|
Saya dan Sahabat |
Tuhan
menciptakan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk memenuhi
keserakahan manusia, begitulah seperti
yang
diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Bentuk
keserakahan manusia terhadap alam, jika kita ingin menelusuri
lebih luas lagi kita dapat menemukan satu kepingan yang sangat memilukan. Sebut
saja misalnya seperti kebakaran hutan yang terjadi di Riau, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Sumatra
Selatan dan Jambi.
Penyebab
kebakaran hutan yang menimpa daerah-daerah tersebut bukan saja karena faktor
alam, tetapi juga akibat dari ulah manusia yang serakah, yang lalu ingin mengambil
keuntungan terhadap sumber kekayaan
alam. Akibatnya yang terjadi bukan saja
lumpuhnya perekonomian daerah, namun banyaknya korban yang meninggal dan
terserang penyakit akibat kepulan asap yang menjejaki hidup masyarakat setempat.
Belum lagi dalam upaya
pemerintah pusat maupun daerah dengan jargon demi pembangunan dan memburu pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, lebih banyak menimbulkan polemik. Banyak hal yang dilakukan untuk
memenuhi hal tersebut, salah satunya dengan membuka peluang investasi dengan
memanfaatkan bentangan alam yang luas seperti hutan yang kita punyai selama ini. Yang kemudian
dilakukan adalah mengeksploitasi sumber kekayaan alam dengan membuka pertambangan,
lahan perkebunan, illegal logging atau penebangan
kayu yang terkadang mempengaruhi kehidupan ekosistem didalamnya. Lalu yang terjadi, lingkungan yang kita diami
seringkali mengalami kerusakan, kepunahan
atau kehilangan
ekosistem yang mengakibatkan flora dan fauna yang ada didalamnya tidak dapat
hidup dan berkembang
dengan
baik.
Bagi
masyarakat, hutan memang bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Hal ini
terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur
tradisionlanya masih kuat.
Untuk masyarakat ini, mereka melihat hutan bukan hanya sebagai
sumber daya potensial saja, melainkan sebagai sumber pangan, obat-obatan, energi,
sandang, lingkungan dan juga tempat tinggal mereka. Bahkan ada masyarakat
tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai-nilai spritual, mempercayai bahwa hutan yang
didalamnya terdapat biotik dan abiotik memiliki kekuatan atau pesan supranatural
yang harus mereka patuhi.
Tentunya
ini mengingatkan saya pada salah satu desa yang saya kunjungi di pulau Buton,
tepatnya di Buton Selatan, Sampolawa. Nama desa itu adalah Desa Gunung Sejuk. Dari
nama desanya,
Gunung Sejuk merupakan desa
yang berada pada dataran
tinggi.
Daerah dataran tinggi
itu sangat
identik dengan daerah yang panas.
Namun berbeda dengan kondisi di Desa
Gunung Sejuk itu, ia hawanya sangat dingin, sejuk.
Di desa inilah adanya kawasan
hutan dan mata air yang
memiliki nilai-nilai spiritual dan kekuatan supranatural sebagaimana yang
dipercayai oleh masyarakat setempat. Bahwa hutan adat tidak boleh di ganggu,
dalam hal ini melakukan penebangan karena dapat menganggu kejernihan air.
Mereka mempercayai bahwa jika menebang satu pohon saja penunggunya akan marah
lalu airnya akan menjadi kotor, tidak jernih. Seperti itulah kepercayaan
mereka, sehingga masyarakat Gunung Sejuk dapat menjaga hutan mereka dengan
lebih baik. Mereka memilih menghuni kembali tanah kelahirannya. Menghuni yang
dimaksud yaitu ikut menjaga kawasan hutan melalui cerita yang dipercaya
memiliki kekuatan supranatural.
***
Di
Desa Gunung Sejuk itu saya bertemu dengan seorang kakek, yang umurnya sekitar 60-an tahun. Ia datang bersama
anaknya untuk
mengambil air di mata air Laloya.
Mata air Laloya
jaraknya sangat
berdekatan dengan hutan adat, jaraknya kira-kira sekitar 10-an meter. Saya ikut memperhatikan mata air itu. Saya melihatnya mata air itu berasal dari kawasan
hutan. Alasannya
sederhana, airnya muncul bukan berasal dari dalam tanah tetapi
dari dalam
bebatuan yang posisi batu itu
tepat di bawah pepohonan besar. Ia
hendak mengatakan
kedatangannya bahwa ia hanya
melihat keadaan air, apakah jernih atau tidak. Jika airnya jernih berarti tidak terjadi
apa-apa dengan hutan kami,
namun jika airnya suda mulai kotor saya curiga ada orang yang telah menebangi pohon-pohon
di hutan itu, katanya.
