Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

19 November 2017

Untuk Sjahrir, Kita dan Nasion

Buku: Mengenang Sjahrir
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, mungkin engkau akan tertawa sarkasme, mengejek, melihat bagaimana manusia-manusia saat ini dalam bernasion dan bernegara. Manusia-manusia itu, kini tidak lagi memenuhi jalan pikiranmu, membangun nasion yang berkesejahteraan, bahkan mengabaikan pendidikan politik sebagaimana yang engkau ajarkan. Mereka bertindak seperti palu godam, yang bisa merobohkan kekuatan maha dahsyat sekalipun, termasuk kekuasaan rakyat sebagai konstituennya.
Bung Sjahrir. Jalan politik yang ditempuh, bukan lagi seperti yang engkau titahkan pada manusia baru setelah kemerdekaan yakni berpolitik dengan jujur, bersih, berani, kerakyatan, berdemokrasi dan berkeadilan. Banyak manusia-manusia yang kini sudah tua itu, berpolitik dengan cara-cara tidak sehat, kotor, untuk hanya sekadar memburuh nafsu kuasanya dengan menghalalkan segala cara.
Mereka seperti Yudas dalam perkataan, tetapi seperti Qurais dalam perbuatan. Tindakan mereka, mencerminkan tenggelamnya pemahaman akan bernasion dan bernegara, rusaknya moral dan mental para politisi, lalu generasi muda memikul tanggung jawab berat sebagai negara terkorup. Bukankah lebih baik, generasi tua-tua itu, dibuang saja ke keranjang sampah! Mereka sama sekali tak berguna lagi.
Bung Sjahrir pemikir besar. Pemikiranmu dalam kanca perpolitikan tanah air, memang perlu dilanjutkan. Engkau menorehkan suatu perjuangan politik yang ikhlas, berani, bermoral serta berpolitik dengan wawasan. Jika saat itu revolusi dikobarkan melawan penjajah kolonialis atau sebuah negara fasisme, kini diperhadapkan dengan perang melawan pembodohan, nafsu keserakahan terhadap harta benda dan mental-mental politisi dan pejabat korup.
Seperti yang telah engkau titahkan dalam buku kecilmu Perjuangan Kita, bahwa revolusi nasional saat itu hanyalah fase dan sarana untuk kemerdekaan yang paling esensial yakni sebuah revolusi sosial dan  mental. Inilah perjuangan sesungguhnya saat ini yang harus digariskan pada generasi muda. Bahwa kekuasaan hanyalah jabatan dan itu merupakan amanah yang harus diperjuangkan dan diwujudkan untuk kepentingan rakyat semata.
Bung Sjahrir. Seharusnya manusia Indonesia harus berguru pada pemikiran, gagasan dan ide serta kepribadianmu. Engkaulah manusia yang tidak mementingkan kekuasaan pribadi, kelompok, merebut kendali kekuasaan lalu memimpin pucuk pimpinan negara. Engkau hanya menyusuri jalan kerakyatan, memperjuangkan kemerdekaan dan didasarkan pada prinsip demokrasi. Jiwa dan segala pikiranmu engkau berikan kepada nasion, demi sebuah negara yang berdaulat, berkesejahteraan sebagaimana yang engkau fahami dalam ideologi sosialis-demokrat (Sosdem), berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Bung Sjahrir. Dalam kuburanmu engkau akan merenungi, bagaimana mungkin cita-cita yang engkau torehkan untuk nasion dan negaramu, berubah menjadi demikian hancur, terpecah menjadi kepingan-kepingan “kebrutalan politik”. Manusia-manusia saat ini yang berpolitik, baik dari partai yang berideologi Islam, Nasionalis maupun Demokrat, berubah menjadi  srigala liar yang buas, serakah terhadap harta, suka menindas dan memeras, menginjak-injak hak asasi manusia, yang lalu kemudian membelokan perilaku mereka seperti kolonial penjajah. Rakyat yang selalu engkau dambakan itu, kini dijajah kembali oleh hawa nafsu sesama warga negara.
