Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

09 Desember 2017

Perempuan Penunggu Daun Jatuh

Ilustrasi dari: cerpen.co.id

Hari itu matahari bersinar sangat ganas, membuat kulit lebam para pekerja buruh, pemulung dan tukang becak. Sementara langit siang terus menunjukan keperkasaannya. Awan putih menari-nari, membuat matahari menyapu kota dagang.
Jalanan kota yang biasanya terlihat ramai, kini sepi, tak banyak yang lalu-lalang. Hanya tukang becak yang bertahan, menunggui penumpang di sudut-sudut trotoar. Sementara para pekerja kantoran, PNS kantor Walikota terlihat berhamburan keluar. Ada yang dari kedai kopi, ada pula yang dari restoran mewah. Rasanya, jam kerja mereka telah tiba. Sejenak kulirik jam tanganku. Saat itu, waktu menunjukan pukul 14.00.
Dari kejauhan, terlihat banyak pohon-pohon diterpa angin sepoi-sepoi yang berhembus perlahan, menggoyangkan ranting-ranting kecil. Waktu terasa bergulir begitu cepat, hingga menyulap awan putih menjadi gelap. Langit yang tadinya perkasa, kini tunduk pada awan kelabu yang siap mengeluarkan semburat air hujan.
Di tanah kota dagang, orang bebas mencari penghidupan. Bukan lantaran disebut kota dagang lalu semua telah menjadi pedagang. Banyak orang bekerja menjadi penyapu di jalan, perawat taman, pemulung, tukang becak dan penjual kripik diperempatan lampu merah. Ai, bukankah manusia-manusia seperti ini sering dianggap tidak bernasib baik. Mereka bahkan tak bisa menyentuh pelataran kedai kopi atau memasuki restoran mewah seperti para PNS Walikota itu.
Puh-puh-puh, kehidupan memang demikian rumit dan keras. Orang susah kian makin terhimpit oleh kemelaratan. Dan orang-orang pintar berlaga sok pahlawan, sumber solusi penyelesian masalah. Maka, tak salah seringkali sebagian dari mereka ada yang berdagang politik.
***
Dahulu, sepanjang jalan kota dagang banyak berdiri berderetan toko-toko biasa. Kini, pemandangan itu telah berubah dengan berbagai tampilan yang lebih modern. Toko-toko baru mulai dibangun, hotel bintang lima menjulang mengungguli langit, mall dengan tren globalisasi berdiri tegak. Bukan saja itu. Rumah-rumah megah bak istana pun berdiri berjejeran. Disini kini semua tersedia, termasuk rumah-rumah mesum pun ada.
Ah, rasanya saya lupa, kini kita tengah berada dalam zaman kemajuan; zaman dimana orang-orang pintar berkelakar, menguasai panggung politik lalu menjual janji-janji. Kemiskinan digemahkan dibanyak tempat untuk dientaskan. Rumah-rumah tak layak, akan diganti dengan rumah baru yang dianggap layak. Pekerjaan akan banyak disediakan.
Entah apa yang dicapai sekarang! Tak semua orang merasakannya. Yang tersentuh dengan kemajuan dan kemewahan, hanya mereka yang dekat dengan para penguasa politik. Sungguh, mereka lebih beruntung, bernasib baik, daripada para buruh dan pemulung itu.
Apakah kamu juga termasuk golongan maju yang demikian? Maka sedikitlah bersyukur pada tuhanmu. Sebab pada jaman ini, jika tak ikut dengan kemajuan, engkau akan terseret, menjadi karpet kusut yang terinjak-injak bertemankan banyak debu.
***
Pencarianku pada kehidupan, membawaku pada hal-hal yang jauh dari rasionalitas, berjarak dengan kenyataan. Bagaimana mungkin tanah dagang, tanah yang diberkahi keunggulan masih berselimutkan banyak penderitaan. Seorang pengemis duduk berpanas-panasan demi mendapat segepok koin, perempuan pemulung dan dua anaknya yang mencari sampah demi untuk mencari sesuap nasi. Aku telah melaluinya, berkeliling dan bertanya dibanyak tempat, dengan orang yang punya rupa-rupa muka dan pekerjaan. Mereka sama; penuh derita dan kemiskinan.
