rejeki anak sholeh.” Begitu kata sahabat, saat mendengar saya berangkat ke Makassar untuk mengikuti pelatihan enumerator dan jurnalis. Sahabat itu mengetahui bahwa saya hanya pengurus perkumpulan penikmat konau dikampung halaman. Makanya, dia juga merasa kaget saat saya mengikuti pelatihan itu, pada hal tak ada hubungannya sama sekali.
Saya sungguh beruntung bisa mengikuti pelatihan itu. Sebagai enumerator dan pernah magang jadi jurnalis di salah satu media di Kendari, saya bisa mendapat dua ilmu sekaligus, yakni bagaimana tehnik melakukan wawancara untuk kebutuhan survey lapangan dan bagaimana cara bertemu narasumber melakukan wawancara untuk kebutuhan berita. Kata narasumber pelatihan itu, enumerator dan jurnalis sama-sama pekerjaan lapangan, tak banyak perbedaan saat hendak melakukan wawancara pada responden dan narasumber.
Pada kesempatan itu, saya hadir sebagai peserta enumerator. Bersama tiga orang sahabat, kami mewakili Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo. Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia itu, saya bertemu dengan banyak peneliti dan jurnalis lokal di Sulawesi Tenggara. Kami sharing banyak hal, membincangkan pengalaman-pengalaman dalam penelitian lapangan. Bersama para jurnalis, saya belajar banyak bagaimana menulis sebuah berita yang baik. Saya sangat banyak belajar dan berguru dari mereka.
Yang mengesankan buat saya adalah saat mendengar pemaparan dari narasumber media ternama, Tempo. Namanya Yandrhie Arvian. Di Tempo, dia menjabat sebagai managing editor for economic and business. Pada permulaan presentasinya, dia membawakannya dengan menarik.
Dia menceritakan siapa saja narasumber yang gampang diwawancarai. Baginya, wakil Presiden Jusuf Kalla adalah orang yang gampang untuk diwawancarai. Para jurnalis tidak kesusahan saat ingin bertemu dengannya. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bisa melayani jurnalis dengan pertanyaan apa saja. Kata Yandrhie, pertanyaan apapun yang dilayangkan jurnalis, Jusuf Kalla pasti menjawabnya. Bahkan disuruh wartawan untuk pemotretan ditengah hujan dengan memakai payung, dia mau.
Menteri yang paling susah untuk ditemui jurnalis Tempo saat ini, baginya adalah Rini Soemarno. Saat pertama menjabat menteri BUMN , Rini Soemarno sangat welcome dengan jurnalis. Namun, setelah majalah Tempo mengulik skandal korupsi pelindo, kereta cepat, jurnalis tidak pernah bertemu dengan Rini Soemarno. Dia seperti menghindar, tak mau melayani jurnalis untuk menjadi narasumber.
Jika Jokowi bisa diwawancarai tergantung mood, Setia Novanto justru lain hal. Novanto adalah narasumber yang paling genit. Bahkan ditengah kasus korupsi E-KTP yang menimpahnya, dia tetap bersedia untuk diwawancarai. Pejabat biasanya, jika dikejar jurnalis seputar kasus yang tengah dihadapi, mereka memilih menghindar. Novanto justru tidak, bahkan setelah kejadian kontroversial “tabrak tiang listrik” dia tetap seperti biasa, menjawab setiap pertanyaan para jurnalis.
**
Saya menyaksikan para peserta begitu antusias mendengar ceritanya. Bahkan sebelum dia masuk pada materi presentasi, para peserta sudah melayangkan beberapa pertanyaan. Misalnya terkait dengan perlindungan jurnalis lokal dan pusat. Juga konflik antara Tempo dan pemilik Arta Graha, Tomy Winata.
Sayang, dia tak banyak bercerita tentang hal itu karena keterbatasan waktu. Dia sudah harus membawakan materi presentasinya untuk peserta. Yang saya suka adalah dia bisa membagi waktunya, tak melulu soal presentasi tentang prinsip-prinsip in-depth interview, tapi menyelipkan cerita pengalaman yang sesuai dengan materinya. Bagi saya ini gaya presentasi yang menarik, tak membosankan dan selalu mencairkan suasana.
Dia lalu mengajak peserta berdiskusi banyak setelah selesai acara kegiatan. Entah para jurnalis berdiskusi dengannya atau tidak saya kurang tahu. Saya lupa meminta kontak para jurnalis agar mengabarkan jika mereka bertemu dengannya. Lagian, saya siapa. Saya kan hanya mengurusi konau dikampung halaman. Hikss…
                                                                               Muna, 25 Agustus 2019

