|
Sumber Gambar: Kumparan.com |
DERASNYA
informasi soal rohingya beberapa bulan terkahir ini, membuat banyak masyarakat
dunia bereaksi. Konflik Rohingya saat itu tengah menjadi sorotan dunia
internaisonal, termasuk Indonesia. Banyak dunia mendesak Indonesia, untuk
mengambil peran dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Sementara di Indonesia
sendiri, banyak masyarakat yang mencerca pemerintah karena dianggap tak mampu
menyelesaikan permasalahan rohingya yang mayoritas beragama muslim itu. Selain
itu, ada juga masyarakat yang mendesak agar pemerintah mengusir Duta Besar
Myanmar di Jakarta.
Desakan-desakan itu membuat pemerintah mengambil langka
diplomatik, untuk turun tangan menyelesaikan konflik rohingya. Menteri Luar Negeri
Retno Marsudi, langsung bertolak di Myanmar, mencoba berdialog dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Pada
pertemuan itu, menteri Retno, menekankan 4+1 dalam menyelesaikan konflik di
Rakhine.
Usulan 4+1 itu yakni (1) mengembalikan stabilitas dan
keamanan, (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, (3)
perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan
agama, (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan. Sementara elemen
+1-nya yaitu terkait dengan pentingnya pelaksanaan rekomendasi laporan Komisi
Penasehat untuk Rakhine yang dipimpin oleh Kofi Annan. Langkah diplomatik ini,
mendapat penghargaan yang luar biasa dari pihak PBB dan di sejumlah negara.
Konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine bagi sebagian
media arus utama dipandang sebagai konflik agama atau etnis. Mungkin pemerintah
Indonesia juga memahaminya demikian. Ada pembatasan bahwa konflik tersebut
hanya sebagai ciri dan penganiayaan terhadap warga Rohingya, yang beragama
mayoritas Islam. Human Rights Watch (HRW) mengambarkan kekerasan terhadap warga
Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang berujung pada pembersihan
etnis tertentu atau disebut sebagai genosida.
Namun, benarkah kekerasan Rohingya bagian dari konflik agama
atau etnis? Sebuah tulisan di The
Guardian, yang ditulis Saskia Sassen dengan judul Is Rohingya persecution caused by business interest rather than
religion? menemukan fakta lain. Seperti yang dimuat di Koran Sulindo,
profesor di sosiologi di Universitas Columbia itu berpendapat bahwa agama dan
etnisitas boleh jadi hanya bagian dari apa yang terjadi saat ini. Saskia Sassen
menulis, dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan akuisisi
perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia baik pertambangan, kayu,
pertanian maupun air.
Perubahan Undang-undang tentang tanah yang terjadi di
Myanmar membuka jalan atas masifnya perampasan tanah yang ada di pedesaan. Perusahaan
diberikan keistimewaan menguasai tanah dalam skala besar. Sejak 1990-an,
militer Myanmar telah menguasai tanah-tanah secara luas tanpa ganti rugi yang
jelas. Dibawah tekanan militer, perampasan tanah semakin masif terjadi, yang
dilakukan dengan todongan senjata. Kaum tani kemudian memprotes atas perampasan
tanah tersebut.
Laporan Departemen Pertanian Myanmar semakin menguatkan
anggapan itu. Sejak tahun 2010, sekitar 216 perusahaan menguasai sekitar 1,75
juta hektar lahan, 708.200 hektar merupakan lahan dalam bentuk konsesi negara,
tulis Brian. Tanah-tanah itu selain diambil militer untuk kamp dan akses
tentara, juga diambil untuk proyek komersial yang dijalankan dan berhubungan
kepentingan militer. Hal tersebut menyebabkan adanya penyempitan lahan yang
dikuasai oleh kaum tani yang kemudian memicu perlawanan.
Sementara itu, badan pemerintah, terutama pihak militer
menangkapi kaum tani yang dianggap melawan, menindaknya dengan kekerasan. Aktivis
petani ditangkapi dan dipenjarakan. Saat konflik Rohingya pecah pada tahun
2012, lahan yang dipergunakan untuk mega-proyek meningkat 170 persen antara
2010 sampai dengan tahun 2013. Sassen beranggapan dalam tulisannya bahwa “berdasarkan
itu, kekerasan yang meningkat tajam terhadap suku Rohingya dan juga kelompok
minoritas lainnya mungkin saja disebebkan kepentingan ekonomi militer, bukan
masalah agama dan etnisitas.”
Tulisan Saskia Sassen itu, mendapat dukungan dari Brian McCartan,
yang ditulis di Cetri.be dengan
tulisan, Myanmar: Land Grabbing As Big
Business. Bagi Brian, perubahan undang-undang yang tidak memadai telah
membuka daerah di Myanmar dengan merajalela dirampas oleh pengusaha yang tidak
bermoral dan terhubung dengan baik yang mengantisipasi ledakan investasi dan
properti. Jika tidak diantisipasi, hal tersebut berpotensi dapat merongrong
proses reformasi negara secara luas dan menghambat pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang.