Kemana lagi aku hendak melihat dan bertanya? Apakah rumput yang bergoyang, dapat menyahut sambutanku? Rasanya tidak. Pun ia tak akan peduli. Tetapi, kini di sampingku ada seorang perempuan paruh baya, duduk termangu, menunggui jualannya. Rasanya aku seperti melihat keksosongan dalam dirinya. Pandanganku terus terpaku pada sosoknya yang mungil dan diam dalam kehampaan. Pembeli hari itu sangat sepi. Maka ia sekali-sekali bergegas pergi, memunguti daun jatuh yang diterpa angin dan hujan.
Sepanjang hari itu aku perhatikan, ia terus melakukan hal yang sama; duduk menunggui jualannya yang sepi pembeli, lalu bergegas pergi memunguti daun-daun yang jatuh. Daun-daun itu ia kumpulkan pada satu tempat dan setelah bersih ia kembali lagi menunggui jualannya. Dan ia lakukan terus menerus. Sampai waktunya pulang kerumahnya.
Bukankah ini sesuatu yang absuriditas! Sebab angin terus berhembus yang lalu menyebabkan daun-daun itu jatuh. Tetapi apalah artinya buat perempuan paruh baya itu. Ia hanya pekerja di taman. Maka sudah tugasnyalah membersihkan taman, agar pengunjung merasa senang dan tentram dengan adanya kebersihan.
“Inilah pekerjaan saya, kata perempuan paruh baya itu, datang menghampiri. Saya merawat taman kota ini supaya terus bersih. Sudah hampir dua puluh tahun, saya bekerja disini.”
Kata-kata itu ia lontarkan padaku, lantaran aku terus mengawasinya. Mungkin ia melihatku seperti terheran-heran karena usianya telah tua.
 “Saya sudah tua, umurku 54 tahun. Tapi alhamdulillah masih bisa kerja disini. Biasanya saya masuk kerja menyapu pagi sampai siang, setelah itu pulang. Karena di rumah sudah selesai pekerjaan, sore saya kembali lagi sambil berjualan.”
Saya menghentikan aktivitas membacaku sejenak, lalu melayani pembicaraan perempuan paruh baya itu. Sejak dari tadi saya ingin menyapanya. Namun, kemauan itu terhenti saat melihatnya sedang sibuk memunguti daun jati putih dan ketapang yang berjatuhan ketanah.
“Ibu bekerja sendirian disini” tanyaku, sambil mengambil kertas untuk membatasi buku bacaanku.
“Kalau pagi, tidak. Kami ada teman-teman. Sore saya kembali ke sini. Tapi bukan untuk menyapu. Saya gunakan waktu ini mencari sedikit rejeki saja.” Katanya.
Matanya sudah terlihat layu. Sepertinya hari ini ia kurang istrahat. Jalannya agak pincang, tidak normal lagi. Hidupnya seperti menanggung beban berat. Entah apa.
“Ibu sepertinya perlu istrahat. Terlalu kecapean kerja. Apa rumah Ibu jauh dari sini?” tanyaku.
“Tidak terlalu cukup jauh, di Jalan Wayong II Dalam. Biasa saya jalan kaki. Pulang pun demikian.” Kata perempuan paruh baya itu, sambil menuju ke tempat jualannya.
Aku mencoba mengikuti perempuan itu, menuju ke tempat jualannya. Dari dagangannya, ia sedikit berjualan minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Aku membeli sebotol air mineral, sambil menanyakan tentang pekerjaan dan keluarganya.
Ibu itu bernama Narsih. Dulu, suaminya bekerja sebagai buruh mobil truk pengangkut sampah, pada dinas kebersihan kota. Narsih dan suaminya dalam kantor dinas yag sama. Saat itu, mereka bukan pegawai honor, tapi hanya sekedar buruh yang di upah setiap bulan. Sewaktu-waktu mereka bisa diganti jika sudah tak mampu mengerjakan pekerjaannya.
“Berapa Ibu Narsih digaji tiap bulannya” tanyaku, sambil membantu menaruh jualannya di dalam kardus.
“Awalnya kami digaji tiga ratus ribu, lalu naik lima ratus ribu. Saat ini saya hanya mendapat upah tujuh ratus lima pulu ribu saja.” katanya.
