Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

24 Oktober 2017

DPR dan Kompleks Fourier

Sumber gambar: wartanasional.com

BERITA terkait DPR membentuk pansus hak angket yang dialamatkan pada lembaga anti-rasuah KPK beberapa bulan lalu, berhembus dengan kencang dilini
sosial media. Serangan yang bertubi-tubi, baik yang dihadapi oleh KPK maupun DPR, mengambarkan banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap pansus tersebut. Saling serang, mencaci dan menghujat, seolah tak pernah terhenti―sangat menguras tenaga dan semangat anak bangsa. Setelah selesai Pilpres, dilanjutkan dengan Pilkada DKI, lalu kini pansus hak angket. Selanjutnya, entah apa lagi.
Sejak pengetukan palu di DPR dalam sidang paripurna, banyak pihak yang menilai, pembentukan pansus hak angket KPK sangat bermasalah. KPK dinilai bukan lembaga eksekutif, sehingga pengguliran hak angket dianggap salah alamat. Bahkan baru-baru ini, komentar Mahfud MD, bisa membuat kuping panas anggota pansus DPR. “Karena ini politik kita harus memahaminya secara politik. Bagi saya ia biarin saja diperpanjang, besok diperpanjang lagi. Toh nanti produknya juga bisa disikapi secara politik bahwa itu tidak ada gunanya, itu sampah saja” kata Prof. Mahfud MD saat menilai perpanjangan pansus hak angket KPK (Kompas.com).
Namun DPR tetap bergeming dan mengklaim punya kewenangan untuk membentuk pansus hak angket kepada KPK. Undang-undang menurut anggota pansus hak angket, telah memberi mereka kewenangan sesuai dengan UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Tetapi bagi Mahfud MD, langka yang diambil oleh anggota pansus DPR dalam mengangket KPK telah menabrak hukum yang ada alias cacat hukum.
Menurut Mahfud MD, ada tiga alasan mengapa pansus hak angket dianggap cacat hukum. Pertama, subjek pansus seharusnya pemerintah, bukan lembaga KPK. Kedua, objek yang keliru, karena pansus dibentuk atas dasar pengakuan Miryam S Haryani. Ketiga, prosedurnya diduga salah karena tidak ada persetujuan dari semua fraksi. Lain halnya dengan pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra. Yusril menilai, langka DPR membentuk hak angket kepada KPK sudah tepat. “DPR dapat melakukan hak angket terhadap KPK karena KPK dibentuk dengan Undang-undang” kata Yusril (Katadata.co.id).
Pengguliran pansus hak angket terhadap KPK berawal saat Miryam S Haryani dalam proses penyidikan menyebut beberapa anggota DPR yang ikut menikmati bagi-bagi duit megaproyek E-KTP senilai 5,9 triliun. Kerugian negara ditaksir 2,3 triliun yang diduga ikut dinikmati beberapa anggota DPR. Seolah mereka tak terima nama-nama mereka disebut, lalu sebagian anggota DPR dianggap melakukan perlawanan dengan mengangket KPK. Mereka mencoba mengintervensi agar KPK membuka rekaman pemeriksaan politikus partai Hanura, Miryam S Haryani. Namun, sebagai lembaga Non-pemerintah yang independen, KPK tetap menolak karena itu masuk ranah pro justitia.
Kita masyarakat, dibuat bertanya-tanya, apakah pansus hak angket yang ditujuhkan pada KPK bukanlah bentuk pelemahan? Bagi banyak pihak, pansus hak angket dinilai bagian dari pelemahan lembaga anti-rasuah, KPK. Suara para anggota DPR yang menentang KPK selalu bergemuruh, “bubarkan saja KPK” kata mereka.
Kelakuan para anggota DPR yang terhormat itu terlihat jelas saat sebagian anggotanya, ramai-ramai menyerang KPK lewat hak angket, yang dianggap membela teman-teman sejawat, “teman bela teman” sesama anggota DPR. Itu juga terlihat saat anggota pansus hak angket mengunjungi lapas Sukamiskin, meminta informasi kepada para koruptor terkait dengan langka KPK selama ini. DPR dinilai, sengaja melakukan itu untuk mencari-cari kesalahan yang dilakukan KPK.