Lalu
kemudian saya bertanya, apa hubungannya menebangi pohon-pohon yang ada di hutan itu,
dengan kotornya
mata air ini pak?
Nama
kakek itu adalah La Boora.
Sejak kami bertemu di mata air itu ia menceritakan banyak hal, termasuk mengapa
menebang satu pohon pun di hutan itu
dapat
membuat
mata air Laloya
menjadi tidak jernih. Ia menceritakan bahwa konon desa yang ia tinggali
sekarang ini sangat kesusahan air. Saat itu kemudian masyarakat berusaha untuk mencari mata air,
lalu menemukan mata air di dekat kawasan
hutan itu. Dulu masyarakat disini sangat
susah dengan air, tapi setelah ditemukan mata air ini sekarang kami tidak susah
lagi. Makanya kami akan terus
menjaganya terutama pohon-pohon yang ada di kawasan hutan itu tidak boleh
ditebang, katanya.
Sejak saat itu masyarakat
desa Gunung Sejuk mempercayai bahwa di hutan itu ada penunggunya (mahluk halus yang
menghuni hutan adat tersebut) sehingga mereka tidak diperbolehkan menebang satu pohon
pun yang ada di kawasan hutan.
Setiap masyarakat menebang pohon di hutan itu mata
air kami kotor, kembali tidak jernih, kata La Boora. Ia mengatakan bahwa kami melarang siapa pun untuk membuka lahan perkebunan
di
kawasan hutan
itu. Masyarakat diperbolehkan bertani
namun jaraknya harus jauh, termasuk juga mencari kayu bakar dan
memasang jerat untuk menangkap ayam hutan, katanya.
Mungkin ini hanya sekedar cerita
mitos yang dikisahkan secara turun temurung. Namun dengan cara seperti itu,
alam dalam hal ini hutan dan mata air mereka dapat terjaga dengan baik. Tak ada
yang berani merusak dan melakukan illegal
logging yang berada di kawasan hutan tersebut.
Mendiami Hutan,
Merawat Ekosistem
Kehidupan masyarakat desa
Gunung Sejuk, memang masih jauh oleh sentuhan kehidupan modern yang
kapitalistik. Masyarakat ini berusaha mengelola hutan mereka dengan cara
tradisional, dengan mematuhi aturan-aturan adat yang berlaku. Hutan bagi mereka
adalah nafas kehidupan, yang lalu dapat memberikan suatu kebutuhan akan
paru-paru yang sehat. Hutan juga bagi mereka adalah sumber kehidupan, yang
menopang hidup mereka lalu memperlakukan hutan sesuai dengan kondisi alamiah alam
demi tercapainya masyarakat yang berkelanjutan.
Di dalam kehidupan
masyarakat ini, saya menemukan suatu paradigma baru tentang bagaimana mencapai
masyarakat yang berkelanjutan itu. Mereka memperlakukan hutan sesuai dengan
kondisi alamianya. Mereka berusaha menyatukan antara ekonomi dan ekologi yaitu
suatu bentuk kehidupan yang menggantungkan ekonomi mereka terhadap alam namun
dengan merawat alam itu sendiri.
Yang mereka lakukan adalah
menjaga hutan itu, mengisahkan lewat cerita-cerita mitos bahwa jika merusak
hutan penunggunya akan marah dan merusak mata air. Lalu mereka mendiami kembali
dengan cara bertani dengan jaraknya agak cukup jauh, untuk menjaga ekosistem
yang ada didalamnya. Masyarakat ini menyelaraskan seluruh aktivitas dan
kehidupan sesuai dengan kondisi yang disediakan oleh alam setempat. Sehingga
hutan yang mereka miliki sampai saat ini masih terjaga dengan lebih baik. Inilah yang dinamakan dalam istilah filsafat
lingkungan hidup disebut bioregionalisme.
Bioregionalisme merupakan
sebuah ajaran tentang bagaimana hidup ditempat asal, tempat sekitar di mana
kita lahir, dibesarkan dan hidup (Sony Keraf, 2014). Allen Van Newkirk pernah
mempopulerkan tentang bioregionalisme pada tahun 1970-an. Newkirk mengajak kita
untuk memahamai bahwa bioregionalisme merupakan sebuah proses tekhnis dalam
mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografi. Dalam
batas wilayah budaya ini, manusia memlihara dan menjaga beragam tanaman dan
binatang, membantu konservasi dan restorasi ekosistem liar sambil menggali
kembali model-model aktivitas manusia yang selaras dengan kenyataan biologis
bentangan alam yang ada (Doug Abreley, dalam Sony Keraf).