Ibu Narsih terlihat semangat saat mengumpulkan jualannya. Ia masih terlihat kuat. Saat hendak pulang, aku meminta Ibu Narsih untuk mengantarnya sampai di rumahnya. Ada senyum yang mengembang disana. Ia merasa bersyukur dan berterima kasih padaku.
“Terima kasih ya nak, sudah membantu saya” katanya. Saya pun mengangguk, lalu kami pulang menujuh rumahnya.
Rumah Ibu Narsih terlihat biasa. Sangat sederhana. Rumahnya masih berpapankan kayu yang sebagian terlihat sudah lapuk, berbubuk. Atapnya masih memakai daun rumbia, yang didatangkan dari wilayah lain. Rumah itu diapit beberapa rumah mewah dan disekelilingnya berjejeran banyak perumahan.
Saat hendak masuk ke rumahnya yang reot itu, aku langsung diperhadapkan dengan berbagai bingkai foto anak-anaknya. Jiwaku tergoncang, merasa sangat sulit dipercaya. Hatiku merasa terharu dan tersentuh. Bagaimana mungkin, dengan pekerjaan seperti ini dapat menyekolahkan anak-anaknya? Ketangkasan dan kegigihan Ibu Narsih dan suaminya dalam menghadapi hidup, membuahkan hasil yang tidak sia-sia. Anak-anaknya semua telah bekerja dan berpendidikan tinggi.
“Ini semua anak Ibu?” tanyaku, sambil memperhatikan foto yang berseragam tentara. Di samping foto itu, terlihat foto wisuda anaknya yang kuliah di perguruan tinggi ternama di Jawa, foto perempuan perawat dan foto yang sekolah di pelayaran.
“Ia, itu semua anak saya. Kalau tentara tugas di Merauke. Perempuan sudah jadi PNS di sini. Itu yang kuliah di Jawa sekarang masih lanjut Doktornya. Yang pelayaran kerjanya di Kalimantan.” Katanya, sambil menghidangkan teh hangat diatas meja.
Dalam suaranya tersimpul kekuatan dan kesabaran, bahwa nasib hidup adalah penggarisan dari yang maha mencipta. Tugas manusia adalah menjalankan hidup. Ibu Narsih percaya bahwa terang hanyalah salah satu jalan. Juga ia percaya bahwa kompas hanyalah salah satu petunjuk.
Dalam hidup yang penuh dengan kemelaratan itu, Ibu Narsih dan suaminya mencoba berjalan dalam kegelapan, tanpa kompas. Ia merasa bersyukur saat melihat orang-orang disekitarnya sukses dan berlimpahan kemewahan. Keadaan itu mereka jadikan semangat untuk bekerja agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan.
“Ya, begitulah kami jalani kehidupan”, kata suaminya bernama Amin. Keterbatasan hidup harus menjadikan kita agar tetap kuat. Pendidikan hak semua orang. Bukan saja untuk para orang-orang kaya. Kalau kami tidak sekolah, itu tidak boleh terjadi dengan anak-anak kami” katanya, sambil menghisap rokok pusakanya.
Malam itu aku ikut terseret merasakan sentuhan batin yang begitu mendalam. Derita hidup yang mereka alami menjadi sejerah perjalanannya dalam mengarungi kehidupan. Kini anak-anaknya telah sukses dan berpendidikan. Mereka tak mengharapkan banyak dari anak-anaknya.
“Tanggungjawab telah selesai” kata Ibu Narsih. Biarkan mereka menjalani kehidupan sendiri. Juga saya dan suami harus menjalani kehidupan sendiri dan terus bekerja. Menjadi tua, bukan berarti berhenti untuk bekerja” katanya.
Ah, orang tua yang baik, seperti malaikat yang tak mengharapkan pamrih dari keringatnya yang bercucuran selama hidupnya. Dibalik pekerjaannya yang terlihat rendahan, menyapu di jalan dan membersihkan taman kota, ia menyimpan ketulusan dan keikhlasan. Ibu Narsih dan suaminya, pak Amin, pernah dipanggil anak-anaknya untuk tinggal bersama, tetapi mereka menolak dengan alasan tak bisa meninggalkan rumah yang mereka diami selama ini.
Usia tua tak menghentikan kata pekerjaan buat mereka. Saat ini kegiatan rutin suaminya hanya mengolah lahan, dengan menanam berbagai sayuran. Sementara Ibu Narsih tetap bekerja menyapu di jalan dan di taman kota. Sepanjang usia, mereka telah melalui jalan yang tak mudah, penuh dengan kerikil dan cobaan.
