|
Buku: Mengenang Sjahrir |
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, mungkin engkau akan tertawa
sarkasme, mengejek, melihat bagaimana manusia-manusia saat ini dalam bernasion
dan bernegara. Manusia-manusia itu, kini tidak lagi memenuhi jalan pikiranmu, membangun
nasion yang berkesejahteraan, bahkan mengabaikan pendidikan politik sebagaimana
yang engkau ajarkan. Mereka bertindak seperti palu godam, yang bisa merobohkan
kekuatan maha dahsyat sekalipun, termasuk kekuasaan rakyat sebagai
konstituennya.
Bung Sjahrir. Jalan politik yang ditempuh, bukan lagi
seperti yang engkau titahkan pada manusia baru setelah kemerdekaan yakni
berpolitik dengan jujur, bersih, berani, kerakyatan, berdemokrasi dan
berkeadilan. Banyak manusia-manusia yang kini sudah tua itu, berpolitik dengan
cara-cara tidak sehat, kotor, untuk hanya sekadar memburuh nafsu kuasanya dengan
menghalalkan segala cara.
Mereka seperti Yudas dalam perkataan, tetapi seperti Qurais
dalam perbuatan. Tindakan mereka, mencerminkan tenggelamnya pemahaman akan
bernasion dan bernegara, rusaknya moral dan mental para politisi, lalu generasi
muda memikul tanggung jawab berat sebagai negara terkorup. Bukankah lebih baik,
generasi tua-tua itu, dibuang saja ke keranjang sampah! Mereka sama sekali tak
berguna lagi.
Bung Sjahrir pemikir besar. Pemikiranmu dalam kanca
perpolitikan tanah air, memang perlu dilanjutkan. Engkau menorehkan suatu
perjuangan politik yang ikhlas, berani, bermoral serta berpolitik dengan
wawasan. Jika saat itu revolusi dikobarkan melawan penjajah kolonialis atau sebuah
negara fasisme, kini diperhadapkan dengan perang melawan pembodohan, nafsu
keserakahan terhadap harta benda dan mental-mental politisi dan pejabat korup.
Seperti yang telah engkau titahkan dalam buku kecilmu Perjuangan Kita, bahwa revolusi nasional
saat itu hanyalah fase dan sarana untuk kemerdekaan yang paling esensial yakni
sebuah revolusi sosial dan mental.
Inilah perjuangan sesungguhnya saat ini yang harus digariskan pada generasi
muda. Bahwa kekuasaan hanyalah jabatan dan itu merupakan amanah yang harus
diperjuangkan dan diwujudkan untuk kepentingan rakyat semata.
Bung Sjahrir. Seharusnya manusia Indonesia harus berguru
pada pemikiran, gagasan dan ide serta kepribadianmu. Engkaulah manusia yang
tidak mementingkan kekuasaan pribadi, kelompok, merebut kendali kekuasaan lalu
memimpin pucuk pimpinan negara. Engkau hanya menyusuri jalan kerakyatan, memperjuangkan
kemerdekaan dan didasarkan pada prinsip demokrasi. Jiwa dan segala pikiranmu
engkau berikan kepada nasion, demi sebuah negara yang berdaulat, berkesejahteraan
sebagaimana yang engkau fahami dalam ideologi sosialis-demokrat (Sosdem), berkeadilan,
serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Bung Sjahrir. Dalam kuburanmu engkau akan merenungi,
bagaimana mungkin cita-cita yang engkau torehkan untuk nasion dan negaramu,
berubah menjadi demikian hancur, terpecah menjadi kepingan-kepingan “kebrutalan
politik”. Manusia-manusia saat ini yang berpolitik, baik dari partai yang berideologi
Islam, Nasionalis maupun Demokrat, berubah menjadi srigala liar yang buas, serakah terhadap
harta, suka menindas dan memeras, menginjak-injak hak asasi manusia, yang lalu
kemudian membelokan perilaku mereka seperti kolonial penjajah. Rakyat yang
selalu engkau dambakan itu, kini dijajah kembali oleh hawa nafsu sesama warga
negara.
Andai engkau masih hidup, mungkin perlu menulis kembali
dengan model baru sebuah buku kecil atau pamflet sebagai alat perbaikan nasion,
Perjuangan Kita dan Renungan Indonesia,
sesuai dengan situasi atau kondisi saat ini. Cita-cita dan harapan yang engkau
pikir dan susun dalam pembuangan itu, Revolusi
Sosial dan Mental, bukan dijadikan mercusuar untuk membangun nasion.