Saskia Sassen dan Brian McCartan telah mengulik fakta lain
dari kekerasan Rohingya. Mereka menemukan bahwa perampasan tanah yang dilakukan
oleh militer merupakan fakta, bagian dari kekerasan, yang mungkin sebagian
orang mengabaikannya. Perebutan lahan telah menjadi pemicu dari konflik
tersebut. “Dengan harapan baru untuk kebangkitan ekonomi dan kenaikan harga
properti yang dipicu oleh pemerintahan reformis Thein Sein, perebutan lahan
terjadi dibanyak wilayah dan juga meningkat diwilayah tengah dan negara bagian
Rakhine. Perebutan lahan ini memaksa petani meninggalkan tanah mereka untuk
kepentingan agribisnis komersial, proyek infrastruktur, pengembangan
pariwisata, fasilitas industri dan jaringan pipa gas,” tulis Brian.
Lembaga Hak Asasi Manusia sejak tahun 1990 seperti Karen
Human Rights Group (KHRG), the Shan Human Rights Foundation (SHRF), the Human
Rights Foundation of Monland (HURFOM), dan Earth Rights International (ERI), telah
banyak mendokumentasikan penyitaan-penyitaan tanah tersebut. Di negara bagian
Rakhine perampasan tanah meningkat dengan pesat. Tanah-tanah tersebut digunakan
untuk kepentingan proyek, yang didukung oleh pihak militer.
Pada tahun 2013 saja misalnya, proyek pipa gas mulai
beroperasi dengan kapasitas 400 ribu barrel per hari. Kepemilikan proyek
tersebut dikelola oleh perusahaan asal Tiongkok, India, Korea dan Myanmar
sendiri. Banyaknya perusahaan swasta asing tersebut, membuat pemerintah Myanmar
menyediakan banyak tanah, menyokong para pemodal besar untuk kepentingan bisnis.
Kebijakan ini membuat perlawanan warga rohingya terutama dari pihak ARSA dan
Arakan Independen Army yang beragama Budha.
Bagi Saskia Sassen, seperti dikutip Koran Sulindo, konflik
yang terjadi di Rakhine memiliki dua fungsi yang tidak terencana, yakni (1)
penganiayaan merupakan cara untuk mengusir mereka dari lahan dan sumber
kehidupan mereka. Caranya dengan membakar rumah mereka sehingga warga Rohingya
terpaksa melarikan diri dan meninggalkan rumah mereka, (2) dengan mengadu domba
rakyat dengan menekankan perbedaan agama. Tujuannya agar rakyat berkonflik dan
melupakan perbuatan negara kepada rakyat.
Lebih lanjut Sassen menulis, “jutaan kaum tani kecil yang
terusir dari tanahnya merupakan korban dari kebijakan rezim sehingga agak
mengherankan ketika pengamat dan pemerhati HAM lebih fokus pada agama. Padahal,
sepertiga dari luas hutan Myanmar telah hilang.”
Melihat Indonesia
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kejadian di negara bagian
Rakhine, memang sulit untuk tidak membandingkannya dengan apa yang terjadi di
Indonesia. Tanah, dijadikan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Perampasan
tanah terhadap petani, sama halnya dengan merampas kehidupan petani itu
sendiri.
Ketika diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, konflik-konflik yang terjadi antara petani miskin, petani kaya,
buruh tani dan para pemodal memperoleh legitimasi hukum. Tetapi tahun 1963 dan
1964, kejadiannya semakin rumit saat pelaksanaan undang-undang tersebut.
Seperti yang dikatakan dalam buku Noer Fauzi Rahman, “Petani dan Penguasa”, alasannya adalah berupa pengelolaan administrasi
yang buruk, korupsi dan oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dalam bentuk
manipulasi.
Kebijakan politik agraria yang dibangun oleh rezim orde
baru─yang merupakan bagian dari otoritarianisme─menganggap Land Reform hanyalah permasalahan teknis belaka. Bagi Winardi,
1993, pemerintah orde baru tidak menganggap masalah tanah sebagai dasar
pembangunan, melainkan tanah hanya menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan.
Akibatnya, pengurusan tanah tidak berjalan dengan baik, bahkan pada tingkat
pedesaan keterlibatan militer semakin mempersempit partisipasi petani dalam
program Land Reform.
Hal tersebut menimbulkan berbagai konflik, akibat hak-hak
petani akan tanah terabaikan. Soetrisno menulis, konflik yang terjadi bukan
berhubungan dengan internal desa, tetapi eksternal, pihak luar desa yakni para
pemodal besar dan pemerintah. Perusahaan perkebunan banyak mengambil alih
tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Dengan banyaknya investasi modal perkebunan
yang masuk, pemerintah orde baru selalu bersedia menyiapkan tanah, menyokong
para pemodal bahkan itu harus menggerus kehidupan petani dari tanahnya.
Kekuasaan orde baru seringkali melakukan penindasan dengan cara-cara kekerasan (coersion), dan penaklukan dengan
cara-cara ideologis (concent) untuk
merampas tanah dari petani.