Andai engkau masih hidup, mungkin perlu menulis kembali dengan model baru sebuah buku kecil atau pamflet sebagai alat perbaikan nasion, Perjuangan Kita dan Renungan Indonesia, sesuai dengan situasi atau kondisi saat ini. Cita-cita dan harapan yang engkau pikir dan susun dalam pembuangan itu, Revolusi Sosial dan Mental, bukan dijadikan mercusuar untuk membangun nasion. Pemikiran itu, seakan terserak dalam kubangan, ditutupi oleh lumpur-lumpur yang kotor. Hingga kini, mereka lupa dan tak pernah melanjutkannya kembali.
Pejabat kita saat ini, semakin menunjukan superioritas kekuasaannya, berbuat seenak perutnya sendiri, membuat kebijakan yang mengangkangi kepentingan petani, buruh dan nelayan. Dibatok kepala mereka, hanya menginginkan kekayaan, kekuasaan dan keamanan. Para pejabat kita bukan lagi berpihak pada rakyat kecil, tetapi kepada para pemodal; dari investor perkebunan sampai pertambangan.
Bung Sjahrir. Dari buku yang ditulis kawan-kawanmu aku mengetahui, bahwa engkau tidak mencintai politik. Bagaimana mungkin engkau terlibat dalam lumpur yang kotor itu! Dari lembar per lembar aku membuka, ternyata keterlibatanmu bukan atas dasar nafsu akan kekuasaan, tetapi ditopang atas rasa kewajiban sebagai anak nasion yang sama-sama terjajah. Naluri dan nuranimu bergejolak, lalu engkau memilih melibatkan diri demi sebuah nasion, ingin melihat sebuah negara yang merdeka, masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan kolonialis penjajah.
Buku, Biodata Sosial Sjahrir
Bung Sjahrir. Apakah Bung saat itu berpikir, bahwa manusia-manusia baru akan bekerja dan berpolitik sebagaimana yang engkau perjuangkan yakni atas rasa kewajiban untuk mengangkat kemiskinan dan kebodohan rakyat? Jika itu yang terpikirkan, maka harapan itu melenceng cukup jauh. Negeri kita saat ini sudah sangat membingungkan. Rakyat dibuat tidak mengerti dengan prilaku dan sikap para pejabat itu.
Para politikus yang duduk disenayan hobi membuat onar, gaduh, membuat pernyataan yang sesat, saling mencaci-maki dan suka lapor-melapor. Tak banyak Undang-Undang yang mereka kerjakan selama tiga tahun ini. Diskusi mereka, hanya seputar bagaimana mengamankan sebuah proyek yang ber-fee besar, lalu mendirikan perusahaan fiktif untuk menampung anggaran dan dibagi-bagi sesama mereka dan pengusaha. Pembicaraan tentang bagaimana membangun kemaslahatan umat dikesampingkan, sebagaimana yang dimaknai dalam arti politik.
Para menteri yang duduk di istana lebih parah lagi, membuat kebijakan yang tumpang-tindih (tidak sejalan), yang lalu mengabaikan nasib petani, buruh dan nelayan kecil. Lahan banyak dicaplok pihak perkebunan dan pertambangan karena keberpihakan mereka pada pemodal, rakyat menjerit karena berbagai subsidi dicabut, terutama subsidi listrik.
Pemerintah membangun infrastruktur jalan; jembatan dan tol tapi hanya terfokus dari daerah perkotaan Jawa, Jakarta, Sumatra, sedangkan Indonesia Timur terabaikan. Utang negara meningkat karena pembangunan infrastruktur tersebut, lalu petani, buruh dan nelayan ikut menanggung beban yang bahkan jalan mereka masih berbatuan, berkerikil dan memakai jembatan kayu yang lapuk.
Lalu, ada pertanyaan yang menghinggapi dibenak pemikiran kita. Untuk siapa jalan-jalan-jalan itu dibangun? Apakah petani, buruh dan nelayan bangsa kita melewati jalan-jalan yang mulus dan semegah itu? Pemerintah melayani siapa? Investor ataukah petani!