Pemikiran itu, seakan terserak dalam kubangan, ditutupi oleh lumpur-lumpur yang
kotor. Hingga kini, mereka lupa dan tak pernah melanjutkannya kembali.
Pejabat kita saat ini, semakin menunjukan superioritas kekuasaannya,
berbuat seenak perutnya sendiri, membuat kebijakan yang mengangkangi
kepentingan petani, buruh dan nelayan. Dibatok kepala mereka, hanya menginginkan
kekayaan, kekuasaan dan keamanan. Para pejabat kita bukan lagi berpihak pada
rakyat kecil, tetapi kepada para pemodal; dari investor perkebunan sampai
pertambangan.
Bung Sjahrir. Dari buku yang ditulis kawan-kawanmu aku
mengetahui, bahwa engkau tidak mencintai politik. Bagaimana mungkin engkau
terlibat dalam lumpur yang kotor itu! Dari lembar per lembar aku membuka, ternyata
keterlibatanmu bukan atas dasar nafsu akan kekuasaan, tetapi ditopang atas rasa
kewajiban sebagai anak nasion yang sama-sama terjajah. Naluri dan nuranimu
bergejolak, lalu engkau memilih melibatkan diri demi sebuah nasion, ingin
melihat sebuah negara yang merdeka, masyarakat yang terbebas dari segala bentuk
penindasan dan kesewenang-wenangan kolonialis penjajah.
|
Buku, Biodata Sosial Sjahrir |
Bung Sjahrir. Apakah Bung saat itu berpikir, bahwa
manusia-manusia baru akan bekerja dan berpolitik sebagaimana yang engkau
perjuangkan yakni atas rasa kewajiban untuk mengangkat kemiskinan dan kebodohan
rakyat? Jika itu yang terpikirkan, maka harapan itu melenceng cukup jauh.
Negeri kita saat ini sudah sangat membingungkan. Rakyat dibuat tidak mengerti
dengan prilaku dan sikap para pejabat itu.
Para politikus yang duduk disenayan hobi membuat onar, gaduh,
membuat pernyataan yang sesat, saling mencaci-maki dan suka lapor-melapor. Tak
banyak Undang-Undang yang mereka kerjakan selama tiga tahun ini. Diskusi
mereka, hanya seputar bagaimana mengamankan sebuah proyek yang ber-fee besar,
lalu mendirikan perusahaan fiktif untuk menampung anggaran dan dibagi-bagi
sesama mereka dan pengusaha. Pembicaraan tentang bagaimana membangun
kemaslahatan umat dikesampingkan, sebagaimana yang dimaknai dalam arti politik.
Para menteri yang duduk di istana lebih parah lagi, membuat kebijakan
yang tumpang-tindih (tidak sejalan), yang lalu mengabaikan nasib petani, buruh
dan nelayan kecil. Lahan banyak dicaplok pihak perkebunan dan pertambangan
karena keberpihakan mereka pada pemodal, rakyat menjerit karena berbagai
subsidi dicabut, terutama subsidi listrik.
Pemerintah membangun infrastruktur jalan; jembatan dan tol tapi
hanya terfokus dari daerah perkotaan Jawa, Jakarta, Sumatra, sedangkan
Indonesia Timur terabaikan. Utang negara meningkat karena pembangunan
infrastruktur tersebut, lalu petani, buruh dan nelayan ikut menanggung beban
yang bahkan jalan mereka masih berbatuan, berkerikil dan memakai jembatan kayu
yang lapuk.
Lalu, ada pertanyaan yang menghinggapi dibenak pemikiran
kita. Untuk siapa jalan-jalan-jalan itu dibangun? Apakah petani, buruh dan nelayan
bangsa kita melewati jalan-jalan yang mulus dan semegah itu? Pemerintah
melayani siapa? Investor ataukah petani!