Apa yang dilakukan sebagian anggota DPR dalam mengangket KPK bertentangan dengan yang diharapkan publik. Masyarakat jelas-jelas dengan tegas menolak hak angket tersebut, karena dianggap melemahkan bukan menguatkan. DPR sebagai wakil rakyat, seharusnya bekerja sesuai tugas dan wewenangnya; menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat bukan sebaliknya. Selain itu, DPR juga harus menguatkan lembaga KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Namun, apakah mungkin dilakukan, mengingat banyak anggota DPR selama ini menjadi pasien KPK! Kepercayaan publik sudah tercoreng pada anggota DPR, karena banyak para politikus disenayan yang tertangkap korupsi. Hasil survey yang dirilis Global Corruption Barometer (GCB) 2017 yang diterbitkan Transparency International Indonesia (TII), menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Ada sekitar 54 persen menilai, lembaga DPR yang mewakili rakyat disenayan dianggap sebagai lembaga terkorup dimata publik.
Polemik pansus hak angket yang digulirkan DPR kepada KPK sangat menguras tenaga dan pikiran anak bangsa untuk saling menghujat, yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kehidupan rakyat. Belum selesai pansus, polemik baru muncul lagi―terkait dengan pembentukan densus tipikor yang  dianggap terburu-buru. Untuk apa dibentuk densus tipikor, selama kinerja KPK dalam memberantas korupsi masih dipercaya publik. Apakah ini bukan bentuk pembunuhan baru, kepada lembaga anti-rasuah tersebut!
Pembentukan densus tipikor diwacanakan saat “ribut-ribut” DPR dengan KPK, terkait dengan pansus hak angket. Sebagian anggota DPR Komisi III mempertanyakan peran Polri dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, KPK selama ini dinilai anggota pansus hak angket sebagai lembaga yang banyak melakukan pelanggaran dalam proses penyidikan, penyalahgunaan wewenang, hingga praktik korupsi. Dari hal itu, beberapa anggota DPR terlihat ngotot agar densus tipikor segera dibentuk. Mereka seperti ingin menyingkirkan peran KPK secara pelan-pelan dalam membasmi koruptor.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menduga, pembentukan densus tipikor hanyalah bagian dari skenario DPR untuk melemahkan KPK, lalu pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk membubarkan KPK (Kompas.com). Ludwig Von Mises pernah menulis dalam bukunya, Liberalism: In the Classical Tradition; katanya, biasanya kalau orang-orang Perancis biasa berbicara tentang “membunuh dengan ejekan.”
Memang kelihatannya, kita sedang menyaksikan sebuah parodi pertunjukan, bagaimana agar KPK itu dibunuh, ‘dibubarkan dengan cara halus’. Mereka terlihat gagap, seolah tak terima, lalu dilingkupi oleh rasa kecemasan, karena KPK telah banyak melakukan OTT pada para pejabat di negeri ini. Para anggota DPR itu terlihat frustasi, bahkan dengan mulut berbusa mengatakan, KPK telah gagal memberantas korupsi karena masifnya penangkapan koruptor. Apakah itu bisa dikatakan gagal? Atau para DPR yang terhormat itu yang gagal paham!
Kompleks Fourier
Apa itu kompleks Fourier?
Kompleks Fourier pertama kali diperkenalkan oleh Ludwig Von Mises, pemikir liberalisme dalam bukunya berjudul Liberalism: In the Classical Tradition. Fourier diambil dari nama seorang pemikir sosialis Perancis bernama Francois Marie Charles Fourier.