Harapan baru rakyat petani muncul, ketika gerakan demokrasi
berhasil menggulingkan rezim Soeharto dari kekuasaanya, tahun 1998. Para petani
yang telah dirampas tanahnya, memiliki keberanian untuk menduduki tanah yang
sebelumnya dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Petani berani memasuki konsesi
Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tanah konservasi, pertambangan bahkan tanah yang
telah selesai masa kontrak Hak Guna Usaha (HGU).
Seperti petani lainnya, petani Indonesia sangat bergantung
dengan tanah-tanah yang ada. Harapan yang terbangun kandas setelah perusahaan
perkebunan menguasai kembali satu-persatu tanah-tanah, lewat bantuan pemerintah
dan militernya. Lewat dana talangan Badan Penyelamatan Perbankan Nasional
(BPPN), perusahaan perkebunan kembali memonopoli lahan, yang berlanjut sampai
saat ini. Menurut Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA), sebagaimana yang
tertulis di Koran Sulindo, hal tersebut terjadi setelah Presiden Abdul Rahman
Wahid jatuh, para pengusaha perkebunan di masa rezim Soeharto sukses
mengkonsolidasikan diri berkat bantuan Amerika Serikat dan sekutunya.
Akibat sistem ini, kini banyak petani yang tergusur dari
kehidupannya. Para petani kemudian melakukan perlawanan akibat ketidakadilan
itu. Perlawanan-perlawanan petani di daerah kian menggemah, menolak kerusakan
lingkungan serta memperjuangkan lahan mereka yang tergusur akibat ulah
kapitalisme. Para pemodal dengan rakusnya, merampas tanah petani untuk
kepentingan perkebunan, pertambangan dan pendirian pabrik-pabrik.
Apa yang terjadi dengan petani Sragen, Sunarji adalah puncak
gunung es, yang menuntut haknya tas tanah. Akibat penyempitan lahan yang selama
ini dikuasai pihak perkebunan, ia bersama 800 petani lainnya mencoba
mengerjakan lahan yang telah habis masa HGU-nya oleh PTPN IX. Namun para petani
itu, seringkali mengalami intimidasi dan kriminalisasi. Dengan kuasa modal,
para petani ditangkapi dan dimasukan di dalam penjara.
Hal lainnya juga, apa yang terjadi dengan petani-petani di
Muna, di desa Wantiworo dan Kafofo. Atas dasar investasi dan pembangunan
ekonomi, para petani Wantiworo dan Kafofo mengalami ketidakberdayaan, melihat
tanah-tanah mereka digusur untuk perkebunan tebu. Bersama dengan elit dan
pemerintah desa, perusahaan perkebunan melakukan berbagai manipulasi untuk
menguasai lahan-lahan petani. Ada bentuk manipulasi tanda tangan persetujuan,
ganti rugi lahan yang tidak jelas serta bentuk intimidasi-intimidasi lainnya.
Bukan tak mungkin, konflik-konflik agraria akan terus
berkepanjangan, jika pemerintah abai terhadap permasalahan yang dialami petani.
Tanah adalah urat nadi bagi petani, dimana para petani bisa mencari penghidupan,
mengelolahnya untuk menghasilkan makanan sehari-hari. Ketimpangan kepemilikan
tanah, membuat petani kadang meradang, membuat mereka terus miskin
berkepanjangan. Entah sampai kapan, para petani terus berada dalam kungkungan
hidup kemiskinan itu.
Meskipun kini Presiden Joko Widodo tengah menjalankan Land Reform, untuk mengatasi ketimpangan
kepemilikan tanah, dimana melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA),
Jokowi membagikan 9 juta hektare kepada rakyat petani, namun bagi AGRA program
tersebut justru akan menuai banyak masalah. Bagi AGRA, dalam jangka panjang
program tersebut justru membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi
hanya memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan
perbankan dengan menyita aset kaum tani. Proyek ini terhubung dengan skema Bank
Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project, (Koran Sulindo, 18-30,
9/2017, Volume II-No.19).
Kekerasan Rohingya, bukan tanpa arti bagi Indonesia. Bangsa
ini tidak bisa menutup mata dan mengabaikan, bahwa konflik yang terjadi di
Myanmar merupakan fakta lain dari perampasan tanah. Negara bisa chaos, jika
rakyat petani terus dibelenggu dengan kebijakan yang tidak adil dan
sewenang-wenang. Hal itu tentu kita tidak inginkan terjadi di negeri yang indah
dan kaya ini.
Negara harus memberi kedaulatan kepada petani dan mengelola
kekayaan alam bangsa ini untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana yang diamanatkan
dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Saya mengutip tulisan Didit Sidarta di Koran Sulindo
“Membiarkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pemilikan
tanah bagi sebagian besar masyarakat adalah kesewenang-wenangan. Menutup mata
terhadap konflik penguasaan tanah di dalam kawasan hutan yang tak kunjung
terselesaikan secara tuntas adalah sikap korup.”
Mari, berbuat sesuatu untuk petani...
L. Halaidin
13/10/2017