Untuk mencapai masyarakat
berkelanjutan, tentunya bioregionalisme tidak hanya dijadikan sebuah pandangan filsafat,
tetapi harus dijadikan sebuah gerakan. Masyarakat Gunung Sejuk hendak
menunjukan itu yaitu membuat sebuah gerakan dengan upaya untuk mencoba
menghubungkan kembali antara kehidupan manusia dengan alam. Masyarakatnya
hendak membentuk kesadaran masyarakat yang lain bahwa alam dalam hal ini hutan dan
mata air yang mereka miliki berperan penting dalam membentuk kehidupan mereka.
Tidak ada kehidupan manusia yang tidak tergantung dengan alam begitupun sebaliknya,
alam juga sangat tergantung dengan cara-cara kehidupan manusia.
Oleh karena itu, masyarakat
Gunung Sejuk yang menyadari diri mereka sebagai mahluk ekologis seringkali
menolak terhadap perusahaan yang ingin menyasar untuk merusak kawasan hutan. Mereka sama halnya tidak menerima paradigma ekonomi modern kapitalistik yang hanya
mengukur kemajuan pada kemakmuran uang dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dalam menjaga lingkungan
hidup yang telah rusak seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) perlu
ada upaya restorasi bioregional untuk kemudian menyadarkan komunitas manusianya agar kembali ke alam atau tempat asal. Hal ini
dilakukan sebagai langkah awal agar manusia dapat mengambil suatu tindakan
untuk merawat, melayani dan mejaga alam sebagai bentuk dari kesadaran ekologis.
Perlu adanya kesadaran agar dapat mendiami kembali tanah kelahiran, untuk
menjaga konservasi kawasan ekosistem dengan lebih baik lagi. Mendiami kembali
di sini adalah mencoba untuk kembali hidup ditempat asal dengan melakukan
penanaman kembali yang telah dirusak, di desa-desa atau di wilayah yang telah
di eksploitasi sumberdaya alamnya.
Dalam konteks di Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL) masyarakatnya perlu ada upaya agar dapat mendiami
kembali kawasan ekosistem tersebut, agar flora dan faunanya dapat terjaga dan
terlindungi dengan baik. Pertama,
masyarakat perlu merestorasi kembali keadaan hutan yang telah tereksploitasi
dengan cara suksesi alam yaitu melakukan penanaman kembali hutan-hutan yang
telah dirusak pada masa lalu. Kedua, mempertahankan
seluruh ekosistem setempat sesuai dengan kondisi aslinya. Seluruh ekosistem
yang ada didalamnya yang menjadi tempat rumah bagi flora dan fauna harus
dipertahankan dengan keadaan aslinya. Karena jika satu saja ekosistem hilang,
maka ekosistem yang lainnya perlahan-lahan juga akan hilang.
Ketiga, membentuk atau
membangun suatu masyarakat dengan model komunitas melek ekologis yaitu suatu
komunitas yang memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup
untuk menjaga konservasi kawasan ekosistem dan. Keempat, perlu ada upaya merancang ulang rencana pembangunan, dengan
memasukan agenda konservasi kawasan ekosistem Leuser. Hal ini penting, agar konservasi kawasan ekosistem itu
mendapatkan akomodasi dari pemerintah pusat
maupun daerah.
***
Selama ini kita hanya
dikenal sebagai mahluk sosial, namun pada kenyataanya tidak.
Kita
juga adalah mahluk ekologis, mahluk yang bergantung pada alam sekitar. Hutan
adalah naungan yang menjadi sumber paru-paru yang sehat dan menopang kehidupan.
Masyarakat dengan jumlah penduduk yang kecil seperti di desa Gunung Sejuk
berusaha menyatukan antara ekonomi dan ekologis. Mereka bergantung dengan alam
sekitar, namun dengan tetap kesiagapan mereka, merawat dan melindungi kawasan hutan.
Dan mereka suda melakukan itu.
Maka dari itu, marilah
menghuni atau mendiami kembali tanah kelahiran kita.
Kita
seringkali mengetahui bahwa
masyarakat kita selalu ingin cepat berlari; ingin itu, ingin ini, dan ingin
sana. Lebih-lebih pemerintah kita, mereka menginginkan lari yang lebih kencang
lagi; kebijakan ini, kebijakan itu dan kebijakan sana. Namun, untuk apa kita menginginkan cepat berlari, tapi sesungguhnya
kita tidak tau apa yang hendak kita cari. Cobalah kita berjalan sejenak, berdiam
sejenak, sambil
memperhatikan alam kita. Jangan-jangan alam kita suda
porak-poranda akibat keinginan
cepat berlari itu...
Laode Halaidin