Charle Fourier (1772-1837) merupakan filsuf Perancis dan pemikir sosialis yang berpengaruh dan dikenal paling utopis. Wikipedia mencatat, sebagian pandangan sosial dan moralnya, dianggap radikal pada masanya dan menjadi arus utama pemikiran dalam masyarakat modern. Ia dikenal sebagai pemikir sosialisme utopis―dimana semua pandangan dan pemikirannya bersifat angan-angan dan terlalu naif. Idealisme pemikiran sosialisme utopianya dianggap terlalu tinggi, dan secara teoritis-praktis tidak bisa direalisasikan atau bisa tapi selalu layu sebelum berkembang.
Fourier adalah orang yang paling getol menolak semua tentang revolusi industri. Ia mencoba membuat berbagai pendapat fantastis tentang dunia yang ideal diimpikan selama hidupnya. Dalam pemikirannya, ia mencoba menganjurkan agar berdirinya unit-unit produksi “falansteires” yang mengedepankan semangat kebersamaan baik kepemilikan kapital, mengupayakan kebutuhan sendiri dan kepemilikan alat-alat produksi secara bersama-sama. Namun, bagi pemikir liberalisme pandangan-pandangan itu hanya menghayalkan bentuk suatu komunitas ideal―sebuah pandangan yang berada dalam angan-angan yang sulit untuk diwujudkan.
Dalam konteks Ludwig, pandangan-pandangan pemikiran yang dibangun oleh para pemikir sosialisme didasari atas oposisi terhadap liberalisme. Bagi Ludwig, oposisi yang dibangun itu tidak lahir dari nalar, tetapi dari sikap mental patologis―dari kebencian dan kondisi neurasthenia. Neurasthenia adalah istilah psiko-patologis yang digunakan George Miller 1869, yang mengambarkan kondisi yang ditandai oleh kelelahan, kecemasan, sakit kepala, neuralgia (sakit saraf dan depresi) sebagai bagian dari kompleks Fourier.
DPR Yang Neurotik
Kegencaran sebagian anggota DPR menggulirkan pansus hak angket pada KPK terlihat sebagai upaya pelemahan bukan penguatan. Pansus tersebut sebagai bentuk upaya perlawanan, setelah Miryam S Haryani menyebut nama-nama mereka. Ada ketakutan dan kecemasan yang dialami anggota DPR. Wacana penguatan yang mereka lontarkan sering tidak masuk akal atau berkelainan dengan apa yang mereka lakukan. Yang terlihat justru ketidaksukaan terhadap lembaga KPK, lalu membangun oposisi dengan mendesak Polri untuk membentuk densus anti-korupsi.
Opini yang dibangun oleh DPR untuk menguatkan lembaga KPK selama ini hanyalah, meminjam Ludwig, sebuah perlindungan dibawah “kebohongan yang menyelamatkan.” Pandangan mereka terlihat tidak lahir dari nalar tapi lebih kepada adanya sikap mental patologis dan kebencian terhadap peran lembaga KPK. Kadang yang mereka tawarkan tidak rasional dan relaistis. Mereka seperti terlihat sedang dilanda kecemasan, ketakutan, terserang neurotik (sakit saraf dan depresi) alias terkena kompleks Fourier.
Ludwig menggambarkan dengan jelas bagaimana perilaku kehidupan seseorang yang terserang neurotik. Ludwig menulis, para penderita neurotik tidak dapat menghadapi kenyataan hidup, yang terlalu liar, kasar dan dangkal. Berbeda dengan orang sehat, orang yang terserang neurotik, tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan hidup terlepas dari apa pun agar hidup mereka menjadi tertahankan. Mereka selalu berlindung di balik delusi, dimana menurut Freud; delusi merupakan sesuatu kehidupan yang didambakan, semacam hiburan yang memiliki ciri-ciri penolakan terhadap serangan logika dan realitas.