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, aku seperti melihat kegelisahan dalam dirimu, bagaimana melihat gerak nasion saat ini. Apakah sesuai dengan yang diharapkan saat semasa revolusi? Jika engkau masih hidup, berada dalam ibu pertiwi nusantara, mungkin engkau akan melakukan seperti yang kalian kerjakan bersama Sastra, mengunjungi masyarakat dipelosok desa lalu memenuhi pikiran akan ke kecewaan. Mengapa demikian? Karena nasion kita, yang dipenuhi manusia-manusia baru itu tak banyak yang berubah, masih diselimuti oleh kabut antara melayani rakyat, pihak feodalis dan kapitalis.
Bung Sjahrir. Gerak nasion ini tak pernah luput dari campur tanganmu, pemikiran dan gagasanmu yang dingin. Engkau turut membangun nasion dan negara bersama Soekarno, Hatta, Tan Malaka, M. Natsir, H. Agus Salim berserta sahabat-sahabat, menjadi negara merdeka yang berhak menentukan nasib sendiri. Perjalanan itu engkau lalui cukup panjang, bahkan bisa melewati berbagai rintangan dari penjarah, pembuangan atau menjadi tahanan politik dan ancaman pembunuhan.
Tapi inilah bentuk kecintaanmu terhadap nasion dan segala nasibnya yang sungguh memprihatinkan rakyat banyak. Jabatan sebagai Perdana Menteri bukan engkau jadikan untuk mencari nafkah dan menghimpun kekuatan untuk menguasai pucuk pimpinan negara, tetapi sebagai panggilan perjuangan kemerdekaan dan kerakyatan. Engkau juga pernah turun sebagai Perdana Menteri, setelah partaimu sendiri menolak hasil-hasil politik yang telah dicapai.
Namun, disinilah bagi banyak pihak, bahwa engkau adalah guru bangsa, yang pertama kali memberikan pendidikan politik bagi nasion. Bagi partaimu sendiri, engkau dianggap gagal, yang lalu dengan lapangdada engkau menerima konsekuensi harus turun jabatan. Engkau juga tak pernah menaruh dendam, melihat atau membicarakan sisi-sisi negatif dari lawan-lawanmu. Para politikus kita, manusia-manusia baru saat ini, sudah saatnya berguru dengan pemikiran dan kepribadianmu.
Bung Sjahrir. Kepahitan jalan revolusi sebelum kemerdekaan yang engkau rintangi, ternyata mendapat tantangan besar setelah kemerdekaan. Malah ini lebih tragis dan memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggerak dan pejuang api revolusi, malah menelan anak-anaknya sendiri. Soekarno melakukan suatu tindakan fatal, memerintahkan penangkapan terhadapmu, atas fitnah, tuduhan yang tidak terbukti, yang lalu membawa pada kematianmu.
Engkau jatuh sakit ditempat tahanan, lalu dibawah berobat di Zurich, Swiss dan meninggal disana. Apakah generasi muda saat ini akan melupakan sejarah ini? Tidak. Kami akan selalu mengenang jasa-jasamu, pemikiranmu untuk nasion ini. Kepahitan jalan yang engkau lalui, biarlah menjadi pupuk generasi muda, bahwa negara ini tidak dilahirkan dengan segala kemudahan, tetapi lahir karena banyak kesulitan dan kesusahan.
Kumpulan karanganmu dalam buku Pikiran dan Perjuangan, Renungan Indonesia dan Peruanagan Kita, perlu dihidupkan kembali, sebagai landasan generasi muda untuk memajukan demokrasi dan kerakyatan. Terutama anak generasi muda perlu menggemahkan kembali Revolusi Sosial dan Mental. Ini penting, karena karangan itu dasar pemikirannya mengenai persamaan, keadilan, kemakmuran yang adil dan merata untuk rakyat, menghindari prilaku yang suka menindas serta meniadakan nafsu, baik terhadap harta kekayaan, kekuasaan dan kenyamanan.
Bung Sjahrir. Engkaulah manusia yang utuh, manusia yang berpikir besar, maka segala yang mengenai cita-cita perjuanganmu perlu kami teruskan kembali. Biarkan semua menjadi wadah dan kompas untuk mengarahkan kemana sebuah kapal besar ini berlayar. Bung, tenanglah disana, bersama Bapak Nasion yang lain.
Sjahrir adalah kita. Sjahrir untuk kita dan nasion.

