17 September 2016

Mendiami Kembali Tanah Kelahiran

Saya dan Sahabat
Tuhan menciptakan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan manusia, begitulah seperti yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Bentuk keserakahan manusia terhadap alam, jika kita ingin menelusuri lebih luas lagi kita dapat menemukan satu kepingan yang sangat memilukan. Sebut saja misalnya seperti kebakaran hutan yang terjadi di Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan dan Jambi.
Penyebab kebakaran hutan yang menimpa daerah-daerah tersebut bukan saja karena faktor alam, tetapi juga akibat dari ulah manusia yang serakah, yang lalu ingin mengambil keuntungan terhadap sumber kekayaan alam. Akibatnya yang terjadi bukan saja lumpuhnya perekonomian daerah, namun banyaknya korban yang meninggal dan terserang penyakit akibat kepulan asap yang menjejaki hidup masyarakat setempat.
Belum lagi dalam upaya pemerintah pusat maupun daerah dengan jargon demi pembangunan dan memburu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, lebih banyak menimbulkan polemik. Banyak hal yang dilakukan untuk memenuhi hal tersebut, salah satunya dengan membuka peluang investasi dengan memanfaatkan bentangan alam yang luas seperti hutan yang kita punyai selama ini. Yang kemudian dilakukan adalah mengeksploitasi sumber kekayaan alam dengan membuka pertambangan, lahan perkebunan, illegal logging atau penebangan kayu yang terkadang mempengaruhi kehidupan ekosistem didalamnya. Lalu yang terjadi, lingkungan yang kita diami seringkali mengalami kerusakan, kepunahan atau kehilangan ekosistem yang mengakibatkan flora dan fauna yang ada didalamnya tidak dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Bagi masyarakat, hutan memang bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Hal ini terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisionlanya masih kuat. Untuk masyarakat ini, mereka melihat hutan bukan hanya sebagai sumber daya potensial saja, melainkan sebagai sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan juga tempat tinggal mereka. Bahkan ada masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai-nilai spritual, mempercayai bahwa hutan yang didalamnya terdapat biotik dan abiotik memiliki kekuatan atau pesan supranatural yang harus mereka patuhi.
Tentunya ini mengingatkan saya pada salah satu desa yang saya kunjungi di pulau Buton, tepatnya di Buton Selatan, Sampolawa. Nama desa itu adalah Desa Gunung Sejuk. Dari nama desanya, Gunung Sejuk merupakan desa yang berada pada dataran tinggi. Daerah dataran tinggi itu sangat identik dengan daerah yang panas. Namun berbeda dengan kondisi di Desa Gunung Sejuk itu, ia hawanya sangat dingin, sejuk.
Di desa inilah adanya kawasan hutan dan mata air yang memiliki nilai-nilai spiritual dan kekuatan supranatural sebagaimana yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Bahwa hutan adat tidak boleh di ganggu, dalam hal ini melakukan penebangan karena dapat menganggu kejernihan air. Mereka mempercayai bahwa jika menebang satu pohon saja penunggunya akan marah lalu airnya akan menjadi kotor, tidak jernih. Seperti itulah kepercayaan mereka, sehingga masyarakat Gunung Sejuk dapat menjaga hutan mereka dengan lebih baik. Mereka memilih menghuni kembali tanah kelahirannya. Menghuni yang dimaksud yaitu ikut menjaga kawasan hutan melalui cerita yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural.
***
Di Desa Gunung Sejuk itu saya bertemu dengan seorang kakek, yang umurnya sekitar 60-an tahun. Ia datang bersama anaknya untuk mengambil air di mata air Laloya. Mata air Laloya jaraknya sangat berdekatan dengan hutan adat, jaraknya kira-kira sekitar 10-an meter. Saya ikut memperhatikan mata air itu. Saya melihatnya mata air itu berasal dari kawasan hutan. Alasannya sederhana, airnya muncul bukan berasal dari dalam tanah tetapi dari dalam bebatuan yang posisi batu itu tepat di bawah pepohonan besar. Ia hendak mengatakan kedatangannya bahwa ia hanya melihat keadaan air, apakah jernih atau tidak. Jika airnya jernih berarti tidak terjadi apa-apa dengan hutan kami, namun jika airnya suda mulai kotor saya curiga ada orang yang telah menebangi pohon-pohon di hutan itu, katanya.
Lalu kemudian saya bertanya, apa hubungannya menebangi pohon-pohon yang ada di hutan itu, dengan kotornya mata air ini pak?