Tidak jauh berbeda, apa yang di alami sebagian anggota DPR dengan apa yang digambarkan oleh Ludwig. Disaat lembaga KPK dengan masif menangkap para penculik uang negara, DPR seolah tidak menerima kenyataan itu, yang lalu diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa langkah KPK dapat menganggu kehidupan mereka. Mereka selalu berlindung dibalik delusi, apa yang dilakukan KPK adalah ancaman dan serangan. Yang mereka inginkan selama ini, sebuah kehidupan di negeri Cockaigne; negeri dongeng pada abad pertengahan, tempat yang penuh dengan segala macam kemewahan, dimana kenyamanan dan kesenangan selalu tersedia.
Dalam kehidupan para penderita neurotik yang berlindung dibawah“kebohongan yang menyelamatkan” itu tidak pernah melihat atau mengintropeksi diri tentang kegagalannya, apa yang telah mereka kerjakan, tetapi mendakwai seseorang tentang keberhasilan atau menawarkan kesuksesan dimasa depan. Dalam kasus DPR, mereka tak pernah melihat, bagaimana pekerjaan mereka selama ini; sudah berapa Undang-undang yang mereka buat, bagaimana pengawasan mereka, apakah janji mereka sudah dipenuhi pada masa kampanye atau tidak.
Yang terlihat menyerang lembaga lain, memberikan keyakinan tentang perbaikan KPK dimasa depan. Dan bagi DPR, penangkapan masif para koruptor yang dilakukan KPK bukan keberhasilan, tetapi bentuk dari kegagalan dari pemberantasan korupsi. Bagi orang-orang yang terhormat itu, seharusnya yang terjadi, para maling uang negara lebih sedikit, bukan malah tambah banyak. 
Hal ini tentu bertentangan dengan logika, sama sekali tidak rasional dan realistis. Apakah KPK yang perlu disalahkan atau seharusnya sistem pemilu kita yang perlu dibenahi! Mengapa bukan partai yang harus mendapat perbaikan, karena selama ini kader-kadernya banyak yang korup. Mengapa bukan moral mereka yang harus didakwahi, karena apa yang mereka perbuat merugikan para petani, buruh dan para nelayan! Mereka miskin bukan karena malas, tetapi akibat perbuatan korup para pejabat negara.
Sangat sulit memang, untuk mengobati orang-orang yang terserang neurotik. Berbeda halnya dengan orang-orang yang terserang oleh rasa tidak suka dengan lembaga KPK, tentu ini bisa diatasi dengan argumen rasional. Tidak sulit untuk menjelaskan pada orang yang terserang rasa kebencian, bahwa yang mereka lakukan seharusnya bukan menyerang atau memperburuk lembaga lain, tetapi memperbaiki lembaga diri sendiri. Sementara untuk mengobati penyakit neurotik, harus lahir dari kesadaran lembaga, bukan mencari kambing hitam, tetapi harus memahami hukum dan dasar kerjasama yang ada.
Dan pada akhirnya memang, semua akibat ulah manusia yang selalu terobsesi dengan kuasa. Kekuasaan DPR untuk melakukan pansus hak angket, tidak bisa di intervensi meskipun itu harus menabrak hukum. Itu kuasa mereka. Itu wewenang mereka.
Tapi, dengan kekuasaan yang tak terkontrol itu, justru akan mengarah pada kejahatan yang masif─yang akan menimbulkan kesengsaraan bagi banyak pihak. Mengutip Jacob Burckhard “ bahwa kekuasaan adalah kejahatan itu sendiri, tidak penting siapa yang menggunakannya.” Demokrasi yang dipercaya memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan dengan mudah akan terdorong ke arah ekes berlebihan. Inilah yang dikhawatirkan.
Kedepan, kita akan melihat, bagaimana jika densus tipikor akan terbentuk. Apakah ini akan terjadi pergesekan dalam hal pemberantasan korupsi, yang lalu akan melemahkan peran KPK bahkan membubarkannya? Entahlah. Semoga lembaga lain tidak terserang penyakit aneh, yang lalu menyerang dan membunuh KPK dengan cara pelan-pelan.

