|
Sumber foto: Pribadi |
Nasi sudah jadi bubur. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk Asrun dan anaknya
Adriatma Dwi Putra (ADP), setelah nasibnya berada ditangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Asrun yang merupakan calon Gubernur Sulawesi Tenggara, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK bersama anaknya ADP dan sepuluh
orang lainnya pada Rabu dini hari. Langkahnya untuk memperebutkan kursi nomor
satu di Sultra, untuk saat ini dipastikan akan terhenti.
***
Siapa yang tidak mengenal Asrun dan keluarganya di daratan
Sulawesi Tenggara, terutama di kota Kendari! Semua pasti mengenal. Asrun dan
keluarganya sangat populer, terutama dalam membangun dinasti politiknya
beberapa tahun terakhir.
Awal mulanya sekitar pada tahun 2007 lalu, saat pilkada
langsung pertama diadakan di kota Kendari. Asrun yang berpasangan dengan
Musaddar berhasil memenangi pertarungan politik Kendari. Asrun-Musaddar
menggeser empat pasangan lainnya yakni Musakkir Mustafa-Ridwan Abunawas, Asrun
Tombili-Anas Nikoyan, Baharumin A. Kasim-M. Yani KM dan Muh. Jusuf P-La Ode
Khalifa. Kemenangan itu merupakan awal, yang lalu semakin mengokohkan tampuk kekuasaan
Asrun dan keluarganya hingga periode-periode berikutnya.
Selama lima tahun memimpin kota Kendari 2007-2012, Asrun
tampaknya semakin populer saja. Ia dianggap berhasil membangun kota Kendari
yang bersih dan kota layak anak, yang lalu menyabet beberapa kali piala adipura.
Selama kepemimpinannya, Kendari dipoles sedemikian rupa untuk menjadikannya
kota yang lebih modern. Kota Kendari berhasil berubah pesat, terutama banyaknya
pembangunan ruko dan hotel di tengah dan sudut kota. Maka wajar jika setiap orang,
kota Kendari sering dijuluki sebagai kota ruko.
Jika ditengah dan disudut kota berlimpah kemewahan untuk
orang-orang yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik, maka lain halnya dengan
wilayah yang berada di pinggiran kota Kendari. Wilayah seperti di Purirano kita
menyaksikan bagaimana sebagian masyarakat hidup dalam ketidakadilan.
Kesenjangan sosial semakin nampak, tatkala kita menyempatkan waktu untuk
melihat dan bercerita dengan masyarakat. Bantuan-bantuan yang diperuntungkan
bagi keluarga yang tidak mampu sering tidak tepat sasaran. Alasannya, karena
warga tersebut tidak memilih sang wali kota yang terpilih.
Nampaknya, kekuasaan Asrun tidak berhenti sampai disitu.
Persoalan suka dan tidak disukai warganya baginya adalah biasa. Semua hanya persoalan
dinamika ditengah kehidupan masyarakat yang tidak akan membuatnya turun dari
tampuk kekuasaan. Yang diperlukannya, hanya perlu menjaga basis agar tetap
solid, merapikan struktur birokrasi dalam barisan pendukung serta mempertebal
kekuatan finansial untuk memenangi pemilihan wali kota berikutnya.
Hal itu terbukti ketika pemilihan wali kota tahun 2012,
Asrun bersama Musaddar keluar sebagai jawara untuk ke dua kalinya. Sebagai
petahana, ia mengalahkan pesaing-pesaingnya dengan mudah. Isu dengan
menggunakan mesin birokrasi dikalangan masyarakat sangat sulit terbendung.
Kemenangan Asrun kala itu dianggap tak pernah terlepas dengan bongkar-pasang
birokrasinya yang dimulai dari kepala dinas, camat hingga lurah. Ia menempatkan pendukungnya pada posisi strategis
yang bisa menggerakan masa untuk memilihnya.
Bukan saja itu. Rupanya informasi yang santer beredar
ditengah masyarakat adalah adanya politik uang. Dari keterangan beberapa masyarakat
mengaku diberikan amplop dengan sejumlah uang pada saat sebelum pemilihan. Kebiasaan-kebiasaan
itu rupanya terus berlanjut, tatkala dua anak Asrun maju sebagai calon anggota
DPRD Provinsi dan kota. Dua anaknya tersebut berhasil duduk dikursi legislatif
daerah pada pemilihan 2015 lalu secara bersamaan. Adriatma Dwi Putra terpilih
menjadi anggota DPRD Provinsi dan menjabat sebagai ketua komisi III, sementara
Asrizal Pratama Putra menjadi anggota DPRD kota sebagai ketua fraksi PAN.