15 Agustus 2019

Bersama Nur Afif Di Makassar

Sumber foto: Irmayanti
Sudah dua hari saya berada di Makassar. Kegiatan pelatihan belum juga usai. Sudah tidak sabar rasanya, saya ingin berkeliling di kota Makassar, melihat bagaimana pesatnya pembangunan di kota Daeng itu. Sehari sebelumnya, saya berusaha menghubungi sahabat­-sahabat di kampung yang kuliah di Makassar, meminta untuk mengajak saya berkeliling menyusuri kota Anging Mammiri. Hasilnya nihil. Rupanya mereka sedang libur dan pulang kampung.
Hari itu, saya membatalkan semua niat untuk berkeliling kota Makassar. Pikirku, ya sudah, nanti di lain kesempatan saja. Saya memilih fokus untuk mengikuti kegiatan pelatihan itu.
Di Makassar saya tak punya banyak teman. Beberapa teman, memiliki kesibukan. Saya sungkan menghubungi mereka, sebab merasa tau diri akan menganggu. Lagian saya hanya seorang pengangguran. Saya merasa tak enak saja, meminta mereka untuk menemaniku menyusuri kota Makassar.
Beruntung, saya punya sahabat kuliah di Kendari dulu yang tinggal di kota Makassar. Namanya Nur Afif atau biasa saya panggil Ipo. Saat saya mengikuti pelatihan, ia ternyata mengomentari statusku di Facebook. Ia menanyakan keberadaanku di Makassar. Saya sebut saja, lagi menginap di hotel Novotel. Lalu saya mengajaknya keluar untuk ngopi-ngopi.
Ipo, demikian ia disapa, sangat bersedia menemaniku, mengantarku keliling di kota Makassar. Bersama sahabat-sahabat saya yang lain, ia siap mengantar kami kemana pun kami mau. Sontak saja, sahabat-sahabatku menyebut ingin ke Mall Nippah, Pantai Losari hingga ke Mesjid 99 kubah.
Sepanjang perjalanan, kami saling bertanya, kesibukan apa yang kami kerjakan semenjak diwisuda. Ipo mengaku, semenjak diwisuda ia sibuk mengurus usaha jual-beli mobil bekas Omnya. Sementara saya, sampai saat ini masih melakoni sebagai pengangguran di kota Kendari.
Saya begitu senang mendengar cerita Ipo, bagaimana ia mengurus usaha jual-beli mobil Omnya. Sebagai orang yang berlatar belakang sarjana ekonomi, sekiranya ia pantas melakoni pekerjaan itu. Ia mengurus usaha besar. Bahkan beberapa mobil yang ia beli, berasal dari Kalimantan juga ada yang dari Kendari. Mobil-mobil yang ia beli adalah mobil bekas tambang. Jika mobil yang di datangkan dari Kalimantan tidak rusak parah, ia bisa memiliki keuntungan yang cukup besar, bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Saat ini, bahkan ada yang dari Kendari sedang memesan mobilnya.
Saat tiba di Mall Nippah, setelah memesan kopi, Ipo menanyakan bagaimana bisa saya ikut kegiatan pelatihan itu. Sontak saja, saya terkejut dan diam. Saya sedang memutar otak, bagaimana memulai penjelasan. Saya menyeruput kopi, lalu mengatakan bahwa sebenarnya saya tidak tahu mengapa diikutkan. Di Kendari, saya pengangguran. Di kampung, saya hanya mengurus Perkumpulan Penikmat Konau. Mungkin ini hanya sekadar rejeki anak sholeh. Hehehe....