                                                                                Laode Halaidin
                                                                                Kendari, 14 Oktober 2017

14 Oktober 2017

Saat Film G30S/PKI, Ditonton Anak-Anak Desa

Anak-anak yang menonton film G30S/PKI
Malam itu, tidak terlihat seperti malam biasanya. Banyak, dari orang tua sampai anak-anak, memadati jalan lorong yang berlubang dan berkerikil. Namanya kampung, biasanya kalau sudah pukul 20.00 malam, sepihnya minta ampun. Yang terdengar hanya suara burung hantu dan para kelelawar yang berburu mencari pisang masak. Warga kampung memilih tidur, besoknya mau kehutan, berburu ayam hutan, merotan atau pergi menyadap pohon enau.
Para warga kampung itu terlihat antusias, sambil berteriak-teriak.
Maimo.....maimo...dokalamana (bahasa Muna), dengan suara keras.
“Ada apa itu bro”? tanyaku pada teman.
Maklum. Dikampung kalau sudah berteriak-teriak pasti ada kejadian. Pertama, ada orang-orang mabuk yang berkelahi. Kejadian ini akan mengundang banyak orang untuk pergi melihat, menjadi penonton. Kedua, para pencuri yang ketangkap, apakah itu pencuri ayam, atau pencuri harta benda seperti uang dan yang lainnya. Ini juga akan mengundang banyak orang, bukan melihat tapi digebukin sampai benjol. Ketiga, panggilan untuk merapat minum kameko (berasal dari pohon enau). Jangan tanya, kalau anak-anak muda dikampung dipanggil minum kameko, itu masuk nomor wahid. Rata-rata anak-anak mudanya peminum. Bahkan masing-masing diatas rumahnya menyimpan satu jeregen.
“Biasa bro. Malam ini ada pemutaran film G30S/PKI. Kemarin malam kan, di desa tetangga sebelah. Sekarang giliran disini,” seorang teman menjelaskan.
Pemutaran film G30S/PKI kali ini bukan saja diputar dilingkungan TNI sendiri, tetapi menyasar ke desa-desa. Ini mengundang tanya saya. Mengapa harus diputar di desa-desa, lalu kemudian menyasar banyak anak-anak kecil, anak sekolah dasar dan menengah. Yang menghawatirkan adalah akan adanya mengundang kebencian para pemuda-pemudi terhadap eks PKI.
Kalau mau meluruskan sejarah, apakah harus dengan mempertontonkan atau memutar film itu ke desa-desa? Biarkan para peneliti sejarah yang meluruskannya. Bukan juga pihak TNI sendiri. Tetapi semua harus dilibatkan.
Pemutaran film ini adalah bentuk dari propaganda, untuk mempengaruhi anak-anak muda di desa-di desa, untuk membenci PKI. Bahwa PKI adalah dalang kekacuan di negeri ini. Bahwa PKI adalah pembunuh keji para jendral-jendral.
Etis...tenang dulu bro. Saya bukan pro PKI. Saya adalah pembenci ideologi yang radikalisme, yang menggunakan dengan cara-cara kekerasan.
Lihat ada juga ceweknya
Hal ini terbukti saat saya hendak pergi melihat para warga menonton film tersebut. Mereka berteriak-teriak, sambil mengucapkan:

“Mari kita nonton PKI.....kita nonton PKI, PKI yang jahat, pembunuh,” kata seorang pemuda itu.
Masalahnya, dikampung-kampung sebelah ada keluarga mantan-mantan eks PKI. Kita dapat membayangkan, para pemuda habis menonton film tersebut lalu menenggak kameko. Bisa saja mereka menyerang rumah para eks mantan keluarga PKI. Ini yang kita khawatirkan.
Saat saya tiba bersama dengan teman-teman, yang terlihat kebanyakan menonton, ternyata anak-anak kecil. Mereka duduk didepan, sambil memelototi para jendral yang dibuang ke sumur lubang buaya.
Terdengar suara anak kecil yang bertanya pada ibunya:
“Ma, namanya sumur lubang buaya ya. Ia nak, kata ibunya. Berarti didalam ada buayanya dong. Memang buaya, bisa hidup didalam sumur. Yang saya tau tidak. Buaya hanya bisa hidup di danau, seperti di Lawulamoni. Ia kan Ma” ibunya mengangguk, para penonton tertawa.
Hahahaha.......

                                                                                             Laode Halaidin
                                                                                             Kendari, 15/10/2017

12 Oktober 2017

Perampasan Tanah: Fakta Lain Konflik Rohingya, Indonesia?

Sumber Gambar: Kumparan.com

DERASNYA informasi soal rohingya beberapa bulan terkahir ini, membuat banyak masyarakat dunia bereaksi. Konflik Rohingya saat itu tengah menjadi sorotan dunia internaisonal, termasuk Indonesia. Banyak dunia mendesak Indonesia, untuk mengambil peran dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Sementara di Indonesia sendiri, banyak masyarakat yang mencerca pemerintah karena dianggap tak mampu menyelesaikan permasalahan rohingya yang mayoritas beragama muslim itu. Selain itu, ada juga masyarakat yang mendesak agar pemerintah mengusir Duta Besar Myanmar di Jakarta.