Kuku Dinasti Politik
Asrun
Selama Asrun duduk dikursi empuknya untuk kedua kalinya dengan
menahkodai Kendari selama lima tahun 2012-2017, rasanya tak banyak perubahan.
Wajah Kendari tergolong datar, biasa-biasa saja. Dari segi pembangunan, tak
banyak peningkatan signifikan yang dikerjakan pemerintahan Asrun. Dalam setiap
pertemuan ia hanya mempopulerkan salah satu keberhasilannya yakni membangun
pasar sentral dan pasar baru yang lebih modern. Namun pasar-pasar tersebut
terutama pasar baru bukan tanpa masalah. Sejak pasar tersebut diresmikan,
banyak polemik yang terjadi, terutama mahalnya sewa los dan sepinya para
pengunjung, pembeli. Sama halnya dengan pembangunan infrastruktur jalan,
disinyalir banyak menimbulkan masalah.
Yang nampak memang ada kesan bahwa dalam periode keduanya,
Asrun sedang menata dinastinya berkuasa di Kendari. salah satu bukti nyata
yakni terpilihnya kedua anaknya sebagai anggota legislatif Provinsi dan Kota
tahun 2015 lalu secara bersamaan. Setelah selesai masa jabatannya menjadi wali
kota, Asrun kemudian mencalonkan anaknya ADP untuk menggantikan posisinya pada
tampuk kekuasaan.
Disinilah awal mula dinasti politik Asrun terbangun dengan
kokoh. Rasanya ia tidak ingin menyerahkan kekuasaannya pada pihak lain. Ketika
ia ingin berkuasa di tingkat provinsi maka salah satu strategi yang diperlukan,
dengan menancapkan kuku-kuku dinasti politiknya dengan kuat. Kemenangan anaknya
merupakan harga mati yang harus dipertaruhkan agar ia dapat melanggengkan
kekuasaannya pada tingkat provinsi. Maka jalan lain pun diambil, termasuk
memanipulasi pilkada, menggunakan politik uang dan mesin birokrasi.
Pada pilkada serentak 2017, anaknya Adriatma Dwi Putra berhasil
keluar sebagai jawara untuk menahkodai Kendari selama lima tahun kedepan 2017-2022.
Adriatma Dwi Putra-Zulkarnaen Kadir mengungguli dua pesaingnya dengan perolehan
suara 41,00 persen, Abdul Razak-Andi Haris Surahman sebesar 36,86 persen, dan
Muh. Zayat Kaimoedin-Suri Syahriah Mahmud dengan suara 22,14 persen. Kemenangan
itu semakin mengukuhkan bahwa dinasti politik Asrun sulit untuk dihentikan seperti
halnya Ratu Atut di Banten.
Dinasti politik yang dibangun kemudian tidak berhenti sampai
disitu. Asrun semakin melebarkan sayap dinastinya pada jajaran birokrasi. Dipemerintahan
anaknya ADP sebagai wali kota, Asrun dengan lihai mulai merancang yang lalu
menempatkan jabatan penting pada barisan keluarganya. Dari istri, adik kandung,
Ipar hingga kemenakan. Hal ini merupakan salah satu strategi agar disetiap
pertarungan politik ia dengan muda memobilisasi massa untuk memenangkannya.
Praktik itu terlihat, ketika istri Asrun, Sri Yastin
menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Kota
Kendari. Hasria Mahmud, adik kandung Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Pengendalian
Penduduk dan KB Kota Kendari. Adik kandung Asrun lainnya, Askar Mahmud menjabat
sebagai Kepala Bappeda Kota Kendari sejak tahun 2013 hingga sekarang.
Berikutnya adalah Sri Yusnita, kemenakan Asrun, menjabat
sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Kendari.
Zainal Arifin, sepupu sekali Asrun yang menjabat sebagai Kepala Badan Pegawai
dan Peningkatan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Kendari. Muhammad Saiful,
sepupu sekali Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota
Kendari. Hamsir Madjid, sepupu sekali Asrun lainnya menjabat sebagai Kepala
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Sosnakertrans) Kota Kendari.