                                                                                 Kendari, 20 November 2017
                                                                                 Laode Halaidin

10 November 2017

Cerita Dibalik Riset: Kena Sweeping, Sama Polwan Cantik

Sumber gambar: media.iyaa.com

Begini. Ketakutan terbesar dalam hidupku itu, bukan persoalan masuk neraka, karena siksaannya begitu sadis, apalagi melihat pocong atau hantu disiang hari. Tetapi sebagai orang lapangan, yang pekerjaannya keliling, putar-putar kota, mencari pihak-pihak yang ingin diwawancarai, ketakutan saya muncul saat hendak memikirkan sweeping, lalu ditilang polisi. Ini sangat mengerikan, sambil mengutuki para polisi, karena kendaraan atau STNK akan ditahan atau disita oleh polisi.
“Sial. Hari ini saya akan berhadapan lagi dengan polisi. Saya akan ditilang.”
Pilihannya; lari dari masalah atau berhadapan langsung, mempertanggung jawabkan diri yang tak punya SIM.
Kejadiannya kemarin sekitar pukul tiga sore, saat hendak pulang dari riset. Sudah beberapa hari saya menunda riset karena adanya operasi zebra. Kendaraan roda duaku yang butut pinjaman, mempunyai STNK, mati pajak dan saya tak mempunyai SIM.
Saya memulai riset nanti hari Selasa tanggal 7, empat hari yang lalu. Selama dua hari, saya aman dan tidak bertemu dengan operasi zebra kepolisian. Selama dua hari itu, riset kukerjakan dengan maraton agar cepat selesai. Ehh.....malah tidak selesai dan saya harus melanjutkan pada hari esoknya, tanggal 9 November.
Ditanggal 9 itu, pagi-pagi saya bertemu seorang cewek lalu meminta antar di daerah Konda, Konawe Selatan. Kamar temannya terkunci dan bingung akan hendak kemana. Lalu dengan respon cepat, saya langsung tancap motor menuju tempat yang akan ditujuhnya.
“Maklum, ini kesempatan untuk memikat cewek seksi dan harum. Sudah lama saya tak mendekati lagi perempuan-perempuan yang bekerja pada saat malam, yang berbibir merah itu.” Hehehe....
Tapi, jangan berpikiran negatif dulu. Bukan itu yang menjadi targetku. Saya hanya hendak memburu informasi, terkait dengan liku-liku kehidupannya. Ini tentu akan menamba wawasan dan inspirasi tentang kehidupan, betapa banyak orang-orang yang menggantungkan hidupnya, yang menurut orang lain itu pekerjaan kotor tapi baginya itulah cara mempertahankan kehidupannya.
***
Setelah menyelesaikan riset, kelaparan ternyata memburu dan lambungku tak sabar meminta makanan. Saya mendengarkan suaranya, yang sudah begitu murka lantaran kekosongan makanan dari pagi hingga menjelang sore. Lalu, saya memeriksa kantung.
“Sial. Uang tinggal 9 ribu rupiah. Makanan apa yang hendak kubeli? Teringat dengan ATM, tapi apa boleh buat sudah lama tak punya saldo, kering”
Disaat seperti itu, seorang teman menelpon untuk mentraktir saya makan. Persoalan ditraktir, jangan bilang, dengan cepat saya akan meluncur. Ini rezeki, ada tangan-tangan tuhan yang tidak kentara, yang ikut membantu disaat kita kesusahan. Jika saya punya sayap, saya akan terbang saja, lalu hinggap dimeja makan dan melahapnya. Ahh....kaya cicak dengan nyamuk saja.
Tidak jauh dari perjalanan, ada operasi zebra yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Saya melihat beberapa antrian kendaraan yang diperiksa oleh dua orang Polwan cantik dan beberapa teman polisinya. Kemudian dengan orang-orang yang ditilang itu, kami memberhentikan kendaraan.
“Silahkan parkir disini motornya Pak” kata Polwan cantik itu.
“Baik Bu” kataku, seperti seorang murid yang sedang mematuhi perintah Ibu gurunya untuk mengerjakan soal Matematika yang sulit itu dipapan tulis.
Segera saya memakirkan motor, lalu membuka helem. Ia sejenak menatapku agak lama.