Desakan-desakan itu membuat pemerintah mengambil langka diplomatik, untuk turun tangan menyelesaikan konflik rohingya. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, langsung bertolak di Myanmar, mencoba berdialog dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Pada pertemuan itu, menteri Retno, menekankan 4+1 dalam menyelesaikan konflik di Rakhine.
Usulan 4+1 itu yakni (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan, (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama, (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan. Sementara elemen +1-nya yaitu terkait dengan pentingnya pelaksanaan rekomendasi laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine yang dipimpin oleh Kofi Annan. Langkah diplomatik ini, mendapat penghargaan yang luar biasa dari pihak PBB dan di sejumlah negara.
Konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine bagi sebagian media arus utama dipandang sebagai konflik agama atau etnis. Mungkin pemerintah Indonesia juga memahaminya demikian. Ada pembatasan bahwa konflik tersebut hanya sebagai ciri dan penganiayaan terhadap warga Rohingya, yang beragama mayoritas Islam. Human Rights Watch (HRW) mengambarkan kekerasan terhadap warga Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang berujung pada pembersihan etnis tertentu atau disebut sebagai genosida.
Namun, benarkah kekerasan Rohingya bagian dari konflik agama atau etnis? Sebuah tulisan di The Guardian, yang ditulis Saskia Sassen dengan judul Is Rohingya persecution caused by business interest rather than religion? menemukan fakta lain. Seperti yang dimuat di Koran Sulindo, profesor di sosiologi di Universitas Columbia itu berpendapat bahwa agama dan etnisitas boleh jadi hanya bagian dari apa yang terjadi saat ini. Saskia Sassen menulis, dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan akuisisi perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia baik pertambangan, kayu, pertanian maupun air.
Perubahan Undang-undang tentang tanah yang terjadi di Myanmar membuka jalan atas masifnya perampasan tanah yang ada di pedesaan. Perusahaan diberikan keistimewaan menguasai tanah dalam skala besar. Sejak 1990-an, militer Myanmar telah menguasai tanah-tanah secara luas tanpa ganti rugi yang jelas. Dibawah tekanan militer, perampasan tanah semakin masif terjadi, yang dilakukan dengan todongan senjata. Kaum tani kemudian memprotes atas perampasan tanah tersebut.
Laporan Departemen Pertanian Myanmar semakin menguatkan anggapan itu. Sejak tahun 2010, sekitar 216 perusahaan menguasai sekitar 1,75 juta hektar lahan, 708.200 hektar merupakan lahan dalam bentuk konsesi negara, tulis Brian. Tanah-tanah itu selain diambil militer untuk kamp dan akses tentara, juga diambil untuk proyek komersial yang dijalankan dan berhubungan kepentingan militer. Hal tersebut menyebabkan adanya penyempitan lahan yang dikuasai oleh kaum tani yang kemudian memicu perlawanan.
Sementara itu, badan pemerintah, terutama pihak militer menangkapi kaum tani yang dianggap melawan, menindaknya dengan kekerasan. Aktivis petani ditangkapi dan dipenjarakan. Saat konflik Rohingya pecah pada tahun 2012, lahan yang dipergunakan untuk mega-proyek meningkat 170 persen antara 2010 sampai dengan tahun 2013. Sassen beranggapan dalam tulisannya bahwa “berdasarkan itu, kekerasan yang meningkat tajam terhadap suku Rohingya dan juga kelompok minoritas lainnya mungkin saja disebebkan kepentingan ekonomi militer, bukan masalah agama dan etnisitas.”
Tulisan Saskia Sassen itu, mendapat dukungan dari Brian McCartan, yang ditulis di Cetri.be dengan tulisan, Myanmar: Land Grabbing As Big Business. Bagi Brian, perubahan undang-undang yang tidak memadai telah membuka daerah di Myanmar dengan merajalela dirampas oleh pengusaha yang tidak bermoral dan terhubung dengan baik yang mengantisipasi ledakan investasi dan properti. Jika tidak diantisipasi, hal tersebut berpotensi dapat merongrong proses reformasi negara secara luas dan menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Saskia Sassen dan Brian McCartan telah mengulik fakta lain dari kekerasan Rohingya. Mereka menemukan bahwa perampasan tanah yang dilakukan oleh militer merupakan fakta, bagian dari kekerasan, yang mungkin sebagian orang mengabaikannya. Perebutan lahan telah menjadi pemicu dari konflik tersebut. “Dengan harapan baru untuk kebangkitan ekonomi dan kenaikan harga properti yang dipicu oleh pemerintahan reformis Thein Sein, perebutan lahan terjadi dibanyak wilayah dan juga meningkat diwilayah tengah dan negara bagian Rakhine. Perebutan lahan ini memaksa petani meninggalkan tanah mereka untuk kepentingan agribisnis komersial, proyek infrastruktur, pengembangan pariwisata, fasilitas industri dan jaringan pipa gas,” tulis Brian.