Rasanya aku telah mengambil butir-butir pelajaran, berguru pada dua insan manusia yang tegar dalam mengarungi hidup. Ini adalah nutrisi untuk kehidupanku dan kehidupan kita semua. Kita bebas berguru. Pada siapapun. Termasuk pada perempuan penunggu daun jatuh itu.

                                                                                 
                                                                                  L. Halaidin
                                                                                  Kendari, 10-12-2017

03 Desember 2017

Lima Alasan, Sosok Perempuan Yang Aku Sukai

Sumber Gambar: Pixabay

Cinta itu ibarat pentas panggung, yang lakonnya dimainkan antara dua pasang manusia, laki dan perempuan, berkomunikasi dalam sebuah narasi tentang mimpi-mimpi, cita dan harapan. Ada yang menginginkan orang baik, namun pada kenyataannya dianggap jahat, hanya nafsu belaka. Ada manusia yang kuat, tetapi tak dapat menjaga pasangannya. Ada manusia yang tampan, cantik, ada pula manusia yang dianggap ‘biasa aja’. Ada yang cerdas, pintar tetapi ada juga yang tidak....(Oon). Dan terakhir, ada hitam dan ada pula yang berkulit putih.
Kita manusia disodorkan dengan banyak opsi, berbagai macam aneka pilihan. Perempuan menginginkan ketampanan, kesetiaan dan kemapanan dari laki-laki. Sementara laki-laki memilih kecerdasan, kecantikan, kesalehan dan juga kesetiaan pada pihak perempuan. Pada intinya, dua-duanya sama; menginginkan suatu kesempurnaan cinta (aahh....kaya film di tv Net saja).
Tetapi dapatkah kita mengejar lalu menggenggam kesempurnaan itu! Atau jangan-jangan kesempurnaan itu, tidak ada sama sekali.
Namun jika berbicara mengenai perempuan, memang tak terlepas dengan penuh kerumitan. Laki-laki membutuhkan perempuan yang dinilainya cocok, mulai dari hobi hingga prilaku. Hal ini membutuhkan proses pencarian atau bahasa kerennya, suatu investigasi (macam kasus saja), yang lalu kemudian kita dapat memilikinya. Ada peran mencari, mendekati lalu membuat kita menelusuri apa yang menjadi hobi, kebiasaan atau hal-hal yang disukainya. Dari situ, penemuan hanya akan punya dua kesimpulan; bersama atau menjauh.
***
Sebagai manusia yang ketampanannya serupa Rangga dalam film ADDC (jangan iri, ya...haha), tentu tak sembarang berkawan dengan perempuan. Setelah melalui banyak pengamatan dan pelajaran akan hidup, kita patut memiliki alasan, perempuan seperti apa yang layak menjadi kekasih atau pendamping hidup kedepan. Berikut beberapa alasan untuk mencintai perempuan:
Pertama, Perempuan pembaca buku. Sebagai seorang pembaca dan pengkoleksi buku bacaan, mencari perempuan pecinta buku merupakan pilihan yang tepat dan keren. Dengan hobi yang sama, kita dapat mendiskusikan berbagai macam buku; mulai dari novel, syair, puisi dan buku-buku lainnya. Kita juga dapat mendiskusikan tentang persoalan ekonomi dan politik, sosial maupun budaya. Dalam keseharian, saya membayangkan, hidup yang dipenuhi dengan banyak buku koleksi, menjelajahi berbagai macam pemikiran dari Timur hingga pemikir Barat. Bahkan kita bersama akan terlibat didalamnya, penuh dengan gejolak dan romantisme.
Bukankah itu, kehidupan yang indah! Dikelilingi dengan banyak buku, bagi saya adalah bentuk kesempurnaan hidup. Kita akan bersapa dengan kata, banyak pemikir lalu bergumul didalamnya. Setiap membuka lembar perlembar, kita akan disuguhi dengan bau wangi khas buku, yang baru keluar dari percetakannya. Aromanya memikat, yang membuat hidup kita berada dalam surga-surga perpustakaan yang tersimpan banyak pemikir dunia.