Bung Sjahrir. Dalam kuburmu, aku seperti melihat kegelisahan
dalam dirimu, bagaimana melihat gerak nasion saat ini. Apakah sesuai dengan
yang diharapkan saat semasa revolusi? Jika engkau masih hidup, berada dalam ibu
pertiwi nusantara, mungkin engkau akan melakukan seperti yang kalian kerjakan
bersama Sastra, mengunjungi masyarakat dipelosok desa lalu memenuhi pikiran akan
ke kecewaan. Mengapa demikian? Karena nasion kita, yang dipenuhi
manusia-manusia baru itu tak banyak yang berubah, masih diselimuti oleh kabut
antara melayani rakyat, pihak feodalis dan kapitalis.
Bung Sjahrir. Gerak nasion ini tak pernah luput dari campur
tanganmu, pemikiran dan gagasanmu yang dingin. Engkau turut membangun nasion
dan negara bersama Soekarno, Hatta, Tan Malaka, M. Natsir, H. Agus Salim
berserta sahabat-sahabat, menjadi negara merdeka yang berhak menentukan nasib
sendiri. Perjalanan itu engkau lalui cukup panjang, bahkan bisa melewati
berbagai rintangan dari penjarah, pembuangan atau menjadi tahanan politik dan ancaman
pembunuhan.
Tapi inilah bentuk kecintaanmu terhadap nasion dan segala
nasibnya yang sungguh memprihatinkan rakyat banyak. Jabatan sebagai Perdana
Menteri bukan engkau jadikan untuk mencari nafkah dan menghimpun kekuatan untuk
menguasai pucuk pimpinan negara, tetapi sebagai panggilan perjuangan
kemerdekaan dan kerakyatan. Engkau juga pernah turun sebagai Perdana Menteri,
setelah partaimu sendiri menolak hasil-hasil politik yang telah dicapai.
Namun, disinilah bagi banyak pihak, bahwa engkau adalah guru
bangsa, yang pertama kali memberikan pendidikan politik bagi nasion. Bagi
partaimu sendiri, engkau dianggap gagal, yang lalu dengan lapangdada engkau
menerima konsekuensi harus turun jabatan. Engkau juga tak pernah menaruh
dendam, melihat atau membicarakan sisi-sisi negatif dari lawan-lawanmu. Para
politikus kita, manusia-manusia baru saat ini, sudah saatnya berguru dengan
pemikiran dan kepribadianmu.
Bung Sjahrir. Kepahitan jalan revolusi sebelum kemerdekaan
yang engkau rintangi, ternyata mendapat tantangan besar setelah kemerdekaan.
Malah ini lebih tragis dan memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggerak dan
pejuang api revolusi, malah menelan anak-anaknya sendiri. Soekarno melakukan
suatu tindakan fatal, memerintahkan penangkapan terhadapmu, atas fitnah,
tuduhan yang tidak terbukti, yang lalu membawa pada kematianmu.
Engkau jatuh sakit ditempat tahanan, lalu dibawah berobat di
Zurich, Swiss dan meninggal disana. Apakah generasi muda saat ini akan
melupakan sejarah ini? Tidak. Kami akan selalu mengenang jasa-jasamu,
pemikiranmu untuk nasion ini. Kepahitan jalan yang engkau lalui, biarlah
menjadi pupuk generasi muda, bahwa negara ini tidak dilahirkan dengan segala
kemudahan, tetapi lahir karena banyak kesulitan dan kesusahan.
Kumpulan karanganmu dalam buku Pikiran dan Perjuangan, Renungan Indonesia dan Peruanagan Kita,
perlu dihidupkan kembali, sebagai landasan generasi muda untuk memajukan
demokrasi dan kerakyatan. Terutama anak generasi muda perlu menggemahkan kembali
Revolusi Sosial dan Mental. Ini
penting, karena karangan itu dasar pemikirannya mengenai persamaan, keadilan,
kemakmuran yang adil dan merata untuk rakyat, menghindari prilaku yang suka
menindas serta meniadakan nafsu, baik terhadap harta kekayaan, kekuasaan dan
kenyamanan.
Bung Sjahrir. Engkaulah manusia yang utuh, manusia yang
berpikir besar, maka segala yang mengenai cita-cita perjuanganmu perlu kami
teruskan kembali. Biarkan semua menjadi wadah dan kompas untuk mengarahkan
kemana sebuah kapal besar ini berlayar. Bung, tenanglah disana, bersama Bapak
Nasion yang lain.
Sjahrir adalah kita. Sjahrir untuk kita dan nasion.
Kendari,
20 November 2017
Laode
Halaidin