Lembaga Hak Asasi Manusia sejak tahun 1990 seperti Karen Human Rights Group (KHRG), the Shan Human Rights Foundation (SHRF), the Human Rights Foundation of Monland (HURFOM), dan Earth Rights International (ERI), telah banyak mendokumentasikan penyitaan-penyitaan tanah tersebut. Di negara bagian Rakhine perampasan tanah meningkat dengan pesat. Tanah-tanah tersebut digunakan untuk kepentingan proyek, yang didukung oleh pihak militer.
Pada tahun 2013 saja misalnya, proyek pipa gas mulai beroperasi dengan kapasitas 400 ribu barrel per hari. Kepemilikan proyek tersebut dikelola oleh perusahaan asal Tiongkok, India, Korea dan Myanmar sendiri. Banyaknya perusahaan swasta asing tersebut, membuat pemerintah Myanmar menyediakan banyak tanah, menyokong para pemodal besar untuk kepentingan bisnis. Kebijakan ini membuat perlawanan warga rohingya terutama dari pihak ARSA dan Arakan Independen Army yang beragama Budha.
Bagi Saskia Sassen, seperti dikutip Koran Sulindo, konflik yang terjadi di Rakhine memiliki dua fungsi yang tidak terencana, yakni (1) penganiayaan merupakan cara untuk mengusir mereka dari lahan dan sumber kehidupan mereka. Caranya dengan membakar rumah mereka sehingga warga Rohingya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan rumah mereka, (2) dengan mengadu domba rakyat dengan menekankan perbedaan agama. Tujuannya agar rakyat berkonflik dan melupakan perbuatan negara kepada rakyat.
Lebih lanjut Sassen menulis, “jutaan kaum tani kecil yang terusir dari tanahnya merupakan korban dari kebijakan rezim sehingga agak mengherankan ketika pengamat dan pemerhati HAM lebih fokus pada agama. Padahal, sepertiga dari luas hutan Myanmar telah hilang.”
Melihat Indonesia
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kejadian di negara bagian Rakhine, memang sulit untuk tidak membandingkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Tanah, dijadikan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Perampasan tanah terhadap petani, sama halnya dengan merampas kehidupan petani itu sendiri.
Ketika diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, konflik-konflik yang terjadi antara petani miskin, petani kaya, buruh tani dan para pemodal memperoleh legitimasi hukum. Tetapi tahun 1963 dan 1964, kejadiannya semakin rumit saat pelaksanaan undang-undang tersebut. Seperti yang dikatakan dalam buku Noer Fauzi Rahman, “Petani dan Penguasa”, alasannya adalah berupa pengelolaan administrasi yang buruk, korupsi dan oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dalam bentuk manipulasi.
Kebijakan politik agraria yang dibangun oleh rezim orde baru─yang merupakan bagian dari otoritarianisme─menganggap Land Reform hanyalah permasalahan teknis belaka. Bagi Winardi, 1993, pemerintah orde baru tidak menganggap masalah tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan tanah hanya menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan. Akibatnya, pengurusan tanah tidak berjalan dengan baik, bahkan pada tingkat pedesaan keterlibatan militer semakin mempersempit partisipasi petani dalam program Land Reform.
Hal tersebut menimbulkan berbagai konflik, akibat hak-hak petani akan tanah terabaikan. Soetrisno menulis, konflik yang terjadi bukan berhubungan dengan internal desa, tetapi eksternal, pihak luar desa yakni para pemodal besar dan pemerintah. Perusahaan perkebunan banyak mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Dengan banyaknya investasi modal perkebunan yang masuk, pemerintah orde baru selalu bersedia menyiapkan tanah, menyokong para pemodal bahkan itu harus menggerus kehidupan petani dari tanahnya. Kekuasaan orde baru seringkali melakukan penindasan dengan cara-cara kekerasan (coersion), dan penaklukan dengan cara-cara ideologis (concent) untuk merampas tanah dari petani.
Harapan baru rakyat petani muncul, ketika gerakan demokrasi berhasil menggulingkan rezim Soeharto dari kekuasaanya, tahun 1998. Para petani yang telah dirampas tanahnya, memiliki keberanian untuk menduduki tanah yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Petani berani memasuki konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tanah konservasi, pertambangan bahkan tanah yang telah selesai masa kontrak Hak Guna Usaha (HGU).