Dari keluarga Ipar, terdapat nama Sartini Sarita, adik ipar
Asrun yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga
Kota Kendari. Daming, ipar Asrun, menjabat sebagai Kepala PDAM Kota Kendari dan
terakhir Sri Sulastri, ipar Asrun lainnya menjabat sebagai Kepala Bidang
Pariwisata Kota Kendari. Dinasti lainnya juga tersebar dibeberapa kabupaten
yakni Surunuddin Dangga yang merupakan paman Asrun menjabat sebagai Bupati
Konawe Selatan. Imran, besan Asrun, mantan Bupati Konawe Selatan selama dua
periode. Dan berikutnya Ahmad Sjafei, besan Imran, menjabat sebagai Bupati
Kolaka.
Dinasti Politik
Melahirkan Amoral Familism
Lingkaran kekuasaan dinasti politik Asrun memang terus
mengakar sejak beberapa tahun yang lalu. Semenjak menjadi wali kota Kendari
tahun 2007, keluarga Asrun satu per satu memasuki politik praktis hingga
birokrasi. Diawali oleh dua anaknya, ADP dan Asrizal Pratama Putra pada tahun
2015, lalu paman dan istri, adik kandung, ipar hingga kemenakan memasuki
birokrasi. Dan pada pilkada serentak 2017, Asrun mencalonkan anaknya ADP sebagai
wali kota Kendari dan berhasil memperoleh kemenangan. Setelah itu Asrun, ingin
menancapkan kekuasaannya kembali pada tingkat provinsi pada pilkada Juni
mendatang.
Dinasti politik yang dibangun setiap kepala daerah tentu
mempunyai dampak yang serius bagi keberlanjutan demokrasi, berbangsa dan bernegara.
Tak terkecuali Asrun dan keluarganya, mereka mencoba mengebiri demokrasi yang
lalu mengabaikan kompetensi dan rekam jejak untuk kader-kader lain. Bukan saja
itu, dinasti politik juga bisa mengebiri masyarakat dalam menentukan pilihan.
Masyarakat tidak lagi menentukan pilihannya, tetapi telah dipilihkan oleh
elit-elit yang terlibat dalam pertarungan politik.
Disisi yang lain, dinasti politik sangat rawan menimbulkan
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), yang lalu dapat merusak tatanan sosial
hingga pemimpin dan keluarga itu sendiri. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang
menimpa wali kota Kendari ADP dan ayahnya Asrun, merupakan potret buram dimana
dinasti politik itu bermasalah. Dalam praktiknya, dinasti politik sering
memanipulasi kebijakan, penyalahgunaan wewenang hingga penyelewengan keuangan
negara.
Dalam teori Edward Banfled, inilah yang disebut dengan amoral familism yakni suatu budaya yang
kurang komunitarian tetapi sangat memperkuat hubungan keluarga. Pembahasan
kebijakan hanya berada dalam lingkaran keluarga, yang menyebabkan tidak
berjalannya fungsi checks and balances.
Sehingga bisa saja kebijakan itu dibuat hanya karena suatu kewajiban untuk
membantu, yang lalu membagi-bagikan segala sumber daya pada keluarga atau
kelompok.
Lebih lanjut Banfled menegaskan bahwa amoral familism memberikan kesempatan pada seseorang untuk terus
berbuat korupsi, lalu memperkuat tingkah-laku yang menyelewengnya dari
nilai-nilai universalisme serta sistem merit. Maka dari itu lahirlah korupsi
yang membudaya, melalui tindakan yang dilakukan terus menerus. Budaya itu lalu
menjadi pola bagi individu dan kolektivitas untuk berprilaku, bertindak,
bersikap dan berpikir.
Menurut Emile Durkheim, budaya yang semula diciptakan
manusia telah berubah menjadi fakta sosial, sehingga sulit bagi manusia yang
dilingkupinya untuk tidak terpengaruh. Sama halnya korupsi yang telah membudaya
yang diciptakan oleh sekelompok manusia juga merupakan fakta sosial yang
membuat orang sulit keluar dan menjauh karena bersifat memaksa. Maka apa yang
terjadi dengan dinasti politik Asrun dan keluarganya memang suatu gejala amoral familism, karena perbuatan itu
justru dengan muda mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.
Salah satu penyebabnya adalah miskinnya kesadaran moral yang
lalu melahirkan perbuatan korupsi. Orang-orang seperti itu menganggap, korupsi
sebagai sesuatu yang rasional untuk dilakukan, suatu fakta sosial, bukan lagi
aib yang kemudian dapat mempermalukan nama baik keluarga.
Laode
Halaidin
Kendari,
02-03-2018