Buku Knut Hamsun |
Banyak orang sekarang menggeluti dunia menulis dalam keadaan kenyang. Mereka membaca dalam keadaan kenyang, belajar dalam keadaan kenyang, dan segala aktivitas yang dilakukan dalam keadaan kenyang. Fasilitas kenyang dan semua dilakukan dalam serba kekenyangan.
Nama-nama penulis yang terpampang di tokoh Gramedia, saya lihat juga menulis dalam keadaan kenyang. Ini menandakan bahwa mereka menikmati proses kekenyangan mereka, menulis dalam ruang ber-AC, fasiitas moderen dan tak pernah merasakan kelaparan dan kehausan.
Ini tentu bukan salah dan dipermasalahkan. Tapi, apakah karya mereka juga ikut mengenyakan pembacanya? Saya kira tidak.
Inilah yang membedakan antara penulis dalam keadaan lapar dan kenyang. Penulis dalam keadaan kenyang, tentu kita berpikir mereka dapat menghasilkan kata-kata dan bahasa yang indah dan memikat pembacanya. Tentu ini adalah anggapan yang salah. Semakin kita menikmati kenyamanan dalam keadaan kenyang, semakin bahasa kita kaku dan tak mengalir. Lihat saja sebagain karya-karya yang ada di tokoh buku saat ini.
Lain halnya menulis dalam keadaan lapar. Kita mengenal nama Knut Hamsun. Penulis yang miskin yang kemudian menulis terlonta-lonta dalam keadaan lapar. Dalam keadaan lapar ia berhasil menulis sala satu buku berjudul "Lapar". Atas karya ini, ia mendapatkan hadia nobel sastra pada tahun 1920.
“Ya Tuhan, Yang Empunya surga dan dunia, aku rela menukar satu hari hidupku untuk satu detik bahagia! Seluruh hidupku untuk sepiring kacang merah! Dengarlah padaku satu kali ini saja!” (Lapar, hal 190)
Silahkan cari dan baca bukunya.....
0 komentar:
Posting Komentar