                                                                       Makassar, 14 Agustus 2019

07 Agustus 2019

Bahagianya Ibu, Saat Adekku Nini Diwisuda

Akhirnya, saya kembali melihat wajah bahagia Ibu untuk kedua kalinya. Setelah Ibuku bangga melihat saya berhasil diwisuda, kini, Ibu kembali tersenyum bahagia saat Nini adikku juga diwisuda. Saya melihat raut muka Ibu yang mengembang, melukiskan senyum bak mentari pagi bersinar kala melihat anaknya berhasil dia sekolahkan. Semua Ibu lalui dengan tak mudah. Dengan tubuhnya yang rentan sakit dan kurus, Ibu terus berusaha agar anak-anaknya punya pendidikan agar kelak kehidupannya jauh lebih baik.
Masih tersimpan di ingatan ucapan Ibu sewaktu saya menelponya, lima tahun yang lalu, saat adikku Nini akan menamatkan sekolah SMA-nya. Di ujung telfon itu, suara Ibu terdengar pasrah, tak bisa berbuat apa-apa. Ibu bilang, adikku Nini tak bisa kuliah karena tak ada biaya. Ibu sudah tak kuat lagi untuk mencari uang. Bapak agak tak peduli dengan pendidikan kami. Sementara saya, belum juga mendapatkan pekerjaan untuk membiayai adikku kuliah.
“Hala, Nini tak bisa kuliah. Biarkan dia hanya sampai tamat SMA. Saya sudah tak ada uang lagi untuk membiayainya. Saya juga sudah tak kuat untuk cari uang. Kamu tahu sendiri, semenjak kamu kuliah bapakmu sudah tak peduli dengan pendidikan kalian berdua”, ucap Ibu kala itu. Mendengar ucapan Ibu, tak terasa ada air mata jatuh dan membekas di ujung mataku. Saya begitu sedih juga merasa ringkih karena belum bisa berbuat apa-apa untuk Ibu.
Saya mengingat usia Ibu dikampung yang kian sepuh. Rambutnya mulai memutih. Ibu sudah nampak tua. Waktu saya kuliah, bukan sekali atau dua kali mendengar Ibu sakit-sakitan. Sering. Bahkan saya sering pulang demi merawat Ibu dan membantu mengelola kebun yang ada.
Dengan suara datar, saya mencoba menguatkan Ibu. Saya mencoba memberi semangat kepada Ibu bahwa semua masalah pasti ada jalan keluar. Saya katakan, Nini harus kuliah. Saya akan membicarakannya sama Kakak pertama sampai kelima untuk membantu Nini kuliah. Dengan begitu, Ibu tidak akan merasa terbebani. Saya juga akan berusaha mencari uang lalu membantu membiayai untuk kuliahnya.
Mendengar penjelasanku, Ibu mengangguk dan menyetujuinya. Ibu kembali menemukan semangatnya. Ibu begitu paham, bahwa keluarga kami begitu miskin. Diantara 7 bersaudara, hanya saya sendiri yang sarjana. Ibu tidak ingin melihat saya dan adikku seperti Kakaku yang lain. Untuk sedikit memperbaiki kehidupan kami, salah satu cara yang juga Ibu pahami, adikku harus kuliah.
Sama seperti semenjak saya kuliah, Ibu terus membanting tulang untuk membiayai adikku. Alasan Ibu, ia tak ingin melihat anaknya putus kuliah. Tak mungkin berharap secara penuh pada Kakak yang lain, sebab mereka sudah menikah dan punya anak. Dengan keterbatasan itu, Ibu mengakali dengan menanam cabai dan sayur-mayur. Kadang Ibu menjual kelapa, jagung, kacang tanah, keladi dan terong.