Seperti petani lainnya, petani Indonesia sangat bergantung dengan tanah-tanah yang ada. Harapan yang terbangun kandas setelah perusahaan perkebunan menguasai kembali satu-persatu tanah-tanah, lewat bantuan pemerintah dan militernya. Lewat dana talangan Badan Penyelamatan Perbankan Nasional (BPPN), perusahaan perkebunan kembali memonopoli lahan, yang berlanjut sampai saat ini. Menurut Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA), sebagaimana yang tertulis di Koran Sulindo, hal tersebut terjadi setelah Presiden Abdul Rahman Wahid jatuh, para pengusaha perkebunan di masa rezim Soeharto sukses mengkonsolidasikan diri berkat bantuan Amerika Serikat dan sekutunya.
Akibat sistem ini, kini banyak petani yang tergusur dari kehidupannya. Para petani kemudian melakukan perlawanan akibat ketidakadilan itu. Perlawanan-perlawanan petani di daerah kian menggemah, menolak kerusakan lingkungan serta memperjuangkan lahan mereka yang tergusur akibat ulah kapitalisme. Para pemodal dengan rakusnya, merampas tanah petani untuk kepentingan perkebunan, pertambangan dan pendirian pabrik-pabrik.
Apa yang terjadi dengan petani Sragen, Sunarji adalah puncak gunung es, yang menuntut haknya tas tanah. Akibat penyempitan lahan yang selama ini dikuasai pihak perkebunan, ia bersama 800 petani lainnya mencoba mengerjakan lahan yang telah habis masa HGU-nya oleh PTPN IX. Namun para petani itu, seringkali mengalami intimidasi dan kriminalisasi. Dengan kuasa modal, para petani ditangkapi dan dimasukan di dalam penjara.
Hal lainnya juga, apa yang terjadi dengan petani-petani di Muna, di desa Wantiworo dan Kafofo. Atas dasar investasi dan pembangunan ekonomi, para petani Wantiworo dan Kafofo mengalami ketidakberdayaan, melihat tanah-tanah mereka digusur untuk perkebunan tebu. Bersama dengan elit dan pemerintah desa, perusahaan perkebunan melakukan berbagai manipulasi untuk menguasai lahan-lahan petani. Ada bentuk manipulasi tanda tangan persetujuan, ganti rugi lahan yang tidak jelas serta bentuk intimidasi-intimidasi lainnya.
Bukan tak mungkin, konflik-konflik agraria akan terus berkepanjangan, jika pemerintah abai terhadap permasalahan yang dialami petani. Tanah adalah urat nadi bagi petani, dimana para petani bisa mencari penghidupan, mengelolahnya untuk menghasilkan makanan sehari-hari. Ketimpangan kepemilikan tanah, membuat petani kadang meradang, membuat mereka terus miskin berkepanjangan. Entah sampai kapan, para petani terus berada dalam kungkungan hidup kemiskinan itu.
Meskipun kini Presiden Joko Widodo tengah menjalankan Land Reform, untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah, dimana melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Jokowi membagikan 9 juta hektare kepada rakyat petani, namun bagi AGRA program tersebut justru akan menuai banyak masalah. Bagi AGRA, dalam jangka panjang program tersebut justru membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan dengan menyita aset kaum tani. Proyek ini terhubung dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project, (Koran Sulindo, 18-30, 9/2017, Volume II-No.19).
Kekerasan Rohingya, bukan tanpa arti bagi Indonesia. Bangsa ini tidak bisa menutup mata dan mengabaikan, bahwa konflik yang terjadi di Myanmar merupakan fakta lain dari perampasan tanah. Negara bisa chaos, jika rakyat petani terus dibelenggu dengan kebijakan yang tidak adil dan sewenang-wenang. Hal itu tentu kita tidak inginkan terjadi di negeri yang indah dan kaya ini.
Negara harus memberi kedaulatan kepada petani dan mengelola kekayaan alam bangsa ini untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Saya mengutip tulisan Didit Sidarta di Koran Sulindo “Membiarkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pemilikan tanah bagi sebagian besar masyarakat adalah kesewenang-wenangan. Menutup mata terhadap konflik penguasaan tanah di dalam kawasan hutan yang tak kunjung terselesaikan secara tuntas adalah sikap korup.”
Mari, berbuat sesuatu untuk petani...

                                                                                       L. Halaidin
                                                                                       13/10/2017