“Kamu.......”, kata Polwan itu. Nadanya agak panjang, seolah sebelumnya ia telah mengenalku. Atau mungkin ia ingin mengatakan mirip dengan mantannya. Atau juga, dia terlena dengan ketampananku.
Yang terjadi mengejutkan, Polwan itu pergi, bukan memeriksa surat-surat kendaraanku, malah pergi memeriksa kendaraan roda dua lain, yang mengantri dibelakangku untuk diperiksa. Setelah selesai memeriksa kendaraan yang lain, Polwan itu kemudian datang lagi.
Kali ini bukan dia yang mengajukan pertanyaan, tapi saya sendiri.
“Mengapa saya tidak diperiksa. Tolong diproses secepatnya, saya buru-buru ingin menyetor hasil risetku dikampus” kataku dengan tegas tapi dengan cara halus.
Saya memang ingin menyetorkan hasil risetku ditanggal 9 itu, agar anggarannya cepat cair. Sudah mau dua bulan dana itu tidak keluar, hingga membuat kantong kering dan tak bisa membeli buku bacaan baru.
Polwan itu terdiam, ia tersenyum lalu mengatakan.
“Yang ada apa” kata Polwan itu. Ia hendak menanyakan yang ada surat-surat kendaraanku.
“Saya hanya punya STNK tanpa ada SIM” kataku.
Polwan yang satunya kemudian datang menghampiri. Kini yang saya hadapi dua Polwan cantik yang begitu anggun, langsing dan harum. Pikirku, jika berhadapan Polwan secantik ini, saya mau bekali-kali untuk ditilang. Saya bisa saja memutar pembicaraan bukan persoalan surat-surat kendaraan, tetapi tentang bagaimana merawat kehidupan dengan cinta agar terus mekar. Saya juga bisa membicarakan tentang dirinya dan dunia yang luas.
Berlagak seperti wartawan untuk menginterview, bertanya sambil bercerita. Bukankah perempuan cantik selalu tertarik jika membahas tentang cinta dan kehidupan!
Saya tidak melihat mereka sedang berunding. Dengan tenang, saya hendak membuka tas, mengambil STNK motor. Belum sempat saya keluarkan, Polwan dengan nama Bripka D, langsung mengatakan.
“Ia, kamu jalan saja. Silahkan melanjutkan perjalananya” kata Polwan itu.
Saya kemudian mencoba mengkonfirmasi ulang.
“Saya dibiarkan jalan” kataku terheran-heran.
Polwan itu kemudian menyahut dan menyilahkan untuk saya pergi.
“Iya, hati-hati” kata Polwan itu.
Sebelum saya membunyikan mesin motorku, Polwan itu datang lagi, sambil mengatakan sesuatu yang lain lagi.
“Tadi itu gara-gara kamu, sehingga ada orang yang melanggar meloloskan diri”
“gara-gara saya. Maksudnya?” Saya bertanya dengan terheran-heran. Apa hubungannya denganku dengan orang yang melarikan diri itu. Saya benar-benar dibuat tidak mengerti.
Saat saya meminta penjelasan, Polwan cantik itu malah memilih pergi memeriksa kendaraan lain. Saya melihat ia pergi dengan tersenyum lalu menghampiri teman-teman polisi lainnya.
Pikirku, mungkin dia ingin bermain-main denganku. Saat saya meninggalkan tempat yang keramat itu, dipikiranku selalu melintas, mengapa Polwan cantik itu tidak langsung memeriksa surat-surat kendaraanku! Ia juga, seperti menyapa, bukan bertanya, mana SIM dan STNK-mu, tapi kamu...ia seperti menyapa orang yang dikenalnya.
Pikirku, apakah saya mirip mantannya atau apakah dia terlena dengan ketampananku! Hehehe....
Didalam benak, saya masih bertanya-tanya. Siapakah Polwan itu? Apa yang membuatnya begitu halus lalu menyilakan saya untuk pergi. Apakah ia mendengar perut saya kelaparan atau melihat kantong saya yang kering!
Ahhh.....saya tak tau. Rasa-rasanya, saya ingin ditilang seribu kali lagi. Tapi bukan Polwan lain, tapi atas nama Polwan Bripka D.
Apa kalian juga mau disweeping sama Polwan cantik!

                                                                               L. Halaidin
                                                                               Kendari, 10 November 2017