Sebagai petani, yang Ibu lakukan hanya berjualan karena merupakan sumber pendapatan satu-satunya. Hasil pertanian kecil-kecilan itu, Ibu jual lalu uangnya dikumpul sedikit demi sedikit dengan baik. Itulah Ibuku yang sangat ahli menata keuangan. Saat saya dan Kakaku yang lain memberikan adikku sedikit uang, Ibu juga ikut mengirimkannya. Kata Ibu, ada sedikit rejeki dari hasil jualannya dan harus dikirimkan kepadanya. Betapa bangganya saya punya Ibu yang sepintar itu. Ibuku sangat luar biasa.
Saya dan adikku memang menjalani kuliah yang tak muda. Orang tua kami bukan pegawai negeri. Bapak dan Ibu juga tak punya lahan kebun yang cukup luas. Mereka bertani secara tradisional dan berpindah-pindah tempat. Penghasilan tak tentu tiap bulannya. Kadang ada uang penghasilan dari kebun untuk disimpan, kadang juga tidak ada sama sekali. Dari situlah Bapak menolak jika saya dan adikku untuk kuliah. Bapak merasa tak akan mampu membiayai kami untuk kuliah. Tapi Ibu selalu menyimpan rasa optimis bahwa segala kesulitan itu bisa ia lewati. Ibu selalu bersikeras agar saya dan adikku tetap menempuh pendidikan S1.
Ditengah situasi sulit seperti itu, saya dan adikkku tetap menyayangi Bapak. Saya rasa, Bapak juga wajar jika tidak menyetujui ketika saya dan adikku mengutarakan keinginan untuk kuliah. Bapak memahami dirinya yang sudah sepuh, tidak kuat lagi untuk berkebun. Bapak sudah tak bisa lagi menghasilkan sedikit demi sedikit uang. Saya dan adikku cukup memahaminya. Bapak juga kala itu sudah mulai sakit-sakitan.
Berkat Ibu yang kerja membanting tulang, saya dan adikku berhasil menjadi sarjana. Juga tak terlepas atas bantuan Kakak, yang dengan rela dan ikhlas ikut memberikan rezekinya untuk kami. Ibu dan Kakak-Kakakku adalah orang-orang hebat. Ibuku adalah mata air, yang selalu melimpahkan kasih sayangnya pada saya dan adikku yang tak pernah putus. Ibuku adalah titisan sang pencipta yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan segala upaya, meski penuh dengan keterbatasan. Ibu telah mengajarkan bagaimana memaknai arti cinta yang sesungguhnya, tanpa menuntut balas. Ibu adalah seseorang yang penuh cinta. Ia telah memanifestasikan hidupnya untuk kami dengan penuh cinta.
Ibu sangat berbahagia dengan keberhasilannya karena telah mengantarkan saya dan adikku menyelesaikan pendidikan. Ia telah melakukan banyak hal untuk kami. Kadang orang-orang dikampung merasa tidak percaya, bagaimana Ibu yang hanya seorang petani bisa membiayai kami untuk kuliah. Uang tak ada. Biaya kuliah hanya bersumber dari hasil kebun yang tak seberapa. Itulah kehebatan seorang Ibu. Do’anya bisa menembus lapis-lapis langit, hingga sang pemberi rezeki selalu membukakan jalan.
Ditengah melihat kebahagian Ibu saat Nini diwisuda, saya mengingat diriku yang kian kerdil. Semenjak diwisuda, saya belum bisa memberikan apa-apa untuk Ibu. Saya masih merasa ringkih, belum bisa berbuat banyak untuk kembali melukiskan senyum di wajah Ibu. Tapi saya berjanji, kelak saya akan kembali melukis senyum itu lebih bahagia dari pada sebelumnya. Saya tak ingin melihat Ibu kembali bekerja membanting tulang, meneteskan keringat peluh di badan dan juga air mata. Cukuplah segala kesedihan itu Ibu tanggung. Kini, saatnya anakmu akan membahagiakanmu.

                                                                         Kendari, 7 Agustus 2019