Nama kakek itu adalah La Boora. Sejak kami bertemu di mata air itu ia menceritakan banyak hal, termasuk mengapa menebang satu pohon pun di hutan itu dapat membuat mata air Laloya menjadi tidak jernih. Ia menceritakan bahwa konon desa yang ia tinggali sekarang ini sangat kesusahan air. Saat itu kemudian masyarakat berusaha untuk mencari mata air, lalu menemukan mata air di dekat kawasan hutan itu. Dulu masyarakat disini sangat susah dengan air, tapi setelah ditemukan mata air ini sekarang kami tidak susah lagi. Makanya kami akan terus menjaganya terutama pohon-pohon yang ada di kawasan hutan itu tidak boleh ditebang, katanya.
Sejak saat itu masyarakat desa Gunung Sejuk mempercayai bahwa di hutan itu ada penunggunya (mahluk halus yang menghuni hutan adat tersebut) sehingga mereka tidak diperbolehkan menebang satu pohon pun yang ada di kawasan hutan. Setiap masyarakat menebang pohon di hutan itu mata air kami kotor, kembali tidak jernih, kata La Boora. Ia mengatakan bahwa kami melarang siapa pun untuk membuka lahan perkebunan di kawasan hutan itu. Masyarakat diperbolehkan bertani namun jaraknya harus jauh, termasuk juga mencari kayu bakar dan memasang jerat untuk menangkap ayam hutan, katanya.
Mungkin ini hanya sekedar cerita mitos yang dikisahkan secara turun temurung. Namun dengan cara seperti itu, alam dalam hal ini hutan dan mata air mereka dapat terjaga dengan baik. Tak ada yang berani merusak dan melakukan illegal logging yang berada di kawasan hutan tersebut.
Mendiami Hutan, Merawat Ekosistem
Kehidupan masyarakat desa Gunung Sejuk, memang masih jauh oleh sentuhan kehidupan modern yang kapitalistik. Masyarakat ini berusaha mengelola hutan mereka dengan cara tradisional, dengan mematuhi aturan-aturan adat yang berlaku. Hutan bagi mereka adalah nafas kehidupan, yang lalu dapat memberikan suatu kebutuhan akan paru-paru yang sehat. Hutan juga bagi mereka adalah sumber kehidupan, yang menopang hidup mereka lalu memperlakukan hutan sesuai dengan kondisi alamiah alam demi tercapainya masyarakat yang berkelanjutan.
Di dalam kehidupan masyarakat ini, saya menemukan suatu paradigma baru tentang bagaimana mencapai masyarakat yang berkelanjutan itu. Mereka memperlakukan hutan sesuai dengan kondisi alamianya. Mereka berusaha menyatukan antara ekonomi dan ekologi yaitu suatu bentuk kehidupan yang menggantungkan ekonomi mereka terhadap alam namun dengan merawat alam itu sendiri.
Yang mereka lakukan adalah menjaga hutan itu, mengisahkan lewat cerita-cerita mitos bahwa jika merusak hutan penunggunya akan marah dan merusak mata air. Lalu mereka mendiami kembali dengan cara bertani dengan jaraknya agak cukup jauh, untuk menjaga ekosistem yang ada didalamnya. Masyarakat ini menyelaraskan seluruh aktivitas dan kehidupan sesuai dengan kondisi yang disediakan oleh alam setempat. Sehingga hutan yang mereka miliki sampai saat ini masih terjaga dengan lebih baik.  Inilah yang dinamakan dalam istilah filsafat lingkungan hidup disebut bioregionalisme.
Bioregionalisme merupakan sebuah ajaran tentang bagaimana hidup ditempat asal, tempat sekitar di mana kita lahir, dibesarkan dan hidup (Sony Keraf, 2014). Allen Van Newkirk pernah mempopulerkan tentang bioregionalisme pada tahun 1970-an. Newkirk mengajak kita untuk memahamai bahwa bioregionalisme merupakan sebuah proses tekhnis dalam mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografi. Dalam batas wilayah budaya ini, manusia memlihara dan menjaga beragam tanaman dan binatang, membantu konservasi dan restorasi ekosistem liar sambil menggali kembali model-model aktivitas manusia yang selaras dengan kenyataan biologis bentangan alam yang ada (Doug Abreley, dalam Sony Keraf).   