Maka, mencari perempuan pendamping hidup juga harus butuh kejelian. Bukankah kita selalu mendambakan pasangan yang punya kecerdasan dan berikutnya romantis! Saya mendambahkan sebuah kehidupan yang siap menjelajah, yang memenuhi otak-otak banyak pemikir, sambil beriringan melintasi anak-anak sungai lalu menuju ke samudra pengetahuan.
Sungguh, ini sebuah kehidupan yang sangat menggairahkan.
Kedua, Perempuan yang tidak menuntut. Kehidupan yang modernis, bukan saja identik dengan berkembangnya industri teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi juga identik dengan kehidupan manusia yang bersarang dalam hidup konsumerisme. Sifat konsumeris ini, juga penyebab dari adanya korupsi yang mewabah di negeri yang kaya ini.
Jika banyak tuntutan dari pihak perempuan, laki-laki mencari jalan alternatif untuk mencari bahkan mencuri kemewahan hidup. Yang dilakukannya, bisa dengan melawan hukum, memanfaatkan kekuasaan, yang tidak sesuai aturan dimana harta itu didapatkan. Atau ikut kongkalingkong mengamankan proyek untuk mendapatkan fee besar.
Perempuan yang tidak menuntut merupakan harapan banyak dari kaum laki-laki. Bagaimana tidak, perempuan seperti itu bisa mengartikan kesederhanaan hidup. Segala pekerjaan yang kita geluti hanyalah titipan, bukan untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan yang tak tentu adanya.
Saya sangat mendambakan hidup dengan perempuan yang tidak menuntut ini dan itu. Perempuan seperti itu, sama sekali tak memprioritaskan harta kepada laki-laki, harus mempunyai kekayaan dan kemewahan yang melimpa. Dalam diri, saya akan menemukan sebuah arti hidup, bahwa dunia bukan saja tentang pencarian kekayaan dan kemewahan tetapi bagaimana agar kita bisa meneteskan setiap embun ke ladang-ladang yang lalu mengairi sumber kehidupan pada orang banyak.
Tugas kita adalah sebuah karya, yang lalu menginspirasi banyak orang di dunia. Dan biarkan saya bekerja─bekerja untuk keabadian. Itu bisa kulalui bersama perempuan yang tidak menuntut.
Ketiga, Perempuan yang suka membuatkan kopi. Ini memang sederhana, tapi dengan secangkir kopi, perhatian ini membuat hati saya jatuh berkeping-keping. Kopi itu punya daya tarik, yang bisa melelehkan rasa. Aroma baunya yang mengepul, membuatku dapat menyerahkan diri pada seseorang. Rasa kopi, dapat menggairahkan kehidupan, menghilangkan rasa ego yang lalu menghantarkan kita pada dunia yang luas. Kita bercengrama, sambil bercerita tentang dunia, kemana kita akan membawa cita, mimpi dan harapan itu.
Tidak percaya. Coba buatlah kopi bersama pasangan anda dan silahkan dibuktikan. Kecuali, pasangan anda memang tak banyak membaca, maka cerita itu tak akan mengalir.
Sebagai pecinta buku dan kopi, saya selalu mendambakan saat saya sedang sibuk bekerja, membaca, menulis atau merampungkan sebuah penelitian, seseorang dapat menyediakan kopi. Saya duduk diruang meja kerja, lalu kekasih datang menyuguhkan sebuah kopi yang sangat begitu nikmat.
Bukankah ini, kehidupan yang selalu didambakan banyak manusia! Tak perlu mencari kedai kopi diluar, sebab buatan orang yang kita cintai, lebih mantap dari buatan siapa pun.
Apakah anda menginginkannya? Maka carilah perempuan yang punya perhatian, meskipun hanya sekadar membuatkan kopi untukmu.
Keempat, Perempuan yang apa adanya. Selama di Kendari, saya mengenal banyak perempuan-perempuan cantik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Saat menjadi mahasiswa, saya juga dikelilingi wanita-wanita cantik, bukan karena kekayaan dan kecerdasan, tetapi karena selalu memegang absen. Mereka yang terlambat datang menghampiri, lalu meminta dihadirkan setelah itu pergi. Ia akan kembali esoknya, jika terlambat lagi, melakukan hal yang sama (haha...saya betul-betul dimanfaatkan).
Bicara mengenai perempuan, memang tak pernah ada selesai-selesainya. Apalagi jika kita mengacu pada data, bahwa perempuan menjadi populasi terbanyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini akan membuat laki-laki kewalahan, memilih satu diantara jutaan perempuan.
Namun, ada saja mana perempuan yang harus didekati dan dijauhi. Perempuan yang perlu dijauhi adalah perempuan yang memaksakan diri menjadi sesuatu. Ia tidak bisa tetapi memaksakan bisa. Ia terlihat ingin menonjol, dihargai lalu menerapkan banyak aturan. Kadang lantaran suda sekolah S2, ia ingin terlihat seperti paling tahu, paling tua. Perempuan seperti itu tak pernah bisa dibedakan antara tegas, pintar atau jangan-jangan pelit.
Dalam hidup, saya hanya menginginkan perempuan yang apa adanya, mulai dari penampilan hingga kecerdasan. Saya merasa ngeri melihat perempuan-perempuan yang memaksakan diri, yang bukan ada pada diri mereka sendiri. Kadang saya juga melihat perempuan seperti itu tak punya etika yang baik. Sementara perempuan yang apa adanya, ia sama sekali tidak melebih-lebihkan diri, tampil dan cerdas apa adanya.
Namun, apa pun itu, saya selalu menempatkan mereka untuk selalu dihargai. Toh, mereka juga manusia ciptaan Tuhan.
Kelima, Perempuan yang suka bertani. Saya pernah berkunjung di salah satu rumah dosenku, di belakang kampus pasca sarjana Universitas Halu Oleo. Saat itu, sebagai mahasiswa yang masih gelisa, saya selalu meminta nasehat bagaimana menghadapi masa depan yang kian sulit. Sambil merawat tanamannya, ia mengatakan, “Sudah. Semua kehidupan harus dihadapi Din, sesulit apa pun itu. Apakah kamu akan menyerah? Hidup itu selalu berproses, maka berproseslah dengan baik.”
Saya mendengar kalimat itu sebagai pedang, yang langsung menebas rasa pesimis saya pada kehidupan. Dosen saya yang satu itu, bukan saja rajin menyemangati mahasiswa-mahasiswa dari kampung seperti saya, ternyata ia juga rajin merawat kebun bunga dan tanaman-tanaman tani lainnya. Sontak, perhatian saya langsung tertujuh pada tanaman-tanaman itu. Lalu, pembicaraan kami hanya terfokus pada aktivitasnya, setelah melalui kesibukan mengajar.
Ide menanam dan merawat bunga itu, ternyata awalnya dari istrinya. Mereka lalu memanfaatkan lahan dibelakang rumah yang berukuran kecil sebagai tempat menyimpan bunga dan tanaman. Yang saya lihat seperti Marisa, Nangka, Lemon dan berbagai tanaman lainnya. Yang menarik, semua ditanam di dalam pot bunga, sehingga tanaman itu tidak membesar atau meninggi, namun sudah menghasilkan buah.
Aktivitas seperti ini memang selalu menarik perhatianku. Rasanya menarik, selain mempunyai kesibukan lain, hidup bisa diluangkan dengan aktivitas merawat tanaman untuk bertani kecil-kecilan.
Bagiku, memiliki pasangan yang sama-sama suka merawat tanaman, bisa menjadi sesuatu yang keren. Perempuan yang suka dengan tanaman, biasanya dikenal dengan kelembutan dan rasa kasih sayang. Jika perempuan pandai merawat tanaman maka ia sudah tentu pandai merawat cinta.
Bukankah demikian! Jika tidak percaya, mari kita sama-sama buktikan. Cari perempuan yang suka bertani, merawat bunga dan tanaman berbuah lainnya.
***
Inilah alasan, kepada sosok perempuan seperti apa saya harus menyukai. Tulisan ini, merupakan jawaban dari pertanyaan teman-teman. Kata seorang sahabat, “Ijazah sarjana sudah ada, kapan memiliki surat nikah.” Pertanyaan ini sempat membuatku diam seribu bahasa.
Tapi, aahh....Entahlah. Kita masing-masing punya pandangan yang berbeda, bagaimana menilai perempuan atau sosok perempuan seperti apa yang pas bersama kita.
Bukankah kita menginginkan sebuah bahtera keluarga yang paling bahagia di dunia! Jika ia, maka anda harus menentukannya.

                                                                                   L. Halaidin
                                                                                   Kendari, 3-12-2017