14 Oktober 2017

Saat Film G30S/PKI, Ditonton Anak-Anak Desa

Anak-anak yang menonton film G30S/PKI
Malam itu, tidak terlihat seperti malam biasanya. Banyak, dari orang tua sampai anak-anak, memadati jalan lorong yang berlubang dan berkerikil. Namanya kampung, biasanya kalau sudah pukul 20.00 malam, sepihnya minta ampun. Yang terdengar hanya suara burung hantu dan para kelelawar yang berburu mencari pisang masak. Warga kampung memilih tidur, besoknya mau kehutan, berburu ayam hutan, merotan atau pergi menyadap pohon enau.
Para warga kampung itu terlihat antusias, sambil berteriak-teriak.
Maimo.....maimo...dokalamana (bahasa Muna), dengan suara keras.
“Ada apa itu bro”? tanyaku pada teman.
Maklum. Dikampung kalau sudah berteriak-teriak pasti ada kejadian. Pertama, ada orang-orang mabuk yang berkelahi. Kejadian ini akan mengundang banyak orang untuk pergi melihat, menjadi penonton. Kedua, para pencuri yang ketangkap, apakah itu pencuri ayam, atau pencuri harta benda seperti uang dan yang lainnya. Ini juga akan mengundang banyak orang, bukan melihat tapi digebukin sampai benjol. Ketiga, panggilan untuk merapat minum kameko (berasal dari pohon enau). Jangan tanya, kalau anak-anak muda dikampung dipanggil minum kameko, itu masuk nomor wahid. Rata-rata anak-anak mudanya peminum. Bahkan masing-masing diatas rumahnya menyimpan satu jeregen.
“Biasa bro. Malam ini ada pemutaran film G30S/PKI. Kemarin malam kan, di desa tetangga sebelah. Sekarang giliran disini,” seorang teman menjelaskan.
Pemutaran film G30S/PKI kali ini bukan saja diputar dilingkungan TNI sendiri, tetapi menyasar ke desa-desa. Ini mengundang tanya saya. Mengapa harus diputar di desa-desa, lalu kemudian menyasar banyak anak-anak kecil, anak sekolah dasar dan menengah. Yang menghawatirkan adalah akan adanya mengundang kebencian para pemuda-pemudi terhadap eks PKI.
Kalau mau meluruskan sejarah, apakah harus dengan mempertontonkan atau memutar film itu ke desa-desa? Biarkan para peneliti sejarah yang meluruskannya. Bukan juga pihak TNI sendiri. Tetapi semua harus dilibatkan.
Pemutaran film ini adalah bentuk dari propaganda, untuk mempengaruhi anak-anak muda di desa-di desa, untuk membenci PKI. Bahwa PKI adalah dalang kekacuan di negeri ini. Bahwa PKI adalah pembunuh keji para jendral-jendral.
Etis...tenang dulu bro. Saya bukan pro PKI. Saya adalah pembenci ideologi yang radikalisme, yang menggunakan dengan cara-cara kekerasan.
Lihat ada juga ceweknya
Hal ini terbukti saat saya hendak pergi melihat para warga menonton film tersebut. Mereka berteriak-teriak, sambil mengucapkan:

“Mari kita nonton PKI.....kita nonton PKI, PKI yang jahat, pembunuh,” kata seorang pemuda itu.
Masalahnya, dikampung-kampung sebelah ada keluarga mantan-mantan eks PKI. Kita dapat membayangkan, para pemuda habis menonton film tersebut lalu menenggak kameko. Bisa saja mereka menyerang rumah para eks mantan keluarga PKI. Ini yang kita khawatirkan.
Saat saya tiba bersama dengan teman-teman, yang terlihat kebanyakan menonton, ternyata anak-anak kecil. Mereka duduk didepan, sambil memelototi para jendral yang dibuang ke sumur lubang buaya.
Terdengar suara anak kecil yang bertanya pada ibunya:
“Ma, namanya sumur lubang buaya ya. Ia nak, kata ibunya. Berarti didalam ada buayanya dong. Memang buaya, bisa hidup didalam sumur. Yang saya tau tidak. Buaya hanya bisa hidup di danau, seperti di Lawulamoni. Ia kan Ma” ibunya mengangguk, para penonton tertawa.
Hahahaha.......

                                                                                             Laode Halaidin
                                                                                             Kendari, 15/10/2017

0 komentar:

Posting Komentar