Untuk mencapai masyarakat berkelanjutan, tentunya bioregionalisme tidak hanya dijadikan sebuah pandangan filsafat, tetapi harus dijadikan sebuah gerakan. Masyarakat Gunung Sejuk hendak menunjukan itu yaitu membuat sebuah gerakan dengan upaya untuk mencoba menghubungkan kembali antara kehidupan manusia dengan alam. Masyarakatnya hendak membentuk kesadaran masyarakat yang lain bahwa alam dalam hal ini hutan dan mata air yang mereka miliki berperan penting dalam membentuk kehidupan mereka. Tidak ada kehidupan manusia yang tidak tergantung dengan alam begitupun sebaliknya, alam juga sangat tergantung dengan cara-cara kehidupan manusia.
Oleh karena itu, masyarakat Gunung Sejuk yang menyadari diri mereka sebagai mahluk ekologis seringkali menolak terhadap perusahaan yang ingin menyasar untuk merusak kawasan hutan. Mereka sama halnya tidak menerima paradigma ekonomi modern kapitalistik yang hanya mengukur kemajuan pada kemakmuran uang dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dalam menjaga lingkungan hidup yang telah rusak seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) perlu ada upaya restorasi bioregional untuk kemudian menyadarkan komunitas manusianya agar kembali ke alam atau tempat asal. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal agar manusia dapat mengambil suatu tindakan untuk merawat, melayani dan mejaga alam sebagai bentuk dari kesadaran ekologis. Perlu adanya kesadaran agar dapat mendiami kembali tanah kelahiran, untuk menjaga konservasi kawasan ekosistem dengan lebih baik lagi. Mendiami kembali di sini adalah mencoba untuk kembali hidup ditempat asal dengan melakukan penanaman kembali yang telah dirusak, di desa-desa atau di wilayah yang telah di eksploitasi sumberdaya alamnya.
Dalam konteks di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) masyarakatnya perlu ada upaya agar dapat mendiami kembali kawasan ekosistem tersebut, agar flora dan faunanya dapat terjaga dan terlindungi dengan baik. Pertama, masyarakat perlu merestorasi kembali keadaan hutan yang telah tereksploitasi dengan cara suksesi alam yaitu melakukan penanaman kembali hutan-hutan yang telah dirusak pada masa lalu. Kedua, mempertahankan seluruh ekosistem setempat sesuai dengan kondisi aslinya. Seluruh ekosistem yang ada didalamnya yang menjadi tempat rumah bagi flora dan fauna harus dipertahankan dengan keadaan aslinya. Karena jika satu saja ekosistem hilang, maka ekosistem yang lainnya perlahan-lahan juga akan hilang.
Ketiga, membentuk atau membangun suatu masyarakat dengan model komunitas melek ekologis yaitu suatu komunitas yang memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup untuk menjaga konservasi kawasan ekosistem dan. Keempat, perlu ada upaya merancang ulang rencana pembangunan, dengan memasukan agenda konservasi kawasan ekosistem Leuser. Hal ini penting, agar konservasi kawasan ekosistem itu mendapatkan akomodasi dari  pemerintah pusat maupun daerah.
***
Selama ini kita hanya dikenal sebagai mahluk sosial, namun pada kenyataanya tidak. Kita juga adalah mahluk ekologis, mahluk yang bergantung pada alam sekitar. Hutan adalah naungan yang menjadi sumber paru-paru yang sehat dan menopang kehidupan. Masyarakat dengan jumlah penduduk yang kecil seperti di desa Gunung Sejuk berusaha menyatukan antara ekonomi dan ekologis. Mereka bergantung dengan alam sekitar, namun dengan tetap kesiagapan mereka, merawat dan melindungi kawasan hutan. Dan mereka suda melakukan itu.
Maka dari itu, marilah menghuni atau mendiami kembali tanah kelahiran kita. Kita seringkali mengetahui bahwa masyarakat kita selalu ingin cepat berlari; ingin itu, ingin ini, dan ingin sana. Lebih-lebih pemerintah kita, mereka menginginkan lari yang lebih kencang lagi; kebijakan ini, kebijakan itu dan kebijakan sana. Namun, untuk apa kita menginginkan cepat berlari, tapi sesungguhnya kita tidak tau apa yang hendak kita cari. Cobalah kita berjalan sejenak, berdiam sejenak, sambil memperhatikan alam kita. Jangan-jangan alam kita suda porak-poranda akibat keinginan cepat berlari itu...

                                                                                 Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar